Rabu, 22 Januari 2025

To Kaili

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-------------------------------------------------------------

 

Antropolog Prof.Dr.H. Mattulada dalam bukunya berjudul  Sejarah Kebudayaan To Kaili memaparkan mengenai latar belakang penyebutan orang Kaili sebagai berikut (Mattulada 1983):  “Orang-orang yang menyebut diri To Kaili secara sosiokultural tergolong dalam kelompok etnik dengan ciri-ciri:

(1) Adanya alat komunikasi antara sesama orang Kaili, yaitu bahasa/ dialek yang memelihara keakraban dan kebersamaan di antara mereka;

(2) Adanya pola-pola sosiokultural yang menumbuhkan perilaku yang dinilai sebagai bagian dari kehidupan adat istiadat, termasuk cita-cita dan ideologi, yang dihormati bersama di antara  mereka;

(3) Adanya perasaan keterikatan antara satu sama lainnya, sebagai satu kelompok yang menjadi perekat ke dalam kebersamaan di antara mereka;

(4) Adanya kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli terhadap orang dari kelompok lain, dalam berbagai kejadian sosiokultural, berupa sikap sekaum dalam menghadapi orang luar; dan

(5) Adanya perasaan keterikatan ke dalam kelompok karena hubungan kekerabatan geneologis, dan atau adanya ikatan kesadaran teritorial di antara mereka.”

Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Basri Toana dalam Jurnal Gagasan Universitas Tadulako  (Toana 1997)  berjudul  Persekutuan Hidup dan Sistem Pemukiman Masyarakat To Kaili, menguraikan tentang asal-usul kelompok etnik Kaili di Sulawesi Tengah berdasarkan sejarah persebaran penduduk yang masuk ke Sulawesi Tengah sebagai berikut: Ada dua tahap kedatangan atau migrasi sebagai berikut: migrasi pertama, dimulai sejak kedatangan penduduk yang membawa kebudayaan megalitik. Penduduk migrasi pertama diperkirakan datang dari Utara, diduga berasal dari sebuah kepulauan di Jepang. Penduduk yang datang pertama masuk ke Sulawesi Tengah melalui Minahasa; menyusuri dataran daerah Gorontalo hingga masuk ke Sulawesi Tengah dan terus ke Selatan. Berdasarkan persebarannya dapat dilacak peninggalan-peninggalan dari migrasi pertama berupa kebudayaan megalitikantara lain kuburan-kuburan batu (Kalamba), lesung-lesung batu, patung-patung dalam ukuran besar, dan lain-lain. Migrasi kedua, adalah tahap kedatangan penduduk dari Sulawesi Selatan menuju ke Sulawesi Tengah yang disebut sebagai pembawa kebudayaan tembikar dari tanah liat. Benda-benda peninggalan sejarah yang berasal dari penduduk pada migrasi kedua tersebut berupa tempayan-tempayan besar untuk penyimpanan mayat serta peralatan masak seperti periuk dan lain-lain.  

          Penduduk pertama yang datang dari utara membawa kebudayaan megalitik  tiba di daerah Sulawesi Tengah bagian barat, menuju ke Danau Lindu dan terus masuk ke daerah Lore, sedangkan sebagian lagi kemungkinan besar melanjutkan perjalanannya menuju daerah Sulawesi Selatan. Penduduk migrasi pertama menyebar ke daerah Koro sampai dengan Palolo dan Bora. Dataran Bora pada saat itu merupakan pantai Teluk Palu sebelum air teluk surut.  Penduduk yang menyebar di wilayah Koro, Palolo, dan Bora kemudian menyatukan diri dalam suatu kelompok yang dikenal dengan nama masyarakat To Sigi, sebagai hasil perkembangan penduduk pendatang yang pertama. Penduduk yang datang pada tahap kedua adalah dari Teluk Bone masuk ke Lembah Poso, diduga bertemu dengan penduduk pertama yang sudah berkembang sampai ke Lembah Poso sebelum kedatangan penduduk kedua dari Teluk Bone tersebut. Dalam pertemuan itu terjadi akulturasi-asimilasi melalui perkawinan. Keturunan dari asimilasi tersebut diduga membentuk generasi baru yang kemudian menyatukan diri dalam suatu komunitas atau kelompok masyarakat To Pamona.

          Selanjutnya,  migrasi kedua berasal dari Sulawesi Selatan melalui Selat Makassar. Penduduk migrasi kedua ini diduga kuat adalah pelaut-pelaut ulung dari Bugis Makassar dan Mandar yang datang, tinggal, dan menyebar di dan sekitar Selat Makassar termasuk di Teluk Palu. Setelah melalui akulturasi, difusi, dan asimilasi, kemudian kedua suku bangsa itu (To Sigi dan Bugis Makassar) melahirkan keturunan-keturunan generasi baru dan membentuk kelompok masyarakat di Lembah Palu. Generasi baru tersebut menyatukan diri dalam suatu kelompok masyarakat yang dikenal dengan nama To Kaili. Kerajaan Sigi pun makin berkembang dengan pesat. Kemudian mulai berdatangan para pelaut dari Mandar dan Bugis Makassar di pantai Teluk Palu dan sekitarnya, yang terletak di sepanjang selat Makassar. Hal itu terjadi setelah Teluk Palu menjadi daratan dan air Teluk Palu surut, bersamaan datangnya kontak sosial pertama dengan kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan untuk memperkokoh persahabatan antara kedua suku bangsa: yakni To Sigi dan Bugis Makassar.  

          Para pendatang baru tersebut telah memiliki kebudayaan yang dianggap lebih unggul,  yakni pembuat tembikar, sedangkan To Sigi masih berkebudayaan  megalitik. Penduduk baru mulai membentuk kelompok masyarakat yang lebih maju dan bermukim di wilayah sekitar Teluk Palu. Kebudayaan Kaili dengan demikian merupakan kebudayaan yang terbentuk dari akulturasi dan asimilasi kebudayaan To Sigi dengan kebudayaan Bugis Makassar. To Kaili kemudian berkembang dan menyebar membentuk kelompok masyarakat tersendiri. Hal itu bukan berarti meniadakan sama sekali nilai sosial, tradisi, dan adat istiadat induknya. Pembauran secara damai antara To Sigi dan Bugis Makassar menjadi generasi baru yakni To Kaili, meliputi seluruh aspek kehidupan antara lain di  bidang pertanian, pemerintahan, perdagangan, dan sosial budaya. Sejak terbentuknya masyarakat To Kaili dengan kebudayaannya yang makin berkembang, mereka kemudian menyebar menempati pemukiman-pemukiman di Lembah Palu terpisah dari kelompok asalnya (Toana 1997).  

          Sejarah asal-usul To Kaili juga dikisahkan melalui tradisi lisan yang diiringi dengan mitos-mitos, diantaranya legenda Sawerigading dan cerita rakyat Tomalanggai, dan To Manuru. Mitos dalam bahasa Yunani mythos  mempunyai arti kisah, hikayat dari zaman purbakala (Bagus 2000). Mitos biasanya mengisahkan cerita yang aneh atau janggal, dan umumnya sulit dimengerti maknanya sehingga tidak mudah diterima kebenaran isinya. Meskipun demikian, karena sifatnya tersebut mitos dipandang sebagai sesuatu yang suci atau bertuah. Mitos juga dapat digunakan sebagai alat pembenaran atau sumber kebenaran dari suatu peristiwa atau kejadian tertentu dan menjadi alat legitimasi kekuasaan pihak-pihak tertentu. Mitos mengungkapkan cara beradanya manusia di dunia, sebagai dasar kehidupan sosial dan kebudayaannya (Susanto 1987).

          Mitos tentang Sawerigading, Tomalanggai, dan To Manuru menyebar di seluruh wilayah yang dulu merupakan daerah kekuasaan masa kemagauan atau masa kerajaan di Sulawesi Tengah. Legenda Sawerigading merupakan mitos Bugis yang menyebar dan memiliki pengaruh di beberapa kerajaan di Sulawesi Tengah. Beberapa catatan atau lontara orang Bugis Makassar menyebutkan bahwa sebelum masa kolonialisme Belanda, yaitu pada masa kerajaan, terjadi hubungan antara kerajaan-kerjaaan lokal di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Kerajaan-kerajaan lokal tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi dalam cara hidup serta kebudayaannya, sebagai kerajaan-kerajaan sekeluarga. Sawerigading adalah tokoh legendaris yang dihubungkan dengan kedudukan Kerajaan Bone sebagai kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan di Tanah Kaili Sulawesi Tengah sekitar abad ke-17. Sementara kisah Sawerigading dalam epos La-Galigo diperkirakan berlangsung pada abad ke-9 dan abad ke-10. Sawerigading dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal raja-raja Bugis di Sulawesi Selatan khususnya Kerajaan Luwu yang terletak di bagian utara Selat Bone  (Mattulada  1983).  Hubungan antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan tersebut disinyalir menjadi jalan yang turut mempercepat terjadinya proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan di Tanah Kaili.

          Proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan Kaili selanjutnya diilustrasikan dalam cerita rakyat yang mengisahkan pertemuan antara Tomalanggai (Pemimpin To Sigi) dengan To Manuru (asal kata dari To Manurung dalam bahasa Bugis). To Manuru digambarkan sebagai seorang putri cantik jelita laksana bidadari yang turun dari kayangan. Putri jelita bak bidadari ini sebenarnya adalah putri Bangsawan Bugis Makassar (pendatang). To Manuru yang diartikan oleh To Kaili sebagai manusia suci, sebenarnya dapat diartikan sebagai orang yang lebih unggul kebudayaannya. Keunggulan kebudayaan yang dibawa oleh To Manuru antara lain dalam pengelolaan pertanian dengan sistem pengairan dan    memperkenalkan tanaman baru yaitu padi. Kecantikan To Manuru dengan keunggulan kebudayaannya tersebut kemudian memikat hati Tomalanggai dan berlanjut dalam perkawinan antara keduanya. Terjadinya perkawinan antara Tomalanggai dan To Manuru adalah sebagai lanjutan kisah cinta antara Sawerigading dengan Ratu Ngginayo yang tidak terwujud karena bencana alam. Sawerigading secara formal dianggap sebagai tokoh pertama yang mengadakan kontak sosial dengan To Sigi, dan sebagai perintis kontak-kontak sosial berikutnya. Mulusnya perkawinan antara Tomalanggai dari Sigi dengan To Manuru putri Bugis Makassar adalah sebagai salah satu realisasi kontak    sosial yang pernah dirintis oleh Sawerigading (Kerajaan Bugis) dengan Ratu Ngginayo (Kerajaan Sigi)  jauh sebelumnya. Perkawinan antara putri To Manuru dengan Tomalanggai di tingkat atas diikuti pula oleh masyarakat ramai. Perkawinan antara To Manuru dan Tomalanggai melahirkan keturunan-keturunan yang kemudian hari makin berkembang membentuk generasi baru. Generasi-generasi baru tersebut makin lama mulai melepaskan kebiasaan-kebiasaan kelompok induknya baik To Sigi maupun kehidupan pendatang (Bugis Makassar). Genarasi baru yang mulai melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan induknya itu kemudian membentuk suatu masyarakat baru. Selanjutnya generasi baru itu tidak lagi sebagai To Sigi atau To Manuru (Bugis Makassar) tetapi lebih dikenal dengan suatu masyarakat baru dengan nama masyarakat To Kaili. Awal terbentuknya masyarakat To Kaili dengan demikian merupakan hasil akulturasi dan asimilasi antara penduduk asli To Sigi dengan suku Bugis Makassar  sebagai pendatang yang dalam cerita rakyat To Kaili disebut sebagai Tomanuru (Mattulada 1983). Kisah-kisah legendaris dan mitos-mitos di Tanah Kaili ikut mengiringi perjalanan terbentuknya kebudayaan Kaili seperti sekarang ini.  

          Etnik Kaili pada perkembangan selanjutnya menjadi kelompok masyarakat  terbesar di Sulawesi Tengah. Identifikasi etnologis yang digunakan dalam pengelompokkan etnik tersebut adalah menyangkut bahasa, dialek, ciri kebudayaan, nama tempat, serta keadaan alam tertentu (Mattulada 1983). Orang Kaili atau disebut To Kaili merupakan kelompok masyarakat di Sulawesi Tengah yang memiliki ikatan kebersamaan berdasarkan bahasa, adat istiadat, rasa persaudaraan, kekeluargaan, dan hubungan kekerabatan. Kelompok etnik Kaili di Sulawesi Tengah berdasarkan wilayah persebarannya terdiri dari 14 (empat belas) wilayah yaitu To: Palu, Biromaru,  Dolo, Sigi,  Pakuli-Banggai-Baluase- Sibalaya-Sidondo,  Lindu, Banggakoro, Tamungkolowi-Baku, Kulawi, Tawaeli,  Sausu- Balinggi-Dolago, Petimbe, Rarang, dan Parigi (Mattulada 1983).  Sementara Masyhuddin Masyhuda mengelompokkan etnik Kaili sebagai ‘orang Kaili yang berbahasa Kaili’ adalah masyarakat yang mendiami wilayah Balaesang, Sindue, Sirenja, Tawaeli, Palu, Biromaru, Dolo, Marawola, Banawa, dan Ampibabo  (Masyhuda 1991).

         Berdasarkan hasil kajian ilmiah tentang asal-usul masyarakat Kaili dan kebudayaannya, serta melalui tradisi lisan dalam legenda dan cerita rakyat tentang Sawerigading, Tomalanggai, dan To Manuru; menggambarkan bahwa salah satu karakteristik  masyarakat Kaili,  yaitu sifat keterbukaan dalam menjalin relasi dengan orang lain. Tjatjo Thaha dalam Jamrin Abubakar menyebutkan bahwa orang Kaili memiliki sifat gotong royong, kepribadian, dan keterbukaan sehingga dapat menerima siapa saja dari luar dan lebur bersama. Masyarakat Kaili kemudian mengkonstruksi ‘peristiwa-peristiwa bermakna dalam kehidupan bersama’ tersebut menjadi konsep  sintuvu.  Sintuvu  adalah  istilah yang digunakan oleh masyarakat Kaili menunjuk pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama (Abubakar 2011).  Sintuvu sebagai Pemersatu Perbedaan  Orang Kaili menyebut wilayah tempat tinggal mereka dengan istilah Tanah Kaili, yaitu wilayah yang didiami oleh etnik Kaili di Sulawesi Tengah, letaknya di garis khatulistiwa,  yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Sulawesi Utara, sebelah timur dengan Kabupaten Poso, sebelah selatan dengan Kabupaten Luwu dan Mandar, dan sebelah barat dengan Selat Makassar  (Hendrarto 1956). Tanah Kaili merupakan sebutan bagi wilayah kerajaan-kerajaan di Lembah Palu, yang pernah mengalami masa kejayaan, yaitu Kerajaan Palu, Tawaeli, Bora, dan Sigi. Kerajaan Sigi merupakan kerajaan paling besar dan disegani karena kerajaan Sigi yang pertama kali mengadakan hubungan dengan kerajaan Bone di Sulawesi Selatan  (Mamar 1984).  Kata Kaili oleh sebagian masyarakat dipercaya berasal dari nama pohon. Menurut tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat, To Kaili berasal dari pegunungan sebelah timur yaitu berasal dari sebuah tempat bernama Buluwatumpalu. Tempat ini berada di sekitar bukit Paneki di Kecamatan Sigi Biromaru dan sering disebut Raranggonau, yaitu wilayah pemukiman penduduk di mana banyak ditumbuhi pohon bambu kecil yang subur.



۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-------------------------------------------------------------

0 comments:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞