SILATURRAHMI SRI MANGKU ALAM II

Kunjungan Silaturrahmi Sri Mangku Alam II di Pombewe

RAPAT DEWAN ADAT

Selesai Pelaksanaan Rapat di Rumah Ketua Dewan Adat Kab. Sigi, di Kaleke.

KUNJUNGAN RAJA BUOL

Kunjungan Silaturrahmi Raja Buol dengan Dewan Adat Kab. Sigi.

SILATURRAHMI DI RUMAH BUPATI SIGI

Kunjungan Silaturrahmi Pengurus Dewan Adat Kab. Sigi di Rumah Bupati Sigi ...

LIBU POTANGARA

Salah Satu Tugas Dewan Adat Kabupaten adalah menyelesaikan perkara yang tidak terselesaikan ditingkat bawah ....

SILATURRAHMI RAJA BUOL

Kunjungan Silaturrahmi Raja Buol di Kantor Bupati Sigi

FESTIFAL DANAU LINDU

Pelaksanaan Libu Mbaso Dewan Adat Kabupaten Sigi bersamaan Festifal Danau Lindu.

PENGURUS INTI DEWAN ADAT KAB. SIGI

Foto Bersama, Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Bendahara, dan Wakil Wandahara.

PELANTIKAN MAJELIS ADAT KECAMATAN

Pelantikan Pengurus Majelis Adat Kecamatan oleh Ketua Dewan Adat Kab. Sigi ...

LIBU POSAMPESUVU MAROSO

Mediasi Perselisihan Warga Desa Rarampadende dan Desa Pesaku ....

Selasa, 17 Juni 2025

Silaturrahmi Dewan Adat Kab. Sigi dengan Kapolres Sigi.

Alhamdulillah, Rabu, 18 Juni 2025, Dewan Adat Kab Sigi silaturrahmi dgn Bapak Kapolres Sigi






 

Sikola Mombine-WVI gandeng lembaga adat cegah perkawinan usia anak

 


Yayasan Sikola Mombine dan Wahana Visi Indonesia (WVI) menggandeng lembaga adat di Sulawesi Tengah (Sulteng), khususnya di Kabupaten Sigi, Donggala, dan Kota Palu, dalam upaya mencegah perkawinan usia anak di daerah ini.

"Perkawinan usia anak masih menjadi tantangan serius di Sulawesi Tengah, termasuk di Palu, Sigi, dan Donggala. Untuk itu kami menggelar lokakarya pencegahan perkawinan usia anak dalam perspektif adat untuk memperkuat upaya pencegahan secara kontekstual dan berkelanjutan," kata Program Manajer Perlindungan Anak Yayasan Sikola Mombine Fiani Risky di Palu, Selasa.

Ia menjelaskan perkawinan usia anak masih menjadi persoalan serius yang menghambat pemenuhan hak anak dan pencapaian pembangunan berkelanjutan. Hal itu berdampak negatif terhadap aspek kesehatan, pendidikan, perlindungan hukum, hingga kesejahteraan sosial anak, khususnya anak perempuan.


Anak yang menikah di usia dini rentan mengalami kehamilan berisiko, putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, serta kemiskinan berkelanjutan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, Sulawesi Tengah menempati peringkat kelima dengan tingkat perkawinan usia anak tertinggi di Indonesia, dengan mencapai 12,65 persen.

Menurut dia, nilai dan tradisi adat memiliki peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap usia ideal perkawinan.

Ia mengatakan adat menyimpan potensi besar untuk menjadi bagian dari solusi, banyak norma dan praktik lokal yang mengandung nilai-nilai perlindungan dan kesejahteraan bagi generasi muda.

"Untuk itu forum ini bertujuan untuk menyamakan persepsi terkait pencegahan perkawinan usia anak yang berfokus pada lembaga adat," katanya.

Ia mengatakan pendekatan berbasis budaya dan lokalitas dengan keterlibatan tokoh adat dapat memperkuat upaya pencegahan perkawinan usia anak secara lebih kontekstual dan berkelanjutan.

"Melalui kegiatan ini kami juga membuat rekomendasi dan menyusun rencana aksi yang melibatkan tokoh adat, tokoh agama, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat untuk bersama-sama berkolaborasi dalam mencegah perkawinan anak, khusus di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala," ujarnya.

Sementara itu Area Program Manajer WVI Sulteng Agustinhs Polabi mengatakan lokakarya untuk menyelaraskan semangat dan pemahaman dalam mencegah perkawinan anak.

"Hal ini karena selama ini masih kurang ruang diskusi bersama dengan lembaga adat terkait pencegahan perkawinan usia anak," ujarnya.


Melalui kegiatan ini, kata dia, diharapkan terbentuknya pemahaman menyeluruh dari tokoh adat mengenai isu perkawinan usia anak dari perspektif sosial, hukum, dan kesehatan.

Ia juga mengharapkan terbentuknya rencana aksi lokal pencegahan perkawinan anak yang berbasis adat, seperti melalui peraturan desa terkait hukum-hukum adat untuk mencegah perkawinan anak.

Sementara itu Dewan Pakar Badan Musyawarah Adat Sulteng Suaib Djafar menyampaikan apresiasi terhadap Yayasan Sikola Mombine dan WVI yang telah melibatkan lembaga adat dalam upaya mencegah perkawinan usia anak.

Menurut dia, forum ini menjadi ruang untuk mengindentifikasi nilai-nilai adat yang dapat mendukung pencegahan perkawinan anak.

"Ada tiga pilar yang menjadi penting, yakni pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat. Oleh karena itu kami mengharapkan melalui kegiatan ini dapat menghasilkan rekomendasi tindak lanjut bersama kepada pemerintah daerah tentang bagaimana bersama-sama mengambil peran dalam pencegahan ini," ujarnya.

Dengan langkah ini, kata dia, selanjutnya Badan Musyawarah Adat juga akan melakukan sosialisasi nilai-nilai adat dalam mendukung perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak melalui forum adar dan kegiatan desa.

Lokakarya tersebut melahirkan empat rekomendasi rencana aksi sebagai komitmen dan tanggung jawab bersama dalam mencegah perkawinan anak dan melindungi anak sebagai generasi penerus bangsa.


 Sumber : DISINI

Minggu, 15 Juni 2025

Hukum Adat di Sulawesi

 


Hukum Adat di Sulawesi:

Hukum adat di Sulawesi juga memiliki keunikan tersendiri, tergantung pada suku dan wilayahnya. Secara umum, hukum adat di Sulawesi mengatur tentang kepemilikan tanah, pengelolaan sumber daya alam, perkawinan, warisan, dan penyelesaian sengketa. Masyarakat adat di Sulawesi memiliki sistem sosial yang kompleks, yang tercermin dalam hukum adat mereka.

Dalam hal penyelesaian sengketa, hukum adat Sulawesi mengenal sistem perdamaian adat, yaitu upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dan mediasi yang melibatkan tokoh adat dan anggota masyarakat. Tujuan dari perdamaian adat adalah untuk mencapai kesepakatan yang adil dan memulihkan hubungan baik antara pihak-pihak yang bersengketa.

Tantangan dan Peluang Hukum Adat di Era Modern

Di era modern ini, hukum adat menghadapi berbagai tantangan dan peluang. Salah satu tantangan utama adalah pengakuan dan perlindungan hukum adat oleh negara. Meskipun UUD 1945 mengakui keberadaan hukum adat, namun implementasinya masih belum optimal. Banyak peraturan perundang-undangan yang belum mengakomodasi kepentingan masyarakat adat, sehingga seringkali terjadi konflik antara hukum adat dan hukum positif.

Selain itu, hukum adat juga menghadapi tantangan dari arus globalisasi dan modernisasi. Perubahan sosial dan budaya yang cepat dapat menggerus nilai-nilai dan tradisi adat, sehingga hukum adat kehilangan relevansinya. Generasi muda juga semakin kurang tertarik untuk mempelajari dan melestarikan hukum adat, sehingga keberlanjutannya terancam.

Namun demikian, hukum adat juga memiliki peluang yang besar untuk berkembang di era modern. Kesadaran akan pentingnya kearifan lokal dan identitas budaya semakin meningkat, sehingga hukum adat semakin dihargai dan diakui. Banyak organisasi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat yang aktif memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan melestarikan hukum adat.

Selain itu, hukum adat juga dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembangunan hukum nasional. Nilai-nilai keadilan restoratif, musyawarah, dan gotong royong yang terkandung dalam hukum adat dapat diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil, humanis, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Upaya Pelestarian dan Pengembangan Hukum Adat

Pelestarian dan pengembangan hukum adat merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, masyarakat adat, maupun masyarakat umum. Pemerintah perlu memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap hukum adat, serta mengintegrasikannya ke dalam sistem hukum nasional. Masyarakat adat perlu terus melestarikan dan mengembangkan hukum adat mereka, serta mewariskannya kepada generasi muda.

 

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan hukum adat antara lain:

1. Dokumentasi dan Publikasi Hukum Adat:

Hukum adat perlu didokumentasikan dan dipublikasikan secara luas agar dapat diakses oleh masyarakat umum. Dokumentasi dapat dilakukan melalui penelitian, wawancara, dan pengumpulan data dari berbagai sumber. Publikasi dapat dilakukan melalui buku, artikel, website, dan media sosial.

2. Pendidikan dan Sosialisasi Hukum Adat:

Hukum adat perlu diajarkan dan disosialisasikan kepada generasi muda agar mereka memahami dan menghargai nilai-nilai dan tradisi adat. Pendidikan dapat dilakukan melalui kurikulum sekolah, pelatihan, dan seminar. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media massa, kegiatan budaya, dan forum-forum diskusi.

3. Penguatan Lembaga Adat:

Lembaga adat perlu diperkuat agar dapat menjalankan fungsinya secara efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat adat dan menyelesaikan sengketa. Penguatan dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pemberian dukungan finansial, dan pengakuan legalitas lembaga adat.

4. Pengembangan Hukum Adat yang Adaptif:

Hukum adat perlu dikembangkan agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Pengembangan dapat dilakukan melalui reinterpretasi nilai-nilai adat, adaptasi aturan-aturan adat, dan integrasi dengan hukum positif.

5. Kerjasama dan Kemitraan:

Pelestarian dan pengembangan hukum adat membutuhkan kerjasama dan kemitraan antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan perguruan tinggi. Kerjasama dan kemitraan dapat dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan yang saling mendukung.

Kesimpulan

Hukum adat merupakan bagian integral dari sistem hukum Indonesia yang kaya dan beragam. Ia mencerminkan identitas dan kearifan lokal yang unik dari setiap daerah di Indonesia. Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern, hukum adat memiliki peluang yang besar untuk berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan hukum nasional. Pelestarian dan pengembangan hukum adat merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, demi terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan berbudaya.

Dengan memahami dan menghargai hukum adat, kita dapat memperkuat identitas bangsa, melestarikan budaya lokal, dan membangun sistem hukum yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hukum adat bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga aset berharga untuk masa depan Indonesia.



Jumat, 13 Juni 2025

Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia

 


Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia

Eksistensi peradilan adat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih sangat mungkin untuk diakui dan diperjuangkan.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keberadaan hukum adat dalam pembangunan hukum nasional belum mendapatkan tempat yang layak. Hukum adat seakan sengaja dipinggirkan dalam pembentukan hukum nasional. Hukum adat hanya diakui keberadaannya dalam proses peradilan. Itu pun hanya diakomodasi jika terdapat kekosongan dalam hukum tertulis. Meski masih diakui dan dianut sebagian masyarakat adat di Indonesia, tapi secara nasional tidak mendapat pengakuan yang baik. Akhirnya, produk hukum nasional Indonesia mengabaikan keberadaan hukum adat.

Beberapa daerah yang masyarakat hukum adatnya masih kuat memang hukum adat masih diakui dan diakomodasi dalam pembentukan hukum. Namun, sifatnya lokal dalam bentuk Peraturan Daerah seperti yang ada di Sumatera Barat dan Papua. Itu pun tidak semua daerah mengakomodasi hukum adat dalam Peraturan Daerah. Hukum yang mengatur pertanahan—seperti hak atas tanah ulayat adat—ada yang diakomodasi dalam Peraturan Daerah. Ada juga hukum adat di bidang lain yang diakomodasi oleh Pemerintah Daerah ke dalam suatu Peraturan Daerah.

Hilman Hadikusuma (1989) berpendapat peradilan adat sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, jauh sebelum agama Islam masuk ke wilayah Indonesia. Masyarakat telah melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat. Peradilan adat pada masa itu adalah tempat penyelesaian perselisihan secara damai. Praktiknya tanpa berdasarkan peraturan tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara. Cukup berdasarkan hukum adat yang dilaksanakan dalam masyarakat hukum adat.

Pada masa kekuasaan Hindia Belanda keberadaan peradilan adat (inheemsche-rechtspraak) ini tetap diakui selain peradilan resmi yang dibentuk Pemerintah (governments-rechtspraak). Keberadaan peradilan adat seperti di Palembang, Jambi, Sumatera Barat, dan peradilan swapraja di beberapa tempat di Jawa tetap diakui. Memang dengan catatan bahwa yurisdiksinya terbatas hanya pada perkara-perkara adat semata.

Undang-Undang RR (Regerings Reglement) Tahun 1854 dan Pasal 130 Undang-Undang IS (Indische Staatsregeling) tahun 1912 adalah contohnya. Pengaturan keduanya sudah membagi pemberlakuan hukum bagi rakyat di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Pada masa Hindia Belanda inilah dikenalnya peradilan adat selain peradilan negara—seperti yang terdapat di Jambi, Palembang dan Sumatera Barat.

Selanjutnya di masa pendudukan Jepang, Pasal I Sjiho-sosjiki-rei tetap mengakui peradilan adat khususnya untuk daerah Sumatera. Keberadaannya dilanjutkan sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia. Keberadaan peradilan adat ini pada tahun 1945-1950 menurut Sudikno (2016) tetap diakui. Hal ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal II ini juga yang menjadi dasar hukum terpenting bagi praktik peradilan di Indonesia setelah kemerdekaan hingga tahun 1950.

Setelah Indonesia merdeka, keberadaan lembaga pengadilan adat ini malah secara berangsur-angsur dihapuskan dari sistem peradilan resmi di Indonesia. Isi UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil menegaskan bahwa Pengadilan Pribumi—sebutan lain Pengadilan Adat dan Pengadilan Swapraja—secara perlahan dihapuskan total.

Sisa-sisa peradilan adat sebenarnya masih ada sampai sekarang. Beberapa daerah seperti di Dayak (Kalimantan), Papua, dan Sumatera Barat, tetap mengakui keberadaan peradilan adat. Eksistensi peradilan adat di daerah itu malah diperkuat. Soal kepatuhan terhadap putusan pengadilan adat, sepenuhnya memang bergantung pada para pihak yang bersengketa.

Perintah dalam putusan pengadilan adat memang tidak dapat dilaksanakan secara paksa (eksekusi) seperti pada putusan pengadilan negeri. Bahkan, putusan pada pengadilan adat tidak dapat dieksekusi dengan meminta bantuan (fiat) dari pengadilan negeri. Sebabnya karena putusan pengadilan adat dianggap sebagai bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

 

Amandemen Konstitusi

Sejak era Reformasi digulirkan pada tanggal 20 Mei 1998, terjadi kebangkitan masyarakat Indonesia yang memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka. Salah satu kelompok masyarakat yang aktif adalah Masyarakat Hukum Adat. Usaha Masyarakat Hukum Adat itu berkaitan dengan hak-hak tradisional sebagaimana diatur Pasal 18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 tentang identitas budaya. Peradilan adat adalah hak tradisional Masyarakat Hukum Adat sekaligus identitas budaya masyarakat tradisional. Faktanya sebagian besar Masyarakat Hukum Adat memang masyarakat tradisional.

Upaya membahas peradilan adat mulai dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui Seminar Nasional di Surabaya pada 20 Juni 2013. Seminar Nasional itu bertema “Seminar Arah Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional”. Seminar ini sebagai upaya persiapan dalam pembentukan peradilan adat melalui RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) yang diajukan ke DPR.

Amandemen UUD 1945 dengan Pasal 18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3) berpotensi mengembalikan eksistensi hukum adat termasuk peradilannya. Sistem hukum adat pada dasarnya bagian dari hak-hak tradisional serta identitas budaya masyarakat hukum adat yang patut diakui. Adanya kedua pasal konstitusi tersebut, selain mengembalikan status hukum adat dan peradilannya juga menegaskan eksistensi pluralisme hukum di Indonesia.

Pluralisme hukum ini tentu meliputi isu peradilan termasuk peradilan adat yang sudah ada dan berkembang sejak sebelum kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Konstitusi Indonesia secara tertulis mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.

Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) merupakan bagian hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi, keberadaan hukum adat adalah bukti nyata Indonesia mengakui pluralisme hukum.

 

UU Desa

Selanjutnya terkait eksistensi lembaga peradilan adat ini makin menarik ketika kita mencermati UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Isinya juga menguatkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Tersedia peluang bagi mereka menjadikan desanya sebagai desa adat bagi yang memenuhi syarat. Hal ini tertuang dalam Pasal 96 UU Desa.

Pengaturan tentang keberadaan masyarakat hukum adat dan desa adat dalam UU Desa ini berdampak terhadap keberadaan lembaga peradilan adat. Semula ia berada dalam kesatuan kekuasaan Masyarakat Hukum Adat, lalu berubah menjadi dalam kekuasaan desa adat. Hal ini kemudian sejalan dengan konsep lembaga peradilan adat yang diterapkan dalam beberapa Peraturan Daerah (Perda). Sebut saja seperti Perdasus Provinsi Papua No. 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua, Perda Provinsi Sumatera Barat No.7 Tahun 2018 tentang Nagari, dan Perda Kabupaten Landak No.1 Tahun 2021 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kabupaten Landak.

Akhirnya, eksistensi lembaga peradilan adat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih sangat mungkin untuk diakui dan diperjuangkan. Persoalannya adalah harus menyusun kerangka politik hukum di bidang kekuasaan kehakiman secara universal.

 

 

*)Adeb Davega Prasna, S.H., M.H., Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi.


Sumber : DISINI

Hukum Adat dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan

 


Keanekaragaman sosial, politik, budaya, dan hukum di tengah masyarakat Indonesia dalam bingkai masyarakat multikultural merupakan suatu anugerah bangsa Indonesia untuk saling berbagi dan memberi dalam bingkai diversifikasi kultural.

Masyarakat yang beragam tersebut tidak mampu melepaskan kehadiran nilai, norma, kaidah, ataupun pedoman berperilaku individu di tengah masyarakat. Variabel normatif tersebut diakomodasi di dalam suatu konsep hukum yang secara umum tidak tertulis dan hidup serta berlaku di tengah masyarakat.

Hal tersebut tentu memberikan konsep keberagaman hukum yang berlaku dan diakui pula di tengah masyarakat Indonesia, ditunjukkan dengan beragamnya konsepsi hukum adat dan aktualisasinya di masing-masing wilayah masyarakat hukum adat.

 

Pengertian Hukum Adat

Hukum adat diperkenalkan pertama kali oleh Snouck Hurgronje dengan istilah (adatrecht) sebagai rangkaian sistem hukum yang berlaku bagi bumiputera (orang Indonesia asli) dan orang timur asing pada masa Hindia Belanda.

Secara konsep umum, hukum adat dapat dipahami sebagai hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, serta berlaku di tengah masyarakat hukum adat tersebut. Setiap hukum adat memiliki konsepsi pengaturan yang berbeda di setiap wilayah hukum adat, tetapi memiliki akar konsep yang sama.

Eksistensi hukum adat di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diakomodasi di dalam Pasal 18B ayat (2), yakni:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”

Pencantuman secara expressive verbis (pencantutan pasal) di dalam konstitusi mengenai hukum adat merupakan suatu rekognisi eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak konstitusionalnya.

Hal tersebut dimaknai sebagai perlindungan eksistensi masyarakat hukum adat beserta segala hal yang hidup di dalam masyarakat hukum adat itu sendiri, termasuk hukum adat beserta segala ketentuan strukturisasinya.

 

Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenal yang namanya

perjenjangan atau hierarki. Ketentuan tersebut dapat diidentifikasi di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Di dalam pasal tersebut terdapat beberapa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

 

Hierarki tersebut terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

 

Di dalam perjenjangan atau hierarki tersebut penting untuk diketahui bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan yang disebutkan berlaku sesuai dengan hierarkinya dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Analisis Kedudukan Hukum Adat

Secara a quo terhadap analisis yuridis-normatif berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat diidentifikasi bahwa hukum adat tidak diakomodasi secara formil normatif di dalam Pasal 7 UU a quo mengenai klasifikasi vertikal hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat.

Akan tetapi, eksistensi hukum adat diberikan kapasitas mengikat secara yuridis di dalam peraturan perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim, dan doktrin ahli.

 

Kesimpulan

Oleh sebab itu, di dalam poin kesimpulan dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum adat di dalam sistem hukum nasional memiliki kedudukan konstitusional berimbang dengan ketentuan sistem hukum lain dan berlaku sama dan seimbang.

Akan tetapi, dapat dipahami terdapat perbedaan mendasar pada hierarki peraturan perundangundangan dengan ketentuan hukum yang berlaku pada umumnya bahwa terdapat perbedaan berkaitan dengan aspek keberlakuan, bentuk, dan sifat mengikatnya. Hukum adat secara formal-yuridis tidak diakomodasi di dalam aturan perjenjangan atau hierarki menurut Pasal 7 UU a quo.

Namun, Sudah menjadi barang tentu nilai-nilai yang menjadi pondasi utama hukum adat harus senantiasa dilestarikan dan dijaga di dalam segala bentuk strukturisasi konsepsi hukum adat itu sendiri, hal tersebut merupakan bagian instrumen sebagai wujud pengendalian pelestarian ketentuan hukum adat beserta hak konstitusional yang bersangkutan dan beririsan dengan hukum adat itu sendiri.

Sumber Referensi:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

I Gede A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangan Dari Masa Kemasa (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2005).

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Edisi Revisi (Bandung: Masdar Maju, 2014).


Sumber : DISINI

Peradilan Adat di Jamin Oleh Negara

 Peradilan Adat di Jamin Oleh Negara



Oleh : SADRI Datupamusu

Givu Ngata atau denda adat untuk desa merupakan bagian dari hukum adat yang masih berlaku di banyak komunitas adat di Indonesia, termasuk di wilayah Sulawesi Tengah, seperti masyarakat Kaili, Lore, atau komunitas lainnya. Givu ngata umumnya diterapkan sebagai bentuk sanksi adat terhadap pelanggaran norma sosial, pelanggaran batas wilayah, perusakan lingkungan, atau tindakan yang mengganggu ketentraman dan keharmonisan desa.

Dasar Hukum Givu Ngata (Denda Adat Desa)

Walaupun givu ngata tidak secara spesifik diatur dalam satu undang-undang nasional yang khusus, hukum adat diakui dan dilindungi oleh hukum positif Indonesia, dengan dasar hukum berikut:

1. UUD 1945

Pasal 18B ayat (2):

Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang undang.

Pasal 281 atat 3 UUD 1945

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

2. UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif  Penyelesaian Sengketa


3. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

Pasal 67 ayat (1) a.:

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa;


Pasal 103 huruf c, d dan e (untuk Desa Adat):

c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;

d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;

e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;


3. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam konteks kerusakan lingkungan, pasal 69 ayat (2)* menyebutkan bahwa:

 Penegakan hukum adat bisa digunakan dalam penyelesaian sengketa lingkungan.

4. Perda atau Perbup Tingkat Daerah

Beberapa kabupaten/kota (seperti Sigi, Poso, dan lainnya di Sulawesi Tengah) memiliki Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati yang mengakui dan mengatur keberadaan hukum adat, termasuk mekanisme givu (denda) sebagai bentuk sanksi adat.

Contoh: Perda tentang Perlindungan Masyarakat Adat atau Pengakuan Desa Adat.

 

📌 Contoh Kasus Penerapan Givu Ngata

- Kasus pelanggaran batas wilayah antara desa A dan desa B, diselesaikan secara adat dengan pemberian givu berupa hewan (sapi, kambing), uang, atau barang adat.

- Kasus perkelahian antardesa diselesaikan dengan mediasi lembaga adat dan penetapan denda adat untuk meredakan konflik.

 🔍 Catatan Penting

Givu Ngata tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional atau melanggar hak asasi manusia.

Harus ada pengakuan dan pelibatan lembaga adat atau tokoh adat yang sah.

Dalam praktiknya, givu ngata bisa berdampingan dengan penyelesaian secara hukum negara (kepolisian, pengadilan), tetapi biasanya digunakan untuk meredam konflik secara sosial budaya.


Sumber : https://karebakakitapura.blogspot.com/2025/06/peradilan-adat-di-jamin-oleh-negara.html

۞ SEKRETARIAT SEMENTARA DEWAN ADAT KAB. SIGI ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞