Penguatan Budaya Kaili Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.
Penguatan Budaya Kaili
Stratifikasi Sosial
Masyarakat Kaili.
Stratifikasi sosial atau pelapisan
sosial adalah tempat atau kedudukan dalam hirarki tatanan masyarakat (Manheim,
1996). Stratifikasi atau pelapisan sosial menunjukkan adanya perbedaan
kedudukan atau status individu dalam masyarakat yang didasarkan pada
kelas-kelas sosial yang bertingkat dengan wujud lapisan tinggi, sedang, dan
rendah.
Stratifikasi sosial pada
masyarakat Kaili didasarkan pada kriteria yang ditentukan oleh keturunan,
keaslian, dan kekuasaan adat yang dimiliki. Secara umum zaman dahulu hingga
kini pada masyarakat Kaili ditemukan empat tingkatan stratifikasi/pelapisan
sosial yaitu :
1. Magau (Raja)
2. Maradika (madika) atau to
tua nungata (Bangsawan).
3. Rakyat kebanyakan (to dea)
4. Budak (batua)
Status dan kedudukan seseorang pada
masyarakat Kaili disebut dengan Vati. Vati terkait dengan tingkatan adat yang
melekat dan dimiliki seseorang dan diyakini dapat mempengaruhi pembentukan
watak dan perilaku yang ditampilkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Setiap orang diharuskan untuk memelihara Vati yang dimiliki agar terhindar dari
perilaku menyimpang, karena jika terjadi penyimpangan perilaku yang disebut
dengan Nasalavati, maka dapat terjadi malapetaka. Tingkatan Vati yang melekat
pada lapisan sosial terbagi atas :
1.Vati Nu Madika (berlaku bagi
golongan Magau dan keturunannya)
2.Vati Nu Oge (berlaku pada
golongan Madika dan To Tua Nungata keluarganya)
3.Vati Nto Dea (berlaku bagi To
Dea).
Magau (Raja) berdasarkan
keturunannya diyakini adalah turunan dari to manuru. To Manuru yang berarti
perempuan yang menjelma secara tiba-tiba. Masyarakat Kaili mempercayai bahwa
raja secara turun temurun merupakan keturunan langsung dari dewa. Bangsawan
adalah kelompok masyarakat penduduk asli yang mempunyai kedudukan sosial lebih
tinggi dari rakyat kebanyakan dan berdasarkan silsilahnya masih keturunan Magau
(Raja) atau bahkan memiliki ikatan/hubungan kekerabatan dengan Magau (raja).
Rakyat kebanyakan adalah golongan
penduduk biasa yang tidak mempunyai pertalian darah dengan kelompok bangsawan
atau bukan keturunan raja. Saat ini golongan pendatang yang bukan suku Kaili
dikategorikan dalam lapisan masyarakat kebanyakan. Adapun budak merupakan
kelompok masyarakat masyarakat lapisan bawah, mereka merupakan kelompok
masyarakat yang berfungsi melayani kebutuhan dan keperluan hidup sehari-hari
golongan bangsawan atau raja. Saat ini kelompok masyarakat budak tidak tampak
secara nyata dalam kehidupan masyarakat namun masih diakui bahwa lapisan
masyarakat budak ini pernah ada.
Pelapian sosial menciptakan
perlakuan berbeda bagi setiap anggota masyarakat. Bagi golongan madika atau
keturunannya akan memiliki kekhususan tersendiri yang berbeda dari lapisan
masyarakat bawah. Madika atau Maradika adalah gelar atau sebutan bagi golongan
yang memegang kekuasaan adat atau memiliki keturnan darah biru dan masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan Magau. Bagi Madika yang tidak memiliki
kekuasaan adat atau hanya merupakan keturunan darah biru disebut dengan Madika
Kadi, sementara bagi Madika yang memiliki kekuasaan di sebut dengan Madika
Mbaso. Pemberian nama seseorang yang berada pada golongan Madika juga berbeda
golongan biasa. Umumnya nama-nama keturunan Madika menggunakan gelar khusus di
awal namanya seperti “Andi”, “Dae”, dan “Intje”, sementara panggilan terhadap
mereka sering disebut “Pua".
Atribut yang dipergunakan pada
lapisan Madika berupa rumah yang bentuknya lebih besar yaitu Sou Raja bagi
Magau, Kataba dan Palava bagi golongan Madika dan To Dea. Jenis pakaian bagi
Magau dan To Dea juga dibedakan dari ragam perhiasan corak dan warna pakaian
yang dikenakan . Penggunaan simbol dengan instrumen ulo-ulo dalam upacara
kelahiran, perkawinan, dan kematian menunjukkan bahwa atribut,dan simbol pada
golongan madika tidak sama dengan masyarakat biasa.
Rangkaian upacara kelahiran yang
dilalui ketika menjelang proses kelahiran dimulai dengan upacara Nolengga yang
dilakukan ketika kandungan genap berusia tujuh bulan kemudian setelah lahir
dilakukan upacara Nokeso/Noloso dan Nosombebulua. Rangkaian upacara ini lazim
dilaksanakan pada golongan Madika. Pada upacara perkawinan terdapat perbedaan
antara golongan keturunan Magau dan Madika dengan rakyat biasa. Pakaian yang
dikenakan adalah pakaian adat dengan corak dan kualitas kain yang baik.
Biasanya pengantin pada lapisan ini akan menggunakan pakaian dan asesoris adat
yang telah disimpan lama secara turun temurun yang terbuat dari emas murni.
Pada masa pra Islam terdapat upacara
pengobatan atau penyembuhan orang yang sakit dimana ada perbedaan antara
upacara yang di berlakukan bagi Magau yang disebut Balia Maloso, sementara bagi
masyarakat biasa berlaku Balia Bone Biasa. Perbedaan antara upcara kedua
golongan ini ditandai pada kualitas dan kuantitas atribut yang digunakan.
Pada upacara kematian, perbedaan
dengan golongan masyarakat biasa dengan golongan Madika (bangsawan) atau
turunan Magau (raja) tampak pada peti jenazah yang di usung dalam keranda yang
dihiasi dengan kain warna-warni (Tabere) dan ditandu dengan bambu kuning.
Selain itu pada golongan ini prosesi pelaksanaan upacara kematian yang dilalui
sangat banyak. Atribut golongan bangsawan (Madika) cirinya relatif sama dengan
golongan Magau namun tidak boleh melampaui milik Magau, baik kualitas, jumlah,
isi serta makna yang berbeda.
Perkawinan pada golongan keturunan
Magau dan Madika disebut dengan adat Nosibolai/Nibolai sementara bagi golongan
Ntodea atau rakyat biasa disebut dengan Nosiduta. Upacara perkawinan pada
masyarakat Kaili ditentukan pada nilai mahar adat yang disebut Sunda. Adapun
penentuan nilai mahar adat didasarkan pada status dan kedudukan sosial atau
Anggu Nu Vati (Abdullah, 1975).
Nilai mahar baik kualitas, kauntitas
dan jenisnya harus sesuai dengan status dan kedudukan serta keturunan seorang
perempuan dalam lapisan tertentu. Dalam masyarakat ini dikenal ketentuan nilai
mahar berdasarkan aturan adat yang berlaku yaitu :
1. Bagi raja dan keturunannya
(Vati Nu Madika) berlaku adat pitumpole yang terdiri dari : tujuh ekor kerbau,
tujuah buah emas berbentuk kepiting, tujuh lembar kain mbesa , tujuh buah
dulang berkaki, tujuah buah piring adat, tujuh buah mangkuk sayur berwana
putih, dan tujuh piring bermotif daun. 2. Bagi golongan bangsawan (Vati Nu Oge)
berlaku adat Patampole atau Limampole yang terdiri dari : lima ekor kerbau,
lima buah emas berbentuk kepiting, lima kain mbesa, liba buah dulang berkaki,
dan lima buah piring besar.
3. Bagi golongan masyarakat biasa
( Vati Nto Dea) berlaku adat Sanjasio yang terdiri dari : satu ekor kerbau
(tidak wajib), Sembilan kain mbesa, Sembilan buah piring besar, Sembilan
mangkok sayur putih dan Sembilan dulang dapat ditambah dengan sebidang tanah
dan kebun kelapa.
4. Bagi golongan budak (Vati Nu
Batua) tidak diatur berdasarkan ketentuan adat.
Ketentuan mahar tersebut
merupakan syarat yang wajib disertakan untuk melengkapi Sambulugana (kepala
mahar adat). Sambulugana ini merupakan syarat pertama yang harus disiapkan
ketika terjadi peminangan pada semua tingkatan masyarakat baik raja dan
keturunannya, bangsawan maupun golongan biasa. Adapun Sambulugana terdiri dari
:
1. Sebuah tempat sirih (Sambulu)
dari emas lengkap dengan isinya berupa sirih, pinang, gambir, kapur sirih,
tembakau, yang setiap jumlahnya disesuaikan dengan tingkatan strata sosialnya.
2. Seekor domba atau kambing sebagai kepala (Balengga nu sambulugana).
3. Sebentuk cincin emas sebagai
inti (Unto Nu Sambulugana).
4. Seperangkat pakaian perempuan
lengkap dengan perhiasannya.
5. Buah-buahan yang jenisnya
disesuaikan dengan tingkatan stratanya.
Kemungkinan terjadinya perkawinan
dari golongan berbeda dapat saja terjadi dimana turunan magau atau golongan
madika kawin dengan golongan To Dea. Melakukan perkawinan dengan turunan magau
atau golongan madika menjadi satu kebanggaan karena derajat dan status sosial
akan naik dan berada pada lapisan atas. Meskipun mereka yang telah terikat oleh
hubungan darah karena terjadinya perkawinan antar lapisan, namun tetap ada
pembedaan dalam pergaulan sehari-hari pada zaman dulu.
Hubungan antar lapisan pada masyarakat
Kaili terbangun melalui hubungan kekerabatan, hubungan bertetangga, hubungan
pekerjaan, dan hubungan kemasyarakatan. Hubungan kekerabatan dapat terjalin
erat melalui pertalian darah dan perkawinan. Hubungan ini menegaskan adanya
hubungan kuat yang terikat oleh perkawinan dapat menjadi ikatan keluarga yang
satu. Tolong menolong dengan prinsip sintuvu posara menunjukkan adanya hubungan
yang erat. Hubungan dalam bertetangga terjalin sangat akrab terutama jika
berasal dari lapisan status sosial misalnya antara golongan sesama Madika yang
sama namun hal ini tidak mengganggu hubungan yang terjalin dengan masyarakat
biasa, karena lapisan sosial ini biasanya yang paling sering memberikan
pertolongan jika ada pekerjaan yang diselesaikan.
Hubungan pekerjaan yang terjalin antar
lapisan sosial berbeda pada masa pemerintahan kerajaan masih berlaku
memperlihatkan hubungan yang berbeda. Hal ini terjadi karena lapisan masyarakat
budak menjadi pekerja yang mengurus seluruh sawah, ladang dan peternakan milik
Magau atau Madika. Golongan masyarakat biasa kadangkala juga memberikan bantuan
kepada Magau atau Madika jika pelaksanaan upacara daur hidup dilaksanakan. Hal
ini dilakukan sebagai simbol pengabdian dan rasa tolong menolong yang mendasari
hubungan tersebut.
Pada masyarakat kebanyakan (To dea)
juga terdapat pelapisan sosial samar yaitu kedudukan dan status sosial yang
dimiliki seseorang atau sekelompok orang didasarkan pada keahlian dan
keberanian yang dimiliki. Pada masyarakat Kaili keberadaan Sando atau Pagane
(dukun atau ahli mantera) memiliki status sosial tersendiri dalam masyarakat.
Dengan keahliannya yang dapat mengobati penyakit dan juga menentukan hari baik
dan buruk untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Sando atau Pagane
dapat menentukan dimana dan saat mana sebaiknya membangun rumah, dan
menempatinya. Demikian pula kapan saatnya untuk memulai masa tanam dan masa
panen. Peranan Sando atau Pagane pada masa lalu sangat menonjol dan diakui
masyarakat karena dapat menuntun kelompok masyarakat melakukan aktivitasnya.
Demikian pula halnya dengan seseorang
yang diberi julukan Tadulako akan memiliki status sosial tersendiri dalam
masyarakat. Hal ini terjadi karena seseorang yang memiliki julukan Tadulako
dianggap memiliki keberanian dan kesaktian, ilmu kebal, dan pengetahuan akan
ilmu bela diri serta keterampilan menggunakan alat perang. Mereka dihargai dan
dihormati oleh masyarakat dan terkadang mereka diangkat sebagai pemimpin komunitas
atau kelompok secara tidak resmi.
Gambaran mengenai stratifikasi
sosial berdasarkan faktor keturunan dalam upacara siklus hidup, saat ini tidak
lagi dominan dalam kehidupan masyarakat Kaili khususnya pada masyarakat biasa
meskipun pada klan-klan yang notabene adalah keturunan raja (madika) atau
golongan bangsawan prosesi dengan simbol-simbol ini masih dapat ditemui dengan
jelas.
Seiring terjadinya perubahan dalam
kehidupan sosial yang ditandai dengan makin heterogennya kehidupan masyarakat,
maka pelapisan sosial tidak lagi semata-mata didasarkan pada faktor keturunan,
keaslian maupun kekuasaan yang dimiliki seseorang tetapi juga dengan
memperhatikan jabatan kepangkatan dalam pemerintahan, tingkat pendidikan baik
formal dan non formal seperti intelektual, ulama, tokoh-tokoh adat maupun
profesi lainnya dalam bidang pengetahuan. Namun jika seseorang yang memiliki
kelebihan-kelebihan tersebut berasal golongan bangsawan dan masih keturunan
raja maka kedudukan dan status sosialnya akan semakin tinggi.
Boyaoge, 6 september 2019
NISBAH
0 comments:
Posting Komentar