Pria berusia sekitar 60 tahunan
yang berbaju kotak abu-abu itu tiba-tiba berujar “Aaa, ledo, ledo…”saat
menimpali lawan bicara yang duduk di seberangnya. Beberapa kali terdengar
ulangan kata yang sama yaitu, ledo yang ternyata bermakna “tidak”. Seperti hampir
di seluruh rumpun etnik Kaili, rumpun etnik Kaili Ledo juga menggunakan sebutan
lokal untuk kata “tidak” sebagai identitas “nama” dari Masyarakat yang berasal
dari Ngata Raranggonau itu. Ricu nama pria itu, mengatakan bahwa memang
penyebutan lokal untuk kata “tidak” dijadikan sebagai penamaan rumpun etnik
Kaili yang tersebar di tanah Sulawesi Tengah seperti rumpun Kaili Ledo, rumpun
Kaili Rai, rumpun Kaili Ija, rumpun Kaili Da’a, dan seterusnya.
Joisman Tanduru, Kepala BRWA
Sulawesi Tengah mengatakan bahwa kata “Kaili” pada dasarnya merupakan sebutan
bagi masyarakat yang berasal dari pegunungan dan pesisir di wilayah Sulawesi
Tengah, sedangkan untuk mengidentifikasi rumpun masyarakat yang beragam digunakan
identitas bahasa dengan penyebutan lokal untuk kata “tidak” sebagai nama
rumpunnya. Oleh karena itu, penyebutan masyarakat Kaili seringkali diikuti
dengan identitas dialek yang dipakainya misalnya, orang-orang Da’a dengan
dialek Da’a, orang-orang Ledo dengan dialek Ledo, dan sebagainya. Tidak
diketahui secara pasti mengapa kata “tidak” menjadi simbol dari penamaan
rumpun-rumpun etnik Kaili. Hanya, jika sedang berbaur dengan masyarakat etnik
Kaili memang ujaran “tidak” dalam bahasa lokal itu sering terdengar sehingga
terasa familiar.
Masaria, Totua Ngata dari
masyarakat Kaili yang bermukim di Desa Wisolo dalam sebuah musyawarah juga
menggunakan dialek mereka yaitu “Inde” yang berarti “tidak” untuk menyebut
masyarakat adatnya. Namun, Masaria dan beberapa tokoh adat lain juga
menggunakan unsur bahasa lain sebagai identitas tambahan untuk membedakan
mereka dengan orang-orang Inde di wilayah lain. Ia bertutur bahwa orang-orang
Inde di Wisolo masih menganut “dialek lama” dari rumpun Kaili Inde yang menggunakan
huruf “G” untuk mengganti beberapa kata yang mengandung huruf “R”. “Iya, Inde
di sini itu adalah ‘Inde Gia’, bukan ‘Inde Ria’, ada juga itu ‘Kaili Inde Ria’
di Desa lain,” ujarnya yang diamini oleh anggota masyarakat yang lain saat
proses verifikasi data sosial BRWA berlangsung di Baruga Wisolo, Jum’at malam
27 April 2018. Hal itu menunjukkan adanya unsur lain dari sebuah struktur
dialek yang digunakan untuk mengidentifikasikan sebuah Masyarakat Adat di Tanah
Kaili.
Kekhasan yang sama juga ditemukan
saat proses Verifikasi di Desa Pandere, orang-orang Ado di sana masih
menggunakan huruf “H” untuk mengganti huruf ”R” di beberapa kata. Seperti misal
kata “Pandere” yang mereka (Orang-orang Ado) sebutkan dengan lisannya menjadi
“Pandehe”. Perbedaannya, jika orang-orang Inde di Desa Wisolo memutuskan untuk
menggunakan unsur “Gia” sebagai identitas dalam nama rumpun etnik mereka,
sedangkan orang-orang Ado di Desa Pandere tidak.
Selain kata “tidak” dan huruf
ganti “R”, hal yang menarik dari sejarah perkembangan bahasa Kaili di Sulawesi
Tengah juga terlihat dari intonasi bicara. Intonasi bicara itu digambarkan
dalam cara bertutur “yang halus” dan “yang kasar”. Jika intonasi pengucapan
lisannya berlangsung pelan dan mendayu-dayu maka dinamakan penuturan “halus”,
sedangkan jika intonasi tuturannya berlangsung dengan cepat dan lugas maka
termasuk ke dalam kategori “kasar”. Belum jelas dari mana atau sejak kapan
konsep kasar dan halus itu muncul di beberapa wilayah adat. Apakah karena
tranformasi kependudukan yang sudah berbaur dengan suku-suku lain atau oleh
karena perkembangan zaman. Beberapa orang yang berusia lanjut seperti Pak Ricu
di Ngata Raranggonau dan banyak dari orang-orang Da’a di Ngata Ona masih
bertutur dengan halus, pelan, dan mendayu-dayu (berirama). Kekayaan bahasa dan
cara bertutur orang-orang Kaili telah membentuk rumpun-rumpun etnik yang
beragam dengan perbedaan sebutan lokal untuk kata “tidak” sebagai identitas
utamanya. Apakah kemunculan bahasa dan dialek yang beragam itu ada hubungannya
dengan identitas budaya mereka di masa lalu yang hidup dengan cara berburu,
ladang berpindah, dan bermukim tersebar-sebar di gunung-gunung, hutan-hutan,
serta dataran-dataran yang mengikuti aliran sungai? Suatu hal yang menarik
untuk ditelisik lebih dalam!
0 comment:
Posting Komentar