Hukum Adat Kaili
Hukum adat adalah norma-norma yang hidup
yang disertai dengan sanksi dan jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat
atau badan-badan yang bersangkutan, agar ditaati dan dihormati oleh para warga
masyarakat (Holleman).
Pada masyarakat Kaili, penerapan hukum
adat berkonsekwensi atas adanya sanksi adat yang diberikan kepada
"terhukum"karena adanya pelanggaran norma atas nilai hidup
masyarakat, sanksi adat dimaksudkan untuk membuat terhukum memiliki rasa
bersalah sehingga dapat bertobat dan merubah perilakunya (Nivatiaka). Sanksi
adat berupa "Givu" adalah denda adat berkatwhiei berat dan
"Sompo" denda adat berkategori ringan. Pemberian sanksi adat bermakna
sebagai "hukuman setimpal" dalam bentuknya dapat berupa "hukuman
mati", pengasingan dari masyarakat, tebusan nyawa berwujud kematian yang
terjadi melalui proses menukar nyawa manusia (terhukum) dengan mengorbankan
kerbau dan kambing dimana tetes darah dua jenis binatang ini diyakini memiliki
nilai yang dapat mengembalikan kehormatan atau harga diri seseorang ataupun
mengembalikan harkat, martabat dan wibawa "kesatuan komunitas atau suku
dalam kehidupan masyarakat. Pemberian sanksi adat lazim disertai dengan
"NOPANAA" yaitu komitmen untuk melaksanakan perjanjian terakhir jika
denda adat tidak dilaksanakan.
Pada masyarakat Kaili di kenal
beberapa jenis hukuman adat yaitu :
1. NAKAPALI,
Dalam hukum adat, hal-hal yang
terlarang disebut dengan "NAKAPALI" baik berupa kejahatan atau
pelanggaran terkecuali kekhilafan. NAKAPALI berasal dari kata "Naka"
berarti "nakajadi" (menjadi) dan "Rapali" berarti proses
pengasingan atau diasingkan jadi Nakapali berarti seseorang (terhukum) yang
diasingkan atau disingkirkan. Bahkan jika pelanggaran menjadi sangat berat
hukuman pantangan yang di berikan dalam bentuk "pengasingan" yang
bersifat seumur hidup yang bertujuan agar "terhukum" merasakan
"tidak memiliki arti hidup lagi"
Kesalahan atau tindakan yang
berkonsekwensi hukum dalam Nakapali biasanya pelanggaran norma yang dipicu oleh
perilaku amoral yg disebut "Nasala Vati" (disorientasi perilaku
karena kesalahan pendidikan keluarga).
2. SALAKANA,
Adalah Pelanggaran norma
masyarakat yang berkategori "vaya mbaso" (malu besar) dalam bentuk
tindak perzinahan (baik atas dasar suka sama suka maupun tidak) hubungan non
marital atau incest taboo. Pada mayarakat kaili "vaya mbaso"
dikategorikan sebagai perbuatan jahat yang dapat merendahkan derajat manusia
pada tingkatan serendah-rendahnya dan bahkan dapat merusak dan menghancurkan
hubungan kesatun komunitas serta dapat menimbulkan malapetaka bagi kehidupan
sehingga sanksi yang diberikan harus berbentuk "givu mbaso" berupa
hukuman mati " atau "paka putu tambolo" dan "ralabu"
atau "nilabu" yang berarti dibuang kelaut. Malapetaka diyakini tidak
akan terjadi jika terhukum dipisahkan secara fisik dengan ruang tempat
tinggalnya. Pemberian sanksi "givu mbaso" dianggap dapat memberi efek
jera dan memberi ketentraman hidup masyarakat.
Pelaksanaan sanksi hukum dalam
Salakana adalah hukuman mati berjangka dimana berlaku ketentuan dapat mengganti
nilai givu mbaso dengan sejumlah harta (subsider), disertai sanksi adat
"Nopanaa" dengan kewajiban membayar givu oleh perempuan berupa :
1). Santina bengga besi sambei
ntambolo (seekor kerbau betina
pengganti leher)
2) Sanggayu Gandisi Raposompu
( satu kayu kain putih untuk
kafan
3) Samata Guma Posambale
( sebilah kelewang penyembelih)
4) Santonga Dula Potande Balengga
(sebuah dulang untuk tempat
kepala)
5) Santonga Tubu Putih Posonggo
Raa ( sebuah mangkok basi putih
untuk tempat darah
6) Doi sudaka (uang sedekah)
Sementara bagi laki-laki membayar
givu berupa :
1) Sampomawa Bengga sambei
Tambolo (seekor kerbau jantan
pengganti leher)
2) Santonga Dula Potande Balengga
(sebuah dulang untuk tempat
kepala)
3) Santonga Tubu Putih Posonggo
Raa ( sebuah mangkok basi putih
untuk tempat darah
4) Doi sudaka (uang sedekah)
Apabila denda adat tidak dibayar
pada waktunya sesuai ketentuan peradilan adat maka keselamatan jiwa terhukum
tetap terancam dimana peradilan adat tidak dapat menjamin jika terjadi tindak
balas dendam.namun jika seluruh sanksi adat telah dilaksanakan dengan membayar
denda maka ketua peradilan adat dapat mendamaikan pihak-pihak yang terkait
dengan pelanggaran adat.
Pelanggaran adat ringan
"Mosompo" pada salakana juga dimungkinkan dilakukan jika pelanggaran
adat di lakukan dengan sengaja terhadap perempuan sementara perempuan tidak
menghendakinya. "Novaya Nebaga Mombine" yaitu
Penyerangan secara kasar dengan maksud
melecehkan atau merendahkan derajat perempuan yang dilakukan dirumah atau
dijalanan, Novaya Nosimpalaisaka ( kawin lari), Novaya Neduku ( perempuan
dengan sengaja mendatangi rumah laki-laki untuk minta dikawini) adalah
pelanggaran adat yang di kenai sanksi "Mosompo/Nisompo".
Pada pelanggaran adat salakana
ringan yang berkonsekwensi pada "Mosompo" dengan kejahatan berupa
"salakana-novaya nobaga mombine" sanksi adat yang dikenakan berupa :
1) Ruamba Tovau ( dua ekor
kambing)
2) Samata guma ( sebilah
kelewang)
3) Sapulu Ntonga Pingga( sepuluh
buah piring)
3. SALABABA atau SALAMPALE
Pelanggaran adat karena perbuatan
yang bertentangan dengan kesopanan dan kehormatan orang lain karena didasari
rasa jahil dan nakal seta bermaksud menggoda dengan sengaja terutama jika
dilakukan terhadap perempuan.
"Salababa" merupakan
pelanggaran adat yang bermakna adanya gangguan pada perempuan
"Nompejomu" yaitu kebiasaan perempuan menggunakan "Buya
Salele" atau "buya pobaba" berupa kain sarung yang digunakan
menutup atau membungkus badan perempuan ketika keluar rumah, jika sarung di
sentuh oleh laki-laki telah terjadi pelanggaran adat yang berkonsekwensi pada
sanksi adat berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri dari :
1) Sambaa Bengga ( seekor kerbau)
2) Limantonga Pingga (lima buah
piring)
Denda adat dibayarkan pada perbendaharaan
negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat "Nopanaa".
4. SALAMBIVI
Pelanggaran adat "Novaya
Salambivi" terjadi karena seseorang secara sengaja menyampaikan dan
mengeluarkan ucapan tidak senonoh atau tidak wajar sehingga menimbulkan
keonaran, kegusaran bahkan kemàrahan orang lain karena tersinggung
kehormatannya, terhina dan merasa diejek sehingga ada sikap keberatan.
Kata-kata yang diucapkan dapat menyinggung harga diri, aib, bergurau di depan
umum melebihi batas kewajaran, mempermalukan dengan memaki atau mengeluarkan
kata-kata yang tidak sopan serta menyebarkan berita bohong yang dapat
mencermakan nama baik seseorang.
Konsekwensi atas sanksi adat
berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri dari :
1) sampomava Tovau Besi ( seekor
kambing jantan)
2) Limantonga Pingga (lima buah
piring)
Denda adat dibayarkan pada
perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat
"Nopanaa".
5. SALABALAKI
Pelanggaran adat "Novaya
Salabalaki" merupakan perbuatan seseorang secara sengaja melampaui batas
kesopanan sehingga menyinggung kehormatan dan dianggap bertentangan dengan
kebiasaan baik yang berlaku misalnya dengan sengaja "Netatopo atau
Netadilo Mombine Nandiu" (mengintip perempuan mandi), Nanteke Ntengiri (
batuk kecil sambil ketawa mengejek), Netevelusi (meludah jijik ketika seseorang
lewat).
Konsekwensi atas sanksi adat
berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri dari :
1) Sabala Gandisi ( empat yard
kain
putih)
2) Taluntonga Pingga (lima buah
piring)
Denda adat dibayarkan pada
perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat
"Nopanaa".
Ketentuan tentang hukum adat pada
masyarakat kaili sesungguhnya bertujuan pada keamanan dan ketentraman hidup
agar terbentuk sikap saling menghargai dan menghormati.
Boyaoge, 9 september 2019
Pemerhati Budaya Kaili
N I S B A H
0 comments:
Posting Komentar