Mora'a keke, Berharap Berkah Hujan ( Kaili Ija )
Awan hitam menggelayut di atas
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Suasana gelap tiba-tiba menyelimuti kawasan
Sigi kendati waktu baru menginjak pukul 09.00 Pagi. Hujan yang dinantikan
selama delapan bulan itu akhirnya datang juga sepekan setelah warga keturunan
suku Kaili Ija, yang mendiami lima desa di Sigi, melakukan ritual Mora’akeke.
Mora’akeke adalah ritual
mendatangkan hujan pada Ntupu atau Tuhan melalui perantara Mpue atau arwah
leluhur. Ritual ini dilakukan oleh warga keturunan suku Kaili Ija yang mendiami
lima desa di Kabupaten Sigi, yakni Desa Bora, Oloboju, Soulove, Sidera, dan Vatunonju.
Atas kesepakatan bersama para
tokoh adat di kelima desa itu, Mora’akeke kali ini d terpaksa dilakukan lagi
karena hujan tak pernah turun sejak delapan bulan silam. Musim kemarau
berkepanjangan ini membuat warga akhirnya meninggalkan sekitar 800 hektar lahan
pertanian dan lahan bawang yang kekeringan.
Pagi itu, satu per satu warga
berdatangan ke hulu Sungai Vuno di Desa Oloboju, Kecamatan Sigi Biromaru, Sigi.
Para lelaki membawa kambing dan memasukkannya ke kandang yang telah disiapkan.
Sementara ibu-ibu dan gadis remaja menuju tempat masak berupa tenda yang
didirikan di pinggir sungai. Mereka menyiapkan kayu bakar dan kuali.
Di seberang sungai, para tokoh
adat dan kepala desa berkumpul di tenda utama seusai berziarah ke makam leluhur
yang berada di bukit di sekitar desa, seperti makam Pue Balaki, Siga Lei, Siga
Vuri, Doyo Kota, dan Dayong Nggarungia. ”Kami berharap para leluhur membimbing
dan melancarkan jalannya ritual Mora’akeke,” tutur Ali Maoju Yalirante (56),
Ketua Dewan Adat Desa Sidera.
Para ketua dewan adat lalu
memeriksa persiapan ritual Mora’akeke. Salah satu syarat penting yang dicek
adalah satu ekor babi dan anjing yang akan ditombak saat ritual berlangsung
nanti. Babi dan anjing ini mesti yang belum berusia satu tahun. Menurut Ali, lolongan
babi dan anjing yang masih kecil dibutuhkan untuk memanggil arwah leluhur.
Setelah semuanya siap, ritual
diawali tabuhan kendang oleh dua orang Topogimba atau penabuh kendang. Tabuhan
dalam irama monoton dan terkesan mistis itu mengiringi penyembelihan delapan
ekor kambing dan dua ekor ayam di tengah sungai. Hewan yang dibeli dengan uang
hasil urunan Rp 10.000 tiap kepala keluarga itu harus disembelih di sungai
karena darahnya menjadi persembahan untuk ”Nteka”, sang penguasa air.
Darah dibersihkan
Seusai darahnya dibersihkan di
sungai, daging hewan itu dimasak oleh sejumlah ibu-ibu di tenda di tepi sungai.
Daging itu menjadi santapan warga sebagai rasa syukur setelah upacara
berlangsung. ”Semua makanan harus habis. Tidak boleh dibawa pulang sebagai
tanda kebersamaan warga keturunan suku Kaili Ija,” ungkap Usri Sipanava,
anggota Dewan Adat Sigi.
Sesaat setelah prosesi penyembelihan hewan,
cuaca mendung disertai embusan angin yang cukup kencang. Tanda-tanda mau hujan
itu kontras dengan kondisi cuaca yang sangat panas sebelum ritual berlangsung.
Menurut Hapri Ika Poigi, dosen
yang meneliti suku Kaili dari Universitas Tadulako Palu, suku Kaili memiliki
tradisi untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan antara manusia dan alam.
”Harmoni ini salah satunya diwujudkan melalui Mora’akeke. Hal ini bukan sekadar
ritual karena di dalamnya mengandung kearifan lokal tentang pentingnya menjaga
kelestarian alam,” kata Hapri.
Setelah darah hewan mengalir dan
sungai bersih kembali, bagian inti ritual pun dimulai. Ritual dipimpin oleh
Ze’e (40), seorang bayasa atau pemimpin upacara yang memiliki keturunan dengan
sejumlah bayasa sebelumnya. Sejak ritual Mora’akeke pertama kali dilakukan,
seorang bayaha harus berjenis kelamin laki-laki, tetapi berdandan seperti perempuan.
Menurut Ali, suku Kaili Ija
percaya bahwa karakter seperti waria lebih mudah dirasuki arwah leluhur pada
akhir ritual Mora’akeke. Dalam memimpin jalannya ritual, Ze’e didampingi dua
orang makatoko ka’ada berjenis kelamin perempuan. Sebelum upacara dimulai,
ketiganya mengenakan ivo, pakaian adat suku Kaili Ija, yang terbuat dari kulit
kayu tumpulari.
Ze’e dan pendampingnya lantas
duduk di hadapan sesaji yang telah diletakkan di atas terpal berukuran sekitar
10 x 5 meter persegi. Sesaji itu terdiri atas tujuh buah pinang utuh, tujuh
buah gambir, tujuh gulung tembakau, tujuh lembar daun sirih, serta tujuh buah
ketupat yang disatukan dengan sebungkus kapur sirih, semangkuk beras, dan
sebungkus rokok. Angka tujuh merupakan simbol pitunggota, yakni tujuh daerah
keadatan yang ada di Kabupaten Sigi.
Tak jauh dari sesaji terdapat
Vunja, media ritual terbuat dari bambu setinggi tiga meter yang dihiasi daun
kelapa dan dipasangi sekitar 14 ketupat. Vunja yang ditancapkan ke tanah itu
merupakan simbol pohon yang subur buahnya. Kesuburan itu diharapkan menulari
lahan pertanian dan bawang milik warga.
Tetabuhan
Suara tabuhan kendang berirama
monoton diselingi teriakan sang penabuh, menandai dimulainya ritual inti
Mora’akeke. Ze’e dan kedua pendampingnya lantas bersimpuh di hadapan sesaji
yang diletakkan di bawah wunja dan membacakan mantra. Setelah berlangsung
selama 30 menit, salah seorang pendamping membakar kemenyan. Aroma ini
diharapkan mampu memudahkan datangnya arwah leluhur.
Bunyi tabuhan gimba dan teriakan
penabuh silih berganti terdengar. Namun, arwah leluhur tak kunjung merasuki
raga Ze’e meskipun ritual telah berlangsung hampir dua jam. Ze’e dan
pendampingnya pun lantas berjalan mengelilingi wunja sambil menari mengikuti irama
tabuhan gimba. Irama tabuhan yang semakin cepat turut mempercepat langkah kaki
mereka.
Beberapa saat kemudian, langkah
Ze’e melambat dan berjalan sempoyongan. Kepalanya tertunduk seperti seseorang
yang tidak sadarkan diri. Ze’e memisahkan diri dan berjalan menuju Sungai Vuno
yang berada sekitar 10 meter dari tempat ritual. Setelah berguling seperti
orang kesurupan di pinggiran sungai yang dalamnya sekitar 30 sentimeter, Ze’e
tak sadarkan diri dan dibopong sejumlah warga kembali ke tempat ritual.
Beberapa tetua adat mendekat
untuk memastikan kondisi Ze’e baik-baik saja. Saat itulah Ze’e tiba-tiba
berbicara dengan nada suara berat sambil matanya terpejam. Para tetua adat
mendengarkan dengan saksama kata-kata yang diucapkan Ze’e dalam bahasa Kaili.
Menurut Ali, Ze’e telah dimasuki arwah Pue Balaki, raja suku Kaili Ija yang
terakhir.
Ritual Mora’akeke pun akhirnya
berakhir setelah Ze’e siuman. ”Rupanya, leluhur mengingatkan kami agar tidak
meninggalkan tradisi. Leluhur juga meminta kami untuk mempererat silaturahim
dengan sesama warga keturunan suku Kaili Ija,” ungkap Usri Sipanava, anggota
Dewan Adat Sigi, menerjemahkan ucapan Ze’e.
Menurut Usri, keprihatinan
leluhur itu bukan tanpa alasan. Sejak pertengahan tahun 1990-an kerap terjadi
perselisihan antarwarga di lima desa akibat berebut air Sungai Vuno untuk
irigasi. Bahkan, beberapa pertikaian telah merenggut nyawa sejumlah warga. Dia
berharap, hujan yang akhirnya turun seminggu setelah ritual berlangsung membawa
berkah.
(ASWIN RIZAL HARAHAP/ RENY SRI AYU)
0 comments:
Posting Komentar