Minggu, 12 Januari 2020

Penguatan Budaya Kaili Sistem Pemerintahan Adat/Kerajaan Tanah Kaili.

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-------------------------------------------------------------

 

Sistem Pemerintahan Adat/Kerajaan Tanah Kaili.

 

       Sistem Pemerintahan pada Kerajaan di Tanah Kaili merupakan sebuah lembaga yang dibentuk dengan kewenangan adat untuk mengatur, mengembangkan dan mengawasi kehidupan masyarakat beserta pranata yang menjadi dasar pelaksanaannya. Sistem Pemerintahan pada setiap kerajaan yang ada di tanah Kaili memiliki struktur pemerintahan yang relatif memiliki kemiripan satu sama lain. Setiap kerajaan atau dewan pemerintahan disebut dengan kagaua. Kagaua memiliki badan eksekutif yang disebut dengan Libu nu Madika yang bertugas menjalankan roda pemerintahan. Adapun susunan Libu nu Madika terdiri dari :

1. Magau sebagai raja atau kepala Kerajaan.

2. Madika Malolo yang merupakan wakil atau asisten atau pembantu urusan internal Magau.

3. Madika Matua sebagai Perdana Menteri sekaligus urusan luar negeri dan menjabat sebagai Ketua Dewan pemerintahan.

4. Punggawa sebagai Menteri Dalam Negeri menjabat sebagai anggota.

5. Galara yang merupakan Menteri Kehakiman menjabat sebagai anggota.

6. Tadulako sebagai Menteri Pertahanan /Paanglima Perang menjabat sebagai anggota.

        Libu nu Madika diangkat dan diberhentikan oleh Magau (Raja) atas usul dan persetujuan Baligau selaku Ketua Dewan adat Pitunggota. Sementara pengangkatan Magau dilakukan melalui musyawarah Libu Ntodea yang disebut Dewan Adat Kerajaan Kota Pitunggota. Fungsi lain dari Dewan Adat Kerajaan Kota Pitunggota merupakan Dewan Permusyawaratan rakyat atau badan legislatif. Anggota Libu Ntodea adalah To Tua Nungata yang mewakili rakyat dari tiap-tiap kampung pada seluruh pelosok wilayah kerajaan. Representase tiap-tiap Soki adalah mewakili Utara, Timur, Timur Laut, Tenggara, Barat dan Barat Daya. Hampir seluruh kerajaan yang pernah berdiri di Tanah Kaili mengadopsi sistem pemerintahan adat ini. Masing-masing pemimpin diangkat dan diberhentikan oleh Magau atas persetujuan Baligau. Madika Matua bertanggung jawab sepenuhnya atas jalannya pemerintahan dihadapan sidang adat Dewan Adat Kota Pitunggota

       Secara historis beberapa kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Lembah Palu dan berada dalam lingkaran tradisi to Kaili yang menerapkan sistem pemerintahan adat tersebut diantaranya adalah :

1. Kerajaan Baloni di Sigi-Bora (sekarang masuk di wilayah Kabupaten Sigi)

2. Kerajaan Tawaeli (sekarang di Bagian Utara Kota Palu)

3. Kerajaan Pantoloan (sekarang masuk di wilayah bagian utara Kota Palu)

4. Kerajaan Pemantoa di Sindue (sekarang masuk bagian Utara Kabupaten Donggala)

5. Kerajaan Dolo (sekarang masuk di wilayah kabupaten Sigi)

6. Kerajaan Tatanga di Palu (sekarang di Bagian Selatan Kota Palu)

7. Kerajaan Palu (sekarang di Bagian Barat Kota Palu)

8. Kerajaan Pujananti di Banawa (sekarang masuk di wilayah Kabupaten Donggala)

9. Kerajaan Sidiru di Sibalaya (sekarang masuk di wilayah Kabupaten Sigi)

10. Kerajaan Pinembani di Dombu (sekarang masuk di wilayah Kabupaten Donggala)

       Seluruh kerajaan yang pernah berdiri di Lembah Palu tersebut melaksanakan pemerintahannya secara otonom dan memiliki ikatan kekerabatan satu sama lain. Hubungan kekerabatan terjalin akibat adanya perkawinan dgn sistem Nibolai antar penguasa-penguasa maupun keturunannya. Perluasan wilayah kerajaan juga terjadi melalui penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan lain khususnya kerajaan-kerajaan kecil yang ada ketika itu.

        Kruijt (dalam Abdulah, 1975 : 111) menggambarkan bahwa Kerajaan Baloni di Sigi misalnya pernah berperang dengan kerajaan Bada, kerajaan Napu dan kerajaan Besoa yang terletak di Kulawi dan Poso. Bahkan kerajaan Baloni di Sigi juga pernah berperang hingga ke Kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan. Demikian pula halnya dengan kerajaan Tavaeli yang mampu menguasai hampir separuh wilayah Pantai Barat seperti Kerajaan di Sindue dan Pantoloan. Namun penaklukan kerajaan-kerajaan kecil tidak berlangsung lama karena hubungan antar kerajaan lebih mengedepankan hubungan kawin mawin terutama ketika penjajahan Belanda mulai masuk ke Lembah Palu persatuan diantara beberapa kerajaan yang ada menjadi kuat karena terjadi ikatan perkawinan diantara kerabat kerajaan (Nibolai).

        Untuk memperkuat hubungan antar kerajaan yang pecah akibat terjadinya peperangan sekaligus melanggengkan sistem pemerintahan adat yang dimiliki oleh setiap Kagaua ini, maka beberapa Kagaua kecil yang berdiri secara otonom bersepakat untuk membentuk satu bentuk pemerintahan adat berdasarkan wilayah keadatan dengan sistem pemerintahan kolektif. Dalam sistem Pemerintahan adat tersebut mengadopsi struktur kelembagaan Dewan Adat Kota Pitunggota yang selanjutnya akan menjadi cikal bakal pemerintahan adat yang berhimpun menjadi kesatuan Kaili besar yang tersebar pada masing-masing wilayah keadatannya yang disebut lembaga Musyawarah Dewan Adat Kota Pitunggota . Ketujuh wilayah kerajaan yang mengadopsi sistem pemerintahan dengan pembagian kekuasaan beradasarkan kewenangan adat yang diemban adalah sebagai berikut:

1) Galara ri Pujananti (Banawa/Ganti)

2) Pabisara ri Tatanga (Palu)

3) Magau ri Baloni (Sigi)

4) Baligau ri Lando (Dolo)

5) Jogugu ri (Parigi)

6) Kapita ri Besoa (Lore)

7) Punggava ri Pinembani (Dombu)

       Setiap kewenangan didasarkan pada fungsinya sesuai wilayah pemerintahan Musyawarah Adat Kota Pitunggota, misalnya Galara dipegang oleh Magau Pujananti yang berkuasa di Banawa, karena kedudukan Pujananti dalam wilayah keadatan adalah sebagai galara. Demikian pula halnya dengan Jogugu yang dipegang oleh seorang Magau yang berkuasa penuh di Parigi, maka kedudukan Magau Parigi dalam wilayah keadatan tersebut adalah Jogugu. Fungsi Pabisara dijalankan oleh Magau Palu sesuai dengan wilayah keadatannya sebagai Pabisara yang berada di Palu. Sementara kedudukan Magau di Sigi akan menjalankan fungsinya sebagai Magau sesuai dengan wilayah keadaatannya yang berada di Sigi. Fungsi Baligau dijalankan oleh Magau Dolo sesuai dengan wilayah keadatannya sebagai Baligau yang berada di Dolo. Fungsi Kapita dijalankan oleh Magau Besoa sesuai dengan wilayah keadatannya sebagai Kapita yang berada di Lore. Dan Fungsi Punggava dijalankan oleh Magau Pinembani sesuai dengan wilayah keadatannya sebagai Punggava yang berada di Dombu.

Ke tujuh negeri (Kota Pitunggota) tersebut dalam menjalankan fungsi pemerintahan adatnya, masing-masing mendapat legitimasi kekuasaan berupa Payu nte Luna Pelanti yang berarti yang berarti payung dengan Penyanggah Bantal dudukan. Sarana pelantikan ini digunakan berdasarkan pembagian atas distribusi wilayah pemakaian sub dialek dari bahasa kaili, sehingga penamaan dalam penempatan sarana tersebut disesuaikan dengan pemakaian sub dialek Kaili yang terdiri dari :

1) Payu Pujananti untuk sub dialek Unde

2) Payu Pemantoa untuk sub dialek Doi

3) Payu Parampata untuk sub dialek Rai

4) Payu Tatanga-Palu untuk sub dialek Ledo

5) Payu Sidiru – Sibalaya untuk sub dialek Ado dan Edo

6) Luna Pelanti ri Tana Mbulava meliputi tiga sub dialek kaili yaitu: Ija, Ledo, dan Tara,

7) Payu Pinembani - Dombu untuk sub dialek Da’a

        Hubungan antara legitimasi kekuasaan dan kewenangan pemerintahan adat berupa "Payu nte Luna Pelanti" dengan struktur pemerintahan adat yang ada pada ketujuh wilayah keadatan dengan tatanan pemerintahan adat, melaksanakan fungsi dan peranan masing- masing yang saling menunjang dan saling memperkuat satu sama lain. Hal ini digambarkan dengan sebuah ungkapan yang menegaskan bahwa : “Naria papitu ngata niponturoka papitu tupu nungata, nasimbayu kanturoana, karanduana geira nosibolai bo nipoanakana papitu topo sampesuvu nonturoka ri papitu ngata najadi tupu nungata” (terdapat tujuh negeri di tana kaili ditempati/dihuni oleh tujuh pemilik negeri sama besar kedudukannya, selanjutnya mereka saling berbesan atau menikahkan anak keturunan mereka sehingga menurunkan tujuh orang bersaudara menjadi pemilik negeri pada tujuh negeri tersebut). Adapun fungsi dan peranan masing-masing dari ke tujuh pranata tersebut adalah :

1) Magau, menjalankan fungsi pemerintahan adat atau sebagai kepala pemerintahan adat itu sendiri. Magau memilki kekuasaan keluar dan kedalam wilayah kekuasaannya. Tempat penyelenggaraan sistem pemerintahan adat tersebut dilaksanakan di Baruga. Dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya Magau menggunakan dasar atau landasan penyelenggaraan pemerintahan adat dengan hukum adat dengan tetap dikoordinasikan dengan fungsi dan kewenangan Ke Galara-an. Adapun legitimasi kekuasaan dan kebesarannya ada dan terletak pada Luna Pelanti.

2) Baligau, menjalankan fungsi penegakan sistem hukum adat mendampingi Magau dan bersama-sama berada di dalam Baruga, dengan demikian legitimasi kekuasaan dan kebesarannyapun juga adalah Luna Pelanti.

3) Jogugu, menjalankan fungsi sebagai pemersatu dan Penghubung antara dua buah fungsi besar yaitu amanat aspirasi masyarakat yang dihasilkan melalui Libuntina dan implikasi pelaksanaan dan penjabaran sistem kekuasaan pemerintahan adat.

4) Galara, menjalankan fungsi untuk menghimpun semua aspirasi masyarakat melalui permusyawatan atau Libu yang diikuti oleh para Ntina sehingga disebut sebagai Libuntina yang mewakili setiap komunitas masyarakat dari suatu wilayah tertentu. Tempat penyelenggaraan Libuntina tersebut di Bakuku yang dalam bahasa kaili diartikan sebagai “Bekal” dan dimaknai sebagai penyambung aspirasi komunitas yang diwakilinya. Pembagian wilayah Payu Pelanti berdasarkan dialek kaili, menempatkan ke Galara-an Pujananti secara khusus memiliki tiga buah payung kebesaran yaitu, Payu Pujananti, Payu Parampata dan Payu Pemantoa. Hal ini terjadi karena mengingat Libuntina merupakan proses perumusan keputusan-keputusan ada (adat) yang menampung hajat hidup masyarakat banyak atau Todea yang diwakili oleh para Ntina.

5) Pabisara, yang menjalankan fungsi keprotokoleran adat terutama pada saat Libu Mbaso atau Musyawarah Besar yang dihadiri oleh para Ntina untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dengan fungsi penyelenggaraan pemerintahan adat. Dengan demikian fungsi Pabisara yang mengatur tatalaku dan tatalaksana dari kedua fungsi besar yang dijelaskan diatas. Legitimasi fungsi dan kewenangan Pabisara ditunjukan dengan adanya dua buah payung kebesaran di wilayah keadatannya yaitu, Payu Tatanga-Pulu dan Payu Sidiru- Sibalaya.

6) Kapita, menjalankan fungsi Penasehat Adat atau semacam Lembaga Pertimbangan sebelum sebuah amar keputusan pemerintahan adat diturunkan. Jogugu dan Kapita bersama-sama dengan Baligau yang juga memiliki legitimasi kekuasaan dan kebesaran Luna Pelanti.

7) Punggava, menjalankan fungsi mengatur dan mengendalikan hajat dan kebutuhan hidup masyarakat diantaranya seperti kepentingan pertanian, pengairan, tataguna lahan sampai pada perdagangan. Dalam menjalankan fungsi kewenangannya Punggava melaksanakannya di Bantaya. Adapun legitimasi kekuasaan dan kebesarannya terdapat di Payu Pinembani-Dombu.

Penempatan kerajaan Sigi (Bora) sebagai pelaksana fungsi Magau dalam sistem pemerintahan Lembaga Musyawarah Dewan Adat kota Pitunggota berdasarkan hasil musyawarah tujuh wilayah keadatan Kaili Mbaso yang memandang bahwa kerajaan Sigi (Bora)memiliki hubungan kekerabatan yang luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya melalui ikatan perkawinan. Selain itu kerajaan Sigi (Bora) juga merupakan kerajaan yang lebih dahulu memiliki sistem pemerintahan adat.

Dengan menerapkan prinsip kolektif kolegial (pitunggota) pelaksanaan sistem pemerintahan adat juga dilengkapi dengan pranata sosial yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan pengorganisasian masyarakat seperti: Langganunu, Tadulako, Madika, dan Ntina. Penerapan sistem kewenangan pemerintahan adat ini melewati periodisasi waktu yang panjang dan lama. Dalam tahap perkembanganya Lembaga Musyawarah Dewan Adat Kota Pitunggota yang bermula dari tujuh wilayah keadatan yang ada dengan pranata masing-masing pada tahap selanjutnya berkembang lagi karena meluasnya wilayah kerajaan pada masing-masing wilayah yang berhimpun dalam wilayah keadatan ini. Pada masing-masing kerajaan tersebut kemudian membentuk sistem pemerintahan yang terbagi kedalam beberapa lembaga adat dengan wilayah keadatanya masing-masing antara lain :

a. Pemerintahan Pitunggota Banawa yang terdiri dari :

1) Lero

2) Bale

3) Pujananti Tintilo (ganti)

4) Sampulu (tavale)

5) Ngarapea (kola-kola)

6) Kainggaru (loli)

7) Pantoloan

b. Pemerintahan Patanggota Palu yang terdiri dari :

1) Ngata kabonena,

2) Ngata besusu,

3) Kalavata (sekarang Pengavu)

4) Siranindi (sekarang Kamonji)

c. Pemerintahan Patanggota Parigi yang terdiri dari :

1) Parigi Mpu’u

2) Masigi

3) Toboli

4) Dolago

d. Pemerintahan Pitunggota Sigi (Bora)yang terdiri dari :

1) Baloni

2) Bolantina (korangata sekarang bora)

3) Sibula (sekitar Mapane-bora)

4) Nunu Mbailo (korobado, sekitar Ranoromba-sigimpu’u)

5) Ranontiko (sekarang vatunonju)

6) Karere (sekarang bunga-palolo)

7) Vololau (sekarang Oloboju)

e. Pemerintahan Pitunggota Dolo yang terdiri dari :

1) Dolo kota rindau

2) Dolo kota pulu

3) Kaleke

4) Pesaku

5) Pulu

6) Baluase

7) Bangga

f. Pemerintahan Patanggota Tavaeli yang terdiri dari :

1) Nupabomba

2) Lambara

3) Mpanau

4) Baiya

Pembentukan struktur pemerintahan tersebut dengan kewenangan adat yang ada, terbangun melalui sebuah proses saling pengaruh akibat penaklukan antar sesama kerajaan lokal, sekaligus karena telah meluas dan berkembangnya wilayah pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal yang tergabung dalam wilayah keadatan yang ada dimana eksistensi sistem pemerintaha adat yang telah ada sebelumnya tidak mengalami perubahan yang mendasar.

 

Boyaoge, 3 September 2019

Pemerhati Budaya Kaili

N I S B A H


۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-------------------------------------------------------------

0 comments:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞