BULONGGO.
Secara etimologi kata
"Bulonggo" dalam bahasa Kaili berarti "tulang punggung".
Analogi kata "bulonggo" sebagai "tulang punggung" lahir
dari falsafah yang memandang bahwa kehidupan ini dimisalkan sebagai sistem
kesatuan tubuh, maka tubuh pasti terdiri dari bagian-bagian tertentu yang satu
sama lain saling menunjang. "Tulang punggung" yang merupakan salah
satu bagian penting dari komposisi tubuh memiliki fungsi tersendiri yakni
sebagai penyangga keseimbangan tubuh agar tetap seimbang, lurus dan tegak serta
dapat berfungsi sesuai kegunaannya. Fungsi tulang punggung bagi tubuh bahkan sangat
vital, karena tanpa adanya tulang punggung manusia tidak dapat berjalan dan
melakukan gerakan motorik lainnya.
Dari falsafah tentang
"Tulang punggung" inilah masyarakat Kaili mendefenisikan
"bulonggo" sebagai sebuah pranata mengenai peran dan kedudukan
perempuan dalam kehidupan keluarga, demikian juga peran pemimpin dalam
kehidupan masyarakat.
Sebagai sebuah pranata mengenai
peran perempuan, "Bulonggo" memberi makna akan kedudukan perempuan
sebagai pusat dan inti kehidupan. Pandangan ini terlihat jelas dalam sistem
uxorilokal dan residensi matrilineal pada masyarakat Kaili. Kedudukan perempuan
menjadi penunjang dan penyangga dalam mempertahankan kelangsungan kehidupan
keluarga sebagai kesatuan sistem. Pranata "bulonggo" selanjutnya
menjadi dasar dalam proses pembentukan peran perempuan dalam sistem sosial
khususnya dalam kepemilikan dan pengaturan harta dan warisan keluarga.
Dalam struktur kehidupan keluarga
yang berhak menjadi "bulonggo" adalah anak perempuan pertama meskipun
ia bukan anak tertua. Sebagai contoh dalam sebuah keluarga memiliki lima orang
anak yang terdiri dari tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak Perempuan,
maka anak perempuan pertamalah yang menjadi "bulonggo" sungguhpun
usianya lebih muda.
Sementara bagi anak laki-laki khususnya
yang masih lajang berkewajiban untuk senantiasa menambah jumlah harta atau
warisan yang ada melalui penghasilannya.
Demikian halnya dalam pelaksanaan
sistem "notava" (sistem pemanfaatan secara bergilir sumber-sumber
ekonomi berbentuk " mbara-mbara nimana" ) dimana pengelolaannya
berada pada "bulonggo" untuk mengatur tata urutan pemanfaatannya.
Sebagai tanda satuan kekerabatan
dalam "koyo puse" (keluarga batih) tetap terjalin dalam ikatan
persaudaran maka setiap anggotanya harus mengenal dan terikat pada
"bulonggo"-nya sebagai pusat lingkar kerabatnya terutama jika
menjalankan fungsi keadatan dalam kerabat luas (sarara) atau dalam melaksanakan
upacara daur hidup. Posisi "bulonggo" menjadi sangat penting karena
peran "bulonggo" sebagai wadah pemersatu secara eksplisit
mengejawantah pada fungsi perempuan sebagai subyek "tina nu
mbara-mabara" sekaligus sebagai pusat jalinan kekerabatan seperti tersirat
dari adagium to kaili "Ni linggu Mpotoboyo" bahwa kesatuan
"sarara" harus tetap saling mengenal dan berkumpul.
Pranata Bulonggo juga menegaskan
tentang peran dan fungsi pemimpin dalam kehidupan masyarakat. Ketika wilayah
keadatan masih berada dalam sistem "Pitunggota dan Patanggota Ngata
Kaili", Para "Totua Nu Ngata" yang berada pada tiap-tiap
"soki" merupakan personifikasi "Bulonggo Nu Ada", dengan
peran dan fungsi menjaga, memelihara dan mengelola tradisi dan adat istiadat
yang masih di pedomani.
Eksistensi pemimpin dalam
kehidupan masyarakat pada kesatuan adat tanah kaili menempatkan pemimpin berada
pada satuan kekerabatan yang menjalankan fungsi sosial.
Kekuatan adat menjadi simpul yang
mengikat kesatuan hidup masyarakat dimana peran "Bulonggo Nu Ada"
menjadi penting untuk mengatur dan mengendalikan siklus kehidupan yang bertumpu
pada nilai-nilai hidup yang berkembang di masyarakat.
Para pemimpin selain menjalankan
fungsi eksekutif dan legilslatif kiranya mampu menerjemahkan dan
mengimplementasikan nilai-nilai adat sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan
masyarakat. Nilai-nilai adat masih adaptif sebagai pengendali alternatif selain
hukum positif. Peran pemimpin dalam menjalanksn fungsinya sekaligus sebagai
"Bulonggo Nu Ada" dapat menjadi penyangga kehidupan masyarakat.
Symbiosis peran formal dan informal yang dijalankan pemimpin tentunya akan
menjadi kekuatan dalam mengatur kehidupan masyarakat sehingga rasa terlindungi
dan terayomi dapat dirasakan sebagai cara untuk mengatasi dan mengisi ruang
kosong yang dirasakan masyarakat sejauh ini.
Insya Allah....
Boyaoge, 11 Oktober 2019,
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili
0 comments:
Posting Komentar