Selasa, 17 Juni 2025
Silaturrahmi Dewan Adat Kab. Sigi dengan Kapolres Sigi.
Sikola Mombine-WVI gandeng lembaga adat cegah perkawinan usia anak
Yayasan Sikola Mombine dan Wahana
Visi Indonesia (WVI) menggandeng lembaga adat di Sulawesi Tengah (Sulteng),
khususnya di Kabupaten Sigi, Donggala, dan Kota Palu, dalam upaya mencegah
perkawinan usia anak di daerah ini.
"Perkawinan usia anak masih
menjadi tantangan serius di Sulawesi Tengah, termasuk di Palu, Sigi, dan
Donggala. Untuk itu kami menggelar lokakarya pencegahan perkawinan usia anak
dalam perspektif adat untuk memperkuat upaya pencegahan secara kontekstual dan
berkelanjutan," kata Program Manajer Perlindungan Anak Yayasan Sikola
Mombine Fiani Risky di Palu, Selasa.
Ia menjelaskan perkawinan usia
anak masih menjadi persoalan serius yang menghambat pemenuhan hak anak dan
pencapaian pembangunan berkelanjutan. Hal itu berdampak negatif terhadap aspek
kesehatan, pendidikan, perlindungan hukum, hingga kesejahteraan sosial anak,
khususnya anak perempuan.
Anak yang menikah di usia dini rentan mengalami kehamilan berisiko, putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, serta kemiskinan berkelanjutan.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2022, Sulawesi Tengah menempati peringkat kelima dengan
tingkat perkawinan usia anak tertinggi di Indonesia, dengan mencapai 12,65
persen.
Menurut dia, nilai dan tradisi adat
memiliki peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap usia ideal
perkawinan.
Ia mengatakan adat menyimpan
potensi besar untuk menjadi bagian dari solusi, banyak norma dan praktik lokal
yang mengandung nilai-nilai perlindungan dan kesejahteraan bagi generasi muda.
"Untuk itu forum ini
bertujuan untuk menyamakan persepsi terkait pencegahan perkawinan usia anak
yang berfokus pada lembaga adat," katanya.
Ia mengatakan pendekatan berbasis
budaya dan lokalitas dengan keterlibatan tokoh adat dapat memperkuat upaya
pencegahan perkawinan usia anak secara lebih kontekstual dan berkelanjutan.
"Melalui kegiatan ini kami
juga membuat rekomendasi dan menyusun rencana aksi yang melibatkan tokoh adat,
tokoh agama, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat untuk bersama-sama
berkolaborasi dalam mencegah perkawinan anak, khusus di Kota Palu, Kabupaten
Sigi, dan Donggala," ujarnya.
Sementara itu Area Program
Manajer WVI Sulteng Agustinhs Polabi mengatakan lokakarya untuk menyelaraskan
semangat dan pemahaman dalam mencegah perkawinan anak.
"Hal ini karena selama ini
masih kurang ruang diskusi bersama dengan lembaga adat terkait pencegahan
perkawinan usia anak," ujarnya.
Melalui kegiatan ini, kata dia, diharapkan terbentuknya pemahaman menyeluruh dari tokoh adat mengenai isu perkawinan usia anak dari perspektif sosial, hukum, dan kesehatan.
Ia juga mengharapkan terbentuknya
rencana aksi lokal pencegahan perkawinan anak yang berbasis adat, seperti
melalui peraturan desa terkait hukum-hukum adat untuk mencegah perkawinan anak.
Sementara itu Dewan Pakar Badan
Musyawarah Adat Sulteng Suaib Djafar menyampaikan apresiasi terhadap Yayasan
Sikola Mombine dan WVI yang telah melibatkan lembaga adat dalam upaya mencegah
perkawinan usia anak.
Menurut dia, forum ini menjadi
ruang untuk mengindentifikasi nilai-nilai adat yang dapat mendukung pencegahan
perkawinan anak.
"Ada tiga pilar yang menjadi
penting, yakni pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat. Oleh karena itu kami
mengharapkan melalui kegiatan ini dapat menghasilkan rekomendasi tindak lanjut
bersama kepada pemerintah daerah tentang bagaimana bersama-sama mengambil peran
dalam pencegahan ini," ujarnya.
Dengan langkah ini, kata dia,
selanjutnya Badan Musyawarah Adat juga akan melakukan sosialisasi nilai-nilai
adat dalam mendukung perlindungan anak dan pencegahan perkawinan anak melalui
forum adar dan kegiatan desa.
Lokakarya tersebut melahirkan
empat rekomendasi rencana aksi sebagai komitmen dan tanggung jawab bersama
dalam mencegah perkawinan anak dan melindungi anak sebagai generasi penerus
bangsa.
Sumber : DISINI
Minggu, 15 Juni 2025
Hukum Adat di Sulawesi
Hukum Adat di Sulawesi:
Hukum adat di Sulawesi juga
memiliki keunikan tersendiri, tergantung pada suku dan wilayahnya. Secara umum,
hukum adat di Sulawesi mengatur tentang kepemilikan tanah, pengelolaan sumber
daya alam, perkawinan, warisan, dan penyelesaian sengketa. Masyarakat adat di
Sulawesi memiliki sistem sosial yang kompleks, yang tercermin dalam hukum adat
mereka.
Dalam hal penyelesaian sengketa, hukum adat Sulawesi mengenal sistem perdamaian adat, yaitu upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dan mediasi yang melibatkan tokoh adat dan anggota masyarakat. Tujuan dari perdamaian adat adalah untuk mencapai kesepakatan yang adil dan memulihkan hubungan baik antara pihak-pihak yang bersengketa.
Tantangan dan Peluang
Hukum Adat di Era Modern
Di era modern ini, hukum adat
menghadapi berbagai tantangan dan peluang. Salah satu tantangan utama adalah
pengakuan dan perlindungan hukum adat oleh negara. Meskipun UUD 1945 mengakui
keberadaan hukum adat, namun implementasinya masih belum optimal. Banyak peraturan
perundang-undangan yang belum mengakomodasi kepentingan masyarakat adat,
sehingga seringkali terjadi konflik antara hukum adat dan hukum positif.
Selain itu, hukum adat juga
menghadapi tantangan dari arus globalisasi dan modernisasi. Perubahan sosial
dan budaya yang cepat dapat menggerus nilai-nilai dan tradisi adat, sehingga
hukum adat kehilangan relevansinya. Generasi muda juga semakin kurang tertarik
untuk mempelajari dan melestarikan hukum adat, sehingga keberlanjutannya
terancam.
Namun demikian, hukum adat juga
memiliki peluang yang besar untuk berkembang di era modern. Kesadaran akan
pentingnya kearifan lokal dan identitas budaya semakin meningkat, sehingga
hukum adat semakin dihargai dan diakui. Banyak organisasi masyarakat sipil dan
lembaga swadaya masyarakat yang aktif memperjuangkan hak-hak masyarakat adat
dan melestarikan hukum adat.
Selain itu, hukum adat juga dapat
menjadi sumber inspirasi bagi pembangunan hukum nasional. Nilai-nilai keadilan
restoratif, musyawarah, dan gotong royong yang terkandung dalam hukum adat
dapat diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional untuk menciptakan sistem
hukum yang lebih adil, humanis, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Upaya Pelestarian dan
Pengembangan Hukum Adat
Pelestarian dan pengembangan
hukum adat merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, baik
pemerintah, masyarakat adat, maupun masyarakat umum. Pemerintah perlu
memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap hukum
adat, serta mengintegrasikannya ke dalam sistem hukum nasional. Masyarakat adat
perlu terus melestarikan dan mengembangkan hukum adat mereka, serta
mewariskannya kepada generasi muda.
Beberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan hukum adat antara lain:
1. Dokumentasi dan Publikasi
Hukum Adat:
Hukum adat perlu didokumentasikan
dan dipublikasikan secara luas agar dapat diakses oleh masyarakat umum.
Dokumentasi dapat dilakukan melalui penelitian, wawancara, dan pengumpulan data
dari berbagai sumber. Publikasi dapat dilakukan melalui buku, artikel, website,
dan media sosial.
2. Pendidikan dan Sosialisasi
Hukum Adat:
Hukum adat perlu diajarkan dan
disosialisasikan kepada generasi muda agar mereka memahami dan menghargai
nilai-nilai dan tradisi adat. Pendidikan dapat dilakukan melalui kurikulum
sekolah, pelatihan, dan seminar. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media
massa, kegiatan budaya, dan forum-forum diskusi.
3. Penguatan Lembaga Adat:
Lembaga adat perlu diperkuat agar
dapat menjalankan fungsinya secara efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat
adat dan menyelesaikan sengketa. Penguatan dapat dilakukan melalui peningkatan
kapasitas sumber daya manusia, pemberian dukungan finansial, dan pengakuan
legalitas lembaga adat.
4. Pengembangan Hukum Adat yang
Adaptif:
Hukum adat perlu dikembangkan
agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Pengembangan dapat dilakukan melalui reinterpretasi nilai-nilai adat, adaptasi
aturan-aturan adat, dan integrasi dengan hukum positif.
5. Kerjasama dan Kemitraan:
Pelestarian dan pengembangan
hukum adat membutuhkan kerjasama dan kemitraan antara berbagai pihak, termasuk
pemerintah, masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya
masyarakat, dan perguruan tinggi. Kerjasama dan kemitraan dapat dilakukan
melalui berbagai program dan kegiatan yang saling mendukung.
Kesimpulan
Hukum adat merupakan bagian
integral dari sistem hukum Indonesia yang kaya dan beragam. Ia mencerminkan
identitas dan kearifan lokal yang unik dari setiap daerah di Indonesia.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern, hukum adat memiliki
peluang yang besar untuk berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi
pembangunan hukum nasional. Pelestarian dan pengembangan hukum adat merupakan
tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa, demi terwujudnya masyarakat yang
adil, makmur, dan berbudaya.
Dengan memahami dan menghargai hukum adat, kita dapat memperkuat identitas bangsa, melestarikan budaya lokal, dan membangun sistem hukum yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hukum adat bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga aset berharga untuk masa depan Indonesia.
Jumat, 13 Juni 2025
Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia
Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia
Eksistensi peradilan adat dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia masih sangat mungkin untuk diakui dan
diperjuangkan.
Sudah menjadi pengetahuan umum
bahwa keberadaan hukum adat dalam pembangunan hukum nasional belum mendapatkan
tempat yang layak. Hukum adat seakan sengaja dipinggirkan dalam pembentukan
hukum nasional. Hukum adat hanya diakui keberadaannya dalam proses peradilan.
Itu pun hanya diakomodasi jika terdapat kekosongan dalam hukum tertulis. Meski
masih diakui dan dianut sebagian masyarakat adat di Indonesia, tapi secara
nasional tidak mendapat pengakuan yang baik. Akhirnya, produk hukum nasional
Indonesia mengabaikan keberadaan hukum adat.
Beberapa daerah yang masyarakat
hukum adatnya masih kuat memang hukum adat masih diakui dan diakomodasi dalam
pembentukan hukum. Namun, sifatnya lokal dalam bentuk Peraturan Daerah seperti
yang ada di Sumatera Barat dan Papua. Itu pun tidak semua daerah mengakomodasi
hukum adat dalam Peraturan Daerah. Hukum yang mengatur pertanahan—seperti hak
atas tanah ulayat adat—ada yang diakomodasi dalam Peraturan Daerah. Ada juga
hukum adat di bidang lain yang diakomodasi oleh Pemerintah Daerah ke dalam
suatu Peraturan Daerah.
Hilman Hadikusuma (1989)
berpendapat peradilan adat sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, jauh sebelum
agama Islam masuk ke wilayah Indonesia. Masyarakat telah melaksanakan tata
tertib peradilannya menurut hukum adat. Peradilan adat pada masa itu adalah
tempat penyelesaian perselisihan secara damai. Praktiknya tanpa berdasarkan
peraturan tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara. Cukup
berdasarkan hukum adat yang dilaksanakan dalam masyarakat hukum adat.
Pada masa kekuasaan Hindia
Belanda keberadaan peradilan adat (inheemsche-rechtspraak) ini tetap diakui
selain peradilan resmi yang dibentuk Pemerintah (governments-rechtspraak).
Keberadaan peradilan adat seperti di Palembang, Jambi, Sumatera Barat, dan
peradilan swapraja di beberapa tempat di Jawa tetap diakui. Memang dengan
catatan bahwa yurisdiksinya terbatas hanya pada perkara-perkara adat semata.
Undang-Undang RR (Regerings
Reglement) Tahun 1854 dan Pasal 130 Undang-Undang IS (Indische Staatsregeling)
tahun 1912 adalah contohnya. Pengaturan keduanya sudah membagi pemberlakuan
hukum bagi rakyat di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Pada masa Hindia
Belanda inilah dikenalnya peradilan adat selain peradilan negara—seperti yang
terdapat di Jambi, Palembang dan Sumatera Barat.
Selanjutnya di masa pendudukan Jepang,
Pasal I Sjiho-sosjiki-rei tetap mengakui peradilan adat khususnya untuk daerah
Sumatera. Keberadaannya dilanjutkan sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia.
Keberadaan peradilan adat ini pada tahun 1945-1950 menurut Sudikno (2016) tetap
diakui. Hal ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal II ini
juga yang menjadi dasar hukum terpenting bagi praktik peradilan di Indonesia
setelah kemerdekaan hingga tahun 1950.
Setelah Indonesia merdeka,
keberadaan lembaga pengadilan adat ini malah secara berangsur-angsur dihapuskan
dari sistem peradilan resmi di Indonesia. Isi UU Darurat No.1 Tahun 1951
tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan Kekuasaan
dan Acara Pengadilan Sipil menegaskan bahwa Pengadilan Pribumi—sebutan lain
Pengadilan Adat dan Pengadilan Swapraja—secara perlahan dihapuskan total.
Sisa-sisa peradilan adat
sebenarnya masih ada sampai sekarang. Beberapa daerah seperti di Dayak (Kalimantan),
Papua, dan Sumatera Barat, tetap mengakui keberadaan peradilan adat. Eksistensi
peradilan adat di daerah itu malah diperkuat. Soal kepatuhan terhadap putusan
pengadilan adat, sepenuhnya memang bergantung pada para pihak yang bersengketa.
Perintah dalam putusan pengadilan
adat memang tidak dapat dilaksanakan secara paksa (eksekusi) seperti pada
putusan pengadilan negeri. Bahkan, putusan pada pengadilan adat tidak dapat
dieksekusi dengan meminta bantuan (fiat) dari pengadilan negeri. Sebabnya
karena putusan pengadilan adat dianggap sebagai bentuk penyelesaian sengketa di
luar pengadilan.
Amandemen Konstitusi
Sejak era Reformasi digulirkan
pada tanggal 20 Mei 1998, terjadi kebangkitan masyarakat Indonesia yang
memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka. Salah satu kelompok masyarakat
yang aktif adalah Masyarakat Hukum Adat. Usaha Masyarakat Hukum Adat itu
berkaitan dengan hak-hak tradisional sebagaimana diatur Pasal 18B ayat (2) jo.
Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 tentang identitas budaya. Peradilan adat adalah hak
tradisional Masyarakat Hukum Adat sekaligus identitas budaya masyarakat
tradisional. Faktanya sebagian besar Masyarakat Hukum Adat memang masyarakat
tradisional.
Upaya membahas peradilan adat
mulai dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui Seminar
Nasional di Surabaya pada 20 Juni 2013. Seminar Nasional itu bertema “Seminar
Arah Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional”. Seminar ini sebagai upaya
persiapan dalam pembentukan peradilan adat melalui RUU Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) yang diajukan ke DPR.
Amandemen UUD 1945 dengan Pasal
18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3) berpotensi mengembalikan eksistensi hukum
adat termasuk peradilannya. Sistem hukum adat pada dasarnya bagian dari hak-hak
tradisional serta identitas budaya masyarakat hukum adat yang patut diakui.
Adanya kedua pasal konstitusi tersebut, selain mengembalikan status hukum adat
dan peradilannya juga menegaskan eksistensi pluralisme hukum di Indonesia.
Pluralisme hukum ini tentu meliputi
isu peradilan termasuk peradilan adat yang sudah ada dan berkembang sejak
sebelum kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Konstitusi Indonesia secara
tertulis mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI.
Hukum adat sebagai hukum yang
tidak tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) merupakan
bagian hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi, keberadaan hukum adat adalah bukti
nyata Indonesia mengakui pluralisme hukum.
UU Desa
Selanjutnya terkait eksistensi
lembaga peradilan adat ini makin menarik ketika kita mencermati UU No.6 Tahun
2014 tentang Desa (UU Desa). Isinya juga menguatkan keberadaan Masyarakat Hukum
Adat. Tersedia peluang bagi mereka menjadikan desanya sebagai desa adat bagi
yang memenuhi syarat. Hal ini tertuang dalam Pasal 96 UU Desa.
Pengaturan tentang keberadaan
masyarakat hukum adat dan desa adat dalam UU Desa ini berdampak terhadap
keberadaan lembaga peradilan adat. Semula ia berada dalam kesatuan kekuasaan
Masyarakat Hukum Adat, lalu berubah menjadi dalam kekuasaan desa adat. Hal ini
kemudian sejalan dengan konsep lembaga peradilan adat yang diterapkan dalam
beberapa Peraturan Daerah (Perda). Sebut saja seperti Perdasus Provinsi Papua
No. 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua, Perda Provinsi Sumatera
Barat No.7 Tahun 2018 tentang Nagari, dan Perda Kabupaten Landak No.1 Tahun
2021 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kabupaten Landak.
Akhirnya, eksistensi lembaga
peradilan adat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih sangat mungkin untuk
diakui dan diperjuangkan. Persoalannya adalah harus menyusun kerangka politik
hukum di bidang kekuasaan kehakiman secara universal.
*)Adeb Davega Prasna, S.H., M.H.,
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi.
Sumber : DISINI
Hukum Adat dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Keanekaragaman sosial, politik,
budaya, dan hukum di tengah masyarakat Indonesia dalam bingkai masyarakat
multikultural merupakan suatu anugerah bangsa Indonesia untuk saling berbagi
dan memberi dalam bingkai diversifikasi kultural.
Masyarakat yang beragam tersebut
tidak mampu melepaskan kehadiran nilai, norma, kaidah, ataupun pedoman
berperilaku individu di tengah masyarakat. Variabel normatif tersebut
diakomodasi di dalam suatu konsep hukum yang secara umum tidak tertulis dan
hidup serta berlaku di tengah masyarakat.
Hal tersebut tentu memberikan
konsep keberagaman hukum yang berlaku dan diakui pula di tengah masyarakat
Indonesia, ditunjukkan dengan beragamnya konsepsi hukum adat dan aktualisasinya
di masing-masing wilayah masyarakat hukum adat.
Pengertian Hukum Adat
Hukum adat diperkenalkan pertama
kali oleh Snouck Hurgronje dengan istilah (adatrecht) sebagai rangkaian sistem
hukum yang berlaku bagi bumiputera (orang Indonesia asli) dan orang timur asing
pada masa Hindia Belanda.
Secara konsep umum, hukum adat
dapat dipahami sebagai hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, serta
berlaku di tengah masyarakat hukum adat tersebut. Setiap hukum adat memiliki
konsepsi pengaturan yang berbeda di setiap wilayah hukum adat, tetapi memiliki
akar konsep yang sama.
Eksistensi hukum adat di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diakomodasi di dalam
Pasal 18B ayat (2), yakni:
“Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”
Pencantuman secara expressive
verbis (pencantutan pasal) di dalam konstitusi mengenai hukum adat merupakan
suatu rekognisi eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak konstitusionalnya.
Hal tersebut dimaknai sebagai
perlindungan eksistensi masyarakat hukum adat beserta segala hal yang hidup di
dalam masyarakat hukum adat itu sendiri, termasuk hukum adat beserta segala
ketentuan strukturisasinya.
Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan di
Indonesia mengenal yang namanya
perjenjangan atau hierarki.
Ketentuan tersebut dapat diidentifikasi di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Di dalam pasal tersebut terdapat
beberapa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Hierarki tersebut terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
Di dalam perjenjangan atau
hierarki tersebut penting untuk diketahui bahwa kekuatan hukum peraturan
perundang-undangan yang disebutkan berlaku sesuai dengan hierarkinya dan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Analisis Kedudukan
Hukum Adat
Secara a quo terhadap analisis
yuridis-normatif berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat diidentifikasi bahwa
hukum adat tidak diakomodasi secara formil normatif di dalam Pasal 7 UU a quo
mengenai klasifikasi vertikal hierarki peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat.
Akan tetapi, eksistensi hukum
adat diberikan kapasitas mengikat secara yuridis di dalam peraturan
perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim, dan doktrin ahli.
Kesimpulan
Oleh sebab itu, di dalam poin
kesimpulan dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum adat di dalam sistem hukum
nasional memiliki kedudukan konstitusional berimbang dengan ketentuan sistem
hukum lain dan berlaku sama dan seimbang.
Akan tetapi, dapat dipahami
terdapat perbedaan mendasar pada hierarki peraturan perundangundangan dengan ketentuan
hukum yang berlaku pada umumnya bahwa terdapat perbedaan berkaitan dengan aspek
keberlakuan, bentuk, dan sifat mengikatnya. Hukum adat secara formal-yuridis
tidak diakomodasi di dalam aturan perjenjangan atau hierarki menurut Pasal 7 UU
a quo.
Namun, Sudah menjadi barang tentu
nilai-nilai yang menjadi pondasi utama hukum adat harus senantiasa dilestarikan
dan dijaga di dalam segala bentuk strukturisasi konsepsi hukum adat itu
sendiri, hal tersebut merupakan bagian instrumen sebagai wujud pengendalian
pelestarian ketentuan hukum adat beserta hak konstitusional yang bersangkutan
dan beririsan dengan hukum adat itu sendiri.
Sumber Referensi:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
I Gede A.B. Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangan Dari Masa Kemasa (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2005).
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Edisi Revisi (Bandung: Masdar Maju, 2014).
Sumber : DISINI
Peradilan Adat di Jamin Oleh Negara
Peradilan Adat di Jamin Oleh Negara
Oleh : SADRI Datupamusu
Givu Ngata atau denda adat untuk
desa merupakan bagian dari hukum adat yang masih berlaku di banyak komunitas
adat di Indonesia, termasuk di wilayah Sulawesi Tengah, seperti masyarakat
Kaili, Lore, atau komunitas lainnya. Givu ngata umumnya diterapkan sebagai
bentuk sanksi adat terhadap pelanggaran norma sosial, pelanggaran batas
wilayah, perusakan lingkungan, atau tindakan yang mengganggu ketentraman dan
keharmonisan desa.
✅
Dasar Hukum Givu Ngata (Denda Adat Desa)
Walaupun givu ngata tidak secara
spesifik diatur dalam satu undang-undang nasional yang khusus, hukum adat
diakui dan dilindungi oleh hukum positif Indonesia, dengan dasar hukum berikut:
1. UUD 1945
Pasal 18B ayat (2):
Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang undang.
Pasal 281 atat 3 UUD 1945
Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
2. UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
3. UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa
Pasal 67 ayat (1) a.:
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
Pasal 103 huruf c, d dan e (untuk
Desa Adat):
c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum
adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak
asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan
Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
3. UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam konteks kerusakan
lingkungan, pasal 69 ayat (2)* menyebutkan bahwa:
Penegakan hukum adat bisa digunakan dalam
penyelesaian sengketa lingkungan.
4. Perda atau Perbup Tingkat
Daerah
Beberapa kabupaten/kota (seperti
Sigi, Poso, dan lainnya di Sulawesi Tengah) memiliki Peraturan Daerah atau
Peraturan Bupati yang mengakui dan mengatur keberadaan hukum adat, termasuk
mekanisme givu (denda) sebagai bentuk sanksi adat.
Contoh: Perda tentang
Perlindungan Masyarakat Adat atau Pengakuan Desa Adat.
📌 Contoh Kasus Penerapan Givu Ngata
- Kasus pelanggaran batas wilayah
antara desa A dan desa B, diselesaikan secara adat dengan pemberian givu berupa
hewan (sapi, kambing), uang, atau barang adat.
- Kasus perkelahian antardesa
diselesaikan dengan mediasi lembaga adat dan penetapan denda adat untuk
meredakan konflik.
🔍
Catatan Penting
Givu Ngata tidak boleh
bertentangan dengan hukum nasional atau melanggar hak asasi manusia.
Harus ada pengakuan dan pelibatan
lembaga adat atau tokoh adat yang sah.
Dalam praktiknya, givu ngata bisa
berdampingan dengan penyelesaian secara hukum negara (kepolisian, pengadilan),
tetapi biasanya digunakan untuk meredam konflik secara sosial budaya.
Sumber : https://karebakakitapura.blogspot.com/2025/06/peradilan-adat-di-jamin-oleh-negara.html