Hukum adat diakui dan dihormati
dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) melalui beberapa pasal penting.
Berikut adalah beberapa poin utama mengenai kehadiran hukum adat dalam UUD
1945:
Pasal 18B Ayat (2): Pasal inimenyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakathukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuaidengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Ini berarti hukum adat diakui selama masih relevan dan tidak
bertentangan dengan hukum nasional.
Pasal 32: Pasal ini menegaskanbahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian darikekayaan budaya Indonesia. Ini mencakup juga adat istiadat dan tradisi yang
merupakan bagian integral dari hukum adat.
Pengakuan dan Perlindungan: UUD
1945 memberikan dasar konstitusional untuk pengakuan dan perlindungan hukum
adat. Ini mencakup hak-hak tradisional masyarakat adat yang harus dihormati dandilindungi oleh negara.
Dengan adanya pasal-pasal ini,
UUD 1945 memberikan landasan hukum yang kuat untuk keberadaan dan pelestarian
hukum adat di Indonesia.
HUKUM NASIONAL Berbasis KEARIFAN LOKAL
Krisis Identitas Hukum Nasional
Pasca proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mewarisi sebuah sistem hukum yang pluralistik, namun didominasi oleh kerangka hukum peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak saat itu, diskursus mengenai identitas sejati sistem hukum nasional Indonesia terus bergulir tanpa henti. Ketidakpuasan terhadap keberlanjutan penerapan hukum warisan kolonial menjadi tema sentral dalam perdebatan ini. Banyak kalangan menilai bahwa sistem hukum peninggalan penjajah, yang notabene dibentuk untuk melayani kepentingan kolonialisme, tidak sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai fundamental, aspirasi, dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Kritik utama yang sering mengemuka adalah karakter hukum warisan Belanda yang cenderung sekuler dan individualistik. Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek – BW) dan Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht – WvS) yang menjadi pilar utama sistem hukum warisan tersebut, dibangun di atas fondasi filsafat hukum Eropa Kontinental yang menekankan pada kepastian hukum tertulis, hak-hak individu, dan pemisahan tegas antara hukum dan moralitas atau agama. Karakteristik ini dianggap bertentangan secara diametral dengan jiwa Pancasila, khususnya Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menempatkan nilai-nilai religius sebagai fondasi spiritual bangsa. Selain itu, sifat individualistik hukum Barat juga dinilai berseberangan dengan karakter asli masyarakat Indonesia yang komunal, mengedepankan gotong royong, musyawarah, dan harmoni sosial.
Lebih jauh, keberlanjutan penerapan hukum yang ‘dipinjam’ dari Belanda ini dituding telah menimbulkan berbagai dampak negatif. Sistem hukum yang asing dari akar budayanya sendiri ini dianggap telah menciptakan semacam ‘kekacauan’ dan disorientasi nilai dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu manifestasi yang paling meresahkan dari krisis ini, sebagaimana sering disuarakan, adalah munculnya fenomena kepemimpinan di berbagai tingkatan yang seolah tercerabut dari akar budayanya. Lahirnya pemimpin-pemimpin yang dianggap “tidak beradat” – yakni tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti musyawarah, kerukunan, dan tanggung jawab komunal – serta “tidak beragama” – dalam arti mengabaikan landasan moralitas spiritual dalam menjalankan amanah kepemimpinan – menjadi keprihatinan mendalam. Hilangnya pegangan pada nilai-nilai harkat, martabat, nama baik, kejujuran, dan keadilan dalam praktik kepemimpinan dan penyelenggaraan negara dilihat sebagai konsekuensi logis dari penerapan sistem hukum yang tidak berakar pada kearifan lokal dan spiritualitas bangsa.
Krisis hukum nasional yang dihadapi Indonesia, dengan demikian, bukanlah sekadar persoalan teknis yuridis mengenai hukum mana yang seharusnya berlaku. Lebih fundamental, ia merupakan sebuah krisis identitas dan nilai. Ketidakpuasan yang meluas terhadap hukum warisan Belanda sejatinya berakar pada benturan fundamental antara sistem nilai yang diusungnya (sekuler-individualistik) dengan sistem nilai yang hidup dalam sanubari bangsa Indonesia (religius-komunal) sebagaimana terkristalisasi dalam Pancasila dan hukum adat. Implikasinya, solusi atas krisis ini tidak dapat ditemukan hanya dengan melakukan tambal sulam peraturan perundang-undangan semata, melainkan menuntut adanya penyesuaian mendasar pada nilai-nilai yang menjiwai hukum nasional itu sendiri.
Hukum Adat sebagai Hukum Asli
Indonesia
Di tengah kegelisahan akan
identitas hukum nasional, pandangan yang semakin menguat adalah perlunya
kembali kepada akar hukum asli bangsa Indonesia, yaitu hukum adat (hukum adat).
Hukum adat bukanlah sekadar kumpulan kebiasaan masa lalu, melainkan sebuah
sistem hukum yang hidup (living law), yang telah eksis, tumbuh, dan berkembang
di tengah masyarakat Nusantara jauh sebelum negara-bangsa Indonesia modern
terbentuk. Ia merupakan hukum yang lahir dari rahim kebudayaan masyarakat
setempat, mencerminkan pandangan dunia, sistem nilai, dan rasa keadilan
komunitas-komunitas adat di seluruh kepulauan.
Hukum adat adalah kristalisasi dari nilai-nilai luhur, kearifan lokal (local wisdom), dan identitas budaya bangsa Indonesia yang beragam. Ia mengandung prinsip-prinsip pengaturan kehidupan bersama yang unik, seperti komunalitas, religiusitas, musyawarah mufakat, dan keadilan restoratif, yang terbukti mampu menjaga harmoni sosial dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam selama berabad-abad. Oleh karena itu, rekonstruksi hukum nasional yang sesungguhnya haruslah berakar pada hukum adat. Menjadikan hukum adat sebagai fondasi dan sumber materiil utama dalam pembangunan hukum nasional diyakini akan menghasilkan sebuah sistem hukum yang otentik, berjiwa Indonesia, dan mampu mewujudkan keadilan substantif yang sesuai dengan konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Pancasila dan UUD 1945 sebagai
Mandat Konstitusional
Gagasan untuk merekonstruksi hukum nasional berbasis hukum adat bukanlah sekadar romantisme historis atau aspirasi kultural semata, melainkan memiliki landasan filosofis dan yuridis yang kokoh dalam konstitusi negara. Pancasila, sebagai dasar negara (Philosophische Grondslag) dan ideologi bangsa (Staatsidee), menempati kedudukan sebagai norma dasar fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) yang berada di puncak hierarki norma hukum Indonesia. Secara eksplisit, peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara. Konsekuensinya, seluruh produk hukum nasional, termasuk upaya rekonstruksi hukum, harus bersumber dari, dijiwai oleh, dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kelima sila Pancasila.
Di samping Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) juga memberikan mandat konstitusional yang jelas bagi rekonstruksi hukum nasional berbasis hukum adat. Pertama, Aturan Peralihan UUD 1945, khususnya Pasal I dan II, secara historis berfungsi sebagai jembatan hukum untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum) pada masa awal kemerdekaan dengan menyatakan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada (termasuk hukum kolonial) masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945. Namun, klausul “selama belum diadakan yang baru” ini sejatinya tidak dapat diartikan sebagai legitimasi untuk melestarikan hukum kolonial secara permanen. Sebaliknya, dalam semangat kemerdekaan dan pembangunan hukum nasional yang mandiri, Aturan Peralihan harus dibaca sebagai mandat aktif bagi negara untuk segera melakukan dekolonisasi hukum dan mengganti peraturan warisan penjajah dengan hukum nasional yang baru. Kegagalan untuk melaksanakan mandat ini secara penuh dan konsekuen selama berpuluh-puluh tahun pasca kemerdekaan dapat dipandang sebagai salah satu akar penyebab berlarut-larutnya krisis identitas hukum nasional saat ini. Kelanjutan penggunaan hukum Belanda bukanlah sekadar keadaan transisi yang wajar, melainkan dapat dianggap sebagai sebuah kelalaian konstitusional dalam menuntaskan agenda pembangunan hukum nasional sebagai bagian integral dari pembangunan karakter bangsa (nation building).
Kedua, UUD 1945 hasil amandemen secara eksplisit memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat (MHA) dan hak-hak tradisionalnya. Pasal 18B ayat (2) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pengakuan ini diperkuat oleh Pasal 28I ayat (3) yang menjamin penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Kedua pasal ini memberikan landasan konstitusional yang kuat untuk menjadikan hukum adat sebagai sumber penting dalam pembentukan hukum nasional, khususnya dalam bidang-bidang yang berkaitan langsung dengan kehidupan MHA, seperti hukum agraria.
Dengan demikian, Pancasila dan UUD 1945 secara bersama-sama menyediakan fondasi normatif dan filosofis yang kokoh bagi urgensi pelaksanaan rekonstruksi hukum nasional Indonesia dengan menjadikan hukum adat sebagai basis utamanya.
Sumber : DISINI
Hukum Nasional Berbasis Kearifan Lokal
Sistem hukum adat dan hukum agama sering kali dianggap kurang penting
dibandingkan dengan sistem hukum nasional yang lebih formal dan terstruktur.
Berikut beberapa poin yang menjelaskan situasi ini:
Hukum Adat:
Hukum adat di Indonesia sangat beragam dan tidak dikodifikasi secara
formal. Hukum ini hidup dan berkembang dalam masyarakat adat tertentu dan
sering kali hanya dikenal dan diterapkan secara lokal. Karena tidak adanya
kodifikasi, hukum adat sulit diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional yang
lebih formal.
Hukum Agama:
Di Indonesia, hukum agama yang telah dikompilasi secara resmi adalah hukum
Islam. Kompilasi Hukum Islam (KHI) digunakan sebagai pedoman dalam pengadilan
agama untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan pernikahan,
warisan, dan wakaf. Hukum agama lainnya belum mendapatkan perhatian yang sama
dalam bentuk kodifikasi resmi.
Perlakuan sebagai “Anak Tiri”:
Hukum adat dan hukum agama sering kali dianggap sebagai “anak tiri” karena
kurangnya pengakuan dan integrasi dalam sistem hukum nasional. Hal ini
disebabkan oleh dominasi sistem hukum Barat (Civil Law) yang diadopsi dari
Belanda selama masa penjajahan. Sistem hukum ini lebih mengutamakan kodifikasi
dan kepastian hukum yang tertulis, sehingga hukum adat yang bersifat dinamis
dan tidak tertulis sering kali terpinggirkan.
Upaya Integrasi:
Ada upaya untuk mengintegrasikan hukum adat dan hukum agama ke dalam sistem
hukum nasional. Misalnya, dalam beberapa kasus, pengadilan di Indonesia
mempertimbangkan hukum adat dalam putusannya, terutama dalam kasus-kasus yang
melibatkan masyarakat adat.
Ada pula upaya restorative justice, namun menurut pandangan saya itu tidak
tepat. Sistem Hukum Adat, Agama dan Nasional seharusnya berdiri sama tinggi
sebagai Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia dan bukan untuk dilebur.
Sumber : DISINI
Revitalisasi Adat
Revitalisasi adat dan agama adalah upaya penting untuk menjaga dan
memelihara harkat, martabat, nama baik, kejujuran, dan keadilan dalam masyarakat.
Berikut adalah beberapa aspek yang relevan:
Pelestarian Budaya:
Revitalisasi adat membantu melestarikan kebudayaan lokal yang kaya dan
beragam. Ini termasuk menjaga tradisi, bahasa, dan ritual yang telah diwariskandari generasi ke generasi.
Penguatan Identitas:
Dengan menghidupkan kembali adat dan agama, masyarakat dapat memperkuat
identitas budaya mereka. Ini penting untuk membangun rasa kebanggaan dan
solidaritas di antara anggota komunitas.
Keadilan Restoratif:
Dalam konteks hukum adat, revitalisasi dapat mendukung penerapan keadilan
restoratif, di mana penyelesaian konflik dilakukan melalui mediasi dan
rekonsiliasi, bukan hanya hukuman. Ini membantu menjaga keadilan dan harmonidalam masyarakat.
Pendidikan dan Kesadaran:
Revitalisasi adat dan agama juga melibatkan pendidikan dan peningkatan
kesadaran tentang nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan integritas. Ini dapatdilakukan melalui program-program pendidikan dan kegiatan komunitas.
Peran Lembaga Adat:
Lembaga adat memainkan peran penting dalam proses revitalisasi ini. Mereka bertindak sebagai penjaga tradisi dan mediator dalam penyelesaian konflik,serta memastikan bahwa nilai-nilai adat tetap dihormati dan diterapkan.
Dengan mengintegrasikan adat dan agama dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
dapat membangun fondasi yang kuat untuk menjaga harkat, martabat, nama baik,
kejujuran, dan keadilan.
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar