Rabu, 22 Januari 2025

SINTUVU sebagai Budaya Gotong Royong

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-------------------------------------------------------------

 

Sintuvu sebagai Budaya Gotong Royong  

           Istilah  sintuvu dalam masyarakat Kaili Tara di Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah memiliki sinonim atau padanan dengan kata  pakasongu. Pengertian pakasongu dipahami dalam tiga istilah,  yaitu pakasongu, nompakasongu, dan  mompakasongu.  Pakasongu merupakan kata kerja, nompakasongu merupakan kata sifat, dan mompakasongu merupakan sebuah prinsip atau simbol. Kata pakasongu yang berasal dari kata dasar songu mengandung makna kegotongroyongan, persatuan dalam satu ikatan. Pakasongu  artinya persatuan yang sudah mengikat sehingga memiliki konsekuensi normatif. Sintuvu atau pakasongu yang bermakna mengikat memiliki kedudukan sebagai dasar perilaku bagi masyarakat Kaili yang dituangkan dalam hukum adat  (Sumber: Andi Tjimbu Tagunu, hasil wawancara tanggal 27 September 2018).  

          Masyarakat Kaili sejak dahulu merupakan kelompok masyarakat yang identik dengan kebiasaan hidup berkelompok dan mengutamakan persatuan dan kerja sama dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan To Kaili pada mulanya adalah sebagai petani yang berkelompok dan berpindah-pindah. Setiap kelompok terdiri atas beberapa keluarga yang bekerjasama menggarap sawah atau kebun. Kerja sama dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan keterlibatan orang banyak, sehingga  pekerjaan terasa ringan dan cepat terselesaikan. Namun, pada masa Tomalanggai bentuk kerja sama dalam kelompok masyarakat Kaili belum dapat dikatakan sebagai kegiatan gotong royong (sintuvu). Sebab, bentuk kerja sama yang dilakukan pada saat itu masih bersifat kekeluargaan dan biasanya diatur sesuai perintah atau komando dari kepala suku yaitu Tomalanggai.  

          Sutan Takdir Alisjahbana dalam buku yang berjudul ”Sejarah Kebudayaan Indonesia Masuk Globalisasi Umat Manusia” menyebut gotong royong sebagai kebudayaan Indonesia yang pertama  (Alisjahbana 1991).  Budaya gotong royong atau kerja sama dalam masyarakat Indonesia pada awalnya terlihat pada waktu orang melakukan pekerjaan-pekerjaan penting seperti mengerjakan sawah, merambah hutan, pelaksanaan upaca kelahiran, perkawinan, penguburan, dan kejadian-kejadian penting lainnya dalam masyarakat. Prinsip kesamaan dalam masyarakat gotong royong mencerminkan demokrasi, tidak menunjukkan adanya tingkat-tingkat selain dari segi usia. Biasanya yang menjadi ketua atau pemimpin kelompok adalah yang terbaik di antara sesamanya (primus inter pares). Kehidupan bersama diatur oleh adat istiadat, oleh karenanya masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang tenang, tenteram, dan penuh tanggung jawab.  

          Budaya  sintuvu  lahir dari masyarakat Kaili ketika menghadapi persoalan-persoalan yang dirasa berat sehingga memerlukan kerja sama atau gotong royong. Prinsip gotong royong dalam masyarakat Kaili dipahami sebagai aktivitas masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai kekeluargaan dan musyawarah (libu) untuk menyelesaikan masalah publik secara bersama-sama demi kepentingan bersama (Gambar 3).  Proses  sintuvu  dalam masyarakat Kaili didahului dengan musyawarah (libu) untuk mendapatkan kemufakatan, dari hasil kemufakatan tersebut kemudian dikerjakan dan dipertanggungjawabkan secara bersama-sama.  

          Oleh karenanya, sintuvu identik dengan konsep gotong royong sebagai kebudayaan khas Indonesia. Soekarno dalam Safroedin Bahar menegaskan bahwa gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan (Bahar 1995). Gotong royong melibatkan semua orang dalam menyelesaikan persoalan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama, sehingga lahir prinsip ‘semua untuk semua’. Prinsip kerja sama gotong royong mempunyai dimensi  praktis. Gotong royong adalah usaha dalam menyelesaikan pekerjaan secara bersama-sama. Merphin Panjaitan menyebut bahwa manusia gotong royong adalah pekerja keras yang menjawab tantangan hidup secara bersama-sama (Panjaitan 2013). 

          Berdasarkan hasil penelusuran peneliti, ada beberapa budaya Kaili yang dapat dikategorikan sebagai budaya kebersamaan. Kearifan-kearifan lokal  masyarakat Kaili yang memiliki korelasi dengan budaya kebersamaan sintuvu diantaranya nosarara nosabatutu,  ada nosibolai,  libu ntodea, dan  tonda talusi. Kearifan-kearifan dalam budaya Kaili tersebut mempunyai korelasi dengan konsep sintuvu  sebagai budaya gotong royong dalam masyarakat Kaili. Kearifan-kearifan dalam nosarara nosabatutu, ada nosibolai, libu ntodea, dan  tonda talusi mengekspresikan nilai-nilai tentang kebersamaan. Nilai-nilai tersebut relevan untuk dikaji dalam rangka menemukan nilai yang sebenarnya dari budaya sintuvu dalam masyarakat Kaili.

          Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai kekeluargaan dan persatuan pada prinsip nosarara nosabatutu; nilai keterbukaan dan kekeluargaan dalam  ada nosibolai,; nilai musyawarah mufakat dan tanggung jawab dalam libu ntodea; serta nilai kekeluargaan, musyawarah, kerja sama, dan harmoni dalam tonda talusi. Identifikasi nilai-nilai yang terkandung dalam budaya kebersamaan yang lahir dan berkembang dalam masyarakat Kaili tersebut, dideskripsikan sebagai berikut:

1. Nosarara nosabatutu  (prinsip kekeluargaan dan persatuan)

          Masyarakat Kaili memiliki kearifan budaya lokal tentang kebersamaan diantaranya ajaran nosarara nosabatutu yang mengandung nilai-nilai kekeluargaan dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nosarara nosabatutu artinya persaudaraan dalam wadah tali kasih (Sumber: Hambali, hasil wawancara tanggal 26 Februari 2019). Konsep tentang kebersamaan dalam masyarakat Kaili pada awalnya dimaknai sebagai hubungan kekeluargaan berdasarkan ikatan satu darah (nosarara), sebuah pemahaman bahwa mereka bersaudara karena memiliki ikatan secara geneologis. Hubungan kekeluargaan tersebut disatukan dalam satu wadah yang disebut batutu sehingga melahirkan konsep nosabatutu.

          Prinsip  nosarara nosabatutu disinyalir lahir sejak lahirnya masyarakat Kaili yang dikenal dengan sebutan To Kaili. Kelompok sosial dalam masyarakat Kaili pada masa kepemimpinan tradisional diperintah oleh seorang kepala suku disebut Tomalanggai. Pada masa Tomalanggai orang Kaili sudah mengenal prinip-prinsip kebersamaan dalam ajaran  nosarara nosabatutu. Ajaran nosarara nosabatutu merupakan prinsip tentang kekeluargaan atau persaudaran dan persatuan masyarakat Kaili yang didasarkan atas hubungan darah (Sumber: Haliadi, hasil wawancara tanggal 13 Agustus 2018). Kata nosarara terdiri dari kata dasar ‘sarara’ artinya keluarga. Berkeluarga memiliki tiga pengertian yakni 1) berumah tangga; mempunyai keluarga, 2) bersanak saudara (dengan); berkerabat (dengan), 3) menikah; mempunyai istri/ suami. Dalam konteks ini berkeluarga identik dengan bersanak saudara (dengan); berkerabat (dengan). Nosarara mengandung banyak makna antara lain 1) nosangurara  (hati), 2) nosanguraa  (darah), dan  nosampesuvu (bersaudara).  Nosabatutu artinya keluarga, komunitas, dari rahim ibu yang sama (Ponulele 2007).

          Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran nosarara nosabatutu ditinjau berdasarkan teori objektivisme nilai Max Scheler tentang hierarkis nilai merupakan nilai vital dan spiritual dalam kehidupan masyarakat Kaili. Objektivisme aksiologis Scheler merupakan objekivisme absolut. Scheler menolak teori  ‘relatif’ dan ‘subjektif’ tentang nilai. Scheler beranggapan bahwa eksistensi nilai tidak bergantung sama sekali pada pemahaman subjek. Scheler mengatakan bahwa terdapat sekian banyak nilai tak terbatas yang tak terjangkau oleh inderawi manusia. Scheler menolak dependensi nilai pada realitas kehidupan. Kehidupan merupakan suatu fakta, yang tidak dengan sendirinya dikaitkan dengan nilai. Nilai merupakan suatu yang ditambahkan untuk diwujudkan dalam kehidupan. Singkatnya, nilai merupakan objek ideal, yang bersifat tetap tak terpengaruh oleh apapun.  

          Nilai objektif tersebut secara hierarkis saling terkait yang meliputi nilai kesenangan, nilai vitalitas, nilai spiritual, dan nilai kesucian. Nilai vitalitas atau kehidupan terdiri dari nilai-nilai rasa kehidupan yang meliputi luhur, halus, atau lembut hingga yang kasar. Nilai kehidupan juga mencakup nilai baik yang berlawanan dengan jelek. Nilai-nilai yang diturunkan dari tingkatan ini memuat kesejahteraan pada umumnya, baik dalam skala komunitas atau pribadi. Scheler menyebutkan bahwa seseorang menangkap nilai spiritual melalui persepsi sentimental spiritual dan dalam kegiatan preferensi spiritual yaitu cinta dan benci (Frondizi 2001).

          Scheler dalam menentukan hierarkhi nilai didasarkan atas kriteria sebagai berikut: 1) lamanya  nilai itu bertahan atau sifat keabadian; 2) ketidakmungkinan untuk dibagi (divisibility),  makin tinggi derajat sebuah nilai maka  makin kecil sifatnya untuk dibagi-bagi; 3) nilai dasar, jika satu nilai menjadi dasar bagi nilai yang lain, maka kedudukan nilai tersebut lebih tinggi dari nilai yang lain; 4) kedalaman kepuasan sebuah nilai, bahwa kepuasan itu berasal dari persepsi sentimental atas satu nilai yang lebih dalam daripada nilai yang lain; yang eksistensinya tidak tergantung pada persepsi sentimental atas nilai yang lain. Kepuasan jangan dikacaukan dengan kenikmatan, meskipun kenikmatan merupakan hasil dari kepuasan; 5) relativitas, bahwa relativitas mengacu pada esensi nilai itu sendiri. Nilai ditemukan dalam perasaan dan preferensi yang kehadirannya dekat dengan nilai mutlak. Nilai mutlak itu jelas (evident). Makin kurang kerelatifan nilai, makin tinggi keberadaannya. Nilai yang tertinggi dari semua nilai adalah nilai mutlak. Objek nilai yang abadi selalu lebih disukai dari yang sementara dan mudah berubah (Wahana 2004).

          Prinsip  nosarara nosabatutu mengajarkan tentang kekeluargaan (nosarara) dan persatuan (nosabatutu) untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. Nosarara nosabatutu sebagai prinsip kekeluargaan dan persatuan masyarakat Kaili mengandung nilai-nilai vital yang berorientasi pada kesejahteraan sosial. Prinsip kekeluargaan pada konsep nosarara nosabatutu juga mengindikasikan adanya persepsi sentimental spiritual dan preferensi spiritual. Salah satu contoh persepsi sentimental dan preferensi spiritual dalam konsep nosarara yaitu prinsip mencintai orang lain seperti saudara sendiri yang tercermin dalam ungkapan “sararata le atau sararata ia” yang artinya saudara kita ‘dia'. Sedangkan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam ajaran  nosabatutu  masyarakat Kaili, sebagaimana  pendapat Haliadi yaitu rasa senasib sepenanggungan, menghargai dan menjaga kekayaan bersama untuk kepentingan bersama, menjaga kerahasiaan, dan kehati-hatian atau kewaspadaan (Haliadi 2006).

          Nosarara nosabatutu merupakan prinsip yang menggambarkan bahwa masyarakat Kaili lebih mengutamakan kerukunan hidup bersama atau harmoni yang di dasarkan pada konsep kebersatuan yang mengarah pada prinsip-prinsip spiritualitas. Oleh karena itu, nosararanosabatutu mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Kaili sebagai sebuah kelompok etnik. Dari konsep nosarara nosabatutu masyarakat Kaili mengenal konsep kekeluargaan dan persatuan yang berkembang menjadi konsep sintuvu  yaitu persatuan yang didasari oleh musyawarah mufakat (libu ntodea).

 2. Ada nosibolai (prinsip keterbukaan)

Masyarakat Kaili adalah masyarakat egaliter yang menerima secara terbuka kehadiran kelompok-kelompok etnik lainnya di Tanah Kaili. Orang Kaili (To Kaili) sangat terbuka terhadap etnik lainnya sejak zaman dahulu, yaitu pada masa kerajaan. Salah satu bentuk keterbukaan masyarakat Kaili ditunjukkan  dalam tradisi kawin mawin antaretnik disebut adanosibolai. Tradisi kawin mawin antar etnik tersebut awalnya dilakukan oleh raja dan bangsawan di lingkungan kerajaan kemudian diikuti oleh kalangan masyarakat biasa. Tradisi ada nosibolai pada awalnya merupakan usaha bangsawan di masa lalu untuk menyebarkan keturunannya ke daerah lain dengan cara perkawinan (Melalatoa 1995).  Tradisi ini masih berlaku sampai dengan sekarang, baik di lingkungan masyarakat keturunan raja dan bangsawan (magau dan  madika) maupun masyarakat biasa (ntodea). Sejak dahulu, tidak ada larangan bagi masyarakat Kaili dalam melangsungkan pernikahan dengan etnik mana pun. Melalui ada nosibolai  masyarakat Kaili ingin menunjukkan sifat keterbukaannya dalam menjalin hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Keterbukaaan etnik Kaili melalui  ada nosibolai tersebut merupakan salah satu kearifan masyarakat Kaili dalam membangun kebersamaan dengan etnik lainya. 

3. Libu ntodea (prinsip musyawarah mufakat)

          Musyawarah merupakan salah satu bentuk kearifan masyarakat Kaili dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara kekeluargaan untuk mencapai kemufakatan. Musyawarah mufakat lazimnya dilaksanakan oleh orang banyak sehingga disebut libu ntodea. Orang Kaili dikenal memiliki prinsip yang sangat kuat dalam mempertahankan kebenaran, tetapi sekaligus mempunyai sikap mudah berdamai dengan orang lain. Sikap mudah berdamai artinya bahwa orang Kaili menempatkan musyawarah mufakat sebagai cara dalam mengatasi persoalan. Sebab, jika sudah terjadi kemufakatan maka orang Kaili akan menerima dan bertanggung jawab atas hasil kemufakatan tersebut.  

          Istilah musyawarah mufakat sesuai penggunaannya dalam masyarakat Kaili disebut dalam beberapa pengertian, yaitu libu (musyawarah),  molibu (mengundang orang untuk bermusyawah), dan polibu (tempat bermusyawarah). Istilah mufakat dalam bahasa Kaili disebut nosirata jarita (Kaili Rai) atau  nosinggava jarita (Kaili Ledo). Mufakat dibedakan dari pengertian kesepakatan dalam arti sempit, kesepakatan dalam bahasa Kaili disebut dengan istilah jarita. Kesepakatan dalam kata jarita mengandung makna persetujuan yang dibuat oleh dua orang atau lebih dalam konteks pribadi bukan publik (Sumber: Hambali, hasil wawancara tanggal  26 Februari 2019). Sedangkan mufakat dalam istilah nosirata jarita atau nosinggava jarita maknanya adalah ‘ketemu pembicaraan’ berdasarkan musyawarah yang dilakukan oleh orang banyak (ntodea) berkaitan dengan kepentingan publik (Sumber: Timuddin, hasil wawancara tanggal 26 Juli 2018). Musyawarah mufakat (libu ntodea) sangat dibutuhkan dalam masyarakat untuk menjaga kerukunan hidup bersama. Musyawarah mufakat dalam masyarakat Kaili biasanya dilaksanakan di sebuah tempat pertemuan disebut baruga/ bantaya  (Gambar 4)   Sumber: Dok. Pribadi Gambar 4 Baruga/ Bantaya 

4. Tonda talusi (prinsip harmoni)

          Prinsip kebersamaan dalam konsep sintuvu masyarakat Kaili direalisaikan dalam sistem atau pola yang disebut tonda talusi. Tonda artinya tungku, talusi  artinya tiga penyangga  (Sumber:  Tjatjo Tuan Sjaichu, hasil wawancara tanggal 13  Agustus 2018).

          Tonda talusi merupakan kearifan lokal masyarakat Kaili dalam mewujudkan harmonisasi  sebagaisuatu upaya untuk meminimalisir terjadinya konflik (Sumber: Iksam, 26 September 2018).  Tonda talusi dalam konteks kebersamaan masyarakat Kaili merupakan sistem nilai yang dibangun atas dasar konsep sintuvu untuk mewujudkan keharmonisan dalam masyarakat. Nilai-nilai yang mendasari tonda talusi adalah kekeluargaan, musyawarah, kerja sama, dan harmoni.  

          Tonda talusi adalah filosofi masyarakat Kaili yang menggambarkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta, dengan sesama manusia, dan dengan Tuhan. Tonda talusi artinya tiga penyangga (tungku) kehidupan masyarakat Kaili. Prinsip-prinsip kebersamaan dalam falsafah  Tonda Talusi, meliputi 3 pilar kehidupan masyarakat Kaili yang dilandasi nilai-nilai kebaikan, yaitu: 1) Matuvu Mosipeili artinya baku lihat, 2) Matuvu Mosiepe artinya baku dengar, 3) Matuvu Mosimpotove artinya baku sayang. Tonda Talusi menggambarkan tiga tungku penyangga kehidupan dalam masyarakat Kaili (Sumber: Rum Parampasi, hasil wawancara tanggal 24 Juli 2018).

          Konsep  tonda talusi dalam perkembangannya dimaknai sebagai hubungan kerja sama dalam masyarakat antara pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama sebagai representasi dari harmonisasi hubungan manusia dengan alam semesta, sesama manusia, dan Tuhan.  Tonda Talusi merupakan pendekatan untuk mencegah terjadinya konflik dalam masyarakat Kaili melalui tiga pilar tersebut agar masyarakat senantiasa merasa tenteram dan nyaman hidup di tanah Kaili. Tonda talusi merupakan warisan pranata sosial yang dibangun para leluhur sejak ratusan  tahun silam sebagai kearifan To Kaili. Tonda talusi sebagai tiga pilar penyangga kehidupan dalam masyarakat Kaili sekarang ini pendekatannya menggunakan beberapa unsur yaitu: 1) Tonda  (tungku) yang pertama melibatkan Pemerintah Daerah, Polri, dan TNI; 2) Tonda (tungku) kedua melibatkan tokoh  adat; 3) Tonda (tungku) ketiga melibatkan tokoh agama. Pola tersebut sangat efektif digunakan dalam menangkal atau melakukan deteksi dini pada lingkungan terkecil dalam masyarakat yaitu RT, RW, dan kelurahan sebagai tindakan preentif dan preventif dalam mengenal orang-orang di lingkungan tersebut. Dengan mengenal nama dan domisili warga masing-masing diharapkan dapat mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang dapat mengganggu ketenteraman warga masyarakat serta menghindari terjadinya konflik yang berkepanjangan (Sumber: Timuddin,  hasil wawancara tanggal 26 Juli 2018).  

          Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kaili dalam prinsip nosarara nosabatutu,  ada nosibolai, libu ntodea, dan  tonda talusi menggambarkan bahwa masyarakat Kaili adalah masyarakat yang memiliki karakter kuat dalam menjalin hubungan kebersamaan dan kerja sama dengan orang lain. Nilai-nilai dasar yang dibangun dalam kebersamaan masyarakat Kaili dalam perjalanan sejarahnya, kemudian dipahami oleh masyarakat Kaili sebagai komponen yang membentuk budaya persatuan atau gotong royong disebut sintuvu. Latar belakang lahirnya  sintuvu adalah semangat kebersamaan atau persatuan masyarakat Kaili yang dilandasi oleh nilai-nilai  harmoni, kekeluargaan,semangat berbagi, solidaritas, musyawarah mufakat, tanggung jawab, dan keterbukaan. Nilai-nilai keutamaan tersebut menjadi nilai dasar dalam memahami budaya sintuvu sebagai  prinsip persatuan dalam masyarakat Kaili. 


۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-------------------------------------------------------------

0 comments:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞