Sintuvu sebagai Budaya
Gotong Royong
Istilah
sintuvu
dalam masyarakat Kaili Tara di Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah
memiliki sinonim atau padanan dengan kata
pakasongu. Pengertian pakasongu dipahami dalam tiga istilah, yaitu pakasongu, nompakasongu, dan mompakasongu.
Pakasongu merupakan kata kerja, nompakasongu merupakan kata sifat, dan
mompakasongu merupakan sebuah prinsip atau simbol. Kata pakasongu yang berasal
dari kata dasar songu mengandung makna kegotongroyongan, persatuan dalam satu
ikatan. Pakasongu artinya persatuan yang
sudah mengikat sehingga memiliki konsekuensi normatif. Sintuvu atau pakasongu
yang bermakna mengikat memiliki kedudukan sebagai dasar perilaku bagi
masyarakat Kaili yang dituangkan dalam hukum adat (Sumber: Andi Tjimbu Tagunu, hasil wawancara
tanggal 27 September 2018).
Masyarakat Kaili
sejak dahulu merupakan kelompok masyarakat yang identik dengan kebiasaan hidup
berkelompok dan mengutamakan persatuan dan kerja sama dalam kehidupan
sehari-hari. Kehidupan To Kaili pada mulanya adalah sebagai petani yang
berkelompok dan berpindah-pindah. Setiap kelompok terdiri atas beberapa
keluarga yang bekerjasama menggarap sawah atau kebun. Kerja sama dilakukan
untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan keterlibatan orang
banyak, sehingga pekerjaan terasa ringan
dan cepat terselesaikan. Namun, pada masa Tomalanggai bentuk kerja sama dalam kelompok
masyarakat Kaili belum dapat dikatakan sebagai kegiatan gotong royong
(sintuvu). Sebab, bentuk kerja sama yang dilakukan pada saat itu masih bersifat
kekeluargaan dan biasanya diatur sesuai perintah atau komando dari kepala suku
yaitu Tomalanggai.
Sutan Takdir
Alisjahbana dalam buku yang berjudul ”Sejarah Kebudayaan Indonesia Masuk
Globalisasi Umat Manusia” menyebut gotong royong sebagai kebudayaan Indonesia
yang pertama (Alisjahbana 1991). Budaya gotong royong atau kerja sama dalam
masyarakat Indonesia pada awalnya terlihat pada waktu orang melakukan
pekerjaan-pekerjaan penting seperti mengerjakan sawah, merambah hutan,
pelaksanaan upaca kelahiran, perkawinan, penguburan, dan kejadian-kejadian
penting lainnya dalam masyarakat. Prinsip kesamaan dalam masyarakat gotong
royong mencerminkan demokrasi, tidak menunjukkan adanya tingkat-tingkat selain
dari segi usia. Biasanya yang menjadi ketua atau pemimpin kelompok adalah yang
terbaik di antara sesamanya (primus inter pares). Kehidupan bersama diatur oleh
adat istiadat, oleh karenanya masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat
yang tenang, tenteram, dan penuh tanggung jawab.
Budaya sintuvu
lahir dari masyarakat Kaili ketika menghadapi persoalan-persoalan yang
dirasa berat sehingga memerlukan kerja sama atau gotong royong. Prinsip gotong
royong dalam masyarakat Kaili dipahami sebagai aktivitas masyarakat yang
didasarkan pada nilai-nilai kekeluargaan dan musyawarah (libu) untuk
menyelesaikan masalah publik secara bersama-sama demi kepentingan bersama
(Gambar 3). Proses sintuvu
dalam masyarakat Kaili didahului dengan musyawarah (libu) untuk
mendapatkan kemufakatan, dari hasil kemufakatan tersebut kemudian dikerjakan
dan dipertanggungjawabkan secara bersama-sama.
Oleh karenanya,
sintuvu identik dengan konsep gotong royong sebagai kebudayaan khas Indonesia.
Soekarno dalam Safroedin Bahar menegaskan bahwa gotong royong adalah paham yang
dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan (Bahar 1995). Gotong royong melibatkan
semua orang dalam menyelesaikan persoalan secara bersama-sama untuk kepentingan
bersama, sehingga lahir prinsip ‘semua untuk semua’. Prinsip kerja sama gotong
royong mempunyai dimensi praktis. Gotong
royong adalah usaha dalam menyelesaikan pekerjaan secara bersama-sama. Merphin
Panjaitan menyebut bahwa manusia gotong royong adalah pekerja keras yang
menjawab tantangan hidup secara bersama-sama (Panjaitan 2013).
Berdasarkan hasil
penelusuran peneliti, ada beberapa budaya Kaili yang dapat dikategorikan
sebagai budaya kebersamaan. Kearifan-kearifan lokal masyarakat Kaili yang memiliki korelasi
dengan budaya kebersamaan sintuvu diantaranya nosarara nosabatutu, ada nosibolai, libu ntodea, dan tonda talusi. Kearifan-kearifan dalam budaya
Kaili tersebut mempunyai korelasi dengan konsep sintuvu sebagai budaya gotong royong dalam masyarakat
Kaili. Kearifan-kearifan dalam nosarara nosabatutu, ada nosibolai, libu ntodea,
dan tonda talusi mengekspresikan
nilai-nilai tentang kebersamaan. Nilai-nilai tersebut relevan untuk dikaji
dalam rangka menemukan nilai yang sebenarnya dari budaya sintuvu dalam
masyarakat Kaili.
Nilai-nilai yang
dimaksud adalah nilai kekeluargaan dan persatuan pada prinsip nosarara
nosabatutu; nilai keterbukaan dan kekeluargaan dalam ada nosibolai,; nilai musyawarah mufakat dan
tanggung jawab dalam libu ntodea; serta nilai kekeluargaan, musyawarah, kerja
sama, dan harmoni dalam tonda talusi. Identifikasi nilai-nilai yang terkandung
dalam budaya kebersamaan yang lahir dan berkembang dalam masyarakat Kaili
tersebut, dideskripsikan sebagai berikut:
1. Nosarara
nosabatutu (prinsip kekeluargaan dan persatuan)
Masyarakat Kaili
memiliki kearifan budaya lokal tentang kebersamaan diantaranya ajaran nosarara
nosabatutu yang mengandung nilai-nilai kekeluargaan dan persatuan dalam
kehidupan bermasyarakat. Nosarara nosabatutu artinya persaudaraan dalam wadah
tali kasih (Sumber: Hambali, hasil wawancara tanggal 26 Februari 2019). Konsep
tentang kebersamaan dalam masyarakat Kaili pada awalnya dimaknai sebagai
hubungan kekeluargaan berdasarkan ikatan satu darah (nosarara), sebuah
pemahaman bahwa mereka bersaudara karena memiliki ikatan secara geneologis.
Hubungan kekeluargaan tersebut disatukan dalam satu wadah yang disebut batutu
sehingga melahirkan konsep nosabatutu.
Prinsip nosarara nosabatutu disinyalir lahir sejak lahirnya masyarakat Kaili yang
dikenal dengan sebutan To Kaili. Kelompok sosial dalam masyarakat Kaili pada
masa kepemimpinan tradisional diperintah oleh seorang kepala suku disebut
Tomalanggai. Pada masa Tomalanggai orang Kaili sudah mengenal prinip-prinsip
kebersamaan dalam ajaran nosarara
nosabatutu. Ajaran nosarara nosabatutu merupakan prinsip tentang kekeluargaan
atau persaudaran dan persatuan masyarakat Kaili yang didasarkan atas hubungan
darah (Sumber: Haliadi, hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018). Kata nosarara
terdiri dari kata dasar ‘sarara’ artinya keluarga. Berkeluarga memiliki tiga
pengertian yakni 1) berumah tangga; mempunyai keluarga, 2) bersanak saudara
(dengan); berkerabat (dengan), 3) menikah; mempunyai istri/ suami. Dalam
konteks ini berkeluarga identik dengan bersanak saudara (dengan); berkerabat
(dengan). Nosarara mengandung banyak makna antara lain 1) nosangurara (hati), 2) nosanguraa (darah), dan
nosampesuvu (bersaudara).
Nosabatutu artinya keluarga, komunitas, dari rahim ibu yang sama
(Ponulele 2007).
Nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran nosarara nosabatutu ditinjau berdasarkan teori
objektivisme nilai Max Scheler tentang hierarkis nilai merupakan nilai vital
dan spiritual dalam kehidupan masyarakat Kaili. Objektivisme aksiologis Scheler
merupakan objekivisme absolut. Scheler menolak teori ‘relatif’ dan ‘subjektif’ tentang nilai.
Scheler beranggapan bahwa eksistensi nilai tidak bergantung sama sekali pada
pemahaman subjek. Scheler mengatakan bahwa terdapat sekian banyak nilai tak
terbatas yang tak terjangkau oleh inderawi manusia. Scheler menolak dependensi
nilai pada realitas kehidupan. Kehidupan merupakan suatu fakta, yang tidak
dengan sendirinya dikaitkan dengan nilai. Nilai merupakan suatu yang
ditambahkan untuk diwujudkan dalam kehidupan. Singkatnya, nilai merupakan objek
ideal, yang bersifat tetap tak terpengaruh oleh apapun.
Nilai objektif
tersebut secara hierarkis saling terkait yang meliputi nilai kesenangan, nilai
vitalitas, nilai spiritual, dan nilai kesucian. Nilai vitalitas atau kehidupan
terdiri dari nilai-nilai rasa kehidupan yang meliputi luhur, halus, atau lembut
hingga yang kasar. Nilai kehidupan juga mencakup nilai baik yang berlawanan
dengan jelek. Nilai-nilai yang diturunkan dari tingkatan ini memuat
kesejahteraan pada umumnya, baik dalam skala komunitas atau pribadi. Scheler
menyebutkan bahwa seseorang menangkap nilai spiritual melalui persepsi
sentimental spiritual dan dalam kegiatan preferensi spiritual yaitu cinta dan
benci (Frondizi 2001).
Scheler dalam
menentukan hierarkhi nilai didasarkan atas kriteria sebagai berikut: 1)
lamanya nilai itu bertahan atau sifat
keabadian; 2) ketidakmungkinan untuk dibagi (divisibility), makin tinggi derajat sebuah nilai maka makin kecil sifatnya untuk dibagi-bagi; 3)
nilai dasar, jika satu nilai menjadi dasar bagi nilai yang lain, maka kedudukan
nilai tersebut lebih tinggi dari nilai yang lain; 4) kedalaman kepuasan sebuah
nilai, bahwa kepuasan itu berasal dari persepsi sentimental atas satu nilai
yang lebih dalam daripada nilai yang lain; yang eksistensinya tidak tergantung
pada persepsi sentimental atas nilai yang lain. Kepuasan jangan dikacaukan
dengan kenikmatan, meskipun kenikmatan merupakan hasil dari kepuasan; 5)
relativitas, bahwa relativitas mengacu pada esensi nilai itu sendiri. Nilai
ditemukan dalam perasaan dan preferensi yang kehadirannya dekat dengan nilai
mutlak. Nilai mutlak itu jelas (evident). Makin kurang kerelatifan nilai, makin
tinggi keberadaannya. Nilai yang tertinggi dari semua nilai adalah nilai
mutlak. Objek nilai yang abadi selalu lebih disukai dari yang sementara dan
mudah berubah (Wahana 2004).
Prinsip nosarara nosabatutu mengajarkan tentang
kekeluargaan (nosarara) dan persatuan (nosabatutu) untuk menciptakan kehidupan
yang harmonis. Nosarara nosabatutu sebagai prinsip kekeluargaan dan persatuan
masyarakat Kaili mengandung nilai-nilai vital yang berorientasi pada
kesejahteraan sosial. Prinsip kekeluargaan pada konsep nosarara nosabatutu juga
mengindikasikan adanya persepsi sentimental spiritual dan preferensi spiritual.
Salah satu contoh persepsi sentimental dan preferensi spiritual dalam konsep
nosarara yaitu prinsip mencintai orang lain seperti saudara sendiri yang
tercermin dalam ungkapan “sararata le atau sararata ia” yang artinya saudara
kita ‘dia'. Sedangkan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam ajaran nosabatutu
masyarakat Kaili, sebagaimana
pendapat Haliadi yaitu rasa senasib sepenanggungan, menghargai dan
menjaga kekayaan bersama untuk kepentingan bersama, menjaga kerahasiaan, dan
kehati-hatian atau kewaspadaan (Haliadi 2006).
Nosarara nosabatutu
merupakan prinsip yang menggambarkan bahwa masyarakat Kaili lebih mengutamakan
kerukunan hidup bersama atau harmoni yang di dasarkan pada konsep kebersatuan
yang mengarah pada prinsip-prinsip spiritualitas. Oleh karena itu,
nosararanosabatutu mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Kaili sebagai
sebuah kelompok etnik. Dari konsep nosarara nosabatutu masyarakat Kaili
mengenal konsep kekeluargaan dan persatuan yang berkembang menjadi konsep sintuvu yaitu persatuan yang didasari oleh musyawarah
mufakat (libu ntodea).
2. Ada nosibolai (prinsip keterbukaan)
Masyarakat Kaili adalah
masyarakat egaliter yang menerima secara terbuka kehadiran kelompok-kelompok
etnik lainnya di Tanah Kaili. Orang Kaili (To Kaili) sangat terbuka terhadap
etnik lainnya sejak zaman dahulu, yaitu pada masa kerajaan. Salah satu bentuk
keterbukaan masyarakat Kaili ditunjukkan
dalam tradisi kawin mawin antaretnik disebut adanosibolai. Tradisi kawin
mawin antar etnik tersebut awalnya dilakukan oleh raja dan bangsawan di
lingkungan kerajaan kemudian diikuti oleh kalangan masyarakat biasa. Tradisi
ada nosibolai pada awalnya merupakan usaha bangsawan di masa lalu untuk
menyebarkan keturunannya ke daerah lain dengan cara perkawinan (Melalatoa
1995). Tradisi ini masih berlaku sampai
dengan sekarang, baik di lingkungan masyarakat keturunan raja dan bangsawan
(magau dan madika) maupun masyarakat
biasa (ntodea). Sejak dahulu, tidak ada larangan bagi masyarakat Kaili dalam
melangsungkan pernikahan dengan etnik mana pun. Melalui ada nosibolai masyarakat Kaili ingin menunjukkan sifat keterbukaannya
dalam menjalin hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Keterbukaaan etnik Kaili
melalui ada nosibolai tersebut merupakan
salah satu kearifan masyarakat Kaili dalam membangun kebersamaan dengan etnik
lainya.
3. Libu
ntodea (prinsip musyawarah mufakat)
Musyawarah merupakan
salah satu bentuk kearifan masyarakat Kaili dalam menyelesaikan suatu
permasalahan secara kekeluargaan untuk mencapai kemufakatan. Musyawarah mufakat
lazimnya dilaksanakan oleh orang banyak sehingga disebut libu ntodea. Orang Kaili
dikenal memiliki prinsip yang sangat kuat dalam mempertahankan kebenaran,
tetapi sekaligus mempunyai sikap mudah berdamai dengan orang lain. Sikap mudah
berdamai artinya bahwa orang Kaili menempatkan musyawarah mufakat sebagai cara
dalam mengatasi persoalan. Sebab, jika sudah terjadi kemufakatan maka orang
Kaili akan menerima dan bertanggung jawab atas hasil kemufakatan tersebut.
Istilah musyawarah
mufakat sesuai penggunaannya dalam masyarakat Kaili disebut dalam beberapa
pengertian, yaitu libu (musyawarah),
molibu (mengundang orang untuk bermusyawah), dan polibu (tempat
bermusyawarah). Istilah mufakat dalam bahasa Kaili disebut nosirata jarita
(Kaili Rai) atau nosinggava jarita
(Kaili Ledo). Mufakat dibedakan dari pengertian kesepakatan dalam arti sempit,
kesepakatan dalam bahasa Kaili disebut dengan istilah jarita. Kesepakatan dalam
kata jarita mengandung makna persetujuan yang dibuat oleh dua orang atau lebih
dalam konteks pribadi bukan publik (Sumber: Hambali, hasil wawancara tanggal 26 Februari 2019). Sedangkan mufakat dalam
istilah nosirata jarita atau nosinggava jarita maknanya adalah ‘ketemu
pembicaraan’ berdasarkan musyawarah yang dilakukan oleh orang banyak (ntodea)
berkaitan dengan kepentingan publik (Sumber: Timuddin, hasil wawancara tanggal
26 Juli 2018). Musyawarah mufakat (libu ntodea) sangat dibutuhkan dalam
masyarakat untuk menjaga kerukunan hidup bersama. Musyawarah mufakat dalam
masyarakat Kaili biasanya dilaksanakan di sebuah tempat pertemuan disebut
baruga/ bantaya (Gambar 4) Sumber: Dok. Pribadi Gambar 4 Baruga/
Bantaya
4. Tonda
talusi (prinsip harmoni)
Prinsip kebersamaan
dalam konsep sintuvu masyarakat Kaili direalisaikan dalam sistem atau pola yang
disebut tonda talusi. Tonda artinya tungku, talusi artinya tiga penyangga (Sumber:
Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018).
Tonda talusi
merupakan kearifan lokal masyarakat Kaili dalam mewujudkan harmonisasi sebagaisuatu upaya untuk meminimalisir
terjadinya konflik (Sumber: Iksam, 26 September 2018). Tonda talusi dalam konteks kebersamaan
masyarakat Kaili merupakan sistem nilai yang dibangun atas dasar konsep sintuvu
untuk mewujudkan keharmonisan dalam masyarakat. Nilai-nilai yang mendasari
tonda talusi adalah kekeluargaan, musyawarah, kerja sama, dan harmoni.
Tonda talusi adalah
filosofi masyarakat Kaili yang menggambarkan hubungan harmonis antara manusia
dengan alam semesta, dengan sesama manusia, dan dengan Tuhan. Tonda talusi
artinya tiga penyangga (tungku) kehidupan masyarakat Kaili. Prinsip-prinsip
kebersamaan dalam falsafah Tonda Talusi,
meliputi 3 pilar kehidupan masyarakat Kaili yang dilandasi nilai-nilai
kebaikan, yaitu: 1) Matuvu Mosipeili artinya baku lihat, 2) Matuvu Mosiepe
artinya baku dengar, 3) Matuvu Mosimpotove artinya baku sayang. Tonda Talusi
menggambarkan tiga tungku penyangga kehidupan dalam masyarakat Kaili (Sumber:
Rum Parampasi, hasil wawancara tanggal 24 Juli 2018).
Konsep tonda talusi dalam perkembangannya dimaknai
sebagai hubungan kerja sama dalam masyarakat antara pemerintah, tokoh adat, dan
tokoh agama sebagai representasi dari harmonisasi hubungan manusia dengan alam
semesta, sesama manusia, dan Tuhan. Tonda
Talusi merupakan pendekatan untuk mencegah terjadinya konflik dalam masyarakat
Kaili melalui tiga pilar tersebut agar masyarakat senantiasa merasa tenteram
dan nyaman hidup di tanah Kaili. Tonda talusi merupakan warisan pranata sosial
yang dibangun para leluhur sejak ratusan
tahun silam sebagai kearifan To Kaili. Tonda talusi sebagai tiga pilar
penyangga kehidupan dalam masyarakat Kaili sekarang ini pendekatannya
menggunakan beberapa unsur yaitu: 1) Tonda
(tungku) yang pertama melibatkan Pemerintah Daerah, Polri, dan TNI; 2)
Tonda (tungku) kedua melibatkan tokoh
adat; 3) Tonda (tungku) ketiga melibatkan tokoh agama. Pola tersebut
sangat efektif digunakan dalam menangkal atau melakukan deteksi dini pada
lingkungan terkecil dalam masyarakat yaitu RT, RW, dan kelurahan sebagai
tindakan preentif dan preventif dalam mengenal orang-orang di lingkungan
tersebut. Dengan mengenal nama dan domisili warga masing-masing diharapkan
dapat mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang dapat mengganggu ketenteraman
warga masyarakat serta menghindari terjadinya konflik yang berkepanjangan
(Sumber: Timuddin, hasil wawancara
tanggal 26 Juli 2018).
Nilai-nilai kearifan
lokal masyarakat Kaili dalam prinsip nosarara nosabatutu, ada nosibolai, libu ntodea, dan tonda talusi menggambarkan bahwa masyarakat
Kaili adalah masyarakat yang memiliki karakter kuat dalam menjalin hubungan
kebersamaan dan kerja sama dengan orang lain. Nilai-nilai dasar yang dibangun
dalam kebersamaan masyarakat Kaili dalam perjalanan sejarahnya, kemudian
dipahami oleh masyarakat Kaili sebagai komponen yang membentuk budaya persatuan
atau gotong royong disebut sintuvu. Latar belakang lahirnya sintuvu adalah semangat kebersamaan atau
persatuan masyarakat Kaili yang dilandasi oleh nilai-nilai harmoni, kekeluargaan,semangat berbagi,
solidaritas, musyawarah mufakat, tanggung jawab, dan keterbukaan. Nilai-nilai
keutamaan tersebut menjadi nilai dasar dalam memahami budaya sintuvu
sebagai prinsip persatuan dalam masyarakat
Kaili.
0 comments:
Posting Komentar