Sistem Pemerintahan
Adat/Kerajaan Tanah Kaili.
Sistem Pemerintahan pada Kerajaan di
Tanah Kaili merupakan sebuah lembaga yang dibentuk dengan kewenangan adat untuk
mengatur, mengembangkan dan mengawasi kehidupan masyarakat beserta pranata yang
menjadi dasar pelaksanaannya. Sistem Pemerintahan pada setiap kerajaan yang ada
di tanah Kaili memiliki struktur pemerintahan yang relatif memiliki kemiripan
satu sama lain. Setiap kerajaan atau dewan pemerintahan disebut dengan kagaua.
Kagaua memiliki badan eksekutif yang disebut dengan Libu nu Madika yang
bertugas menjalankan roda pemerintahan. Adapun susunan Libu nu Madika terdiri
dari :
1. Magau sebagai raja atau kepala
Kerajaan.
2. Madika Malolo yang merupakan
wakil atau asisten atau pembantu urusan internal Magau.
3. Madika Matua sebagai Perdana
Menteri sekaligus urusan luar negeri dan menjabat sebagai Ketua Dewan
pemerintahan.
4. Punggawa sebagai Menteri Dalam
Negeri menjabat sebagai anggota.
5. Galara yang merupakan Menteri
Kehakiman menjabat sebagai anggota.
6. Tadulako sebagai Menteri
Pertahanan /Paanglima Perang menjabat sebagai anggota.
Libu nu Madika diangkat dan
diberhentikan oleh Magau (Raja) atas usul dan persetujuan Baligau selaku Ketua
Dewan adat Pitunggota. Sementara pengangkatan Magau dilakukan melalui
musyawarah Libu Ntodea yang disebut Dewan Adat Kerajaan Kota Pitunggota. Fungsi
lain dari Dewan Adat Kerajaan Kota Pitunggota merupakan Dewan Permusyawaratan
rakyat atau badan legislatif. Anggota Libu Ntodea adalah To Tua Nungata yang
mewakili rakyat dari tiap-tiap kampung pada seluruh pelosok wilayah kerajaan.
Representase tiap-tiap Soki adalah mewakili Utara, Timur, Timur Laut, Tenggara,
Barat dan Barat Daya. Hampir seluruh kerajaan yang pernah berdiri di Tanah
Kaili mengadopsi sistem pemerintahan adat ini. Masing-masing pemimpin diangkat
dan diberhentikan oleh Magau atas persetujuan Baligau. Madika Matua bertanggung
jawab sepenuhnya atas jalannya pemerintahan dihadapan sidang adat Dewan Adat
Kota Pitunggota
Secara historis beberapa kerajaan yang
pernah berdiri di wilayah Lembah Palu dan berada dalam lingkaran tradisi to
Kaili yang menerapkan sistem pemerintahan adat tersebut diantaranya adalah :
1. Kerajaan Baloni di Sigi-Bora
(sekarang masuk di wilayah Kabupaten Sigi)
2. Kerajaan Tawaeli (sekarang di
Bagian Utara Kota Palu)
3. Kerajaan Pantoloan (sekarang
masuk di wilayah bagian utara Kota Palu)
4. Kerajaan Pemantoa di Sindue
(sekarang masuk bagian Utara Kabupaten Donggala)
5. Kerajaan Dolo (sekarang masuk
di wilayah kabupaten Sigi)
6. Kerajaan Tatanga di Palu
(sekarang di Bagian Selatan Kota Palu)
7. Kerajaan Palu (sekarang di
Bagian Barat Kota Palu)
8. Kerajaan Pujananti di Banawa
(sekarang masuk di wilayah Kabupaten Donggala)
9. Kerajaan Sidiru di Sibalaya
(sekarang masuk di wilayah Kabupaten Sigi)
10. Kerajaan Pinembani di Dombu
(sekarang masuk di wilayah Kabupaten Donggala)
Seluruh kerajaan yang pernah berdiri di
Lembah Palu tersebut melaksanakan pemerintahannya secara otonom dan memiliki
ikatan kekerabatan satu sama lain. Hubungan kekerabatan terjalin akibat adanya
perkawinan dgn sistem Nibolai antar penguasa-penguasa maupun keturunannya.
Perluasan wilayah kerajaan juga terjadi melalui penaklukan terhadap
kerajaan-kerajaan lain khususnya kerajaan-kerajaan kecil yang ada ketika itu.
Kruijt (dalam Abdulah, 1975 : 111)
menggambarkan bahwa Kerajaan Baloni di Sigi misalnya pernah berperang dengan
kerajaan Bada, kerajaan Napu dan kerajaan Besoa yang terletak di Kulawi dan
Poso. Bahkan kerajaan Baloni di Sigi juga pernah berperang hingga ke Kerajaan
Luwu di Sulawesi Selatan. Demikian pula halnya dengan kerajaan Tavaeli yang
mampu menguasai hampir separuh wilayah Pantai Barat seperti Kerajaan di Sindue
dan Pantoloan. Namun penaklukan kerajaan-kerajaan kecil tidak berlangsung lama
karena hubungan antar kerajaan lebih mengedepankan hubungan kawin mawin
terutama ketika penjajahan Belanda mulai masuk ke Lembah Palu persatuan
diantara beberapa kerajaan yang ada menjadi kuat karena terjadi ikatan perkawinan
diantara kerabat kerajaan (Nibolai).
Untuk memperkuat hubungan antar
kerajaan yang pecah akibat terjadinya peperangan sekaligus melanggengkan sistem
pemerintahan adat yang dimiliki oleh setiap Kagaua ini, maka beberapa Kagaua
kecil yang berdiri secara otonom bersepakat untuk membentuk satu bentuk
pemerintahan adat berdasarkan wilayah keadatan dengan sistem pemerintahan
kolektif. Dalam sistem Pemerintahan adat tersebut mengadopsi struktur
kelembagaan Dewan Adat Kota Pitunggota yang selanjutnya akan menjadi cikal
bakal pemerintahan adat yang berhimpun menjadi kesatuan Kaili besar yang
tersebar pada masing-masing wilayah keadatannya yang disebut lembaga Musyawarah
Dewan Adat Kota Pitunggota . Ketujuh wilayah kerajaan yang mengadopsi sistem pemerintahan
dengan pembagian kekuasaan beradasarkan kewenangan adat yang diemban adalah
sebagai berikut:
1) Galara ri Pujananti
(Banawa/Ganti)
2) Pabisara ri Tatanga (Palu)
3) Magau ri Baloni (Sigi)
4) Baligau ri Lando (Dolo)
5) Jogugu ri (Parigi)
6) Kapita ri Besoa (Lore)
7) Punggava ri Pinembani (Dombu)
Setiap kewenangan didasarkan pada
fungsinya sesuai wilayah pemerintahan Musyawarah Adat Kota Pitunggota, misalnya
Galara dipegang oleh Magau Pujananti yang berkuasa di Banawa, karena kedudukan
Pujananti dalam wilayah keadatan adalah sebagai galara. Demikian pula halnya
dengan Jogugu yang dipegang oleh seorang Magau yang berkuasa penuh di Parigi,
maka kedudukan Magau Parigi dalam wilayah keadatan tersebut adalah Jogugu.
Fungsi Pabisara dijalankan oleh Magau Palu sesuai dengan wilayah keadatannya
sebagai Pabisara yang berada di Palu. Sementara kedudukan Magau di Sigi akan
menjalankan fungsinya sebagai Magau sesuai dengan wilayah keadaatannya yang
berada di Sigi. Fungsi Baligau dijalankan oleh Magau Dolo sesuai dengan wilayah
keadatannya sebagai Baligau yang berada di Dolo. Fungsi Kapita dijalankan oleh
Magau Besoa sesuai dengan wilayah keadatannya sebagai Kapita yang berada di
Lore. Dan Fungsi Punggava dijalankan oleh Magau Pinembani sesuai dengan wilayah
keadatannya sebagai Punggava yang berada di Dombu.
Ke tujuh negeri (Kota Pitunggota)
tersebut dalam menjalankan fungsi pemerintahan adatnya, masing-masing mendapat
legitimasi kekuasaan berupa Payu nte Luna Pelanti yang berarti yang berarti
payung dengan Penyanggah Bantal dudukan. Sarana pelantikan ini digunakan
berdasarkan pembagian atas distribusi wilayah pemakaian sub dialek dari bahasa
kaili, sehingga penamaan dalam penempatan sarana tersebut disesuaikan dengan
pemakaian sub dialek Kaili yang terdiri dari :
1) Payu Pujananti untuk sub
dialek Unde
2) Payu Pemantoa untuk sub dialek
Doi
3) Payu Parampata untuk sub
dialek Rai
4) Payu Tatanga-Palu untuk sub
dialek Ledo
5) Payu Sidiru – Sibalaya untuk
sub dialek Ado dan Edo
6) Luna Pelanti ri Tana Mbulava
meliputi tiga sub dialek kaili yaitu: Ija, Ledo, dan Tara,
7) Payu Pinembani - Dombu untuk
sub dialek Da’a
Hubungan antara legitimasi kekuasaan
dan kewenangan pemerintahan adat berupa "Payu nte Luna Pelanti"
dengan struktur pemerintahan adat yang ada pada ketujuh wilayah keadatan dengan
tatanan pemerintahan adat, melaksanakan fungsi dan peranan masing- masing yang
saling menunjang dan saling memperkuat satu sama lain. Hal ini digambarkan
dengan sebuah ungkapan yang menegaskan bahwa : “Naria papitu ngata niponturoka
papitu tupu nungata, nasimbayu kanturoana, karanduana geira nosibolai bo
nipoanakana papitu topo sampesuvu nonturoka ri papitu ngata najadi tupu
nungata” (terdapat tujuh negeri di tana kaili ditempati/dihuni oleh tujuh
pemilik negeri sama besar kedudukannya, selanjutnya mereka saling berbesan atau
menikahkan anak keturunan mereka sehingga menurunkan tujuh orang bersaudara
menjadi pemilik negeri pada tujuh negeri tersebut). Adapun fungsi dan peranan
masing-masing dari ke tujuh pranata tersebut adalah :
1) Magau, menjalankan fungsi
pemerintahan adat atau sebagai kepala pemerintahan adat itu sendiri. Magau
memilki kekuasaan keluar dan kedalam wilayah kekuasaannya. Tempat
penyelenggaraan sistem pemerintahan adat tersebut dilaksanakan di Baruga. Dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangannya Magau menggunakan dasar atau landasan
penyelenggaraan pemerintahan adat dengan hukum adat dengan tetap
dikoordinasikan dengan fungsi dan kewenangan Ke Galara-an. Adapun legitimasi
kekuasaan dan kebesarannya ada dan terletak pada Luna Pelanti.
2) Baligau, menjalankan fungsi
penegakan sistem hukum adat mendampingi Magau dan bersama-sama berada di dalam
Baruga, dengan demikian legitimasi kekuasaan dan kebesarannyapun juga adalah
Luna Pelanti.
3) Jogugu, menjalankan fungsi
sebagai pemersatu dan Penghubung antara dua buah fungsi besar yaitu amanat
aspirasi masyarakat yang dihasilkan melalui Libuntina dan implikasi pelaksanaan
dan penjabaran sistem kekuasaan pemerintahan adat.
4) Galara, menjalankan fungsi
untuk menghimpun semua aspirasi masyarakat melalui permusyawatan atau Libu yang
diikuti oleh para Ntina sehingga disebut sebagai Libuntina yang mewakili setiap
komunitas masyarakat dari suatu wilayah tertentu. Tempat penyelenggaraan
Libuntina tersebut di Bakuku yang dalam bahasa kaili diartikan sebagai “Bekal”
dan dimaknai sebagai penyambung aspirasi komunitas yang diwakilinya. Pembagian
wilayah Payu Pelanti berdasarkan dialek kaili, menempatkan ke Galara-an
Pujananti secara khusus memiliki tiga buah payung kebesaran yaitu, Payu
Pujananti, Payu Parampata dan Payu Pemantoa. Hal ini terjadi karena mengingat
Libuntina merupakan proses perumusan keputusan-keputusan ada (adat) yang
menampung hajat hidup masyarakat banyak atau Todea yang diwakili oleh para
Ntina.
5) Pabisara, yang menjalankan
fungsi keprotokoleran adat terutama pada saat Libu Mbaso atau Musyawarah Besar
yang dihadiri oleh para Ntina untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dengan
fungsi penyelenggaraan pemerintahan adat. Dengan demikian fungsi Pabisara yang mengatur
tatalaku dan tatalaksana dari kedua fungsi besar yang dijelaskan diatas.
Legitimasi fungsi dan kewenangan Pabisara ditunjukan dengan adanya dua buah
payung kebesaran di wilayah keadatannya yaitu, Payu Tatanga-Pulu dan Payu
Sidiru- Sibalaya.
6) Kapita, menjalankan fungsi
Penasehat Adat atau semacam Lembaga Pertimbangan sebelum sebuah amar keputusan
pemerintahan adat diturunkan. Jogugu dan Kapita bersama-sama dengan Baligau
yang juga memiliki legitimasi kekuasaan dan kebesaran Luna Pelanti.
7) Punggava, menjalankan fungsi
mengatur dan mengendalikan hajat dan kebutuhan hidup masyarakat diantaranya
seperti kepentingan pertanian, pengairan, tataguna lahan sampai pada
perdagangan. Dalam menjalankan fungsi kewenangannya Punggava melaksanakannya di
Bantaya. Adapun legitimasi kekuasaan dan kebesarannya terdapat di Payu
Pinembani-Dombu.
Penempatan kerajaan Sigi (Bora)
sebagai pelaksana fungsi Magau dalam sistem pemerintahan Lembaga Musyawarah
Dewan Adat kota Pitunggota berdasarkan hasil musyawarah tujuh wilayah keadatan
Kaili Mbaso yang memandang bahwa kerajaan Sigi (Bora)memiliki hubungan
kekerabatan yang luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya melalui ikatan
perkawinan. Selain itu kerajaan Sigi (Bora) juga merupakan kerajaan yang lebih
dahulu memiliki sistem pemerintahan adat.
Dengan menerapkan prinsip
kolektif kolegial (pitunggota) pelaksanaan sistem pemerintahan adat juga
dilengkapi dengan pranata sosial yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
kehidupan dan pengorganisasian masyarakat seperti: Langganunu, Tadulako,
Madika, dan Ntina. Penerapan sistem kewenangan pemerintahan adat ini melewati
periodisasi waktu yang panjang dan lama. Dalam tahap perkembanganya Lembaga
Musyawarah Dewan Adat Kota Pitunggota yang bermula dari tujuh wilayah keadatan
yang ada dengan pranata masing-masing pada tahap selanjutnya berkembang lagi
karena meluasnya wilayah kerajaan pada masing-masing wilayah yang berhimpun
dalam wilayah keadatan ini. Pada masing-masing kerajaan tersebut kemudian
membentuk sistem pemerintahan yang terbagi kedalam beberapa lembaga adat dengan
wilayah keadatanya masing-masing antara lain :
a. Pemerintahan Pitunggota Banawa
yang terdiri dari :
1) Lero
2) Bale
3) Pujananti Tintilo (ganti)
4) Sampulu (tavale)
5) Ngarapea (kola-kola)
6) Kainggaru (loli)
7) Pantoloan
b. Pemerintahan Patanggota Palu
yang terdiri dari :
1) Ngata kabonena,
2) Ngata besusu,
3) Kalavata (sekarang Pengavu)
4) Siranindi (sekarang Kamonji)
c. Pemerintahan Patanggota Parigi
yang terdiri dari :
1) Parigi Mpu’u
2) Masigi
3) Toboli
4) Dolago
d. Pemerintahan Pitunggota Sigi
(Bora)yang terdiri dari :
1) Baloni
2) Bolantina (korangata sekarang
bora)
3) Sibula (sekitar Mapane-bora)
4) Nunu Mbailo (korobado, sekitar
Ranoromba-sigimpu’u)
5) Ranontiko (sekarang vatunonju)
6) Karere (sekarang bunga-palolo)
7) Vololau (sekarang Oloboju)
e. Pemerintahan Pitunggota Dolo
yang terdiri dari :
1) Dolo kota rindau
2) Dolo kota pulu
3) Kaleke
4) Pesaku
5) Pulu
6) Baluase
7) Bangga
f. Pemerintahan Patanggota
Tavaeli yang terdiri dari :
1) Nupabomba
2) Lambara
3) Mpanau
4) Baiya
Pembentukan struktur pemerintahan
tersebut dengan kewenangan adat yang ada, terbangun melalui sebuah proses
saling pengaruh akibat penaklukan antar sesama kerajaan lokal, sekaligus karena
telah meluas dan berkembangnya wilayah pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal
yang tergabung dalam wilayah keadatan yang ada dimana eksistensi sistem
pemerintaha adat yang telah ada sebelumnya tidak mengalami perubahan yang
mendasar.
Boyaoge, 3 September 2019
N I S B A H
0 comments:
Posting Komentar