Kinovaro adalah salah satu Sub
komunitas masyarakat adat yang ada di wilayah ke adatan besar Kamalisi Sulawesi
Tengah yang kini pada umumnya bermukim diwilayah lembah,lereng dan pegunungan
Kamalisi.
Kinovaro merupakan salah
komunitas adat di wilayah kamalisi,kinovaro sendirii berasal dari nama nenek
moyang yang bernama Kino yang mendiami wilayah kinovaro bertempat kampong tua
di sebut Jengi kemudian ia memiliki keturunan yang banyak terpencar di kamalisi
atau di wilayah adat lainnya sehingga disebut varo (terpencar). sistem
kepemimpinan di kinovaro di pimpin oleh madika, namun madika dikinovaro tidak
banyak dikenal di wilayah adat lainya karena kinovaro merupakan komunitas yang
sering dijadikan upacara adat oleh komunitas lainya ketika ada pelanggaran
adat.
Komunitas masyarakat adat
Kinovaro tersebut memiliki sejarah yang sama dan mereka hidup dari satu
komunitas lainnya yang cukup besar di kamalisi secara adminitrasi berada di
wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kota Madya Palu, bahkan wilayah
adatnya kamilisi sampai kewilayah adminitrasi provinsi Sulawesi Barat. Dalam
pengetahuan literatur antropologi dan etnokologi komunitas besar di Wialyah
Adat Kamalisi tersebut adalah bahagian dari sub etnis kaili terdiri dari etnis
Unde,Inde Tado dan Da’a. tapipada umumnya di sub kewilalayaan komunitas
vaenumpu adalah menggunakan bahasa/suku da’a.
Dalam batasan teritori dan
penyebaran etniknya, sub komunitas Masyarakat adat kamalisi ini tidak lepas
dari bagian penyebaran wilayah adat yang ada di lembah, lereng pegunungan
kamalisi, dengan kearifan identitas lokalnya dalam pemperlakukan alam sebagai
subjek yang harus hidup dan memiliki hak yang sama seperti manusia serta
memiliki tataruang adat yang sangat arif.
Sebaran Pembagian Besar Wilayah
Adat Kamalisi terdiri dari Sub Wilayah Adatnya Yaitu. Komunitas Vaenumpu
(Uwenumpu), Kinovaro Komunitas Pantapa, Vayanga, Nggolo bolonggima, Kasoloa
(Ntoli), Lumbu Lama, Ona, Karavana (Dombu), Kinovaro, Vau (Mabere), Vugaga,
Binggi dan Pakava
Pemberian wialayah ini tidak
terpisahkan dari sejarah yang panjang to kamalisi dengan menggunakan bahasa
Da’a secara turun temurun (kepercayaan) jauh sebelum penjajahan masuk di
wilayah nusantara Indonesia mereka terbagi dan tersebar secara turun temurun
dan membagi suatu wilayah kelolah secara arif, dari zama-kezaman sampai
kemerdekaan di bagi secara adminitarsi (Hukum Negara) di beberapa desa,
kecamatan kabupaten sigi (kecamatan marawola barat, dolo barat pesisir, dan
marawola) sampai ke kota madya palu, akan tetapi ada juga sebagian besar
wilayah komunitasnya masuk di kabupaten donggala (kec.Pinembani, Rio Pakava,
banawa Selatan) sampai ke Sulawesi barat (Kab.Mamuju Utara).
pengalaman infestigasi lapangan
dan pengakuan orang-orang da’a di vaenumpu mereka adalah etnis tersendiri yang
mereka sebut To Ulujadi atau Ulunggatoka Pinandu-ongunja poamaya. Dengan
penama’an ini orang da’a mempercayai bahwa dari puncak gunung inilah awalnya
dari kehidupan manusia, biasa sebutan lainnya di kenal dengan Ulunggatoka
Pinandu – Pinandu : Tananilemo Nggari Tanah Pinandu – di ciptakan dari tanah,
adalah tanah di jadikan manusia dan menurut orang da’a pinandu itu pulahlah
nama orang yang diciptakan dari tanah tersebut. Kemudian barulah dari tulang
rusuk pinandu di ciptakan perempuan yang disebut “usukei”- usukei adalah
perempuan pertama yang diciptakan dari tulang rusuk pinandu.
Dalam perkembangan manusia ini,
orang da’a memprcayai belum ada adat atau aturan yang mengatur adat dalam
kehidupan manusia nanti setelah diciptakannya orang yang mereka sebut sebagai
“Tomanurung – Tobarakah “ dari sinilah barulah mereka mengenal system adat,
yang kini tetap di jaga.
Hak atas tanah dan pengelolaan Wilayah
Pembagian ruang menurut adat
Pangale : Hutan larangan adat (tidak
boleh di olah) Ova : Lahan Bekas Garapan dan di tinggalkan selama 10-15 tahun
dan menjadi hutan kembali ditumbuhi kayu-kayu relatih kecil, suatu saat bias di
olah kembali secara adat/arif
Olo : bagian hutan yang di larang
di olah karena merupakan zona penyediaan sumber air (mata air)
Pantalu : lahan hutan yang
diperbolehkan dibuka sesuai aturan adat dan mejadi kebun
Ngata : pemukiman penduduk
dijadikan ngata
Sistem Penguasaan &
Pengelolaan Wilayah
1. Sistem penguasaan
Dalam penguasaannya, sumber daya
alam di kuasai dan di manfaatka oleh kelompok komunitas adat ini di mana semua
orang mempunyai hak yang yang sama dalam penguasaannya. Penguasan yang di
maksud di sini adalah penguasaan komunal. Penguasaan komunal adalah penguasaan
dan kepemilikan berdasarkan prinsip dan kepentingan bersama di bawah pengawasan
bersama..
2. Sistem Kepemilikan
Tanah dan Masyarakat hukum adat
saling memiliki korelasi yang signifikan, ini menciptakan suatu hak untuk
menggunakan, menguasai, memelihara sekaligus mempertahankannya. Hak-hak dan
system kepemiliklah tanah di wilayah adat da’a juga seperti halnya beberapa
wilayah adat
yang ada disulawesi tengah.
Kepemilikan tersebut di dasarkan atas dan proses kepemilikan komunal, kepemikan
individual dengan sebuah prinsip yang telah di percayai oleh orang da’a
bahwa tanah itu adalah tanah adat
yang telah di wariskan dan di berikan oleh leluhur untuk ntodea (Masyarakat)
agar dijaga. Prinsip kepemilikan dan penjagaan itu dapat dilihat dari ungkapan
leluhur ”Menjual tanah adat sama dengan menjual adat, menjual adat berarti
menjual rakyat dan menjual rakyat dalah mendustai dan menyakiti leluhur” .
Sumber : Sejarah Singkat Masyarakat adat
0 comments:
Posting Komentar