Kita, Orang Palu (Kaili) dan Politik
Koentjaraningrat mengartikan klan
sebagai suatu kelompok kekerabatan yang terdiri atas semua dari seseorang nenek
moyang yang di perhitungkan melalui garis keturunan sejenis, yaitu keturunan
marga laki-laki atau perempuan.
Pada masyarkat Kaili, Klan
merupakan kelompok kekerabatan yang terbentuk dari gabungan beberapa keluarga
luas yang disebut "sampesuvu" (kinship).
"Sampesuvu" melingkar
dalam satuan kekerabatan yang disebut "Ntina" (kindred) sebagai
satuan kekerabatan terus berkembang hingga membentuk klan dimana anggotanya
diikat atau berasal dari satu nenek moyang yang sama. Klan pada masyarakat
Kaili dapat ditelusuri berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal) maupun
garis keturunan ayah (patrilineal). Untuk mengetahui klan seseorang dapat
dikenali berdasarkan fam atau marga yang digunakan.
Saat ini di beberapa wilayah di
Lembah Palu ditemukan beberapa kelompok masyarakat Kaili yang merupakan satuan
klan dengan marga khusus dalam kesatuan "Ntina" bahkan sebagian
warganya telah menyebar ke beberapa wilayah lain. Proses perkawinan antar
sesama warga dalam kesatuan klan (Ntina)terjadi melalui adat
"Nibolai/Nosibolai" yang menjadi sarana untuk mempererat tali
persaudaraan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan agar semakin erat dan
dekat. Hal ini sesuai dengan prinsip kekerabatan "Nillinggu mpo
toboyo" yang berarti “menggulung pucuk labu yang telah menjalar jauh agar
dapat kembali ke pohonnya”. Makna adagium ini adalah, jika jarak persaudaraan
atau pertalian darah sudah agak jauh maka sebaiknya ditarik kembali mendekati
satuan dasar kekerabatan melalui ikatan perkawinan. Dengan demikian hubungan
kekerabatan semakin dekat dan erat. Pomeo lain yang ikut memperkuat prinsip
kekerabatan adalah "belontona da ta no sampusuvu" yang berarti bahwa
“sejahat-jahatnya bersaudara masih jauh lebih baik dari pada kebaikan orang
lain”. Pomeo ini merupakan salah satu kunci kesatuan dan persatuan dalam
kelompok kekerabatan masyarakat Kaili, sehingga dalam kesatuan kerabat sikap
saling tolong menolong dan saling membantu (nosiala pale, notava) tetap
terpelihara sebagai kekuatan dalam menyangga hubungan sosial terutama saling
membantu dalam aktivitas sehari-hari dan bahkan mendukung dalam aktivitas
politik.
Penanda bahwa jalinan kekerabatan
pernah terbangun dibeberapa kerajaan Lembah Palu yang memperkuat hubungan
kekerabatan melalui ikatan perkawinan antar "madika (bangsawan) melalui
adat Nibolai/Nosibolai misalnya terjadi antara “Pue Nggari” dari kerajaan di
Palu dengan “Pue Puti” dari kerajaan di Dolo, perkawinan antara “Vumbulangi”
dari Kerajaan di Bangga dengan “ Mbavalemba” dari kerajaan Pakava, perkawinan
antara anak raja di Tavaeli yang bernama “Ronjala” kawin dengan “Dae Mabela”
dari kerajaan di Banawa, adapula anak raja Tavaeli “ Menukalui” kawin dengan “Tondinugo”
dari kerajaan di Sigi, perkawinan antara anak Raja Sigi “Sairalie” yang kawin
dengan “Intoviva” dari kerajaan Besoa serta perkawinan-perkawinan lainnya
antara beberapa kerajaan yang ada menunjukan bahwa masyarakat Kaili di Lembah
Palu terikat dalam satu rumpun kekerabatan sejak dahulu (Abdullah, 1975 : 39).
Perkawinan antar
"madika" (bangsawan) menjelaskan garis genealogis beberapa klan
(marga) seperti Djanggola, Parampasi, Djaelangkara, Lamakarate, Karandjalemba,
Randalemba, Lamakampali, Lamarauna, Malonda, Pettalolo, Lembah, Yotolembah
tetap terjaga eksistensinya hingga saat ini. Beberapa klen lainnya seperti
Ponulele, Datu Palinge, Daeng Sute, Lapasere, Pakamundi, Latjambo, Tombolotutu,
Sunusi juga dominan keberadaannya saat ini. Jika ditelusuri klan-klan ini
memiliki asal muasal yang sama atau memiliki pertautan yang sama. Secara
genealogis mereka terbentuk dari perkawinan yang terjadi diantara golongan
Madika sebelumnya.
Klan-klan ini pada awalnya
berasal dari satu kampung yang sama (residensi matrilokal/teritorial) yang
berbentuk ngata (kampung). Bahkan penggunaan nama Fam “Lemba” pada beberapa
klan disinyalir terkait dengan wilayah hunian awal(residensi teritorial,)
dimana klan tersebut berasal.
Klan-klan tersebut secara terus
menerus mengalami perluasan dengan terjadinya perkawinan antar madika dan
turunan para "Magau" melaui adat Nibolai/Nosibolai). Pada tiap
"ngata" terbentuk ikatan kekerabatan yang semakin erat diantara
tiap-tiap klan sehingga jaringan hubungan kekerabatan berdasarkan genealogis
semakin kuat.
Ikatan perkawinan telah
menyatukan madika di lembah Palu bahkan membentuk klan-klan besar dengan status
sosial tersendiri. Dalam perkawinan, klan-klan ini pada umumnya memelihara adat
dengan sistem perkawinan endogamy. Seorang laki-laki dapat kawin dengan
perempuan dari klennya sendiri minimal dalam derajat ke satu (sarasanggani)
atau memilih perempuan di luar klen baik yang sederajat maupun yang tidak
sederajat. Perkawinan endogamy dimaksudkan sebagai upaya memelihara dan menjaga
kualitas dan kemurnian darah turunan dari keluarga bangsawan dalam klan yang
sama. Bentuk lainnya adalah perkawinan "Positaka Taono" dan
"Pongganti Ompa" bertujuan untuk mendekatkan pertalian darah dalam
satuan kekerabatan disamping untuk menjaga agar "mbara-mbara nimana"
(harta warisan keluarga/harta bersama) agar tidak jatuh terlalu jauh.
Dalam aktivitas politik dan
aktivitas organisasi kemasyarakatan beberapa anggota Klan menguasai posisi
strategis dalam proses politik. Sebut saja diantaranya Djanggola, Ponulele,
Parampasi, Pettalolo, Lembah, Lamarauna, Yoto Lembah dan beberapa klan besar
lainnya. Umumnya mereka berasal dari kesatuaan klan yang terkait hubungan
kerabat seperti ana (anak), pinoana (kemenakan), sarasanggani (sepupu dalam
derajat ke satu), sarara ruanggani (sepupu dalam derajat kedua), sarara
talunggani (sepupu dalam derajat ketiga), mania (mantu), era (ipar), mangge
(Paman), pinotina (Bibi) bahkan makumpu (cucu). Nama besar marga berdasarkan
klan yang disandang seseorang seringkali menjadi dasar pertimbangan untuk dapat
menduduki jabatan atau posisi tertentu dimasyarakat. Latar genealogis klan
turut menentukan tingkat popularitas dan elektabilitas seorang anggota klan
dalam aktivitas politik praktis. Sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat bahwa
salah satu dari empat fungsi klan adalah menjadi dasar dari organisasi politik.
Faktor genealogis Klan seringkali
dijadikan pertimbangan untuk mendorong seorang anggota klan memasuki
ruang-ruang politik, bahkan pelibatan dalam partai politik dapat terjadi karena
alasan genealogis klan. Posisi sebagai anggota klan dengan latar belakang
genealogis menjadi pertimbangan karena kekuatan lingkaran klan dapat menjadi
penyangga bahkan menjadi barikade bagi tujuan-tujuan politik praktis.
Mendapat kedudukan dalam jabatan
dan kekuasaan politik memberi penjelasan tentang karakter kekuasaan adat yang
melekat pada pemimpin masyarakat Kaili ketika zaman kerajaan masih berlangsung
di Lembah Palu. Para pemimpin masyarakat mendapat wewenang secara adat untuk
mengelola kehidupan bersama, menjaga, memelihara kepentingan rakyat yang
dipimpinnya, serta mempertahankan wilayah kekuasaan adat dari perebutan wilayah
antar penguasa pada masing-masing wilayah kerajaan. Namun para pemimpin
masyarakat dalam kedudukannya dipersyaratkan memiliki sifat jujur, adil,
bijaksana, berpandangan jauh kedepan, amanah, berwibawa, ahli dan cakap dapat
menjadi teladan serta berpengaruh dalam masyarakat.
Puncak-puncak status sosial lapis
Madika (bangsawan) merupakan perkembangan lanjut perubahan sosial ketika
lembaga-lembaga kekuasaan yang baru lahir menggantikan fungsi kekuasaan adat,
maka dominasi kedudukan dalam sistem kekuasaan adat mengalami transformasi ke
dalam puncak-puncak status sosial yang diteruskan atau diperankan oleh anggota
klan dominan berdasarkan hubungan kekerabatan Madika.
Pergeseran status Kedudukan yang
melekat pada Magau dan Madika ketika pemerintahan adat masih berlaku berubah
menjadi status sosial bergengsi bagi anggota klan dominan yang notabene adalah
keturunan Magau dan Madika dalam hubungan sosial khususnya dalam proses politik
yang terjadi, perubahan status ini memperkuat terhadap bertahannya dominasi
mereka dalam proses politik yang terjadi. Olehnya superioritas klan dominan
dengan simbol-simbol adat menandai strata masyarakat Kaili masih tetap eksis
meski terkadang tampil dalam bentuk yang berbeda. Eksistensi kedudukan dan
jabatan merupakan faktor determinan akan munculnya anggota klan dominan yang
diyakini memiliki kekuatan pengaruh pada masyarakat Kaili.
Saat ini melanggengkan Kedudukan
berarti memposisikan klan dominan dalam struktur sosial terutama pada
puncak-puncak strata sosial masyarakat Kaili yang berada pada golongan Madika.
Dominasi klan dominan berlangsung dalam kehidupan politik, meskipun terkadang
tidak harus menjadi pemimpin puncak pada suatu organisasi kemasyarakatan atau
pada lembaga politik, namun memegang posisi strategis dalam organisasi
kemasyarakatan atau bahkan memiliki kekuatan tawar menawar yang tinggi dalam
pengambilan keputusan politik.
Garis kontinum ini ditandai
dengan pelabelan simbol-simbol adat dengan idiom kharismatik seperti
"tomalanggai" dan "tadulako" yang dilekatkan pada
personifikasi anggota klan agar tetap ekdis dalam aktivitas politik. Eksisnya
hubungan primordial dalam penataan peran-peran sosial yang menempatkan posisi
anggota klan dominan sebagai representasi sumberdaya terpilih oleh karena
kekuatan status sosial yang melatar belakangi dalam proses politik dan
pemerintahan.
Untuk menempati kedudukan
tertentu biasanya akan diperhitungkan berdasarkan pada status sosial yang
dimiliki. Seperti menduduki jabatan pemimpin dalam masyarakat baik di lembaga
politik, organisasi kemasyarakatan, dan pemerintahan senantiasa akan
disesuaikan pada status sosial yang melatar belakangi. Kedudukan dalam status
sosial seseorang akan berpengaruh pada jabatan yang di emban terutama pada
pandangan orang lain terhadapnya, setidaknya kedudukan dalam jabatan atau
pelibatan dalam aktivitas politik dilandasi status sosial Madika yang memberi
prestise berbeda dengan yang bukan golongan Madika.
Boyaoge, 9 Januari 2020
N I S B A H
0 comments:
Posting Komentar