Rabu, 22 Januari 2025

SINTUVU sebagai Pemersatu Perbedaan,

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-------------------------------------------------------------

 

Sintuvu sebagai Pemersatu Perbedaan 

          Orang Kaili menyebut wilayah tempat tinggal mereka dengan istilah Tanah Kaili, yaitu wilayah yang didiami oleh etnik Kaili di Sulawesi Tengah, letaknya di garis khatulistiwa,  yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Sulawesi Utara, sebelah timur dengan Kabupaten Poso, sebelah selatan dengan Kabupaten Luwu dan Mandar, dan sebelah barat dengan Selat Makassar  (Hendrarto 1956). Tanah Kaili merupakan sebutan bagi wilayah kerajaan-kerajaan di Lembah Palu, yang pernah mengalami masa kejayaan, yaitu Kerajaan Palu, Tawaeli, Bora, dan Sigi. Kerajaan Sigi merupakan kerajaan paling besar dan disegani karena kerajaan Sigi yang pertama kali mengadakan hubungan dengan kerajaan Bone di Sulawesi Selatan  (Mamar 1984).  Kata Kaili oleh sebagian masyarakat dipercaya berasal dari nama pohon. Menurut tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat, To Kaili berasal dari pegunungan sebelah timur yaitu berasal dari sebuah tempat bernama Buluwatumpalu. Tempat ini berada di sekitar bukit Paneki di Kecamatan Sigi Biromaru dan sering disebut Raranggonau, yaitu wilayah pemukiman penduduk di mana banyak ditumbuhi pohon bambu kecil yang subur.

          Orang Kaili memiliki kecenderungan memberikan nama tempat tinggal atau kampung yang ditempati berdasarkan nama pohon atau tumbuh-tumbuhan. Kaili merupakan nama pohon yang sekarang ini sudah sangat langka, di wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah masih ada beberapa pohon Kaili dapat ditemukan. Pohon Kaili atau disebut juga pohon Tiro Ntasi, yaitu pohon yang menjulang tinggi di pegunungan Pakuli sebagai pedoman bagi penduduk dalam melakukan perjalanan ke mana-mana (Hendrarto 1956). Itu sebabnya orang Kaili keberadaannya terserak seperti tumbuh-tumbuhan, sebagimana terseraknya putra raja yang berkuasa pada masa kerajaan disebabkan masyarakat Kaili hidup dalam kelompok-kelompok yang menyebar di Sulawesi Tengah. Hal itu juga yang menyebabkan lahirnya bermacam-macam dialek dan subdialek bahasa Kaili (bukan subetnik) setelah beratus-ratus tahun perkembangannya. Lebih dari 70% perkampungan Kaili berasal dari nama tumbuh-tumbuhan. Contoh nama kampung Kaili antara lain Tawaili, dari kata Tavaa Kaili artinya pohon Kaili yang ditandai untuk perkampungan tempat turunnya raja yang kemudian menjadi pusat kerajaan Kaili. Contoh lain nama kampung Marawola berasal dari kata maravola, Tibo dari kata Tivo yaitu kulit kayu. Bahasa Kaili terdiri atas bermacam-macam dialek kurang lebih berjumlah 24 dialek. Sebutan orang yang berdialek Kaili contohnya Topo Daa artinya orang yang berdialek Daa,Topo Rai artinya orang yang berdialek Rai, dan seterusnya (Sumber: Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018).  

          Masyarakat Kaili adalah masyarakat yang sangat menghormati dan menghargai leluhurnya. Orang Kaili sangat berhati-hati ketika menyebut nama orang tua atau leluhurnya. Namun, etnik  Kaili  juga sangat menghargai orang lain di luar etniknya baik yang datang maupun tinggal menetap di Tanah Kaili. Penghormatan terhadap orang lain dalam masyarakat Kaili ditunjukkan dalam perilaku. Perilaku yang paling menonjol dalam budaya Kaili adalah kebersamaan dan keterbukaan masyarakatnya, sebagaimana dikisahkan dalam cerita rakyat, legenda maupun berdasarkan hasil penelitian para ahli di atas. Latar belakang orang Kaili yang bersifat terbuka menyebabkan masyarakat Kaili mudah berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain.  

          Keterbukaan  orang  Kaili  antara lain ditunjukkan  dalam  dua  hal sebagai berikut: 1) sikap menerima semua etnik yang datang di Tanah Kaili, 2) cara berkomunikasi, semua orang Kaili bisa berbahasa  Indonesia sampai di pedalaman    dan di gunung-gunung. Keterbukaan masyarakat Kaili yang ditunjukkan dengan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia tersebut sudah berlangsung lama. Masyarakat To Kaili, meskipun memiliki bahasa daerah bahkan sangat kaya dengan beragam dialeknya sebagai bentuk ikatan sosial dan kebudayaan masyarakatnya, namun kelebihan dari masyarakat Kaili adalah penguasaan mereka terhadap bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Semua orang Kaili baik yang tinggal di perkotaan, pedalaman, maupun pegunungan menguasai bahasa Indonesia sejak masa kemerdekaan. Hal ini menyebabkan masyarakat Kaili sangat terbuka terhadap kehadiran etnik lainnya, dan faktanya semua etnik yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah hidup berdampingan secara damai sampai dengan sekarang. Meskipun demikian, ada kekhawatiran tersendiri akibat melemahnya penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan masyarakat Kaili (Sumber:  Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018).

          Keterbukaan masyarakat Kaili selain ditunjukkan dalam bentuk kemudahan berkomunikasi, juga ditunjukkan dalam hubungan kerja sama dengan berbagai suku yang datang sehingga tinggal menetap dan hidup secara damai di Tanah Kaili. Masyarakat Kaili yang awalnya hidup apa adanya, lambat laun memiliki kesadaran untuk membuka diri dalam menjalin kerja sama dengan suku lainnya. Kedatangan budaya lain ke Tanah Kaili mengubah pola pikir masyarakat Kaili. Wujud penyatuan dan saling menghargai masyarakat Kaili dengan suku-suku lainnya yaitu dalam bentuk keterlibatan langsung atau bersentuhan langsung dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan  diantaranya  dalam kegiatan upacara adat, upacara daur hidup, dan kegiatan lainnya yang membutuhkan kerja sama gotong royong. Keterbukaan masyarakat Kaili juga terlihat dalam bentuk kegiatan kawin mawin masyarakat Kaili dengan suku-suku lain dalam rangka mempererat persaudaraan (Sumber: Hambali, hasil wawancara tanggal 26 Februari 2019).  

          Masyarakat Kaili merupakan masyarakat yang sangat toleran sehingga kerukunan sangat mudah tercipta disebabkan etnik Kaili tidak membedakan suku, agama, ras, adat istiadat. Persatuan sangat dijunjung tinggi dalam masyarakat Kaili (Sumber: Dg. Manota, hasil wawancara tanggal 18 September 2018). Namun, keterbukaan masyarakat Kaili dipahami sebagai keterbukaan yang didasarkan oleh norma-norma etis (keadatan).    Bahwa siapa pun dan dari etnik mana pun yang datang dan tinggal di tanah Kaili akan diterima dengan baik, namun harus mengikuti semua peraturan keadatan Kaili. Masyarakat Kaili adalah masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma-norma keadatan. Hubungan antara sesama anggota masyarakat diatur dalam norma-norma keadatan yang harus dipatuhi. Sebagai contoh, hubungan antara golongan muda dan golongan tua dalam masyarakat Kaili didasarkan atas nilai-nilai penghormatan. Golongan muda masih menjunjung tinggi nasihat atau petuah dari golongan tua. Oleh karena itu, keteladanan dari golongan tua sangat berpengaruh dalam masyarakat Kaili. Jika ada persoalan dalam masyarakat yang terkait dengan perilaku, contohnya perselisihan dan konflik-konflik dalam masyarakat; maka wilayah keadatan yang menangani masalah tersebut,  yaitu melalui aturan-aturan yang telah disepakati dalam norma-norma keadatan (Atura Nu Ada). Sementara persoalan kriminal dan persoalan hukum lainnya penyelesaiannya merupakan wilayah hukum positif (Sumber: Arsyid Musaera, hasil wawancara tanggal 12 September 2018).  

          Keterbukaan dalam masyarakat Kaili didasari oleh aturan-aturan atau norma-norma sebagaimana ketentuan dalam hukum adat. Kebebasan dalam masyarakat Kaili merupakan kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Hukum adat To Kaili (Atura Nu Ada) berlaku untuk semua warga masyarakat yang tinggal di Tanah Kaili. Hal ini mengandung pengertian bahwa masyarakat yang datang atau masuk ke wilayah yang dihuni oleh etnik Kaili seharusnya juga bersikap loyal terhadap kebudayaan Kaili agar terjadi kehidupan yang harmonis. Masyarakat Kaili mampu beradaptasi dengan masyarakat pendatang jika masyarakat pendatang bersikap menghargai masyarakat asal. Oleh karena itu, masyarakat pendatang pun harus menghargai kebudayaan Kaili (Sumber: Andi Tjimbu Tagunu, hasil wawancara tanggal 27 September 2018). Hukum adat (Atura Nu Ada) bagi masyarakat Kaili merupakan sumber norma dalam mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang harmonis di Tanah Kaili.

          Masyarakat Kaili memiliki hukum adat (Atura Nu Ada) yang sangat teratur. Pembagian sistem keadatan sangat terorganisir, masing-masing memiliki tugas sehingga tidak bisa saling mencampuri. Masyarakat Kaili pada awalnya memiliki sistem kekerabatan matrilineal sebelum masuknya Islam. Oleh karena itu, orang Kaili memiliki adat yang disebut bulonggo, yaitu perempuan sebagai pemegang adat. Orang Kaili malu besar jika perempuan melakukan kesalahan. Penghargaan orang Kaili terhadap perempuan demikian besar. Sebagai contoh, dalam masyarakat Kaili dikenal adanya polisa nuada (bendahara adat) yang dipegang oleh perempuan. Contoh lain penghargaan  orang Kaili terhadap perempuan dapat dilihat dari bentuk rumah adat Kaili yang memiliki dua tangga, yaitu di sebelah kiri dan kanan. Maknanya adalah bahwa orang Kaili sangat menyayangi perempuan sehingga laki-laki dan perempuan mempunyai tangganya masing-masing untuk dinaiki dan dilewati pada saat turun. Jika tangga yang dinaiki adalah sebelah kiri, maka tangga yang dilewati untuk turun juga di sebelah kiri, dan sebaliknya. Jika tangga yang dinaiki dari sebelah kanan, maka tangga yang dilewati untuk turun juga dari sebelah kanan  (Sumber: Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018). Inilah salah satu wujud budaya sintuvu dalam bentuk benda yang bermakna simbolik.  

          Bertolak dari kenyataan tersebut, maka mengenal budaya sintuvu dalam  masyarakat  Kaili tentu tidak dapat dilepaskan dari pengenalan atas karakteristik To Kaili. Makna keterbukaan dalam masyarakat Kaili perlu dikaji dan dipahami sehingga menemukan pola-pola dasar hidup bersama yang dibangun oleh masyarakat Kaili, khususnya dalam budaya sintuvu.   

          Budayawan Kaili Sulawesi Tengah, Tjatjo Tuan Sjaichu Al Idrus dalam wawancara tanggal 13 Agustus 2018 menguraikan tentang karakteristik To Kaili sebagai berikut:    “Orang Kaili menerima siapa saja orang yang datang ke Tanah Kaili, tetapi jangan berbuat hal-hal yang tidak baik. Dalam hal akulturasi dan asimilasi budaya, orang Kaili sangat memegang teguh kebudayaannya. Sebagai contoh, orang Kaili jika melaksanakan kawin mawin dengan suku lain akan tetap memegang adatnya. Hal ini ditunjukkan melalui kesepakatan bahwa adat perkawinan Kaili selalu dilaksanakan di rumah pihak perempuan dengan menggunakan adat Kaili. Apabila akan dilaksanakan dengan adat lain, maka dibolehkan setelah dilaksanakan lebih dahulu dengan adat Kaili. Karakteristik orang kaili juga ditunjukkan dalam prinsip-prinsip yang kuat, bahwa  orang Kaili dalam membela kehormatannya maka ‘darah taruhannya’. Tentang hal-hal yang prinsip, jika ada dua orang bersikukuh dengan prinsipnya maka orang Kaili pada zaman dahulu biasanya saling berhadapan beradu fisik masuk ke dalam sebuah sarung. Tetapi jika tidak ada yang kalah, maka mereka akan berdamai. Artinya, masalah harga diri bagi orang Kaili tidak ada tawar menawar, namun orang Kaili juga bersifat mudah berdamai dengan orang lain. Prinsip-prinsip tersebut sekarang sudah lemah karena berbagai pengaruh dari luar.” 

          Bahasa Kaili memiliki dialek dan subdialek yang demikian beragam.  Berdasarkan hasil penelitian Haliadi (2009) berjudul Keragaman Suku Kaili di Sulawesi Tengah, disebutkan bahwa dialek bahasa Kaili berjumlah 24 (dua puluh empat) dialek yaitu: Kaili Ledo, Tara, Rai, Doi, Ija, Taa, Unde, Ende, Inde, Daa, Edo, Ado, Tado, Moma, Pendau, Njedu, Kori, Ndepuu, Taje, Tajio, Sedoa, Tavaelia, Bare’e, dan  Tiara.  Hambali menambahkan bahwa dialek-dialek dalam bahasa Kaili tersebut juga memiliki subdialek dibawahnya lagi, diantaranya: Bahasa Kaili Unde misalnya terdiri dari Unde Giya, Unde Puhiya, Unde Boa, Undepu. Bahasa  Kaili    Daa terdiri dari Daa Vou, Daa Ria, Daa Mana. Bahasa Kaili Ado terdiri dari   Ado Mbui, Ado Mbe, Ado Ria. Bahasa Kaili Rai terdiri dari Rai Ria, Rai Moje, Rai Maka. Bahasa Kaili Doi terdiri dari Doi Giya, Doi Ria, dan lain sebagainya. Bahasa Kaili Lea  merupakan salah satu bahasa Kaili yang sudah punah (Sumber: Hambali,  hasil wawancara tanggal 26 Februari 2019).  

          Semua dialek dalam bahasa Kaili tersebut mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu mengandung makna kata ‘tidak’ atau ingkar. Contohnya Ledo artinya tidak, Tara artinya tidak, Rai artinya tidak, Doi artinya tidak, dan seterusnya. Semua mengandung arti tidak. Oleh karenanya, semua bahasa daerah di wilayah Sulawesi Tengah yang mengandung makna kata ‘tidak’ atau ingkar dapat dipastikan merupakan satu rumpun keluarga besar bahasa Kaili. Mengapa semua dialek bahasa Kaili mengandung makna tidak atau ingkar? Berdasarkan keterangan Budayawan Kaili Tjatjo Tuan Sjaichu Al Idrus, disebutkan maksud atau arti dari kata tidak (ingkar) dalam bahasa Kaili sebagai berikut:

“Watak orang Kaili tidak bisa dipaksakan jika sudah mengatakan tidak, namun jika sudah bersahabat mereka akan sangat baik. Bahasa Kaili semua ingkar (tidak), hal ini menyangkut masalah prinsip hidup masyarakat Kaili. Jika ada sesuatu yang dipertahankan, maka akan mengatakan tidak. Dalam sejarah Indonesia, suku bangsa Kaili hanya 40 tahun dijajah. Sifat orang Kaili menantang sesuatu apa yang tidak diinginkan atau tidak disetujui. Namun, sikap orang Kaili tidak kontroversi. Orang Kali berkata tidak untuk hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi jika ada hal-hal yang diinginkan maka orang Kaili bersatu atau ber-sintuvu.”  

          Mengapa dialek bahasa Kaili demikian beragam? Ketua Majelis Adat Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala menjelaskan bahwa sejarah Kaili ada yang tersirat dan ada yang tersurat. Sejarah Kaili yang tersirat bersifat mitis, sedangkan sejarah Kaili yang tersurat dapat diteliti secara ilmiah. Sejarah Kaili dapat ditinjau dari dimensi adat, dimensi bahasa, dan asal-usul To Kaili. Secara mitis sejarah tentang Kaili adalah menyangkut asal-usul To Kaili dan bahasa Kaili. Sejarah tentang asal-usul suku Kaili dikenal dalam istilah “ulu jadi tana sanggamu” yaitu asal mula kejadian tanah segenggam. Dimensi mitis tentang asal-usul bahasa Kaili dikenal melalui cerita orang-orang tua mengenai “bulupembagi bahasa” yaitu kejadian saat bahasa Kaili diturunkan. Bulu artinya gunung yang keberadaannya di wilayah Sindue Kabupaten Donggala (Sumber: Hambali, hasil wawancara tanggal 26 Februari 2019).  

          Terjadinya bermacam-macam dialek bahasa Kaili disebabkan adanya pombare bahasa atau pembagian bahasa. Raja yang berkuasa membagi bahasa-bahasa tersebut sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Pada saat terjadi perang saudara antarsuku sekitar 1000 tahun yang lalu, orang-orang yang berperang pada saat disebut Kaili mereka akhirnya bersatu kembali. Terjadilah kebersamaan dalam perbedaan, itulah yang disebut dengan sintuvu. Konsep sintuvu lahir dari kebersamaan dalam perbedaan, salah satunya perbedaan dialek bahasa Kaili yang bermacam-macam tersebut (Sumber: Tjatjo Tuan Sjaichu,  hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018).  Sintuvu  sebagai prinsip hidup bersama dalam masyarakat Kaili sekaligus menggambarkan karakteristik orang Kaili yang mengutamakan kekeluargaan dan kemufakatan dalam realitas konkret hidup bermasyarakat. Sintuvu dengan demikian menjadi pemersatu perbedaan dalam masyarakat Kaili yang memiliki banyak dialek bahasa dan karakteristik tersebut.



Sumber :  https://www.researchgate.net/publication/343460684_BUDAYA_SINTUVU_MASYARAKAT_KAILI_DI_SULAWESI_TENGAH_THE_SINTUVU_CULTURE_OF_THE_KAILI_PEOPLE_IN_CENTRAL_SULAWESI



۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-------------------------------------------------------------

0 comments:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞