Minggu, 12 Januari 2020

Revitalisasi Budaya Kaili BULONGGO.

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-------------------------------------------------------------

 

BULONGGO.

 

Secara etimologi kata "Bulonggo" dalam bahasa Kaili berarti "tulang punggung". Analogi kata "bulonggo" sebagai "tulang punggung" lahir dari falsafah yang memandang bahwa kehidupan ini dimisalkan sebagai sistem kesatuan tubuh, maka tubuh pasti terdiri dari bagian-bagian tertentu yang satu sama lain saling menunjang. "Tulang punggung" yang merupakan salah satu bagian penting dari komposisi tubuh memiliki fungsi tersendiri yakni sebagai penyangga keseimbangan tubuh agar tetap seimbang, lurus dan tegak serta dapat berfungsi sesuai kegunaannya. Fungsi tulang punggung bagi tubuh bahkan sangat vital, karena tanpa adanya tulang punggung manusia tidak dapat berjalan dan melakukan gerakan motorik lainnya.

 

Dari falsafah tentang "Tulang punggung" inilah masyarakat Kaili mendefenisikan "bulonggo" sebagai sebuah pranata mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam kehidupan keluarga, demikian juga peran pemimpin dalam kehidupan masyarakat.

Sebagai sebuah pranata mengenai peran perempuan, "Bulonggo" memberi makna akan kedudukan perempuan sebagai pusat dan inti kehidupan. Pandangan ini terlihat jelas dalam sistem uxorilokal dan residensi matrilineal pada masyarakat Kaili. Kedudukan perempuan menjadi penunjang dan penyangga dalam mempertahankan kelangsungan kehidupan keluarga sebagai kesatuan sistem. Pranata "bulonggo" selanjutnya menjadi dasar dalam proses pembentukan peran perempuan dalam sistem sosial khususnya dalam kepemilikan dan pengaturan harta dan warisan keluarga.

 

Dalam struktur kehidupan keluarga yang berhak menjadi "bulonggo" adalah anak perempuan pertama meskipun ia bukan anak tertua. Sebagai contoh dalam sebuah keluarga memiliki lima orang anak yang terdiri dari tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak Perempuan, maka anak perempuan pertamalah yang menjadi "bulonggo" sungguhpun usianya lebih muda.

 

Sementara bagi anak laki-laki khususnya yang masih lajang berkewajiban untuk senantiasa menambah jumlah harta atau warisan yang ada melalui penghasilannya.

Demikian halnya dalam pelaksanaan sistem "notava" (sistem pemanfaatan secara bergilir sumber-sumber ekonomi berbentuk " mbara-mbara nimana" ) dimana pengelolaannya berada pada "bulonggo" untuk mengatur tata urutan pemanfaatannya.

 

Sebagai tanda satuan kekerabatan dalam "koyo puse" (keluarga batih) tetap terjalin dalam ikatan persaudaran maka setiap anggotanya harus mengenal dan terikat pada "bulonggo"-nya sebagai pusat lingkar kerabatnya terutama jika menjalankan fungsi keadatan dalam kerabat luas (sarara) atau dalam melaksanakan upacara daur hidup. Posisi "bulonggo" menjadi sangat penting karena peran "bulonggo" sebagai wadah pemersatu secara eksplisit mengejawantah pada fungsi perempuan sebagai subyek "tina nu mbara-mabara" sekaligus sebagai pusat jalinan kekerabatan seperti tersirat dari adagium to kaili "Ni linggu Mpotoboyo" bahwa kesatuan "sarara" harus tetap saling mengenal dan berkumpul.

 

Pranata Bulonggo juga menegaskan tentang peran dan fungsi pemimpin dalam kehidupan masyarakat. Ketika wilayah keadatan masih berada dalam sistem "Pitunggota dan Patanggota Ngata Kaili", Para "Totua Nu Ngata" yang berada pada tiap-tiap "soki" merupakan personifikasi "Bulonggo Nu Ada", dengan peran dan fungsi menjaga, memelihara dan mengelola tradisi dan adat istiadat yang masih di pedomani.

Eksistensi pemimpin dalam kehidupan masyarakat pada kesatuan adat tanah kaili menempatkan pemimpin berada pada satuan kekerabatan yang menjalankan fungsi sosial.

Kekuatan adat menjadi simpul yang mengikat kesatuan hidup masyarakat dimana peran "Bulonggo Nu Ada" menjadi penting untuk mengatur dan mengendalikan siklus kehidupan yang bertumpu pada nilai-nilai hidup yang berkembang di masyarakat.

 

Para pemimpin selain menjalankan fungsi eksekutif dan legilslatif kiranya mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan nilai-nilai adat sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan masyarakat. Nilai-nilai adat masih adaptif sebagai pengendali alternatif selain hukum positif. Peran pemimpin dalam menjalanksn fungsinya sekaligus sebagai "Bulonggo Nu Ada" dapat menjadi penyangga kehidupan masyarakat. Symbiosis peran formal dan informal yang dijalankan pemimpin tentunya akan menjadi kekuatan dalam mengatur kehidupan masyarakat sehingga rasa terlindungi dan terayomi dapat dirasakan sebagai cara untuk mengatasi dan mengisi ruang kosong yang dirasakan masyarakat sejauh ini.

Insya Allah....

 

Boyaoge, 11 Oktober 2019,

N I S B A H

Pemerhati Budaya Kaili


۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-------------------------------------------------------------

0 comments:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞