Antropolog Prof.Dr.H. Mattulada dalam bukunya berjudul Sejarah Kebudayaan
To Kaili memaparkan mengenai
latar belakang penyebutan orang Kaili sebagai berikut (Mattulada 1983): “Orang-orang yang menyebut diri To Kaili
secara sosiokultural tergolong dalam kelompok etnik dengan ciri-ciri:
(1) Adanya alat komunikasi antara sesama orang Kaili, yaitu bahasa/ dialek
yang memelihara keakraban dan kebersamaan di antara mereka;
(2) Adanya pola-pola sosiokultural yang menumbuhkan perilaku yang dinilai
sebagai bagian dari kehidupan adat istiadat, termasuk cita-cita dan ideologi,
yang dihormati bersama di antara mereka;
(3) Adanya perasaan keterikatan antara satu sama lainnya, sebagai satu
kelompok yang menjadi perekat ke dalam kebersamaan di antara mereka;
(4) Adanya kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli terhadap
orang dari kelompok lain, dalam berbagai kejadian sosiokultural, berupa sikap
sekaum dalam menghadapi orang luar; dan
(5) Adanya perasaan keterikatan ke dalam kelompok karena hubungan
kekerabatan geneologis, dan atau adanya ikatan kesadaran teritorial di antara
mereka.”
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Basri Toana dalam Jurnal Gagasan
Universitas Tadulako (Toana 1997) berjudul
Persekutuan Hidup dan Sistem Pemukiman Masyarakat To Kaili, menguraikan
tentang asal-usul kelompok etnik Kaili di Sulawesi Tengah berdasarkan sejarah
persebaran penduduk yang masuk ke Sulawesi Tengah sebagai berikut: Ada dua
tahap kedatangan atau migrasi sebagai berikut: migrasi pertama, dimulai sejak
kedatangan penduduk yang membawa kebudayaan megalitik. Penduduk migrasi pertama
diperkirakan datang dari Utara, diduga berasal dari sebuah kepulauan di Jepang.
Penduduk yang datang pertama masuk ke Sulawesi Tengah melalui Minahasa;
menyusuri dataran daerah Gorontalo hingga masuk ke Sulawesi Tengah dan terus ke
Selatan. Berdasarkan persebarannya dapat dilacak peninggalan-peninggalan dari
migrasi pertama berupa kebudayaan megalitikantara lain kuburan-kuburan batu
(Kalamba), lesung-lesung batu, patung-patung dalam ukuran besar, dan lain-lain.
Migrasi kedua, adalah tahap kedatangan penduduk dari Sulawesi Selatan menuju ke
Sulawesi Tengah yang disebut sebagai pembawa kebudayaan tembikar dari tanah
liat. Benda-benda peninggalan sejarah yang berasal dari penduduk pada migrasi
kedua tersebut berupa tempayan-tempayan besar untuk penyimpanan mayat serta
peralatan masak seperti periuk dan lain-lain.
Penduduk pertama yang
datang dari utara membawa kebudayaan megalitik
tiba di daerah Sulawesi Tengah bagian barat, menuju ke Danau Lindu dan
terus masuk ke daerah Lore, sedangkan sebagian lagi kemungkinan besar
melanjutkan perjalanannya menuju daerah Sulawesi Selatan. Penduduk migrasi
pertama menyebar ke daerah Koro sampai dengan Palolo dan Bora. Dataran Bora
pada saat itu merupakan pantai Teluk Palu sebelum air teluk surut. Penduduk yang menyebar di wilayah Koro,
Palolo, dan Bora kemudian menyatukan diri dalam suatu kelompok yang dikenal
dengan nama masyarakat To Sigi, sebagai hasil perkembangan penduduk pendatang
yang pertama. Penduduk yang datang pada tahap kedua adalah dari Teluk Bone
masuk ke Lembah Poso, diduga bertemu dengan penduduk pertama yang sudah berkembang
sampai ke Lembah Poso sebelum kedatangan penduduk kedua dari Teluk Bone
tersebut. Dalam pertemuan itu terjadi akulturasi-asimilasi melalui perkawinan.
Keturunan dari asimilasi tersebut diduga membentuk generasi baru yang kemudian
menyatukan diri dalam suatu komunitas atau kelompok masyarakat To Pamona.
Selanjutnya, migrasi kedua berasal dari Sulawesi Selatan
melalui Selat Makassar. Penduduk migrasi kedua ini diduga kuat adalah
pelaut-pelaut ulung dari Bugis Makassar dan Mandar yang datang, tinggal, dan
menyebar di dan sekitar Selat Makassar termasuk di Teluk Palu. Setelah melalui
akulturasi, difusi, dan asimilasi, kemudian kedua suku bangsa itu (To Sigi dan
Bugis Makassar) melahirkan keturunan-keturunan generasi baru dan membentuk
kelompok masyarakat di Lembah Palu. Generasi baru tersebut menyatukan diri
dalam suatu kelompok masyarakat yang dikenal dengan nama To Kaili. Kerajaan
Sigi pun makin berkembang dengan pesat. Kemudian mulai berdatangan para pelaut
dari Mandar dan Bugis Makassar di pantai Teluk Palu dan sekitarnya, yang
terletak di sepanjang selat Makassar. Hal itu terjadi setelah Teluk Palu
menjadi daratan dan air Teluk Palu surut, bersamaan datangnya kontak sosial
pertama dengan kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan untuk memperkokoh
persahabatan antara kedua suku bangsa: yakni To Sigi dan Bugis Makassar.
Para pendatang baru
tersebut telah memiliki kebudayaan yang dianggap lebih unggul, yakni pembuat tembikar, sedangkan To Sigi
masih berkebudayaan megalitik. Penduduk
baru mulai membentuk kelompok masyarakat yang lebih maju dan bermukim di
wilayah sekitar Teluk Palu. Kebudayaan Kaili dengan demikian merupakan
kebudayaan yang terbentuk dari akulturasi dan asimilasi kebudayaan To Sigi
dengan kebudayaan Bugis Makassar. To Kaili kemudian berkembang dan menyebar
membentuk kelompok masyarakat tersendiri. Hal itu bukan berarti meniadakan sama
sekali nilai sosial, tradisi, dan adat istiadat induknya. Pembauran secara
damai antara To Sigi dan Bugis Makassar menjadi generasi baru yakni To Kaili,
meliputi seluruh aspek kehidupan antara lain di
bidang pertanian, pemerintahan, perdagangan, dan sosial budaya. Sejak
terbentuknya masyarakat To Kaili dengan kebudayaannya yang makin berkembang,
mereka kemudian menyebar menempati pemukiman-pemukiman di Lembah Palu terpisah
dari kelompok asalnya (Toana 1997).
Sejarah asal-usul To Kaili
juga dikisahkan melalui tradisi lisan yang diiringi dengan mitos-mitos,
diantaranya legenda Sawerigading dan cerita rakyat Tomalanggai, dan To Manuru.
Mitos dalam bahasa Yunani mythos
mempunyai arti kisah, hikayat dari zaman purbakala (Bagus 2000). Mitos
biasanya mengisahkan cerita yang aneh atau janggal, dan umumnya sulit
dimengerti maknanya sehingga tidak mudah diterima kebenaran isinya. Meskipun
demikian, karena sifatnya tersebut mitos dipandang sebagai sesuatu yang suci
atau bertuah. Mitos juga dapat digunakan sebagai alat pembenaran atau sumber
kebenaran dari suatu peristiwa atau kejadian tertentu dan menjadi alat
legitimasi kekuasaan pihak-pihak tertentu. Mitos mengungkapkan cara beradanya
manusia di dunia, sebagai dasar kehidupan sosial dan kebudayaannya (Susanto
1987).
Mitos tentang Sawerigading,
Tomalanggai, dan To Manuru menyebar di seluruh wilayah yang dulu merupakan
daerah kekuasaan masa kemagauan atau masa kerajaan di Sulawesi Tengah. Legenda
Sawerigading merupakan mitos Bugis yang menyebar dan memiliki pengaruh di
beberapa kerajaan di Sulawesi Tengah. Beberapa catatan atau lontara orang Bugis
Makassar menyebutkan bahwa sebelum masa kolonialisme Belanda, yaitu pada masa kerajaan,
terjadi hubungan antara kerajaan-kerjaaan lokal di Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tengah. Kerajaan-kerajaan lokal tersebut saling berhubungan dan saling
mempengaruhi dalam cara hidup serta kebudayaannya, sebagai kerajaan-kerajaan
sekeluarga. Sawerigading adalah tokoh legendaris yang dihubungkan dengan
kedudukan Kerajaan Bone sebagai kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan yang
mempunyai hubungan persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan di Tanah Kaili
Sulawesi Tengah sekitar abad ke-17. Sementara kisah Sawerigading dalam epos
La-Galigo diperkirakan berlangsung pada abad ke-9 dan abad ke-10. Sawerigading
dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal raja-raja Bugis di Sulawesi
Selatan khususnya Kerajaan Luwu yang terletak di bagian utara Selat Bone (Mattulada
1983). Hubungan antara
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan tersebut disinyalir
menjadi jalan yang turut mempercepat terjadinya proses akulturasi dan asimilasi
kebudayaan di Tanah Kaili.
Proses akulturasi dan
asimilasi kebudayaan Kaili selanjutnya diilustrasikan dalam cerita rakyat yang
mengisahkan pertemuan antara Tomalanggai (Pemimpin To Sigi) dengan To Manuru
(asal kata dari To Manurung dalam bahasa Bugis). To Manuru digambarkan sebagai
seorang putri cantik jelita laksana bidadari yang turun dari kayangan. Putri
jelita bak bidadari ini sebenarnya adalah putri Bangsawan Bugis Makassar
(pendatang). To Manuru yang diartikan oleh To Kaili sebagai manusia suci,
sebenarnya dapat diartikan sebagai orang yang lebih unggul kebudayaannya.
Keunggulan kebudayaan yang dibawa oleh To Manuru antara lain dalam pengelolaan
pertanian dengan sistem pengairan dan
memperkenalkan tanaman baru yaitu padi. Kecantikan To Manuru dengan
keunggulan kebudayaannya tersebut kemudian memikat hati Tomalanggai dan
berlanjut dalam perkawinan antara keduanya. Terjadinya perkawinan antara
Tomalanggai dan To Manuru adalah sebagai lanjutan kisah cinta antara
Sawerigading dengan Ratu Ngginayo yang tidak terwujud karena bencana alam.
Sawerigading secara formal dianggap sebagai tokoh pertama yang mengadakan
kontak sosial dengan To Sigi, dan sebagai perintis kontak-kontak sosial
berikutnya. Mulusnya perkawinan antara Tomalanggai dari Sigi dengan To Manuru
putri Bugis Makassar adalah sebagai salah satu realisasi kontak sosial yang pernah dirintis oleh
Sawerigading (Kerajaan Bugis) dengan Ratu Ngginayo (Kerajaan Sigi) jauh sebelumnya. Perkawinan antara putri To
Manuru dengan Tomalanggai di tingkat atas diikuti pula oleh masyarakat ramai.
Perkawinan antara To Manuru dan Tomalanggai melahirkan keturunan-keturunan yang
kemudian hari makin berkembang membentuk generasi baru. Generasi-generasi baru
tersebut makin lama mulai melepaskan kebiasaan-kebiasaan kelompok induknya baik
To Sigi maupun kehidupan pendatang (Bugis Makassar). Genarasi baru yang mulai
melepaskan diri dari ikatan-ikatan kebiasaan induknya itu kemudian membentuk
suatu masyarakat baru. Selanjutnya generasi baru itu tidak lagi sebagai To Sigi
atau To Manuru (Bugis Makassar) tetapi lebih dikenal dengan suatu masyarakat
baru dengan nama masyarakat To Kaili. Awal terbentuknya masyarakat To Kaili
dengan demikian merupakan hasil akulturasi dan asimilasi antara penduduk asli
To Sigi dengan suku Bugis Makassar
sebagai pendatang yang dalam cerita rakyat To Kaili disebut sebagai
Tomanuru (Mattulada 1983). Kisah-kisah legendaris dan mitos-mitos di Tanah
Kaili ikut mengiringi perjalanan terbentuknya kebudayaan Kaili seperti sekarang
ini.
Etnik Kaili pada
perkembangan selanjutnya menjadi kelompok masyarakat terbesar di Sulawesi Tengah. Identifikasi
etnologis yang digunakan dalam pengelompokkan etnik tersebut adalah menyangkut
bahasa, dialek, ciri kebudayaan, nama tempat, serta keadaan alam tertentu
(Mattulada 1983). Orang Kaili atau disebut To Kaili merupakan kelompok
masyarakat di Sulawesi Tengah yang memiliki ikatan kebersamaan berdasarkan
bahasa, adat istiadat, rasa persaudaraan, kekeluargaan, dan hubungan
kekerabatan. Kelompok etnik Kaili di Sulawesi Tengah berdasarkan wilayah
persebarannya terdiri dari 14 (empat belas) wilayah yaitu To: Palu,
Biromaru, Dolo, Sigi, Pakuli-Banggai-Baluase-
Sibalaya-Sidondo, Lindu, Banggakoro,
Tamungkolowi-Baku, Kulawi, Tawaeli,
Sausu- Balinggi-Dolago, Petimbe, Rarang, dan Parigi (Mattulada
1983). Sementara Masyhuddin Masyhuda
mengelompokkan etnik Kaili sebagai ‘orang Kaili yang berbahasa Kaili’ adalah
masyarakat yang mendiami wilayah Balaesang, Sindue, Sirenja, Tawaeli, Palu,
Biromaru, Dolo, Marawola, Banawa, dan Ampibabo
(Masyhuda 1991).
Berdasarkan hasil kajian ilmiah tentang asal-usul masyarakat Kaili dan kebudayaannya, serta melalui tradisi lisan dalam legenda dan cerita rakyat tentang Sawerigading, Tomalanggai, dan To Manuru; menggambarkan bahwa salah satu karakteristik masyarakat Kaili, yaitu sifat keterbukaan dalam menjalin relasi dengan orang lain. Tjatjo Thaha dalam Jamrin Abubakar menyebutkan bahwa orang Kaili memiliki sifat gotong royong, kepribadian, dan keterbukaan sehingga dapat menerima siapa saja dari luar dan lebur bersama. Masyarakat Kaili kemudian mengkonstruksi ‘peristiwa-peristiwa bermakna dalam kehidupan bersama’ tersebut menjadi konsep sintuvu. Sintuvu adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Kaili menunjuk pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama (Abubakar 2011). Sintuvu sebagai Pemersatu Perbedaan Orang Kaili menyebut wilayah tempat tinggal mereka dengan istilah Tanah Kaili, yaitu wilayah yang didiami oleh etnik Kaili di Sulawesi Tengah, letaknya di garis khatulistiwa, yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Sulawesi Utara, sebelah timur dengan Kabupaten Poso, sebelah selatan dengan Kabupaten Luwu dan Mandar, dan sebelah barat dengan Selat Makassar (Hendrarto 1956). Tanah Kaili merupakan sebutan bagi wilayah kerajaan-kerajaan di Lembah Palu, yang pernah mengalami masa kejayaan, yaitu Kerajaan Palu, Tawaeli, Bora, dan Sigi. Kerajaan Sigi merupakan kerajaan paling besar dan disegani karena kerajaan Sigi yang pertama kali mengadakan hubungan dengan kerajaan Bone di Sulawesi Selatan (Mamar 1984). Kata Kaili oleh sebagian masyarakat dipercaya berasal dari nama pohon. Menurut tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat, To Kaili berasal dari pegunungan sebelah timur yaitu berasal dari sebuah tempat bernama Buluwatumpalu. Tempat ini berada di sekitar bukit Paneki di Kecamatan Sigi Biromaru dan sering disebut Raranggonau, yaitu wilayah pemukiman penduduk di mana banyak ditumbuhi pohon bambu kecil yang subur.
0 comments:
Posting Komentar