HASIL DAN
PEMBAHASAN
5.1.1. Perkembangan Kota Masa Prakolonial
Donggala adalah daerah wilayah
kekuasaan Kerajaan Banawa salah satu kerajaan tertua di Sulawesi Tengah
(merupakan embrio dari kerajaan tua Pudjananti) yang di perintah oleh raja-raja
keturunan raja-raja dari Sulawesi Selatan.
Secara formal raja merupakan seorang penguasa tertingi dan para pemangku pemerintah lansung bertanggung jawab kepadanya, namun dalam menjalankan pemerintahan maupun kebijaksanaan, raja tidak dapat berbuat sekehandak hatinya. Hal ini dikarenakan raja dikelilingi oleh berbagai pembantu dan penasehat yang juga berperan cukup besar di bawah kedudukan raja, terutama para pelaksana harian kerajaan. Demikian pula daerah-daerah kekuasaannya tidaklah bebas berdiri sendiri untuk menjalankan keinginannya karena pada hakekatnya mereka juga diikat oleh struktur pemerintahan dari pusat kerajaan.
Hubungan timbal balik antara pemangku dan pelaksana pemerintahan dengan raja selalu ditengahi oleh sebuah Dewan Adat yang merupakan badan yang mewakili kelompok-kelompok lapian sosial dalam masyarakat dan rakyat biasa.
Periode tahun 1485 – 1552 merupakan awal pemerintahan Raja Banawa pertama yang bernama I (i) Badan Tassa Batari Banawa dengan Ibukota pemerintahan kerajaan Banawa terletak di Pujananti. Sistem pemerintahannya feodalistis yang otoriter dengan sistem sosialnya menganut faham pelapisan masyarakat pada pembagian tingkat-tingkat dimana masyarakat belum mengenal satu ajaran agama, mereka masih menganut kepercayaan animisme.
Dalam periode ini sebuah Kapal Dagang Portugis menemukan sebuah pantai di wilayah Kerajaan Banawa yang bagus dijadikan persinggahan kapal-kapal yang hilir mudik di jalur perairan Selat Makassar. Kapten kapalnya bernama Don ’Nggolo pergi menemui raja untuk membuat kesepakatan agar pantai itu dijadikan pelabuhan persinggahan bagi kapal-kapal dagang yang akan mengisi air tawar, selanjutnya melalui keputusan “dewan adat” pantai itu dikukuhkan sesuai nama Kapten Kapal Portugis yang menemukannya dan dengan dialek penduduk setempat menjadi Donggala.
Pada awal pemerintahan Raja Banawa Pertama Pelabuhan Donggala tumbuh dari pelabuhan kecil menjadi pelabuhan tempat bongkar muat perahu yang berisi hasil-hasil hutan, pertanian, perkebunan, peternakan dan hasil laut yang diperdagangkan antar daerah-daerah sepanjang pantai barat Sulawesi Tengah. Pelabuhan Donggala sudah menjadi pelabuhan pantai yang mulai berhubungan dan menerima pengaruh-pengaruh dari luar.
Keberadaan Pelabuhan Donggala telah membuka lapangan kerja yang mengundang penduduk dari daerah-daerah lain datang dan tinggal di Kota Pelabuhan Donggala merupakan faktor utama terjadinya perpindahan penduduk, baik dari daerah pedalaman maupun dari daerah-daerah sepanjang pesisir Pantai Barat Sulawesi.
Selanjutnya datang pula para pedagang Cina, Arab, Bugis serta Mandar untuk berdagang dan kemudian tinggal menetap menjadi anggota masyarakat Kerajaan Banawa. Mereka juga menyebar sampai ke pelosok-pelosok pedalaman, tertama pedagang Cina, di sana mereka membuka toko kecil-kecil untuk barang kebutuhan masyarakat yang kemudian ditukar dengan kopra, rotan, damar, kayu, kemiri dan teripang.
Akibatnya terjadi kontak budaya, akulturasi yang apik diantara suku-suku pendatang dan penduduk asli yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda, namun dengan mudah mereka bisa bergabung serta membentuk suatu sintesa kebudayaan baru karena terjadinya hubungan perkawinan diantara mereka, hubungan perdagangan disertai perjanjian politik.
Kelompok yang berbeda-beda suku, bahasa dan budaya itu bergabung menciptakan suatu bahasa baru yang disebut bahasa “Bugis Donggala”. Bahasa Bugis Donggala ini disamping bahasa Melayu dipakai sebagai alat komunikasi di Pelabuhan Donggala dan di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa.
b. Periode Tahun 1552 – 1650
Adalah periode pemerintahan Raja Banawa kedua yang bernama I (i) Tassa Banawa. Ia meninggalkan karya yang sangat berharga yaitu memperkenalkan untuk pertama kalinya kehidupan politik yang demokratis melalui wadah “Dewan Adat Kota Pitunggota” yang disusun dan diatur dengan berpedoman pada Sure-Sure Lontara Galigo dan budaya dasar nenek moyang para pendiri kerajaan yang bersemboyankan sifat : Nanoa = Jujur, Napande = Cerdas, dan Nabia = Berani.
Dewan Adat Kota Pitunggota mencerminkan struktur pemerintahan oleh pelapisan sosial resmi yang berlaku di Kerajaan Banawa yang terdiri dari : Aroeng (Raja)1, Magau2, Madika Matua3, Madika Malolo4, Bandahara5, Pabicara6, Totua Ngapa7, Tadulako8 dan Batua9.
Dewan Adat Kota Pitunggota merupakan Dewan Legislatif yang beranggotakan para Totua-Totua Ngapa yang dipilih melalui usulan dari tujuh buah kota inti yang diresmikan oleh adat masyarakat. Pemilihan anggota-anggota Dewan Adat Kota Pitunggota dilaksanakan dalam waktu tujuh tahun sekali pemilihan.
Meskipun terlihat pada pelapisan sosial mencerminkan dominasi golongan bangsawan tetapi prinsip hukum adat dari Dewan Adat Kota Pitunggota bersifat mendamaikan, bukan mengalahkan atau memenangkan pihak yang bersengketa.
Sistem sosial yang timbul di dalam kehidupan masyarakat Donggala cepat berkembang dari pengalaman hidup masyarakat, akibatnya dari waktu ke waktu Pelabuhan Donggala semakin berkembang sehubungan dengan berbagai suku bangsa yang telah mendiami wilayah tersebut.
c. Periode Tahun 1650 – 1698
Pada pemerintahan Raja Banawa ketiga yang bernama I (i) Toraya (1650 – 1698) agama Islam sudah masuk dan berkembang di wilayah kerajaan. Beliau adalah Raja Banawa yang pertama-tama memeluk agama Islam, sehingga nilai adat yang sudah berkembang di masyarakat diperkaya dengan nilai-nilai agama Islam menciptakan
1 Areong (Raja) adalah bangsawan murni yang diakui baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, diangkat dan dilantik sebagai penguasa tertinggi dan memiliki daerah kekuasaan yang luas.
2 Magau adalah keturunan bangsawan murni yang diakui baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, ia mempunyai wilayah kekuasaan yang diberikan dan ditentukan oleh Raja. Di dalam melaksanakan tugasnya Magau bertanggung jawab kepada Raja dan bertindak sebagai wakil Raja.
3 Madika Matua adalah saudara-saudara Raja yang diberikan satu perkampungan yang diatur dan dikuasainya dalam wilayah keamanan. Madika Matua sewaktu-waktu dapat diangkat sebagai pelaksana harian Pemerintahan Kerajaan di samping mengatur dana pengeluaran dari usaha ekonomi Kerajaan.
4 Madika Malolo adalah saudara-saudara Raja yang bertindak sebagai penghubung antara Raja dengan Magau dan dengan Dewan Adat. Ia menerima perintah serta mengusahakan agar perintah tersebut dilaksanakan oleh semua pihak yang bersangkutan.
5 Bendahara adalah bangsawan atau hartawan yang diangkat oleh Raja sebagai pemegang Kas Kerajaan berdasarkan usulan para Magau-Magau dan Madika Matua, dilantik dan disahkan oleh Dewan Adat.
6 Pabicara adalah Anggota Dewan Adat dari tokoh terkemuka dengan tugas menyelesaikan perbedaan pendapat serta mempersiapkan dan mengatur segala persoalan yang berhubungan dengan masalah pemerintahan ke dalam dan ke luar dan bertindak sebagai protokoler Kerajaan.
7 Totua Ngapa adalah golongan hartawan yang berpengaruh dan berwibawa, diberi dan dipilih oleh masyarakat sebagai anggota Dewan Adat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.
8 Tadulako adalah Pemimpin Gerakan apa saja yang mempunyai moralitas tinggi yang dipercayakan untuk memimpin pasukan perang atau pasukan Kerajaan.
kebersamaan dan gotong royong. Masyarakat pun mulai belajar membaca huruf Al’quran atau tulisan arab melalui pembelajaran “mengaji” dari guru-guru orang Bugis.
Periode ini tercipta suatu pemerintahan yang stabil, dimana masing-masing orang dalam mencapai tujuannya diakui dan dihormati keberadaannya sejara jelas dengan berlandaskan Hukum Adat Kota Pitunggota.
Berbagai sarana dibangun untuk keperluan yang terkait dengan kegiatan pemrintahan dan masyarakat yaitu berupa : Rumah Raja (Katabanmputih), Rumah Adat untuk upacara adat perkawinan, kehamilan dan kelahiran (Katabantua), Rumah tempat Dewan Adat Kota Pitunggota bersidang dan bermusyawarah (Bakuku).
d. Periode Tahun 1698 – 1758
Pada jaman pemerintahan Raja Banawa keempat yakni La Bugia Pue Uva (1698 – 1758) Pelabuhan Donggala mulai dikenal sebagai pintu gerbang niaga (pelabuhan dagang) serta pelabuhan transit di wilayah Sulawesi Tengah, mulai dimasuki Kapal Portugis yang bukan cuma mengurusi perdagangan tetapi juga membawa misi Agama Nasrani, yang menimbulkan kegusaran penduduk. Hal ini dikarenakan Pemerintah Kerajaan Banawa telah menetapkan agama Islam sebagai agama Kerajaan yang telah dianut lebih dari 60 tahun, sehingga raja beserta seluruh rakyatnya bersatu untuk menolak ajaran agama baru tersebut. Sejak itu, Kerajaan Banawa Donggala dikenal sebagai salah satu Kerajaan Islam Maritim di Pantai Barat Sulawesi Tengah.
Dengan dikenalnya Pelabuhan Donggala sebagai pintu gerbang niaga dan pelabuhan transit, maka secara otomatis membuka berbagai lapangan kerja sehingga mengundang penduduk sepanjang Pantai Barat dan Selatan serta dari daerah pedalaman datang ke Donggala untuk mengadu untung, baik sebagai pedagang maupun sebagai buruh di pelabuhan.
Selain itu, pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dengan terciptanya berbagai lapangan kerja oleh masyarakat pedalaman dan penduduk pegunungan yang berusaha untuk berlomba-lomba memperoleh hasil untuk diperjual belikan ke Pelabuhan Donggala. Kondisi ini memberikan peluang bagi pedagang-pedagang yang datang ke Pelabuhan Donggala dengan membuka aneka kegiatan ekonomi dan jasa-jasa pelayanan yang memberikan dampak yang nyata terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat.
e. Periode Tahun 1758 – 1800
Merupakan periode pemerintahan Raja Banawa kelima (raja wanita) yang bernama I (i) Sabadia. Ia banyak mengadakan hubungan politik dan hubungan perdagangangan dengan raja-raja dari Pulau Jawa, Kalimantan dan raja-raja dari Sulawesi Selatan.
Selain itu, hubungan dagang antara pemerintah kerajaan Banawa dengan pedagang-pedagang asing yang datang ke Pelabuhan Donggala juga semakin di tingkatkan. Terjalin persahabatan melalui perjanjian dagang dengan saudagar-saudagar Muslim Gujarat, Bangsa Arap, Parsi dan saudagar-saudagar Cina yang membawa perhiasan emas, permata, baju-baju sutera dan benang-benang sutera asli dari Cina. Para pedagang Cina, Arab dan Gujarat kemudian mulai menetap di Kota Pelabuhan Donggala dan sekitarnya.
Tahun 1767 pedagang Muslim Gujarat mengajarkan ilmu menenun kepada puteri-puteri raja dan puteri-puteri-puteri-puteri bangsawan Kerajaan Banawa yang kemudian dikenal dengan Sarung Sutera Donggala.
Dengan semakin pesatnya perdagangan di Pelabuhan Donggala, maka Raja I (i) Sabadia menjalin hubungan kerja dengan keluarga-keluarga Arab sebagai pemilik modal. Selanjutnya usaha tenun ini berkembang menjadi usaha puteri-puteri bangsawan kerajaan sebagai industri rumah yang mempunyai motief khas kerajaan seperti : daun keladi, bunga mawar, bunga trompet, bunga melati, gambar burung merak, motif domba, dan lain-lain. Hasil tenunan kain sarung sutera asli Donggala bentuknya lebar dan panjang yang bahan bakunya didatangkan oleh pedagang-pedagang dari Cina, sehingga pada abad ke-17 Donggala merupakan salah satu pelabuhan laut yang dilalui oleh Jalur Sutera.
Tahun 1800 sarung sutera Donggala sudah menjadi salah satu barang yang resmi di perdagangkan di Pelabuhan Donggala dan dapat ditukar dengan bermacam-macam keperluan wanita dan keperluan rumah tangga, di samping menjadi hadiah bagi raja-raja seberang dan tamu-tamu bangsa asing.
f. Periode Tahun 1800 – 1888
Dalam periode tahun 1800 – 1888 ada dua Raja Banawa yang memerintah Kerajaan Banawa, yaitu I (i) Sandudoqie (1800 – 1845) sebagai Raja Banawa yang keenam dan La Sabanawa (1845 – 1888) sebagai Raja Banawa yang ketujuh. Kedua penguasa ini melakukan politik ekspansi dengan gencarnya untuk memperluas wilayah
Kerajaan Banawa dan hasilnya mereka memperoleh sukses luar biasa, sehingga orang-orang tidak lagi menyebut para penguasa dari kerajaan itu dengan sebutan Raja Banawa, tetapi dengan sebutan baru yaitu Raja Donggala.
Pada masa ini Pelabuhan Donggala juga mengalami masa kejayaan karena sukses yang dicapai oleh kedua raja tersebut dirasakan secara merata dikalangan masyarakat negerinya. Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya ekonomi pemerintah kerajaan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat sebab dikuasainya kantong-kantong daerah penghasil kopra yang membawa Pelabuhan Donggala menjadi salah satu pelabuhan yang menekspor kopra ke Manca Negara dengan jumlah besar.
Kota Donggala menjadi amat ramai saat kapal-kapal dagang asing melaksanakan pemuatan kopra di pelabuhan yang memakan waktu selama tiga sampai tujuh hari kerja. Situasi tersebut membuat penduduk Pelabuhan Donggala sangat cepat menerima budaya-budaya yang di bawah para pedagang asing selama mereka bergaul dan berkomunikasi dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya yang sudah ada, agar tidak terjadi pertentangan dengan Tokoh Adat.
Sejak tahun 1850 Donggala sudah menjadi pusat lalu lintas niaga di Pantai Barat Sulawesi Tengah yang mengalami masa kejayaan sebagai tempat penimbunan kopra terbesar di Sulawesi dan sebagai penghasil produksi kopra nomor dua dari minahasa, serta menjadi tempat hilir mudik kapal-kapal dagang asing yang mencari rempah-rempah ke Maluku, termasuk Kapal Dagang Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Lahirnya Kontrak yang dinamai “Perjanjian Donggala” yang ditandatangani secara paksa oleh Raja Banawa ketujuh La Sabanawa dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer Van Twist pada tanggal 10 Juli 1854 sebanyak 21 artikel yang intinya memaksa Raja Banawa dan Hadat Negara untuk tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda, termasuk penyerahan tanah, dan ini merupakan awal malapetaka di Kota Donggala. Namun oleh La Sabanawa secara terang-terangan tidak mematuhi Perjanjian Donggala tersebut.
Tahun 1867 datang Gubernur Kroesen dari Makassar dengan membawa Kontrak Baru untuk ditandatangani oleh La Sabanawa dengan maksud memperbaharui kontrak lama dengan tambahan perdagangan di Pelabuhan Donggala akan dikuasai oleh Pemerintah Belanda, lagi-lagi tidak diterima oleh La Sabanawa karena kehidupan kerajaan ditunjang oleh perputaran ekonomi di Pelabuhan Donggala.
Tanggal 2 Mei 1888 dengan jalan kekerasan pemerintah Belanda dari Batavia dengan sebuah kapal perangnya membawa 100 koloni tentara Belanda memasuki Pelabuhan Donggala untuk memaksa La Sabanawa menyediakan lokasi untuk rencana perkantoran pemerintah Belanda di Kota Donggala. Namun kedatangan mereka belum berhasil menemui La Sabanawa karena beliau melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang baru ditaklukkannya. Pada periode raja ini tidak satupun kontrak berhasil dilaksanakan oleh Belanda.
Seperti kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, kota Donggala sama sekali tidak mewarisi data mengenai bentuk fisik dan struktur ruang kota pada jaman prakolonial. Tidak mungkin rasanya untuk membayangkan bentuk kota Donggala pada jaman prakolonial secara nyata, selama data-datanya tidak tersedia. Oleh sebab itu di sini telah diusahakan untuk mencari gambaran prinsip-prinsip tata ruang kota Donggala pada jaman prakolonial, tidak dengan menganalisis bentuk geometrisnya secara konkrit, tetapi dengan mencari konsepsi tata ruang kotanya.
Dalam dokumen UNIVERSITAS
TADULAKO (Halaman 45-51)
Sumber : https://123dok.com/article/perkembangan-kota-masa-prakolonial-hasil-dan-pembahasan.qv7g06gq
0 comments:
Posting Komentar