Oleh Ewin Laudjeng
Orang Tompu atau To Ritompu
–demikian mereka biasa menyebut dirinya– adalah sub Suku Kaili yang menggunakan
bahasa Kaili berdialek Ledo. Pemukiman mereka tersebar di beberapa Boya
(kampung), puncak gunung sebelah Timur Kota Palu. Secara administrasi, tempat
ini terletak di Desa Ngata Baru, Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala,
Sulawesi Tengah.
Belum diketahui pasti, sejak
kapan mereka menempati daerah tersebut. Namun yang jelas, orang Kaili yang
merupakan salah satu suku asli di Sulawesi Tengah itu sudah bermukim di tempat
ini jauh sebelum adanya Negara Republik Indonesia.
Dalam bahasa lisan orang Tompu,
dulunya, luas daratan masih sebesar telur ayam kampung. Oleh Tupu Atala (sang
pencipta), diturunkanlah Tana Sanggamu (tanah segenggam) bersama seekor ayam
jantan warna putih. Peristiwa itu terjadi menjelang sore, di puncak Gunung
Kalinjo, Tompu.
Ayam itu kemudian
mengais-ngaiskan cakarnya di atas Tana Sanggamu sehingga berubah menjadi
daratan luas yang ditumbuhi sejumlah pepohonan seperti, bambu kuning, lampeuju,
peliu, lambuangi, ganaga, tea, beringin dan lanjo.
Selain itu, bekas cakaran ayam
jantan tersebut kemudian nebete (menjelma) menjadi manusia, tapi wujudnya belum
sempurna, masih berupa badan tanpa kepala. Untuk proses penyempurnaan, Tupu Atala
kemudian mengambil tanah dari Bulili, suatu tempat di sebelah utara Kalinjo
yang masih termasuk dalam wilayah ke–adat-an Tompu sekarang ini.
Dari manusia pertama itulah yang
kemudian menurunkan generasi suku Kaili sub etnis Ledo yang mendiami sejumlah Boya
di Tompu. Lambat laun, mereka menyebar luas ke Lembah Palu dan beberapa daerah
lainnya di Sulawesi Tengah.
Dalam hal pengelolaan sumber daya
alam, orang Tompu masih mengandalkan tradisi perladangan padi. Sebab menurut
keyakinan mereka, padi itu adalah merupakan jelmaan leluhur yang harus selalu
di jaga. Kisah tentang asal-muasal padi ladang itu, menurut Papa Reni (62),
salah satu warga setempat, bermula dari cerita sepasang suami isteri yang hidup
di Tompu. Mereka memiliki dua orang anak, laki dan perempuan. Suatu ketika dua
orang anaknya itu menangis minta makan.
Karena tidak tahan mendengar
tangisan anaknya, Si Ibu kemudian pergi ke suatu tempat dan memohon kepada Tupu
Alatala agar diberikan makanan. Tak lama kemudian, permohonan doa ibu tersebut
dikabulkan. Diturunkanlah padi, tapi jumlahnya agak terbatas. Oleh Si Ibu, padi
tersebut dibuat menjadi bubur untuk dimakan anaknya.
Keesokan harinya, anak itu
kembali menangis minta makan. Tak tahan mendengar anaknya menangis, suaminya
meminta lagi pada istrinya agar bermohon pada Tupu Alatala. Si Isteri pun
kembali berdoa dan memohon agar diberikan makanan. Dan permintaan itu kembali
dikabulkan.
Hari berikutnya, sang anak
menangis lagi. Melihat anaknya menangis, Si Ibu bingung dan merasa malu untuk
minta makanan secara terus menerus pada Tupu Alatala. Karena itu, suaminya
kemudian menawarkan diri untuk pergi berdoa minta makanan pada Tupu Alatala.
Namun sebelum pergi, dia berpesan pada isterinya, Jika seminggu lamanya saya
tidak kembali, tidak perlu dicari. Tetapi pergi saja ke ladang kita yang baru,
saya ada di sana, kata Sang Suami pada istrinya.
Setelah seminggu pergi, suaminya
tak kunjung datang. Maka, Sang Isteri pergi ke ladang mereka yang baru dibuka,
sesuai pesan suaminya.
Betapa terkejutnya dia sesampai
di ladang. Ternyata tempat itu sudah ditumbuhi padi, yang tidak lain adalah
jelmaan dari suaminya.
Sejak saat itu, orang Tompu tidak
pernah meninggalkan tradisi menanam Padi.
Sebab jika tidak menanam padi
ladang, sama saja memutuskan hubungan spiritual dengan leluhur. Karenanya
proses itu dianggap suatu religi.
Untuk menjaga ketersediaan
pangan, setiap rumah tangga membuat Gampiri (lumbung padi). Karenanya, kata
Papa Reni, sehebat apapun kemarau panjang saat itu, warga Tompu tidak pernah
mengalami kekurangan pangan. Bahkan, mereka menjadi penyuplai beras ke desa-desa
tetangga.
Saat itu, ada enam puluh lebih
jenis varietas lokal di Tompu. Tapi sekarang ini, tidak sampai sepuluh jenis
yang tersisa. Karena kampung ini sempat kosong, akibat di bubarkan secara paksa
oleh pemerintah pada tahun 1975. Pernah diupayakan warga mencari di tempat lain
varietas padi tersebut, tapi sudah tidak tersedia lagi di tempat itu.
Penekanan terhadap Orang Tompu
Sejarah penekanan terhadap orang
Tompu sebenarnya telah berlangsung lama. Menurut Papa Jani, proses itu dimulai
tahun 1927, ketika kolonial Belanda mulai menduduki Sigi Biromaru.
Kekayaan alam yang dimiliki warga
Tompu memancing reaksi Belanda untuk datang menguasainya. Akan tetapi, niat
buruk kompeni itu mendapat tentangan dari warga. Dan, terjadilah pertempuran
hebat pada saat itu.
Tapi karena hanya bersenjatakan
seadanya, orang Tompu pun kuwalahan. Korban mulai berjatuhan di pihak warga.
Oleh mereka, dikuburkan secara massal di Boya Sidima, Tompu.
Sejak saat itu, pemerintah
kolonial dengan leluasa bisa mengambil seluruh kekayaan alam yang ada di Tompu,
seperti damar, cendana, kayu manis dan kemiri. Untuk mempermudah proses
pengangkutan, mereka memaksa penduduk untuk membuat jalan lingkar menuju ke
kantong-kantong hutan kayu manis dan damar.
Selain itu, para warga juga diminta
untuk membayar blasting (pajak) ke pihak kompeni atas penggunaan tanah di
tempat itu.
Hal itu mendapat reaksi keras
dari warga. Menurutnya, mereka tidak pernah berutang dengan pemerintah Belanda.
Karena menolak bayar pajak, sebagian dari mereka kemudian memilih untuk
meninggalkan perkampungan tersebut dan masuk ke hutan di daerah Manggalapi,
dekat perbatasan Kabupaten Parigi Moutong hingga sekarang ini.
Menurut Papa Asa (69), salah
seorang tokoh adat setempat, sebelum tahun 1927, Tompu sudah otonom dan punya
sistem pemerintahan sendiri. Terhitung, ada tujuh Kapala Ntina (setingkat
dengan kepala kampung) yang sempat menjadi pemimpin di tempat itu. Yang pertama
adalah, Rapeyangga Ngata, kedua Yabakita, ketiga Kitanava, keempat Lamatoti,
kelima Silinava, keenam Yavaringgi, dan ketujuh adalah Manasele.
Manasele menjabat dari tahun 1945
sampai 1975. Setelah itu, tidak ada lagi kepemimpinan baru di Ngata Tompu.
Karena sejak tahun 1975, perkampungan itu telah dibubarkan secara paksa oleh
pemerintah dengan alasan masuk dalam kawasan hutan lindung.
Melalui dinas kehutanan dan
aparat keamanan, pemerintah mendesak warga untuk mengosongkan perkampungannya.
Mereka dipaksa pindah ke beberapa desa yang telah disiapkan oleh pemerintah.
Beberapa pemukiman warga di Boya Bulili dibakar oleh Badu, salah seorang
anggota kepolisian dari sektor Palu Timur.
Kami tidak bisa berbuat apa-apa
pada saat itu, kecuali pasrah. Karena mereka mengancam akan memasukkan kami ke
penjara jika membangkang, ungkap Papa Santa, salah seorang warga Tompu,
Dengan mobil truk, mereka
diangkut ke Desa Rahmat, Kecamatan Palolo –jaraknya sekitar 50 km dari Tompu.
Di tempat baru ini, pemerintah telah menyiapkan sebuah rumah panggung sederhana
dan lahan seluas 2 hektar untuk setiap keluarga. Disamping itu, pemerintah juga
memberikan bahan makanan selama beberapa bulan serta peralatan kerja, seperti
parang dan cangkul.
Meskipun diberi sejumlah
fasilitas oleh pemerintah, warga Tompu tidak merasa betah di tempat itu. Karena
di perkampungan baru itu mereka sudah berbaur dengan masyarakat dari komunitas
lain, jadi mereka tidak bisa leluasa mengembangkan tradisinya. Hal lain,
menurut penuturan warga, lahan yang diberikan pemerintah adalah lahan basah
yang hanya cocok buat sawah. Sedangkan mereka tidak punya keterampilan bertani
di lahan basah.
Pada beberapa kasus, malah tanah
milik penduduk lain yang diberikan pemerintah pada warga Tompu. Dan ini
seringkali menimbulkan konflik antar sesama warga. Untuk menghindari terjadinya
konflik, kami selalu mengalah, ujar Kobo, warga Tompu.
Atas persetujuan Efendi Dg.
Pawara, Camat Sigi Biromaru pada saat itu, warga Tompu akhirnya menyingkir ke
Vatubose, masih dalam wilayah desa Rahmat. Di tempat itu, mereka mulai menanam
beberapa tanaman produksi, seperti kakao dan kopi. Ketika tanaman mereka sudah
berbuah, muncul lagi soal baru. Kali ini datang dari pihak Balai Taman Nasional
Lore Lindu (BTNLL).
Lembaga konservasi milik
pemerintah itu memasang patok-patok pal batas tepat di lokasi perkebunan warga.
Secara sepihak, tempat itu ditetapkan sebagai kaw
asan konservasi. Akibatnya, warga
Tompu semakin tersingkir. Dan, itu kemudian membuat kerinduan di hati mereka
untuk segera kembali ke kampung leluhur.
Untuk menghindari terjadinya
konflik berkepanjangan, tahun 1998, “Kami dan sejumlah warga lainnya sepakat
untuk pulang ke Tompu hingga sekarang ini, kata Papa Jani.
Saat mereka kembali, ada banyak
perubahan yang terjadi di kampung itu. Sejumlah hutan mulai rusak akibat adanya
penebangan kayu yang dilakukan pihak luar. Hal itu kemudian menyebabkan
keringnya mata air. Padahal dulu tempat itu sangat kami jaga, karena itu adalah
penghidupan kami, ungkapnya.
Sementara itu, pengetahuan mereka
tentang perbintangan juga sudah mulai
hilang. Karenanya, mereka
bertekad untuk mencari segala sesuatu yang hilang dari perkampungan itu, baik
sistem sosial, religi ataupun lainnya. Hal itu mereka lakukan demi untuk menata
kehidupan Tompu yang lebih baik ke depan. Sebab perjuangan kami saat ini adalah
adanya pengakuan dari negara terhadap orang Tompu, tegas Papa Jani.[DEPORT]
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar