Sintuvu sebagai Pemersatu Perbedaan
Orang Kaili menyebut
wilayah tempat tinggal mereka dengan istilah Tanah Kaili, yaitu wilayah yang
didiami oleh etnik Kaili di Sulawesi Tengah, letaknya di garis
khatulistiwa, yaitu di sebelah utara
berbatasan dengan Sulawesi Utara, sebelah timur dengan Kabupaten Poso, sebelah
selatan dengan Kabupaten Luwu dan Mandar, dan sebelah barat dengan Selat
Makassar (Hendrarto 1956). Tanah Kaili
merupakan sebutan bagi wilayah kerajaan-kerajaan di Lembah Palu, yang pernah
mengalami masa kejayaan, yaitu Kerajaan Palu, Tawaeli, Bora, dan Sigi. Kerajaan
Sigi merupakan kerajaan paling besar dan disegani karena kerajaan Sigi yang
pertama kali mengadakan hubungan dengan kerajaan Bone di Sulawesi Selatan (Mamar 1984).
Kata Kaili oleh sebagian masyarakat dipercaya berasal dari nama pohon.
Menurut tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat, To Kaili berasal dari
pegunungan sebelah timur yaitu berasal dari sebuah tempat bernama
Buluwatumpalu. Tempat ini berada di sekitar bukit Paneki di Kecamatan Sigi
Biromaru dan sering disebut Raranggonau, yaitu wilayah pemukiman penduduk di
mana banyak ditumbuhi pohon bambu kecil yang subur.
Orang Kaili memiliki
kecenderungan memberikan nama tempat tinggal atau kampung yang ditempati
berdasarkan nama pohon atau tumbuh-tumbuhan. Kaili merupakan nama pohon yang
sekarang ini sudah sangat langka, di wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala
Sulawesi Tengah masih ada beberapa pohon Kaili dapat ditemukan. Pohon Kaili
atau disebut juga pohon Tiro Ntasi, yaitu pohon yang menjulang tinggi di
pegunungan Pakuli sebagai pedoman bagi penduduk dalam melakukan perjalanan ke
mana-mana (Hendrarto 1956). Itu sebabnya orang Kaili keberadaannya terserak
seperti tumbuh-tumbuhan, sebagimana terseraknya putra raja yang berkuasa pada
masa kerajaan disebabkan masyarakat Kaili hidup dalam kelompok-kelompok yang
menyebar di Sulawesi Tengah. Hal itu juga yang menyebabkan lahirnya
bermacam-macam dialek dan subdialek bahasa Kaili (bukan subetnik) setelah
beratus-ratus tahun perkembangannya. Lebih dari 70% perkampungan Kaili berasal
dari nama tumbuh-tumbuhan. Contoh nama kampung Kaili antara lain Tawaili, dari
kata Tavaa Kaili artinya pohon Kaili yang ditandai untuk perkampungan tempat
turunnya raja yang kemudian menjadi pusat kerajaan Kaili. Contoh lain nama
kampung Marawola berasal dari kata maravola, Tibo dari kata Tivo yaitu kulit
kayu. Bahasa Kaili terdiri atas bermacam-macam dialek kurang lebih berjumlah 24
dialek. Sebutan orang yang berdialek Kaili contohnya Topo Daa artinya orang
yang berdialek Daa,Topo Rai artinya orang yang berdialek Rai, dan seterusnya (Sumber:
Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018).
Masyarakat Kaili adalah
masyarakat yang sangat menghormati dan menghargai leluhurnya. Orang Kaili
sangat berhati-hati ketika menyebut nama orang tua atau leluhurnya. Namun,
etnik Kaili juga sangat menghargai orang lain di luar
etniknya baik yang datang maupun tinggal menetap di Tanah Kaili. Penghormatan
terhadap orang lain dalam masyarakat Kaili ditunjukkan dalam perilaku. Perilaku
yang paling menonjol dalam budaya Kaili adalah kebersamaan dan keterbukaan
masyarakatnya, sebagaimana dikisahkan dalam cerita rakyat, legenda maupun
berdasarkan hasil penelitian para ahli di atas. Latar belakang orang Kaili yang
bersifat terbuka menyebabkan masyarakat Kaili mudah berinteraksi dan bekerja sama
dengan orang lain.
Keterbukaan orang
Kaili antara lain
ditunjukkan dalam dua
hal sebagai berikut: 1) sikap menerima semua etnik yang datang di Tanah
Kaili, 2) cara berkomunikasi, semua orang Kaili bisa berbahasa Indonesia sampai di pedalaman dan di gunung-gunung. Keterbukaan
masyarakat Kaili yang ditunjukkan dengan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia tersebut sudah berlangsung lama. Masyarakat To Kaili, meskipun
memiliki bahasa daerah bahkan sangat kaya dengan beragam dialeknya sebagai
bentuk ikatan sosial dan kebudayaan masyarakatnya, namun kelebihan dari
masyarakat Kaili adalah penguasaan mereka terhadap bahasa nasional yaitu bahasa
Indonesia. Semua orang Kaili baik yang tinggal di perkotaan, pedalaman, maupun
pegunungan menguasai bahasa Indonesia sejak masa kemerdekaan. Hal ini
menyebabkan masyarakat Kaili sangat terbuka terhadap kehadiran etnik lainnya,
dan faktanya semua etnik yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah hidup
berdampingan secara damai sampai dengan sekarang. Meskipun demikian, ada
kekhawatiran tersendiri akibat melemahnya penggunaan bahasa daerah dalam
kehidupan masyarakat Kaili (Sumber:
Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018).
Keterbukaan masyarakat
Kaili selain ditunjukkan dalam bentuk kemudahan berkomunikasi, juga ditunjukkan
dalam hubungan kerja sama dengan berbagai suku yang datang sehingga tinggal
menetap dan hidup secara damai di Tanah Kaili. Masyarakat Kaili yang awalnya
hidup apa adanya, lambat laun memiliki kesadaran untuk membuka diri dalam
menjalin kerja sama dengan suku lainnya. Kedatangan budaya lain ke Tanah Kaili
mengubah pola pikir masyarakat Kaili. Wujud penyatuan dan saling menghargai
masyarakat Kaili dengan suku-suku lainnya yaitu dalam bentuk keterlibatan
langsung atau bersentuhan langsung dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan diantaranya
dalam kegiatan upacara adat, upacara daur hidup, dan kegiatan lainnya
yang membutuhkan kerja sama gotong royong. Keterbukaan masyarakat Kaili juga
terlihat dalam bentuk kegiatan kawin mawin masyarakat Kaili dengan suku-suku
lain dalam rangka mempererat persaudaraan (Sumber: Hambali, hasil wawancara
tanggal 26 Februari 2019).
Masyarakat Kaili merupakan
masyarakat yang sangat toleran sehingga kerukunan sangat mudah tercipta
disebabkan etnik Kaili tidak membedakan suku, agama, ras, adat istiadat.
Persatuan sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat Kaili (Sumber: Dg. Manota,
hasil wawancara tanggal 18 September 2018). Namun, keterbukaan masyarakat Kaili
dipahami sebagai keterbukaan yang didasarkan oleh norma-norma etis
(keadatan). Bahwa siapa pun dan dari
etnik mana pun yang datang dan tinggal di tanah Kaili akan diterima dengan baik,
namun harus mengikuti semua peraturan keadatan Kaili. Masyarakat Kaili adalah
masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma-norma keadatan. Hubungan antara
sesama anggota masyarakat diatur dalam norma-norma keadatan yang harus
dipatuhi. Sebagai contoh, hubungan antara golongan muda dan golongan tua dalam
masyarakat Kaili didasarkan atas nilai-nilai penghormatan. Golongan muda masih
menjunjung tinggi nasihat atau petuah dari golongan tua. Oleh karena itu,
keteladanan dari golongan tua sangat berpengaruh dalam masyarakat Kaili. Jika
ada persoalan dalam masyarakat yang terkait dengan perilaku, contohnya
perselisihan dan konflik-konflik dalam masyarakat; maka wilayah keadatan yang
menangani masalah tersebut, yaitu melalui
aturan-aturan yang telah disepakati dalam norma-norma keadatan (Atura Nu Ada).
Sementara persoalan kriminal dan persoalan hukum lainnya penyelesaiannya
merupakan wilayah hukum positif (Sumber: Arsyid Musaera, hasil wawancara
tanggal 12 September 2018).
Keterbukaan dalam
masyarakat Kaili didasari oleh aturan-aturan atau norma-norma sebagaimana
ketentuan dalam hukum adat. Kebebasan dalam masyarakat Kaili merupakan
kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Hukum adat To Kaili (Atura Nu Ada)
berlaku untuk semua warga masyarakat yang tinggal di Tanah Kaili. Hal ini
mengandung pengertian bahwa masyarakat yang datang atau masuk ke wilayah yang
dihuni oleh etnik Kaili seharusnya juga bersikap loyal terhadap kebudayaan
Kaili agar terjadi kehidupan yang harmonis. Masyarakat Kaili mampu beradaptasi
dengan masyarakat pendatang jika masyarakat pendatang bersikap menghargai
masyarakat asal. Oleh karena itu, masyarakat pendatang pun harus menghargai
kebudayaan Kaili (Sumber: Andi Tjimbu Tagunu, hasil wawancara tanggal 27
September 2018). Hukum adat (Atura Nu Ada) bagi masyarakat Kaili merupakan
sumber norma dalam mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang harmonis di Tanah
Kaili.
Masyarakat Kaili memiliki
hukum adat (Atura Nu Ada) yang sangat teratur. Pembagian sistem keadatan sangat
terorganisir, masing-masing memiliki tugas sehingga tidak bisa saling
mencampuri. Masyarakat Kaili pada awalnya memiliki sistem kekerabatan
matrilineal sebelum masuknya Islam. Oleh karena itu, orang Kaili memiliki adat
yang disebut bulonggo, yaitu perempuan sebagai pemegang adat. Orang Kaili malu
besar jika perempuan melakukan kesalahan. Penghargaan orang Kaili terhadap
perempuan demikian besar. Sebagai contoh, dalam masyarakat Kaili dikenal adanya
polisa nuada (bendahara adat) yang dipegang oleh perempuan. Contoh lain penghargaan orang Kaili terhadap perempuan dapat dilihat
dari bentuk rumah adat Kaili yang memiliki dua tangga, yaitu di sebelah kiri
dan kanan. Maknanya adalah bahwa orang Kaili sangat menyayangi perempuan
sehingga laki-laki dan perempuan mempunyai tangganya masing-masing untuk
dinaiki dan dilewati pada saat turun. Jika tangga yang dinaiki adalah sebelah
kiri, maka tangga yang dilewati untuk turun juga di sebelah kiri, dan
sebaliknya. Jika tangga yang dinaiki dari sebelah kanan, maka tangga yang
dilewati untuk turun juga dari sebelah kanan
(Sumber: Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018).
Inilah salah satu wujud budaya sintuvu dalam bentuk benda yang bermakna
simbolik.
Bertolak dari kenyataan
tersebut, maka mengenal budaya sintuvu dalam
masyarakat Kaili tentu tidak
dapat dilepaskan dari pengenalan atas karakteristik To Kaili. Makna keterbukaan
dalam masyarakat Kaili perlu dikaji dan dipahami sehingga menemukan pola-pola
dasar hidup bersama yang dibangun oleh masyarakat Kaili, khususnya dalam budaya
sintuvu.
Budayawan Kaili Sulawesi
Tengah, Tjatjo Tuan Sjaichu Al Idrus dalam wawancara tanggal 13 Agustus 2018
menguraikan tentang karakteristik To Kaili sebagai berikut: “Orang Kaili menerima siapa saja orang yang
datang ke Tanah Kaili, tetapi jangan berbuat hal-hal yang tidak baik. Dalam hal
akulturasi dan asimilasi budaya, orang Kaili sangat memegang teguh
kebudayaannya. Sebagai contoh, orang Kaili jika melaksanakan kawin mawin dengan
suku lain akan tetap memegang adatnya. Hal ini ditunjukkan melalui kesepakatan
bahwa adat perkawinan Kaili selalu dilaksanakan di rumah pihak perempuan dengan
menggunakan adat Kaili. Apabila akan dilaksanakan dengan adat lain, maka
dibolehkan setelah dilaksanakan lebih dahulu dengan adat Kaili. Karakteristik
orang kaili juga ditunjukkan dalam prinsip-prinsip yang kuat, bahwa orang Kaili dalam membela kehormatannya maka
‘darah taruhannya’. Tentang hal-hal yang prinsip, jika ada dua orang bersikukuh
dengan prinsipnya maka orang Kaili pada zaman dahulu biasanya saling berhadapan
beradu fisik masuk ke dalam sebuah sarung. Tetapi jika tidak ada yang kalah, maka
mereka akan berdamai. Artinya, masalah harga diri bagi orang Kaili tidak ada
tawar menawar, namun orang Kaili juga bersifat mudah berdamai dengan orang
lain. Prinsip-prinsip tersebut sekarang sudah lemah karena berbagai pengaruh
dari luar.”
Bahasa Kaili memiliki
dialek dan subdialek yang demikian beragam.
Berdasarkan hasil penelitian Haliadi (2009) berjudul Keragaman Suku
Kaili di Sulawesi Tengah, disebutkan bahwa dialek bahasa Kaili berjumlah 24
(dua puluh empat) dialek yaitu: Kaili Ledo, Tara, Rai, Doi, Ija, Taa, Unde,
Ende, Inde, Daa, Edo, Ado, Tado, Moma, Pendau, Njedu, Kori, Ndepuu, Taje,
Tajio, Sedoa, Tavaelia, Bare’e, dan
Tiara. Hambali menambahkan bahwa
dialek-dialek dalam bahasa Kaili tersebut juga memiliki subdialek dibawahnya
lagi, diantaranya: Bahasa Kaili Unde misalnya terdiri dari Unde Giya, Unde
Puhiya, Unde Boa, Undepu. Bahasa
Kaili Daa terdiri dari Daa Vou,
Daa Ria, Daa Mana. Bahasa Kaili Ado terdiri dari Ado Mbui, Ado Mbe, Ado Ria. Bahasa Kaili Rai
terdiri dari Rai Ria, Rai Moje, Rai Maka. Bahasa Kaili Doi terdiri dari Doi
Giya, Doi Ria, dan lain sebagainya. Bahasa Kaili Lea merupakan salah satu bahasa Kaili yang sudah
punah (Sumber: Hambali, hasil wawancara
tanggal 26 Februari 2019).
Semua dialek dalam bahasa
Kaili tersebut mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu mengandung makna kata ‘tidak’
atau ingkar. Contohnya Ledo artinya tidak, Tara artinya tidak, Rai artinya
tidak, Doi artinya tidak, dan seterusnya. Semua mengandung arti tidak. Oleh
karenanya, semua bahasa daerah di wilayah Sulawesi Tengah yang mengandung makna
kata ‘tidak’ atau ingkar dapat dipastikan merupakan satu rumpun keluarga besar
bahasa Kaili. Mengapa semua dialek bahasa Kaili mengandung makna tidak atau
ingkar? Berdasarkan keterangan Budayawan Kaili Tjatjo Tuan Sjaichu Al Idrus,
disebutkan maksud atau arti dari kata tidak (ingkar) dalam bahasa Kaili sebagai
berikut:
“Watak orang Kaili tidak bisa dipaksakan jika sudah mengatakan tidak, namun
jika sudah bersahabat mereka akan sangat baik. Bahasa Kaili semua ingkar (tidak),
hal ini menyangkut masalah prinsip hidup masyarakat Kaili. Jika ada sesuatu
yang dipertahankan, maka akan mengatakan tidak. Dalam sejarah Indonesia, suku
bangsa Kaili hanya 40 tahun dijajah. Sifat orang Kaili menantang sesuatu apa
yang tidak diinginkan atau tidak disetujui. Namun, sikap orang Kaili tidak
kontroversi. Orang Kali berkata tidak untuk hal-hal yang tidak diinginkan,
tetapi jika ada hal-hal yang diinginkan maka orang Kaili bersatu atau
ber-sintuvu.”
Mengapa dialek bahasa Kaili
demikian beragam? Ketua Majelis Adat Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala
menjelaskan bahwa sejarah Kaili ada yang tersirat dan ada yang tersurat.
Sejarah Kaili yang tersirat bersifat mitis, sedangkan sejarah Kaili yang
tersurat dapat diteliti secara ilmiah. Sejarah Kaili dapat ditinjau dari
dimensi adat, dimensi bahasa, dan asal-usul To Kaili. Secara mitis sejarah
tentang Kaili adalah menyangkut asal-usul To Kaili dan bahasa Kaili. Sejarah
tentang asal-usul suku Kaili dikenal dalam istilah “ulu jadi tana sanggamu” yaitu
asal mula kejadian tanah segenggam. Dimensi mitis tentang asal-usul bahasa
Kaili dikenal melalui cerita orang-orang tua mengenai “bulupembagi bahasa”
yaitu kejadian saat bahasa Kaili diturunkan. Bulu artinya gunung yang
keberadaannya di wilayah Sindue Kabupaten Donggala (Sumber: Hambali, hasil
wawancara tanggal 26 Februari 2019).
Terjadinya bermacam-macam
dialek bahasa Kaili disebabkan adanya pombare bahasa atau pembagian bahasa.
Raja yang berkuasa membagi bahasa-bahasa tersebut sesuai dengan kelompoknya
masing-masing. Pada saat terjadi perang saudara antarsuku sekitar 1000 tahun
yang lalu, orang-orang yang berperang pada saat disebut Kaili mereka akhirnya
bersatu kembali. Terjadilah kebersamaan dalam perbedaan, itulah yang disebut
dengan sintuvu. Konsep sintuvu lahir dari kebersamaan dalam perbedaan, salah
satunya perbedaan dialek bahasa Kaili yang bermacam-macam tersebut (Sumber:
Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil wawancara
tanggal 13 Agustus 2018). Sintuvu sebagai prinsip hidup bersama dalam
masyarakat Kaili sekaligus menggambarkan karakteristik orang Kaili yang
mengutamakan kekeluargaan dan kemufakatan dalam realitas konkret hidup
bermasyarakat. Sintuvu dengan demikian menjadi pemersatu perbedaan dalam
masyarakat Kaili yang memiliki banyak dialek bahasa dan karakteristik tersebut.
0 comments:
Posting Komentar