Dewan Adat Sigi

Waktu selesai rapat di rumah Ketua Dewan Adat Sigi di Kaleke.

SOSIALISASI

Sosialisasi pendidikan Pemilih.

TOTUA NU ADA

Totua nu Ada. Ane nggaulu Totuamo gala hi nompakenggenisi ngata ...

Silaturrahmi

Silaturrahmi dengan Yang Mulia Sri Paduka Mangku Alam II.

Minggu, 12 Januari 2020

Kita, Orang Palu (Kaili) dan Politik


Kita, Orang Palu (Kaili) dan Politik 

 

Koentjaraningrat mengartikan klan sebagai suatu kelompok kekerabatan yang terdiri atas semua dari seseorang nenek moyang yang di perhitungkan melalui garis keturunan sejenis, yaitu keturunan marga laki-laki atau perempuan.

Pada masyarkat Kaili, Klan merupakan kelompok kekerabatan yang terbentuk dari gabungan beberapa keluarga luas yang disebut "sampesuvu" (kinship).

"Sampesuvu" melingkar dalam satuan kekerabatan yang disebut "Ntina" (kindred) sebagai satuan kekerabatan terus berkembang hingga membentuk klan dimana anggotanya diikat atau berasal dari satu nenek moyang yang sama. Klan pada masyarakat Kaili dapat ditelusuri berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal) maupun garis keturunan ayah (patrilineal). Untuk mengetahui klan seseorang dapat dikenali berdasarkan fam atau marga yang digunakan.

Saat ini di beberapa wilayah di Lembah Palu ditemukan beberapa kelompok masyarakat Kaili yang merupakan satuan klan dengan marga khusus dalam kesatuan "Ntina" bahkan sebagian warganya telah menyebar ke beberapa wilayah lain. Proses perkawinan antar sesama warga dalam kesatuan klan (Ntina)terjadi melalui adat "Nibolai/Nosibolai" yang menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan agar semakin erat dan dekat. Hal ini sesuai dengan prinsip kekerabatan "Nillinggu mpo toboyo" yang berarti “menggulung pucuk labu yang telah menjalar jauh agar dapat kembali ke pohonnya”. Makna adagium ini adalah, jika jarak persaudaraan atau pertalian darah sudah agak jauh maka sebaiknya ditarik kembali mendekati satuan dasar kekerabatan melalui ikatan perkawinan. Dengan demikian hubungan kekerabatan semakin dekat dan erat. Pomeo lain yang ikut memperkuat prinsip kekerabatan adalah "belontona da ta no sampusuvu" yang berarti bahwa “sejahat-jahatnya bersaudara masih jauh lebih baik dari pada kebaikan orang lain”. Pomeo ini merupakan salah satu kunci kesatuan dan persatuan dalam kelompok kekerabatan masyarakat Kaili, sehingga dalam kesatuan kerabat sikap saling tolong menolong dan saling membantu (nosiala pale, notava) tetap terpelihara sebagai kekuatan dalam menyangga hubungan sosial terutama saling membantu dalam aktivitas sehari-hari dan bahkan mendukung dalam aktivitas politik.

Penanda bahwa jalinan kekerabatan pernah terbangun dibeberapa kerajaan Lembah Palu yang memperkuat hubungan kekerabatan melalui ikatan perkawinan antar "madika (bangsawan) melalui adat Nibolai/Nosibolai misalnya terjadi antara “Pue Nggari” dari kerajaan di Palu dengan “Pue Puti” dari kerajaan di Dolo, perkawinan antara “Vumbulangi” dari Kerajaan di Bangga dengan “ Mbavalemba” dari kerajaan Pakava, perkawinan antara anak raja di Tavaeli yang bernama “Ronjala” kawin dengan “Dae Mabela” dari kerajaan di Banawa, adapula anak raja Tavaeli “ Menukalui” kawin dengan “Tondinugo” dari kerajaan di Sigi, perkawinan antara anak Raja Sigi “Sairalie” yang kawin dengan “Intoviva” dari kerajaan Besoa serta perkawinan-perkawinan lainnya antara beberapa kerajaan yang ada menunjukan bahwa masyarakat Kaili di Lembah Palu terikat dalam satu rumpun kekerabatan sejak dahulu (Abdullah, 1975 : 39).

Perkawinan antar "madika" (bangsawan) menjelaskan garis genealogis beberapa klan (marga) seperti Djanggola, Parampasi, Djaelangkara, Lamakarate, Karandjalemba, Randalemba, Lamakampali, Lamarauna, Malonda, Pettalolo, Lembah, Yotolembah tetap terjaga eksistensinya hingga saat ini. Beberapa klen lainnya seperti Ponulele, Datu Palinge, Daeng Sute, Lapasere, Pakamundi, Latjambo, Tombolotutu, Sunusi juga dominan keberadaannya saat ini. Jika ditelusuri klan-klan ini memiliki asal muasal yang sama atau memiliki pertautan yang sama. Secara genealogis mereka terbentuk dari perkawinan yang terjadi diantara golongan Madika sebelumnya.

Klan-klan ini pada awalnya berasal dari satu kampung yang sama (residensi matrilokal/teritorial) yang berbentuk ngata (kampung). Bahkan penggunaan nama Fam “Lemba” pada beberapa klan disinyalir terkait dengan wilayah hunian awal(residensi teritorial,) dimana klan tersebut berasal.

Klan-klan tersebut secara terus menerus mengalami perluasan dengan terjadinya perkawinan antar madika dan turunan para "Magau" melaui adat Nibolai/Nosibolai). Pada tiap "ngata" terbentuk ikatan kekerabatan yang semakin erat diantara tiap-tiap klan sehingga jaringan hubungan kekerabatan berdasarkan genealogis semakin kuat.

Ikatan perkawinan telah menyatukan madika di lembah Palu bahkan membentuk klan-klan besar dengan status sosial tersendiri. Dalam perkawinan, klan-klan ini pada umumnya memelihara adat dengan sistem perkawinan endogamy. Seorang laki-laki dapat kawin dengan perempuan dari klennya sendiri minimal dalam derajat ke satu (sarasanggani) atau memilih perempuan di luar klen baik yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Perkawinan endogamy dimaksudkan sebagai upaya memelihara dan menjaga kualitas dan kemurnian darah turunan dari keluarga bangsawan dalam klan yang sama. Bentuk lainnya adalah perkawinan "Positaka Taono" dan "Pongganti Ompa" bertujuan untuk mendekatkan pertalian darah dalam satuan kekerabatan disamping untuk menjaga agar "mbara-mbara nimana" (harta warisan keluarga/harta bersama) agar tidak jatuh terlalu jauh.

Dalam aktivitas politik dan aktivitas organisasi kemasyarakatan beberapa anggota Klan menguasai posisi strategis dalam proses politik. Sebut saja diantaranya Djanggola, Ponulele, Parampasi, Pettalolo, Lembah, Lamarauna, Yoto Lembah dan beberapa klan besar lainnya. Umumnya mereka berasal dari kesatuaan klan yang terkait hubungan kerabat seperti ana (anak), pinoana (kemenakan), sarasanggani (sepupu dalam derajat ke satu), sarara ruanggani (sepupu dalam derajat kedua), sarara talunggani (sepupu dalam derajat ketiga), mania (mantu), era (ipar), mangge (Paman), pinotina (Bibi) bahkan makumpu (cucu). Nama besar marga berdasarkan klan yang disandang seseorang seringkali menjadi dasar pertimbangan untuk dapat menduduki jabatan atau posisi tertentu dimasyarakat. Latar genealogis klan turut menentukan tingkat popularitas dan elektabilitas seorang anggota klan dalam aktivitas politik praktis. Sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat bahwa salah satu dari empat fungsi klan adalah menjadi dasar dari organisasi politik.

Faktor genealogis Klan seringkali dijadikan pertimbangan untuk mendorong seorang anggota klan memasuki ruang-ruang politik, bahkan pelibatan dalam partai politik dapat terjadi karena alasan genealogis klan. Posisi sebagai anggota klan dengan latar belakang genealogis menjadi pertimbangan karena kekuatan lingkaran klan dapat menjadi penyangga bahkan menjadi barikade bagi tujuan-tujuan politik praktis.

Mendapat kedudukan dalam jabatan dan kekuasaan politik memberi penjelasan tentang karakter kekuasaan adat yang melekat pada pemimpin masyarakat Kaili ketika zaman kerajaan masih berlangsung di Lembah Palu. Para pemimpin masyarakat mendapat wewenang secara adat untuk mengelola kehidupan bersama, menjaga, memelihara kepentingan rakyat yang dipimpinnya, serta mempertahankan wilayah kekuasaan adat dari perebutan wilayah antar penguasa pada masing-masing wilayah kerajaan. Namun para pemimpin masyarakat dalam kedudukannya dipersyaratkan memiliki sifat jujur, adil, bijaksana, berpandangan jauh kedepan, amanah, berwibawa, ahli dan cakap dapat menjadi teladan serta berpengaruh dalam masyarakat.

Puncak-puncak status sosial lapis Madika (bangsawan) merupakan perkembangan lanjut perubahan sosial ketika lembaga-lembaga kekuasaan yang baru lahir menggantikan fungsi kekuasaan adat, maka dominasi kedudukan dalam sistem kekuasaan adat mengalami transformasi ke dalam puncak-puncak status sosial yang diteruskan atau diperankan oleh anggota klan dominan berdasarkan hubungan kekerabatan Madika.

Pergeseran status Kedudukan yang melekat pada Magau dan Madika ketika pemerintahan adat masih berlaku berubah menjadi status sosial bergengsi bagi anggota klan dominan yang notabene adalah keturunan Magau dan Madika dalam hubungan sosial khususnya dalam proses politik yang terjadi, perubahan status ini memperkuat terhadap bertahannya dominasi mereka dalam proses politik yang terjadi. Olehnya superioritas klan dominan dengan simbol-simbol adat menandai strata masyarakat Kaili masih tetap eksis meski terkadang tampil dalam bentuk yang berbeda. Eksistensi kedudukan dan jabatan merupakan faktor determinan akan munculnya anggota klan dominan yang diyakini memiliki kekuatan pengaruh pada masyarakat Kaili.

Saat ini melanggengkan Kedudukan berarti memposisikan klan dominan dalam struktur sosial terutama pada puncak-puncak strata sosial masyarakat Kaili yang berada pada golongan Madika. Dominasi klan dominan berlangsung dalam kehidupan politik, meskipun terkadang tidak harus menjadi pemimpin puncak pada suatu organisasi kemasyarakatan atau pada lembaga politik, namun memegang posisi strategis dalam organisasi kemasyarakatan atau bahkan memiliki kekuatan tawar menawar yang tinggi dalam pengambilan keputusan politik.

Garis kontinum ini ditandai dengan pelabelan simbol-simbol adat dengan idiom kharismatik seperti "tomalanggai" dan "tadulako" yang dilekatkan pada personifikasi anggota klan agar tetap ekdis dalam aktivitas politik. Eksisnya hubungan primordial dalam penataan peran-peran sosial yang menempatkan posisi anggota klan dominan sebagai representasi sumberdaya terpilih oleh karena kekuatan status sosial yang melatar belakangi dalam proses politik dan pemerintahan.

Untuk menempati kedudukan tertentu biasanya akan diperhitungkan berdasarkan pada status sosial yang dimiliki. Seperti menduduki jabatan pemimpin dalam masyarakat baik di lembaga politik, organisasi kemasyarakatan, dan pemerintahan senantiasa akan disesuaikan pada status sosial yang melatar belakangi. Kedudukan dalam status sosial seseorang akan berpengaruh pada jabatan yang di emban terutama pada pandangan orang lain terhadapnya, setidaknya kedudukan dalam jabatan atau pelibatan dalam aktivitas politik dilandasi status sosial Madika yang memberi prestise berbeda dengan yang bukan golongan Madika.

Boyaoge, 9 Januari 2020

Pemerhati Budaya

N I S B A H

Penguatan Budaya Kaili Esensi Gerak Tari dan Nyanyi pada Kesenian adat To Kaili

 

Esensi Gerak Tari dan Nyanyi pada Kesenian adat To Kaili

 

Pada masyarakat Kaili (to kaili) kesenian merupakan sebuah aktivitas yang bertujuan utk menghibur, namun esensi kesenian yang dilaksanakan pada upacara life circle dimaknai sebagai sumber nasihat dan petunjuk baik dan buruk bagi manusia. Kesenian pada masyarakat kaili diyakini memiliki daya kesanggupan untuk menegakkan kebaikan utk kemaslahatan serta daya kekuatan memeberantas kejahatan dan kemunkaran.

Beberapa jenis kesenian yang lazim dilakukan saat upacara adat dan menandai pelaksanaan upacara life circle ( daur hidup) diantaranya :

1. Rano

Biasa disebut dg No Rano merupakan nyanyian bersama yang diikuti oleh laki-laki dan perempuan untuk menyampaikan isi hati nurani rakyat terkait masalah-masalah sosial yang dialami agar mendapat respon dan penanganan serius oleh magau/raja atau pejabat negeri/pemerintah. Prosesi Raego lazim dipimpin oleh para ahli hukum dan ahli sejarah yang mengemukakan berbàgai nasihat dan peringatan untuk ditaati.

Secara spesifik hal-hal yg terkait permasalahan yg diajukan adalah keamanan rakyat, keamanan negara/negeri, memperkokoh perdamaian, memperkuat ekonomi, menjaga kesehatan, memupuk rasa persaudaraan.

Pelaksanaan Rano erat kaitannya dengan kedudukan Magau/Raja/pemimpin dlm hubungan relasional dgn rakyat dimana pemimpin idealnya dapat membentuk kehidupan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, keutuhan, kedamaian bahkan kesejahteran masyarakat agar tercapai situasi kehidupan dimana "TODEA MATUVU MASIKAPO BO MASAGENA NO POKO SAMPAPITU" yg berarti " RAKYAT HIDUP MAKMUR DAN SENTOSA BERTUMPU PADA PRINSIP "SAMPAPITU" (simbol kesatuan hidup yg mengikat kehidupan Manusia dibawah tujuh lapis langit dan tujuh wilayah keadatan "pitunggota")

 

2. Raego

Adalah aktivitas bernyanyi bersama yang melibatkan para muda-mudi dengan disertai syair dan irama gembira yang mengiringi. Isi syair mengungkapkan rasa cinta disertai ketulusan dan kesopanan agar wanita pujaan hati berkenan utk hidup bersama kelak dalam rumah tangga yg penuh kehormàtan dan keharmonisan, terkadang syair juga berisi penyampaian pinangan yg disampaikan terhadap orang tua perempuan calon isteri.

Di sela beberapa gerakàn raego diakhiri dengan "nerengge" yang merupakan tempik sorak dengan suara lengking yg di keluarkan secara bersama, maksud dari "nerengge" adalah isi syair pernyataan tentang kesanggupan tanpa keraguan yang disampaikan dgn mantap, penuh semangat dan penuh keteguhan hati.

Raego memiliki beberapa bentuk berdasarkan klasifikasi peruntukkannya. Diantaranya adalah Raego Nompaupu Bonde (Raego Adat) yang dilaksanakan pada saat panen padi yg berhasil baik. Adapula Raego Taro Pogaa (pompaupu batara) yang dilaksanakan pada saat menutup acàra duka (berpisah dengan duka) yang menimpa Raja/pemimpin dimaksudkan utk menghibur masyarakat dari rasa duka yang dalam sehingga masyarakat kembali bergembira.

 

3. Enjena

Setiap gerakan rano dan raego terdapat enjena (tarian) yg memperlihatkan gerakan dengan sikap melangkah maju secara bersama dalam satu lingkaran besar terdiri laki-laki dan perempuan. Ciri enjena pada rano adalah lingkaran bundar yg bersambung antara laki-laki dan perempuan dirapatkan dengan saling berpegangan tangan dgn erat sambil bernyanyi dgn merdu dlm irama satu kesatuan yg bermakna pada kekuatan dan kekompakkan yg tidak dapat putuskan dan dipatahkan oleh siapapun, posisi perempuan dan laki-laki yg saling berhubungan dengan bergandeng tangan dimaknai sebagai penghargaan atas kehormatan diri masing-masing. Demikian juga antara rakyat dan pemerintah dimaknai sebagai hubungan saling bersatu padu dan bahu membahu laksana satu kesatuan tubuh dalam kesatuan sistem.

Adapun ciri enjena pada Raego menggambarkan pola gerakan yang berpusat pada satu kesatuan sebagai kesanggupan untuk mempertahankan kehormatan masing-masing sampai pada kehormatan dalam rangka membangun rumah tangga. Pada saat melakukan gerakan atau tarian berputar posisi dan sikap laki-laki akan "nekalu" yaitu meletakkan tangan kanannya di atas bahu kanan perempuan sedangkan perempuan menampilkan sikap "kalua" posisi dimana perempuan di lingkari oleh tangan laki-laki pasangannya sambil kedua tangan perempuan di letakkan secara menyilang diatas dadanya dalam posisi memeluk dada yang merupakan bentuk dari sikap kewaspadaan menjaga kehormatan dirinya. Pilihan untuk bergandengan tangan dengan pasangan merupakan cara menyampaikan ke khayalak/umum bahwa keduanya telah siap memasuki kehidupan rumah tangga.

Gerakan Rano dan Raego secara keseluruhan dilakukan dengan membentuk lingkaran antara laki-laki dan perempuan kemudian berputar lalu diselingi beberapa langkah maju dan ketika ada "renggena" berarti tanda nyanyian telah berakhir yang kemudian ditutup dengan gerakan " No Odu" yaitu gerakan berjongkok dan menekuk lutut, pada posisi ini perempuan lalu duduk sejenak di atas lutut laki-laki pasanganya. Ini merupakan bentuk gerakan perlindungan perempuan oleh pasanganya jika ada gangguan dari gerakan "norengge". Gerakan"norengge" adalah simbol bahwa laki-laki telah siap untuk mempertahankan hubungan yang sudah terjalin dan berani menghadapi segala resiko untuk mewujudkan niat hidup bersama dengan membentuk rumah tangga bersama perempuan pilihannya.

 

4. Nondolu

Nyanyian Nondolu disampaikan atau dinyanyikan oleh para ahli perang yang merupakan To Tua Nungata. Nondolu dilaksanakan jelang menghadapi peperangan, maka para to tua nungata akan memberikan sugesti mental kepada prajurit guna mempertinggi daya tempur, sekaligus menanamkan arti dan nilai kematian bagi prajurit dalam membela wilayah keadatan atau bangsa dan negara. Ketika melepaskan prajurit untuk berperang para Totua Nu Ngata tidak akan berpidato untuk menyampaikan petuah atau nasihat di depan prajurit dan rakyat. Pelaksanaan Tarian dan Nyanyian merupakan keniscayaan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa para prajurit atau rakyat yang akan berperang telah mendapat perintah dari para Totua Nungata atau pimpinan wilayah keadatan.

 

5. Noduluva

Dalam perundingan perdamaian karena adanya peperangan yang terjadi dalam wilayah adat/pemerintahan, maka proses perundingan dilakukan dengan pembacaan syair yang disebut dengan "Noduluva". Syair berisi ungkapan mengenai pentingnya masalah keamanan dan kenegaraan diselesaikan, terdapaat nasihat tentang pentingnya hidup damai dan merendahkan nilai peperangan atau konflik yang terjadi.

 

6. Nosede

Nosede merupakan nyanyian nasehat yang disampaikan pada putra dan putri yang sudah memasuki usia baligh atau masa remaja. Nyanyian berisi petuah dan nasihat disampaikan oleh para Totua Nu Ada kepada "Toniasa" (Tona Nipaka Asa) atau manusia yang telah memasumi masa dewasa. Upacara adat yang dilakukan adalah "Noloso dan Nokeso".

 

Medio, 24 Agustus 2019

Pemerhati Budaya Kaili

N I S B A H

Penguatan Budaya Kaili Sistem Pemerintahan Adat/Kerajaan Tanah Kaili.

 

Sistem Pemerintahan Adat/Kerajaan Tanah Kaili.

 

       Sistem Pemerintahan pada Kerajaan di Tanah Kaili merupakan sebuah lembaga yang dibentuk dengan kewenangan adat untuk mengatur, mengembangkan dan mengawasi kehidupan masyarakat beserta pranata yang menjadi dasar pelaksanaannya. Sistem Pemerintahan pada setiap kerajaan yang ada di tanah Kaili memiliki struktur pemerintahan yang relatif memiliki kemiripan satu sama lain. Setiap kerajaan atau dewan pemerintahan disebut dengan kagaua. Kagaua memiliki badan eksekutif yang disebut dengan Libu nu Madika yang bertugas menjalankan roda pemerintahan. Adapun susunan Libu nu Madika terdiri dari :

1. Magau sebagai raja atau kepala Kerajaan.

2. Madika Malolo yang merupakan wakil atau asisten atau pembantu urusan internal Magau.

3. Madika Matua sebagai Perdana Menteri sekaligus urusan luar negeri dan menjabat sebagai Ketua Dewan pemerintahan.

4. Punggawa sebagai Menteri Dalam Negeri menjabat sebagai anggota.

5. Galara yang merupakan Menteri Kehakiman menjabat sebagai anggota.

6. Tadulako sebagai Menteri Pertahanan /Paanglima Perang menjabat sebagai anggota.

        Libu nu Madika diangkat dan diberhentikan oleh Magau (Raja) atas usul dan persetujuan Baligau selaku Ketua Dewan adat Pitunggota. Sementara pengangkatan Magau dilakukan melalui musyawarah Libu Ntodea yang disebut Dewan Adat Kerajaan Kota Pitunggota. Fungsi lain dari Dewan Adat Kerajaan Kota Pitunggota merupakan Dewan Permusyawaratan rakyat atau badan legislatif. Anggota Libu Ntodea adalah To Tua Nungata yang mewakili rakyat dari tiap-tiap kampung pada seluruh pelosok wilayah kerajaan. Representase tiap-tiap Soki adalah mewakili Utara, Timur, Timur Laut, Tenggara, Barat dan Barat Daya. Hampir seluruh kerajaan yang pernah berdiri di Tanah Kaili mengadopsi sistem pemerintahan adat ini. Masing-masing pemimpin diangkat dan diberhentikan oleh Magau atas persetujuan Baligau. Madika Matua bertanggung jawab sepenuhnya atas jalannya pemerintahan dihadapan sidang adat Dewan Adat Kota Pitunggota

       Secara historis beberapa kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Lembah Palu dan berada dalam lingkaran tradisi to Kaili yang menerapkan sistem pemerintahan adat tersebut diantaranya adalah :

1. Kerajaan Baloni di Sigi-Bora (sekarang masuk di wilayah Kabupaten Sigi)

2. Kerajaan Tawaeli (sekarang di Bagian Utara Kota Palu)

3. Kerajaan Pantoloan (sekarang masuk di wilayah bagian utara Kota Palu)

4. Kerajaan Pemantoa di Sindue (sekarang masuk bagian Utara Kabupaten Donggala)

5. Kerajaan Dolo (sekarang masuk di wilayah kabupaten Sigi)

6. Kerajaan Tatanga di Palu (sekarang di Bagian Selatan Kota Palu)

7. Kerajaan Palu (sekarang di Bagian Barat Kota Palu)

8. Kerajaan Pujananti di Banawa (sekarang masuk di wilayah Kabupaten Donggala)

9. Kerajaan Sidiru di Sibalaya (sekarang masuk di wilayah Kabupaten Sigi)

10. Kerajaan Pinembani di Dombu (sekarang masuk di wilayah Kabupaten Donggala)

       Seluruh kerajaan yang pernah berdiri di Lembah Palu tersebut melaksanakan pemerintahannya secara otonom dan memiliki ikatan kekerabatan satu sama lain. Hubungan kekerabatan terjalin akibat adanya perkawinan dgn sistem Nibolai antar penguasa-penguasa maupun keturunannya. Perluasan wilayah kerajaan juga terjadi melalui penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan lain khususnya kerajaan-kerajaan kecil yang ada ketika itu.

        Kruijt (dalam Abdulah, 1975 : 111) menggambarkan bahwa Kerajaan Baloni di Sigi misalnya pernah berperang dengan kerajaan Bada, kerajaan Napu dan kerajaan Besoa yang terletak di Kulawi dan Poso. Bahkan kerajaan Baloni di Sigi juga pernah berperang hingga ke Kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Demikian pula halnya dengan kerajaan Tavaeli yang mampu menguasai hampir separuh wilayah Pantai Barat seperti Kerajaan di Sindue dan Pantoloan. Namun penaklukan kerajaan-kerajaan kecil tidak berlangsung lama karena hubungan antar kerajaan lebih mengedepankan hubungan kawin mawin terutama ketika penjajahan Belanda mulai masuk ke Lembah Palu persatuan diantara beberapa kerajaan yang ada menjadi kuat karena terjadi ikatan perkawinan diantara kerabat kerajaan (Nibolai).

        Untuk memperkuat hubungan antar kerajaan yang pecah akibat terjadinya peperangan sekaligus melanggengkan sistem pemerintahan adat yang dimiliki oleh setiap Kagaua ini, maka beberapa Kagaua kecil yang berdiri secara otonom bersepakat untuk membentuk satu bentuk pemerintahan adat berdasarkan wilayah keadatan dengan sistem pemerintahan kolektif. Dalam sistem Pemerintahan adat tersebut mengadopsi struktur kelembagaan Dewan Adat Kota Pitunggota yang selanjutnya akan menjadi cikal bakal pemerintahan adat yang berhimpun menjadi kesatuan Kaili besar yang tersebar pada masing-masing wilayah keadatannya yang disebut lembaga Musyawarah Dewan Adat Kota Pitunggota . Ketujuh wilayah kerajaan yang mengadopsi sistem pemerintahan dengan pembagian kekuasaan beradasarkan kewenangan adat yang diemban adalah sebagai berikut:

1) Galara ri Pujananti (Banawa/Ganti)

2) Pabisara ri Tatanga (Palu)

3) Magau ri Baloni (Sigi)

4) Baligau ri Lando (Dolo)

5) Jogugu ri (Parigi)

6) Kapita ri Besoa (Lore)

7) Punggava ri Pinembani (Dombu)

       Setiap kewenangan didasarkan pada fungsinya sesuai wilayah pemerintahan Musyawarah Adat Kota Pitunggota, misalnya Galara dipegang oleh Magau Pujananti yang berkuasa di Banawa, karena kedudukan Pujananti dalam wilayah keadatan adalah sebagai galara. Demikian pula halnya dengan Jogugu yang dipegang oleh seorang Magau yang berkuasa penuh di Parigi, maka kedudukan Magau Parigi dalam wilayah keadatan tersebut adalah Jogugu. Fungsi Pabisara dijalankan oleh Magau Palu sesuai dengan wilayah keadatannya sebagai Pabisara yang berada di Palu. Sementara kedudukan Magau di Sigi akan menjalankan fungsinya sebagai Magau sesuai dengan wilayah keadaatannya yang berada di Sigi. Fungsi Baligau dijalankan oleh Magau Dolo sesuai dengan wilayah keadatannya sebagai Baligau yang berada di Dolo. Fungsi Kapita dijalankan oleh Magau Besoa sesuai dengan wilayah keadatannya sebagai Kapita yang berada di Lore. Dan Fungsi Punggava dijalankan oleh Magau Pinembani sesuai dengan wilayah keadatannya sebagai Punggava yang berada di Dombu.

Ke tujuh negeri (Kota Pitunggota) tersebut dalam menjalankan fungsi pemerintahan adatnya, masing-masing mendapat legitimasi kekuasaan berupa Payu nte Luna Pelanti yang berarti yang berarti payung dengan Penyanggah Bantal dudukan. Sarana pelantikan ini digunakan berdasarkan pembagian atas distribusi wilayah pemakaian sub dialek dari bahasa kaili, sehingga penamaan dalam penempatan sarana tersebut disesuaikan dengan pemakaian sub dialek Kaili yang terdiri dari :

1) Payu Pujananti untuk sub dialek Unde

2) Payu Pemantoa untuk sub dialek Doi

3) Payu Parampata untuk sub dialek Rai

4) Payu Tatanga-Palu untuk sub dialek Ledo

5) Payu Sidiru – Sibalaya untuk sub dialek Ado dan Edo

6) Luna Pelanti ri Tana Mbulava meliputi tiga sub dialek kaili yaitu: Ija, Ledo, dan Tara,

7) Payu Pinembani - Dombu untuk sub dialek Da’a

        Hubungan antara legitimasi kekuasaan dan kewenangan pemerintahan adat berupa "Payu nte Luna Pelanti" dengan struktur pemerintahan adat yang ada pada ketujuh wilayah keadatan dengan tatanan pemerintahan adat, melaksanakan fungsi dan peranan masing- masing yang saling menunjang dan saling memperkuat satu sama lain. Hal ini digambarkan dengan sebuah ungkapan yang menegaskan bahwa : “Naria papitu ngata niponturoka papitu tupu nungata, nasimbayu kanturoana, karanduana geira nosibolai bo nipoanakana papitu topo sampesuvu nonturoka ri papitu ngata najadi tupu nungata” (terdapat tujuh negeri di tana kaili ditempati/dihuni oleh tujuh pemilik negeri sama besar kedudukannya, selanjutnya mereka saling berbesan atau menikahkan anak keturunan mereka sehingga menurunkan tujuh orang bersaudara menjadi pemilik negeri pada tujuh negeri tersebut). Adapun fungsi dan peranan masing-masing dari ke tujuh pranata tersebut adalah :

1) Magau, menjalankan fungsi pemerintahan adat atau sebagai kepala pemerintahan adat itu sendiri. Magau memilki kekuasaan keluar dan kedalam wilayah kekuasaannya. Tempat penyelenggaraan sistem pemerintahan adat tersebut dilaksanakan di Baruga. Dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya Magau menggunakan dasar atau landasan penyelenggaraan pemerintahan adat dengan hukum adat dengan tetap dikoordinasikan dengan fungsi dan kewenangan Ke Galara-an. Adapun legitimasi kekuasaan dan kebesarannya ada dan terletak pada Luna Pelanti.

2) Baligau, menjalankan fungsi penegakan sistem hukum adat mendampingi Magau dan bersama-sama berada di dalam Baruga, dengan demikian legitimasi kekuasaan dan kebesarannyapun juga adalah Luna Pelanti.

3) Jogugu, menjalankan fungsi sebagai pemersatu dan Penghubung antara dua buah fungsi besar yaitu amanat aspirasi masyarakat yang dihasilkan melalui Libuntina dan implikasi pelaksanaan dan penjabaran sistem kekuasaan pemerintahan adat.

4) Galara, menjalankan fungsi untuk menghimpun semua aspirasi masyarakat melalui permusyawatan atau Libu yang diikuti oleh para Ntina sehingga disebut sebagai Libuntina yang mewakili setiap komunitas masyarakat dari suatu wilayah tertentu. Tempat penyelenggaraan Libuntina tersebut di Bakuku yang dalam bahasa kaili diartikan sebagai “Bekal” dan dimaknai sebagai penyambung aspirasi komunitas yang diwakilinya. Pembagian wilayah Payu Pelanti berdasarkan dialek kaili, menempatkan ke Galara-an Pujananti secara khusus memiliki tiga buah payung kebesaran yaitu, Payu Pujananti, Payu Parampata dan Payu Pemantoa. Hal ini terjadi karena mengingat Libuntina merupakan proses perumusan keputusan-keputusan ada (adat) yang menampung hajat hidup masyarakat banyak atau Todea yang diwakili oleh para Ntina.

5) Pabisara, yang menjalankan fungsi keprotokoleran adat terutama pada saat Libu Mbaso atau Musyawarah Besar yang dihadiri oleh para Ntina untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dengan fungsi penyelenggaraan pemerintahan adat. Dengan demikian fungsi Pabisara yang mengatur tatalaku dan tatalaksana dari kedua fungsi besar yang dijelaskan diatas. Legitimasi fungsi dan kewenangan Pabisara ditunjukan dengan adanya dua buah payung kebesaran di wilayah keadatannya yaitu, Payu Tatanga-Pulu dan Payu Sidiru- Sibalaya.

6) Kapita, menjalankan fungsi Penasehat Adat atau semacam Lembaga Pertimbangan sebelum sebuah amar keputusan pemerintahan adat diturunkan. Jogugu dan Kapita bersama-sama dengan Baligau yang juga memiliki legitimasi kekuasaan dan kebesaran Luna Pelanti.

7) Punggava, menjalankan fungsi mengatur dan mengendalikan hajat dan kebutuhan hidup masyarakat diantaranya seperti kepentingan pertanian, pengairan, tataguna lahan sampai pada perdagangan. Dalam menjalankan fungsi kewenangannya Punggava melaksanakannya di Bantaya. Adapun legitimasi kekuasaan dan kebesarannya terdapat di Payu Pinembani-Dombu.

Penempatan kerajaan Sigi (Bora) sebagai pelaksana fungsi Magau dalam sistem pemerintahan Lembaga Musyawarah Dewan Adat kota Pitunggota berdasarkan hasil musyawarah tujuh wilayah keadatan Kaili Mbaso yang memandang bahwa kerajaan Sigi (Bora)memiliki hubungan kekerabatan yang luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya melalui ikatan perkawinan. Selain itu kerajaan Sigi (Bora) juga merupakan kerajaan yang lebih dahulu memiliki sistem pemerintahan adat.

Dengan menerapkan prinsip kolektif kolegial (pitunggota) pelaksanaan sistem pemerintahan adat juga dilengkapi dengan pranata sosial yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan pengorganisasian masyarakat seperti: Langganunu, Tadulako, Madika, dan Ntina. Penerapan sistem kewenangan pemerintahan adat ini melewati periodisasi waktu yang panjang dan lama. Dalam tahap perkembanganya Lembaga Musyawarah Dewan Adat Kota Pitunggota yang bermula dari tujuh wilayah keadatan yang ada dengan pranata masing-masing pada tahap selanjutnya berkembang lagi karena meluasnya wilayah kerajaan pada masing-masing wilayah yang berhimpun dalam wilayah keadatan ini. Pada masing-masing kerajaan tersebut kemudian membentuk sistem pemerintahan yang terbagi kedalam beberapa lembaga adat dengan wilayah keadatanya masing-masing antara lain :

a. Pemerintahan Pitunggota Banawa yang terdiri dari :

1) Lero

2) Bale

3) Pujananti Tintilo (ganti)

4) Sampulu (tavale)

5) Ngarapea (kola-kola)

6) Kainggaru (loli)

7) Pantoloan

b. Pemerintahan Patanggota Palu yang terdiri dari :

1) Ngata kabonena,

2) Ngata besusu,

3) Kalavata (sekarang Pengavu)

4) Siranindi (sekarang Kamonji)

c. Pemerintahan Patanggota Parigi yang terdiri dari :

1) Parigi Mpu’u

2) Masigi

3) Toboli

4) Dolago

d. Pemerintahan Pitunggota Sigi (Bora)yang terdiri dari :

1) Baloni

2) Bolantina (korangata sekarang bora)

3) Sibula (sekitar Mapane-bora)

4) Nunu Mbailo (korobado, sekitar Ranoromba-sigimpu’u)

5) Ranontiko (sekarang vatunonju)

6) Karere (sekarang bunga-palolo)

7) Vololau (sekarang Oloboju)

e. Pemerintahan Pitunggota Dolo yang terdiri dari :

1) Dolo kota rindau

2) Dolo kota pulu

3) Kaleke

4) Pesaku

5) Pulu

6) Baluase

7) Bangga

f. Pemerintahan Patanggota Tavaeli yang terdiri dari :

1) Nupabomba

2) Lambara

3) Mpanau

4) Baiya

Pembentukan struktur pemerintahan tersebut dengan kewenangan adat yang ada, terbangun melalui sebuah proses saling pengaruh akibat penaklukan antar sesama kerajaan lokal, sekaligus karena telah meluas dan berkembangnya wilayah pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal yang tergabung dalam wilayah keadatan yang ada dimana eksistensi sistem pemerintaha adat yang telah ada sebelumnya tidak mengalami perubahan yang mendasar.

 

Boyaoge, 3 September 2019

Pemerhati Budaya Kaili

N I S B A H

Revitalisasi Budaya Kaili Sintuvu Posarara.

 

Sintuvu Posarara.

 

Salah satu konsep penting tentang hubungan masyarakat di tanah Kaili adalah konsep "Sintuvu Posarara" yang mengatur hubungan antara sesama manusia khususnya hubungan kekeluargaan dalam satuan kekerabatan termasuk kekerabatan "santina" (klen). Konsep ini menjelaskan esensi hidup yang baik harus didasarkan pada rasa persaudaraan. Di dalam konsep ini terkandung pengertian bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam kehidupan harus berorientasi pada kebaikan dan didasarkan atas kerjasama dan tolong menolong yang didorong oleh rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan persekutuan hidup dalam satuan keluarga, kerabat dan juga masyarakat luas yang diikat oleh nilai hidup yang berkembang dalam masyarakat.

 

"Sintuvu Posarara" sebagai konsep hubungan antara manusia merupakan karakteristik masyarakat Kaili yang berfungsi sebagai perekat dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep ini juga menegaskan tentang sikap masyarakat Kaili yang selalu terbuka dan menerima keberadaan masyarakat lainya dengan tidak membedakan baik ideologi, sub etnis, dan agama.

 

Nilai-nilai dari konsep "Sintuvu Posarara" diketengahkan secara arif untuk dijadikan sebagai semboyan dinamis dalam menata kehidupan bermasyarakat. Konsep terpelihara dalam kehidupan masyarakat karena nilai kesatuan yang dikandungnya merupakan semangat yang tetap tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

 

Ikatan hubungan perkawinan antar keluarga dalam satuan kekerabatan menjadi penegasan akan adanya konep "Sintuvu Posarara". Adat "Nosibolai"atau "Nibolai"pada golongan Madika yang menjalin hubungan pada golongan "madika" (bangsawan) dan melalui prrkawinan dengan adat "Neduta" pada golongan "To Dea" (masyarakat biasa) memperlihatkan bahwa ikatan perkawinan diharapkan dapat mempererat hubungan persaudaraan dalam satuan kekerabatan khususnya pada beberapa satuan klen tertentu (santina). Perkawinan antar klen bertujuan untuk mempertahankan status sosial sekaligus menunjukkan bentuk keberhasilan konsolidasi antar satuan kekerabatan dalam klen dalam mempertegas status sosial pada masing-masing "Vati" (status) yang ada .

 

Dalam konsep "Sintuvu Posarara" juga ditanamkan suatu nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas antar sesama yaitu nilai gotong royong yang disebut dengan "Nolunu". Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama seperti pada upacara siklus hidup. Demikian halnya pada konsep "Nosiala pale" yang menegaskan kegotong royang dimana pemaknaannya bahkan mencapai pada relasi sosial pada semua aspek kehidupan.

 

Bagi masyarakat Kaili, menerima terhadap siapa saja yang berasal dari luar asalkan memiliki sikap dan prilaku yang baik menjadi sebuah keharusan, bahkan bagi penduduk pendatang dapat dianggap sebagai saudara maupun keluarga jika menampilkan perilaku baik. Demikian sebaliknya bagi penduduk pendatang diharapkan dapat beradaptasi dan harus mengangap orang Kaili sebagai saudara mereka sehingga rasa persatuan dan kebersamaan di dalam kehidupan bermasyarakat dapat terjalin dengan baik. Kenyataan sosial seperti ini dalam bahasa kaili biasa disebut dengan “ belo bo belo mosi dekei belo”.

 

Dalam konsep Sintuvu Posarara terdapat ungkapan :Nosarara Nosabatutu" yang merupakan sebuah adagium mengenai pandangan tentang kebersamaan hidup yang di dalamnya mengandung nilai-nilai persaudaraan, persatuan dan kesatuan, kebersamaan dan kekeluargaan, rasa senasib sepenanggungan, saling menghormati, menjaga kerahasiaan dan kehati-hatian untuk kepentingan bersama. Meskipun "Nosara Nosabatutu" hanyalah adagium dari rangkaian konsep kesatuan hidup yang dikontestualisasi pada kehidupan masyarakat kaili saat ini, namu adagium ini menjadi upaya menselaraskan kehidupan masysrakat, terdapat kandungan makna yang secara esensial menjelaskan kesatuan hidup masyarakat.

 

Pemaknaan ungkapan ^Nosarara Nosabatutu" kaitannya dengan konsep "Sintuvu Posarara" dapat dijelaskan sebagai berikut :

 

1.    Nilai Sintuvu (Kebersamaan) adalah semangat kebersamaan yang tumbuh pada setiap anggota masyarakat sejak dahulu, adanya kelompok-kelompok masyarakat yang hidup berdampingan dengan kelompok masyarakat lainya sehingga tercipta kebersamaan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah. Semangat kebersamaan akan melahirkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat.

 

2.    Nilai Posarara (persaudaraan) adalah nilai yang tertanam pada setiap orang bahwa seluruh masyarakat harus merasa satu keluarga besar yang bersaudara sekandung olehnya harus hidup saling mencintai, memperhatikan dan menghargai diantara sesamanya. Kehidupan bersaudara yang terbentuk akan mendorong dengan sendirinya rasa kebersamaan dan persaudaraan.

 

3.    Nilai Sangulara/sangurara (Persatuan Dan Kesatuan) yang memberi arti bahwa persatuan dan kesatuam merupakan kekuatan yang diperlukan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, untuk mewujudkan hal itu perlu menyatukan pikiran dan pandangan terhadap sesuatu yang menjadi keinginan masyarakat sehingga tidak ada hambatan dalam melaksanaan pembangunan.

 

4.    Nilai "Simpotove" (saling menyayangi) merupakan suasana dimana masyarakat dapat hidup saling mencintai, saling memperhatikan, saling mendukung, saling menghargai dan akhirnya saling memperkuat dalam kehidupan yang tentram dan damai.

 

Konsep "Sintuvu Posarara" memiliki makna yang sangat dalam bagi kehidupan bermasyarakat Kaili. Realitas kehidupan masyarakat Kaili memiliki etika serta prinsip untuk saling menghargai, menghormati dan saling menjaga milik bersama. Prinsip ini menekankan bahwa penyatuan jiwa solidaritas dapat terjadi secara normal yang diawali dengan sikap saling menghormati dan menghargai.

 

Masyarakat Kaili selalu berupaya mewujudkan apa yang menjadi makna dari "Sintuvu Posarara", karena konsep ini telah menjadi bagian dari kehidupan turun-temurun dan telah dilakukan oleh para pendahulu-pendahulu sebelumnya. Dalam implentasinya konsep ini tampak jelas diaktualisasikan dalam anggota satuan kekerabatan "santina" (klen) dominan dalam kehidupan masyarakat.

 

Boyaoge, 24 Oktober 2019,

Nisbah

Pemerhati Budaya Kaili

Revitalisasi Budaya Kaili TADULAKO

 

TADULAKO

 

Secara harfiah kata "Tadulako" berarti pemimpin perang. "Tadulako" adalah personifikasi figur, tokoh, subyek yang memiliki semangat, keberanian, kekuatan, yang terpancar dari kharisma dan kewibawaan. Pada beberapa kagaua (kerajaan) di tanah kaili keberadaan figur "Tadulako" dalam struktur "Libu Nu Madika" niscaya selalu ada dan bertindak sebagai menteri pertahanan dan keamanan.

 

Sosok "Tadulako" harus memiliki keberanian sebagai sifat utama, keberanian merupakan sifat dan perilaku yang dibentuk berdasarkan faktor genealogis dalam satuan kekerabatannya. Dengan tampilan maskulinitas positif, "Tadulako" bahkan mewarisi nilai kepemimpinan dari "Tomalanggai" sebagai "tobaraka" dan merupakan cikal bakal pemimpin pada suku Kaili.

 

"Tadulako" memiliki kewenangan yang harus di jalankan untuk menjaga keamanan kerajaan (negeri), jika terjadi peperangan atau pemberontakan terhadap otoritas "kagaua". Tadulakolah yang pertama kali maju kedepan arena pertempuran sebagai pemimpin Prajurit/Pasukan.

 

Secara fungsional dalam struktur kelembagaan "Libu Nu Madika" Tadulakolah yang memiliki dan menjalani prosesi tersendiri dalam menjalankan tugasnya dibandingkan anggota "Libu Mu Madika" lainnya, jika terjadi peperangaan, atas perintah "Magau", Tadulako mengumpulkan pasukannya diawali dengan "tinti gabara ribaruga" ( gendang yang dibunyikan di baruga dengan irama tertentu) sebagai tanda bahwa persiapan perang segera dimulai, prosesi ini sekaligus sebagai pengumuman dan isyarat kepada "To dea" (masyarakat) agar waspada dan mengikhlaskan para prajurit untuk pergi berjuang di medan perang. Dengan dipimpin "Tadulako", para pasukan lalu berkumpul di "Bantaya" (rumah adat tempat bermusyawarah) dengan mempersiapkan alat kelengkapan perang berupa "Sinjulo" (pakaian perang dari kulit kayu berwarna hitam), "Songko Vaja" (berbahan kayu) yang dikebatkan sepasang tanduk kerbau khusus dikenakan Tadulako), "Tokotampi" (tombak yang menggunakan ekor kuda diujung tangkainya), "Kaliavo" (perisai), "Guma" (keliwang) yang sarung pembungkusnya digantungi "Banggula" yaitu giring-giring terbuat dari kuningan sehingga suara yang ditampilkan pasukan terdengar gemerincing jika berjalan.

 

Setelah persiapan alat kelengkapan perang telah dilakukan dengan dibantu sepenuhnya oleh seluruh masyarakat, maka

Peperangan siap dihadapi, lalu para ahli perang diantaranya "Tadulako" dan sebagian "To Tua Nungata" melaksanakan "Nondolu" berupa nyanyian yang berisi sugesti mental kepada prajurit guna mempertinggi daya tempur, sekaligus menanamkan arti dan nilai kematian bagi prajurit dalam membela kagaua atau negeri. Saat "Tadulako" "Nerenggemo" (pekikan penyemangat) sudah di lontarkan maka pasukan bersama "Tadulako" telah bergerak menuju peperangan.

 

Dalam seluruh prosesi peperangan yang dilaksanakan, menempatkan Tadulako sebagai simbol kekuatan inti pembela negeri. Pemaknaan dalam simbolisasi Tadulako menegaskan eksistensi pemimpin perang yang siap dan rela mati membela tanah air.

Tadulako, Sebelum Turun Berperang, akan melakukan gerakan "Notampadu Tana Pade Nolako" ( menghentakan kaki yang bertumpu pada tumit ke Tanah sebagai simbol injakan ke bumi sebelum Melangkah dan sebagai simbol pamit Pada Bumi untuk menuju tujuan, makna filosofinya bahwa Bumi tempat bepijak Dan satu tujuan Hidup Adalah Mati, Maka ketika Mati seorang Tadulako berada dalam Perjuangan Di jalan kebenaran.

Dengan semangat dan jiwa pengorbanan "Tadulako" mempertaruhkan jiwa untuk siap melindungi "Kagaua" dan seluruh negeri, penanda semangat dan keberanian "Tadulako" tergambar jelas pada semboyan "Malei Raa Mabubu, Ma Puti Buku Ra Timbe, Kana Kupomate Ngataku" ( Merah darah ditumpahkan, putih tulang di potong, siap mati untuk untuk negeriku).

 

 

Boyaoge, 18 Oktober 2019,

N I S B A H

Pemerhati Budaya Kaili

Penguatan Budaya Kaili TOMALANGGAI

 

TOMALANGGAI

 

"Tomalanggai" adalah sebuah diksi yang mengurai prinsip kepemimpinan pada masyarakat kaili, Diksi ini merupakan penggalan kata "toma" yang berarti "bapak atau ayah" dan "langgai" yang berarti laki-laki sehingga secara harfiah "Tomalanggai" berarti bapak laki-laki.

 

"Tomalanggai" adalah ciri peran patriarkat yang menjadi acuan sikap dan perilaku yang menandai tampilan seorang pemimpin pada masyarakat Kaili.

Secara psikologis, "Tomalanggai" menggambarkan kualitas personal pada sikap dan perilaku yang menampilkan semangat, keberanian, kekuatan, yang terpancar dari kharisma dan kewibawaan berdasarkan ciri maskulinitas yang kuat.

Bagi To Kaili, terdapat keyakinan bahwa jika seorang yang memegang kekuasaan tertinggi atau menjadi pemimpin masyarakat harus menampilkan semangat, keberanian, kekuatan, yang terpancar dari kharisma, sehingga segala masalah yang terkait kepentingan masyarakat dapat digantungkan kepadanya.

 

Dalam mitologi To Kaili, "Tomalanggai" awalnya merupakan penyebutan atau gelar yang di sematkan pada seorang pemimpin suku dalam satuan kehidupan kelompok teritori kekerabatan yang memiliki keberanian dalam mengalahkan orang atau kelompok lain. Dengan keberanian dan kekuatan yang dimiliki maka seluruh pengikut atau masyarakat tunduk dan taat kepadanya . Kemampuan dalam mengalahkan kelompok lain juga membentuk sikap kediktatoran dalam pelaksanaan kepemimpinan, namun dengan terjadinya perkawinan "Tomalanggai" dengan "Tomanuru" mempengaruhi terhadap perubahan perilaku maupun sikap "Tomalanggai" yang semula diktator berubah menjadi bijaksana. "Tomanuru" yang diyakini sebagai penjelmaan seorang dewi yang keluar dari "Bolo Vatu Mbulava" (bambu kuning emas) ditakdirkan menjadi isteri "Tomalanggai" diyakini memberi pengaruh dalam perubahan sikap dan karakter "tomalanggai" seiring bertambah pula kemampuan ilmu adi daya dan kesaktian yang dimiliki sehingga "Tomalanggai"di gelari "Tobaraka" ( Pemimpin yang disegani dan sakti).

 

Secara genealogis Keberanian dan kesaktian "Tomalanggai" kemudian menurun pada generasi penerusnya yang menjadi pemimpin dan berkuasa di tanah Kaili. Pelanjut Kepemimpinan "tomalanggai" bahkan ada yang bergelar "Tobaraka" yang diyakini mewarisi sifat-sifat Tomalanggai dengan sifat bijaksana, pemberani dan sakti.

Sifat-sifat ini menjadi dasar dan karakter kepemimpinan dalam membentuk Kehidupan masyarakat sehingga keadaan rakyat semakin mengalami kemajuan. Besarnya kepercayaan dan pengaruh kepemimpinan tersebut didalam kehidupan masyarakat membuat "Tomalanggai" memiliki pengaruh luas di masyarakat.

 

Pengangkatan seorang pemimpin masyarakat harus berada dalam kerangka untuk melindungi dan mengayomi semua anggota kelompoknya. Prinsip kepemimipinan "Tomalanggai" inilah yang secara turun temurun menjadi prinsip kepemimpinan dalam masyarakat kaili. Demikian juga keberadaan "Tadulako" yang dikenal sebagai panglima perang dalam dalam sistem pemerintahan adat dianggap mewarisi prinsip kepemimpinan "Tomalanggai"dalam menjalankan perannya.

 

Prinsip kepemimpinan "Tomalanggai" bagi masyarakat Kaili diyakini terdapat pada setiap diri calon pemimpin masyarakat yang dikodratkan menjadi pemimpin seperti halnya "Tadulako". Sifat berani dan berwibawa menjadi syarat utama yang harus dimiliki seseorang yang ditetapkan sebagai pemimpin masyarakat di tanah Kaili. Pemimpin masyarakat dengan jiwa keperkasaan idealnya mampu mengadopsi prinsip kepemimpinan "Tomalanggai" yang harus memiliki keberanian, kewibawaan, kesatria bahkan kesaktian. Dengan demikian perilaku "Tomalanggai" adalah prinsip yang ditanamkan dan harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin.

 

Seorang pemimpin dalam masyarakat yang memiliki prinsip kepemimpinan "tomalanggai" dipastikan dapat menerapkan nasehat atau petuah ketika menjalankan kepemimpinannya. Nasehat atau petuah dari para "To Tua Nungata" adalah penjabaran prinsip kepemimpinan dari perilaku "Tomalanggai" yang senantiasa harus ditampilkan seorang pemimpin dalam masyarakat terutama dalam menjaga mata, telinga, mulut, hati, dan otak. Pemaknaan prinsip kepemimpinan tersebut tersirat pada nasehat bagi seorang calon pemimpin yaitu:

1. "Pakanoto Mata Mangantoaka", artinya seorang pemimpin harus membaca keadaan dengan penglihatan mata kepala, mana yang tidak baik, mana yang baik dan mana yang lebih baik yang akan dilaksanakan untuk perbaikan kehidupan masyarakat serta sebagai bahan untuk membuat aturan.

2. "Pakanasa Talinga Mangepe", artinya segala sesuatu yang didengar oleh telinga, harus dicermati dengan jelas dan nyata, apakah suatu berita yang didengar benar adanya atau tidak, harus dicari tahu kejelasannya agar tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain serta bisa menimbulkan konflik, karena tidak ada kepastian dan kebenaran yang didengar.

3. "Pakabelo Sumba Mojarita", artinya berkata sejujur-jujurnya, tidak boleh menyinggung perasaan orang lain, berbohong, menghina, menghujat, memfitnah. Berkata jujur dan menjaga perkataan yang baik akan dapat menciptakan persatuan dan kesatuan demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan didalam masyarakat.

 

Prinsip yang didasari keberanian dan kewibawaan menjadi syarat penentu bagi seorang pemimpin di masyarakat. Dalam setiap proses pergantian kepemimpinan baik di organisasi kemasyarakatan, lembaga politik, eksekutif maupun legislatif selalu di tandai dengan masuknya calon-calon pemimpin yang di nilai layak karena kualitas personal harus dapat mewarisi prinsip kepemimpinan "Tomalanggai". Pemahaman yang tertanam kuat tentang prinsip kepemimpinan "Tomalanggai" pada masyarakat Kaili, menjadi kriteria tersendiri yang harus dimiliki seorang pemimpin, karena persepsi masyarakat dalam menilai kriteria pemimpin masyarakat dapat menjadi bagian dari pembentukan pemahaman nilai-nilai kepemimpinan yang terinternalisasi seiring dengan perubahan zaman.

Semoga....

 

Boyaoge, 2 oktober 2019,

NISBAH

Pemerhati Budaya Kaili

Revitalisasi Budaya Kaili BULONGGO.

 

BULONGGO.

 

Secara etimologi kata "Bulonggo" dalam bahasa Kaili berarti "tulang punggung". Analogi kata "bulonggo" sebagai "tulang punggung" lahir dari falsafah yang memandang bahwa kehidupan ini dimisalkan sebagai sistem kesatuan tubuh, maka tubuh pasti terdiri dari bagian-bagian tertentu yang satu sama lain saling menunjang. "Tulang punggung" yang merupakan salah satu bagian penting dari komposisi tubuh memiliki fungsi tersendiri yakni sebagai penyangga keseimbangan tubuh agar tetap seimbang, lurus dan tegak serta dapat berfungsi sesuai kegunaannya. Fungsi tulang punggung bagi tubuh bahkan sangat vital, karena tanpa adanya tulang punggung manusia tidak dapat berjalan dan melakukan gerakan motorik lainnya.

 

Dari falsafah tentang "Tulang punggung" inilah masyarakat Kaili mendefenisikan "bulonggo" sebagai sebuah pranata mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam kehidupan keluarga, demikian juga peran pemimpin dalam kehidupan masyarakat.

Sebagai sebuah pranata mengenai peran perempuan, "Bulonggo" memberi makna akan kedudukan perempuan sebagai pusat dan inti kehidupan. Pandangan ini terlihat jelas dalam sistem uxorilokal dan residensi matrilineal pada masyarakat Kaili. Kedudukan perempuan menjadi penunjang dan penyangga dalam mempertahankan kelangsungan kehidupan keluarga sebagai kesatuan sistem. Pranata "bulonggo" selanjutnya menjadi dasar dalam proses pembentukan peran perempuan dalam sistem sosial khususnya dalam kepemilikan dan pengaturan harta dan warisan keluarga.

 

Dalam struktur kehidupan keluarga yang berhak menjadi "bulonggo" adalah anak perempuan pertama meskipun ia bukan anak tertua. Sebagai contoh dalam sebuah keluarga memiliki lima orang anak yang terdiri dari tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak Perempuan, maka anak perempuan pertamalah yang menjadi "bulonggo" sungguhpun usianya lebih muda.

 

Sementara bagi anak laki-laki khususnya yang masih lajang berkewajiban untuk senantiasa menambah jumlah harta atau warisan yang ada melalui penghasilannya.

Demikian halnya dalam pelaksanaan sistem "notava" (sistem pemanfaatan secara bergilir sumber-sumber ekonomi berbentuk " mbara-mbara nimana" ) dimana pengelolaannya berada pada "bulonggo" untuk mengatur tata urutan pemanfaatannya.

 

Sebagai tanda satuan kekerabatan dalam "koyo puse" (keluarga batih) tetap terjalin dalam ikatan persaudaran maka setiap anggotanya harus mengenal dan terikat pada "bulonggo"-nya sebagai pusat lingkar kerabatnya terutama jika menjalankan fungsi keadatan dalam kerabat luas (sarara) atau dalam melaksanakan upacara daur hidup. Posisi "bulonggo" menjadi sangat penting karena peran "bulonggo" sebagai wadah pemersatu secara eksplisit mengejawantah pada fungsi perempuan sebagai subyek "tina nu mbara-mabara" sekaligus sebagai pusat jalinan kekerabatan seperti tersirat dari adagium to kaili "Ni linggu Mpotoboyo" bahwa kesatuan "sarara" harus tetap saling mengenal dan berkumpul.

 

Pranata Bulonggo juga menegaskan tentang peran dan fungsi pemimpin dalam kehidupan masyarakat. Ketika wilayah keadatan masih berada dalam sistem "Pitunggota dan Patanggota Ngata Kaili", Para "Totua Nu Ngata" yang berada pada tiap-tiap "soki" merupakan personifikasi "Bulonggo Nu Ada", dengan peran dan fungsi menjaga, memelihara dan mengelola tradisi dan adat istiadat yang masih di pedomani.

Eksistensi pemimpin dalam kehidupan masyarakat pada kesatuan adat tanah kaili menempatkan pemimpin berada pada satuan kekerabatan yang menjalankan fungsi sosial.

Kekuatan adat menjadi simpul yang mengikat kesatuan hidup masyarakat dimana peran "Bulonggo Nu Ada" menjadi penting untuk mengatur dan mengendalikan siklus kehidupan yang bertumpu pada nilai-nilai hidup yang berkembang di masyarakat.

 

Para pemimpin selain menjalankan fungsi eksekutif dan legilslatif kiranya mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan nilai-nilai adat sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan masyarakat. Nilai-nilai adat masih adaptif sebagai pengendali alternatif selain hukum positif. Peran pemimpin dalam menjalanksn fungsinya sekaligus sebagai "Bulonggo Nu Ada" dapat menjadi penyangga kehidupan masyarakat. Symbiosis peran formal dan informal yang dijalankan pemimpin tentunya akan menjadi kekuatan dalam mengatur kehidupan masyarakat sehingga rasa terlindungi dan terayomi dapat dirasakan sebagai cara untuk mengatasi dan mengisi ruang kosong yang dirasakan masyarakat sejauh ini.

Insya Allah....

 

Boyaoge, 11 Oktober 2019,

N I S B A H

Pemerhati Budaya Kaili

Penguatan Budaya Kaili, Hukum Adat Kaili, Adat Kaili

 


Hukum Adat Kaili

 

       Hukum adat adalah norma-norma yang hidup yang disertai dengan sanksi dan jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan, agar ditaati dan dihormati oleh para warga masyarakat (Holleman).

       Pada masyarakat Kaili, penerapan hukum adat berkonsekwensi atas adanya sanksi adat yang diberikan kepada "terhukum"karena adanya pelanggaran norma atas nilai hidup masyarakat, sanksi adat dimaksudkan untuk membuat terhukum memiliki rasa bersalah sehingga dapat bertobat dan merubah perilakunya (Nivatiaka). Sanksi adat berupa "Givu" adalah denda adat berkatwhiei berat dan "Sompo" denda adat berkategori ringan. Pemberian sanksi adat bermakna sebagai "hukuman setimpal" dalam bentuknya dapat berupa "hukuman mati", pengasingan dari masyarakat, tebusan nyawa berwujud kematian yang terjadi melalui proses menukar nyawa manusia (terhukum) dengan mengorbankan kerbau dan kambing dimana tetes darah dua jenis binatang ini diyakini memiliki nilai yang dapat mengembalikan kehormatan atau harga diri seseorang ataupun mengembalikan harkat, martabat dan wibawa "kesatuan komunitas atau suku dalam kehidupan masyarakat. Pemberian sanksi adat lazim disertai dengan "NOPANAA" yaitu komitmen untuk melaksanakan perjanjian terakhir jika denda adat tidak dilaksanakan.

Pada masyarakat Kaili di kenal beberapa jenis hukuman adat yaitu :

1. NAKAPALI,

Dalam hukum adat, hal-hal yang terlarang disebut dengan "NAKAPALI" baik berupa kejahatan atau pelanggaran terkecuali kekhilafan. NAKAPALI berasal dari kata "Naka" berarti "nakajadi" (menjadi) dan "Rapali" berarti proses pengasingan atau diasingkan jadi Nakapali berarti seseorang (terhukum) yang diasingkan atau disingkirkan. Bahkan jika pelanggaran menjadi sangat berat hukuman pantangan yang di berikan dalam bentuk "pengasingan" yang bersifat seumur hidup yang bertujuan agar "terhukum" merasakan "tidak memiliki arti hidup lagi"

Kesalahan atau tindakan yang berkonsekwensi hukum dalam Nakapali biasanya pelanggaran norma yang dipicu oleh perilaku amoral yg disebut "Nasala Vati" (disorientasi perilaku karena kesalahan pendidikan keluarga).

2. SALAKANA,

Adalah Pelanggaran norma masyarakat yang berkategori "vaya mbaso" (malu besar) dalam bentuk tindak perzinahan (baik atas dasar suka sama suka maupun tidak) hubungan non marital atau incest taboo. Pada mayarakat kaili "vaya mbaso" dikategorikan sebagai perbuatan jahat yang dapat merendahkan derajat manusia pada tingkatan serendah-rendahnya dan bahkan dapat merusak dan menghancurkan hubungan kesatun komunitas serta dapat menimbulkan malapetaka bagi kehidupan sehingga sanksi yang diberikan harus berbentuk "givu mbaso" berupa hukuman mati " atau "paka putu tambolo" dan "ralabu" atau "nilabu" yang berarti dibuang kelaut. Malapetaka diyakini tidak akan terjadi jika terhukum dipisahkan secara fisik dengan ruang tempat tinggalnya. Pemberian sanksi "givu mbaso" dianggap dapat memberi efek jera dan memberi ketentraman hidup masyarakat.

Pelaksanaan sanksi hukum dalam Salakana adalah hukuman mati berjangka dimana berlaku ketentuan dapat mengganti nilai givu mbaso dengan sejumlah harta (subsider), disertai sanksi adat "Nopanaa" dengan kewajiban membayar givu oleh perempuan berupa :

1). Santina bengga besi sambei

ntambolo (seekor kerbau betina

pengganti leher)

2) Sanggayu Gandisi Raposompu

( satu kayu kain putih untuk

kafan

3) Samata Guma Posambale

( sebilah kelewang penyembelih)

4) Santonga Dula Potande Balengga

(sebuah dulang untuk tempat

kepala)

5) Santonga Tubu Putih Posonggo

Raa ( sebuah mangkok basi putih

untuk tempat darah

6) Doi sudaka (uang sedekah)

Sementara bagi laki-laki membayar givu berupa :

1) Sampomawa Bengga sambei

Tambolo (seekor kerbau jantan

pengganti leher)

2) Santonga Dula Potande Balengga

(sebuah dulang untuk tempat

kepala)

3) Santonga Tubu Putih Posonggo

Raa ( sebuah mangkok basi putih

untuk tempat darah

4) Doi sudaka (uang sedekah)

            Apabila denda adat tidak dibayar pada waktunya sesuai ketentuan peradilan adat maka keselamatan jiwa terhukum tetap terancam dimana peradilan adat tidak dapat menjamin jika terjadi tindak balas dendam.namun jika seluruh sanksi adat telah dilaksanakan dengan membayar denda maka ketua peradilan adat dapat mendamaikan pihak-pihak yang terkait dengan pelanggaran adat.

Pelanggaran adat ringan "Mosompo" pada salakana juga dimungkinkan dilakukan jika pelanggaran adat di lakukan dengan sengaja terhadap perempuan sementara perempuan tidak menghendakinya. "Novaya Nebaga Mombine" yaitu

        Penyerangan secara kasar dengan maksud melecehkan atau merendahkan derajat perempuan yang dilakukan dirumah atau dijalanan, Novaya Nosimpalaisaka ( kawin lari), Novaya Neduku ( perempuan dengan sengaja mendatangi rumah laki-laki untuk minta dikawini) adalah pelanggaran adat yang di kenai sanksi "Mosompo/Nisompo".

Pada pelanggaran adat salakana ringan yang berkonsekwensi pada "Mosompo" dengan kejahatan berupa "salakana-novaya nobaga mombine" sanksi adat yang dikenakan berupa :

1) Ruamba Tovau ( dua ekor

kambing)

2) Samata guma ( sebilah kelewang)

3) Sapulu Ntonga Pingga( sepuluh

buah piring)

3. SALABABA atau SALAMPALE

Pelanggaran adat karena perbuatan yang bertentangan dengan kesopanan dan kehormatan orang lain karena didasari rasa jahil dan nakal seta bermaksud menggoda dengan sengaja terutama jika dilakukan terhadap perempuan.

"Salababa" merupakan pelanggaran adat yang bermakna adanya gangguan pada perempuan "Nompejomu" yaitu kebiasaan perempuan menggunakan "Buya Salele" atau "buya pobaba" berupa kain sarung yang digunakan menutup atau membungkus badan perempuan ketika keluar rumah, jika sarung di sentuh oleh laki-laki telah terjadi pelanggaran adat yang berkonsekwensi pada sanksi adat berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri   dari :

1) Sambaa Bengga ( seekor kerbau)

2) Limantonga Pingga (lima buah

piring)

Denda adat dibayarkan pada perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat "Nopanaa".

4. SALAMBIVI

Pelanggaran adat "Novaya Salambivi" terjadi karena seseorang secara sengaja menyampaikan dan mengeluarkan ucapan tidak senonoh atau tidak wajar sehingga menimbulkan keonaran, kegusaran bahkan kemàrahan orang lain karena tersinggung kehormatannya, terhina dan merasa diejek sehingga ada sikap keberatan. Kata-kata yang diucapkan dapat menyinggung harga diri, aib, bergurau di depan umum melebihi batas kewajaran, mempermalukan dengan memaki atau mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan serta menyebarkan berita bohong yang dapat mencermakan nama baik seseorang.

Konsekwensi atas sanksi adat berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri dari :

1) sampomava Tovau Besi ( seekor

kambing jantan)

2) Limantonga Pingga (lima buah

piring)

Denda adat dibayarkan pada perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat "Nopanaa".

5. SALABALAKI

Pelanggaran adat "Novaya Salabalaki" merupakan perbuatan seseorang secara sengaja melampaui batas kesopanan sehingga menyinggung kehormatan dan dianggap bertentangan dengan kebiasaan baik yang berlaku misalnya dengan sengaja "Netatopo atau Netadilo Mombine Nandiu" (mengintip perempuan mandi), Nanteke Ntengiri ( batuk kecil sambil ketawa mengejek), Netevelusi (meludah jijik ketika seseorang lewat).

Konsekwensi atas sanksi adat berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri dari :

1) Sabala Gandisi ( empat yard kain

putih)

2) Taluntonga Pingga (lima buah

piring)

Denda adat dibayarkan pada perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat "Nopanaa".

Ketentuan tentang hukum adat pada masyarakat kaili sesungguhnya bertujuan pada keamanan dan ketentraman hidup agar terbentuk sikap saling menghargai dan menghormati.

 

Boyaoge, 9 september 2019

Pemerhati Budaya Kaili

N I S B A H

Penguatan Budaya Kaili Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.

 

Penguatan Budaya Kaili Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.

Penguatan Budaya Kaili

Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.

 

       Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial adalah tempat atau kedudukan dalam hirarki tatanan masyarakat (Manheim, 1996). Stratifikasi atau pelapisan sosial menunjukkan adanya perbedaan kedudukan atau status individu dalam masyarakat yang didasarkan pada kelas-kelas sosial yang bertingkat dengan wujud lapisan tinggi, sedang, dan rendah.

Stratifikasi sosial pada masyarakat Kaili didasarkan pada kriteria yang ditentukan oleh keturunan, keaslian, dan kekuasaan adat yang dimiliki. Secara umum zaman dahulu hingga kini pada masyarakat Kaili ditemukan empat tingkatan stratifikasi/pelapisan sosial yaitu :

1. Magau (Raja)

2. Maradika (madika) atau to

tua nungata (Bangsawan).

3. Rakyat kebanyakan (to dea)

4. Budak (batua)

        Status dan kedudukan seseorang pada masyarakat Kaili disebut dengan Vati. Vati terkait dengan tingkatan adat yang melekat dan dimiliki seseorang dan diyakini dapat mempengaruhi pembentukan watak dan perilaku yang ditampilkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Setiap orang diharuskan untuk memelihara Vati yang dimiliki agar terhindar dari perilaku menyimpang, karena jika terjadi penyimpangan perilaku yang disebut dengan Nasalavati, maka dapat terjadi malapetaka. Tingkatan Vati yang melekat pada lapisan sosial terbagi atas :

1.Vati Nu Madika (berlaku bagi golongan Magau dan keturunannya)

2.Vati Nu Oge (berlaku pada golongan Madika dan To Tua Nungata keluarganya)

3.Vati Nto Dea (berlaku bagi To Dea).

           Magau (Raja) berdasarkan keturunannya diyakini adalah turunan dari to manuru. To Manuru yang berarti perempuan yang menjelma secara tiba-tiba. Masyarakat Kaili mempercayai bahwa raja secara turun temurun merupakan keturunan langsung dari dewa. Bangsawan adalah kelompok masyarakat penduduk asli yang mempunyai kedudukan sosial lebih tinggi dari rakyat kebanyakan dan berdasarkan silsilahnya masih keturunan Magau (Raja) atau bahkan memiliki ikatan/hubungan kekerabatan dengan Magau (raja).

Rakyat kebanyakan adalah golongan penduduk biasa yang tidak mempunyai pertalian darah dengan kelompok bangsawan atau bukan keturunan raja. Saat ini golongan pendatang yang bukan suku Kaili dikategorikan dalam lapisan masyarakat kebanyakan. Adapun budak merupakan kelompok masyarakat masyarakat lapisan bawah, mereka merupakan kelompok masyarakat yang berfungsi melayani kebutuhan dan keperluan hidup sehari-hari golongan bangsawan atau raja. Saat ini kelompok masyarakat budak tidak tampak secara nyata dalam kehidupan masyarakat namun masih diakui bahwa lapisan masyarakat budak ini pernah ada.

            Pelapian sosial menciptakan perlakuan berbeda bagi setiap anggota masyarakat. Bagi golongan madika atau keturunannya akan memiliki kekhususan tersendiri yang berbeda dari lapisan masyarakat bawah. Madika atau Maradika adalah gelar atau sebutan bagi golongan yang memegang kekuasaan adat atau memiliki keturnan darah biru dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Magau. Bagi Madika yang tidak memiliki kekuasaan adat atau hanya merupakan keturunan darah biru disebut dengan Madika Kadi, sementara bagi Madika yang memiliki kekuasaan di sebut dengan Madika Mbaso. Pemberian nama seseorang yang berada pada golongan Madika juga berbeda golongan biasa. Umumnya nama-nama keturunan Madika menggunakan gelar khusus di awal namanya seperti “Andi”, “Dae”, dan “Intje”, sementara panggilan terhadap mereka sering disebut “Pua".

             Atribut yang dipergunakan pada lapisan Madika berupa rumah yang bentuknya lebih besar yaitu Sou Raja bagi Magau, Kataba dan Palava bagi golongan Madika dan To Dea. Jenis pakaian bagi Magau dan To Dea juga dibedakan dari ragam perhiasan corak dan warna pakaian yang dikenakan . Penggunaan simbol dengan instrumen ulo-ulo dalam upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian menunjukkan bahwa atribut,dan simbol pada golongan madika tidak sama dengan masyarakat biasa.

Rangkaian upacara kelahiran yang dilalui ketika menjelang proses kelahiran dimulai dengan upacara Nolengga yang dilakukan ketika kandungan genap berusia tujuh bulan kemudian setelah lahir dilakukan upacara Nokeso/Noloso dan Nosombebulua. Rangkaian upacara ini lazim dilaksanakan pada golongan Madika. Pada upacara perkawinan terdapat perbedaan antara golongan keturunan Magau dan Madika dengan rakyat biasa. Pakaian yang dikenakan adalah pakaian adat dengan corak dan kualitas kain yang baik. Biasanya pengantin pada lapisan ini akan menggunakan pakaian dan asesoris adat yang telah disimpan lama secara turun temurun yang terbuat dari emas murni.

           Pada masa pra Islam terdapat upacara pengobatan atau penyembuhan orang yang sakit dimana ada perbedaan antara upacara yang di berlakukan bagi Magau yang disebut Balia Maloso, sementara bagi masyarakat biasa berlaku Balia Bone Biasa. Perbedaan antara upcara kedua golongan ini ditandai pada kualitas dan kuantitas atribut yang digunakan.

Pada upacara kematian, perbedaan dengan golongan masyarakat biasa dengan golongan Madika (bangsawan) atau turunan Magau (raja) tampak pada peti jenazah yang di usung dalam keranda yang dihiasi dengan kain warna-warni (Tabere) dan ditandu dengan bambu kuning. Selain itu pada golongan ini prosesi pelaksanaan upacara kematian yang dilalui sangat banyak. Atribut golongan bangsawan (Madika) cirinya relatif sama dengan golongan Magau namun tidak boleh melampaui milik Magau, baik kualitas, jumlah, isi serta makna yang berbeda.

           Perkawinan pada golongan keturunan Magau dan Madika disebut dengan adat Nosibolai/Nibolai sementara bagi golongan Ntodea atau rakyat biasa disebut dengan Nosiduta. Upacara perkawinan pada masyarakat Kaili ditentukan pada nilai mahar adat yang disebut Sunda. Adapun penentuan nilai mahar adat didasarkan pada status dan kedudukan sosial atau Anggu Nu Vati (Abdullah, 1975).

           Nilai mahar baik kualitas, kauntitas dan jenisnya harus sesuai dengan status dan kedudukan serta keturunan seorang perempuan dalam lapisan tertentu. Dalam masyarakat ini dikenal ketentuan nilai mahar berdasarkan aturan adat yang berlaku yaitu :

1. Bagi raja dan keturunannya (Vati Nu Madika) berlaku adat pitumpole yang terdiri dari : tujuh ekor kerbau, tujuah buah emas berbentuk kepiting, tujuh lembar kain mbesa , tujuh buah dulang berkaki, tujuah buah piring adat, tujuh buah mangkuk sayur berwana putih, dan tujuh piring bermotif daun. 2. Bagi golongan bangsawan (Vati Nu Oge) berlaku adat Patampole atau Limampole yang terdiri dari : lima ekor kerbau, lima buah emas berbentuk kepiting, lima kain mbesa, liba buah dulang berkaki, dan lima buah piring besar.

3. Bagi golongan masyarakat biasa ( Vati Nto Dea) berlaku adat Sanjasio yang terdiri dari : satu ekor kerbau (tidak wajib), Sembilan kain mbesa, Sembilan buah piring besar, Sembilan mangkok sayur putih dan Sembilan dulang dapat ditambah dengan sebidang tanah dan kebun kelapa.

4. Bagi golongan budak (Vati Nu Batua) tidak diatur berdasarkan ketentuan adat.

Ketentuan mahar tersebut merupakan syarat yang wajib disertakan untuk melengkapi Sambulugana (kepala mahar adat). Sambulugana ini merupakan syarat pertama yang harus disiapkan ketika terjadi peminangan pada semua tingkatan masyarakat baik raja dan keturunannya, bangsawan maupun golongan biasa. Adapun Sambulugana terdiri dari :

1. Sebuah tempat sirih (Sambulu) dari emas lengkap dengan isinya berupa sirih, pinang, gambir, kapur sirih, tembakau, yang setiap jumlahnya disesuaikan dengan tingkatan strata sosialnya. 2. Seekor domba atau kambing sebagai kepala (Balengga nu sambulugana).

3. Sebentuk cincin emas sebagai inti (Unto Nu Sambulugana).

4. Seperangkat pakaian perempuan lengkap dengan perhiasannya.

5. Buah-buahan yang jenisnya disesuaikan dengan tingkatan stratanya.

           Kemungkinan terjadinya perkawinan dari golongan berbeda dapat saja terjadi dimana turunan magau atau golongan madika kawin dengan golongan To Dea. Melakukan perkawinan dengan turunan magau atau golongan madika menjadi satu kebanggaan karena derajat dan status sosial akan naik dan berada pada lapisan atas. Meskipun mereka yang telah terikat oleh hubungan darah karena terjadinya perkawinan antar lapisan, namun tetap ada pembedaan dalam pergaulan sehari-hari pada zaman dulu.

       Hubungan antar lapisan pada masyarakat Kaili terbangun melalui hubungan kekerabatan, hubungan bertetangga, hubungan pekerjaan, dan hubungan kemasyarakatan. Hubungan kekerabatan dapat terjalin erat melalui pertalian darah dan perkawinan. Hubungan ini menegaskan adanya hubungan kuat yang terikat oleh perkawinan dapat menjadi ikatan keluarga yang satu. Tolong menolong dengan prinsip sintuvu posara menunjukkan adanya hubungan yang erat. Hubungan dalam bertetangga terjalin sangat akrab terutama jika berasal dari lapisan status sosial misalnya antara golongan sesama Madika yang sama namun hal ini tidak mengganggu hubungan yang terjalin dengan masyarakat biasa, karena lapisan sosial ini biasanya yang paling sering memberikan pertolongan jika ada pekerjaan yang diselesaikan.

         Hubungan pekerjaan yang terjalin antar lapisan sosial berbeda pada masa pemerintahan kerajaan masih berlaku memperlihatkan hubungan yang berbeda. Hal ini terjadi karena lapisan masyarakat budak menjadi pekerja yang mengurus seluruh sawah, ladang dan peternakan milik Magau atau Madika. Golongan masyarakat biasa kadangkala juga memberikan bantuan kepada Magau atau Madika jika pelaksanaan upacara daur hidup dilaksanakan. Hal ini dilakukan sebagai simbol pengabdian dan rasa tolong menolong yang mendasari hubungan tersebut.

          Pada masyarakat kebanyakan (To dea) juga terdapat pelapisan sosial samar yaitu kedudukan dan status sosial yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang didasarkan pada keahlian dan keberanian yang dimiliki. Pada masyarakat Kaili keberadaan Sando atau Pagane (dukun atau ahli mantera) memiliki status sosial tersendiri dalam masyarakat. Dengan keahliannya yang dapat mengobati penyakit dan juga menentukan hari baik dan buruk untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Sando atau Pagane dapat menentukan dimana dan saat mana sebaiknya membangun rumah, dan menempatinya. Demikian pula kapan saatnya untuk memulai masa tanam dan masa panen. Peranan Sando atau Pagane pada masa lalu sangat menonjol dan diakui masyarakat karena dapat menuntun kelompok masyarakat melakukan aktivitasnya.

         Demikian pula halnya dengan seseorang yang diberi julukan Tadulako akan memiliki status sosial tersendiri dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena seseorang yang memiliki julukan Tadulako dianggap memiliki keberanian dan kesaktian, ilmu kebal, dan pengetahuan akan ilmu bela diri serta keterampilan menggunakan alat perang. Mereka dihargai dan dihormati oleh masyarakat dan terkadang mereka diangkat sebagai pemimpin komunitas atau kelompok secara tidak resmi.

            Gambaran mengenai stratifikasi sosial berdasarkan faktor keturunan dalam upacara siklus hidup, saat ini tidak lagi dominan dalam kehidupan masyarakat Kaili khususnya pada masyarakat biasa meskipun pada klan-klan yang notabene adalah keturunan raja (madika) atau golongan bangsawan prosesi dengan simbol-simbol ini masih dapat ditemui dengan jelas.

           Seiring terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial yang ditandai dengan makin heterogennya kehidupan masyarakat, maka pelapisan sosial tidak lagi semata-mata didasarkan pada faktor keturunan, keaslian maupun kekuasaan yang dimiliki seseorang tetapi juga dengan memperhatikan jabatan kepangkatan dalam pemerintahan, tingkat pendidikan baik formal dan non formal seperti intelektual, ulama, tokoh-tokoh adat maupun profesi lainnya dalam bidang pengetahuan. Namun jika seseorang yang memiliki kelebihan-kelebihan tersebut berasal golongan bangsawan dan masih keturunan raja maka kedudukan dan status sosialnya akan semakin tinggi.

 

Boyaoge, 6 september 2019

Pemerhati Budaya Kaili

NISBAH

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞