Senin, 13 Januari 2025

Perkembangan Kota Masa Kolonial

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-------------------------------------------------------------

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.2. Perkembangan Kota Masa Kolonial

Perkembangan kota masa kolonial pada prinsipnya merupakan lanjutan perkembangan kota masa prakolonial, hanya saja pada periode ini pemerintahan kerajaan secara perlahan-lahan mulai diambil alih oleh pemerintahan kolonial Belanda yang menjadikannya sebagai wilayah kekuasaan dan jajahan.

a. Periode Tahun 1888 – 1902

Periode ini Kerajaan Banawa dibawah pemerintahan Raja Banawa kedelapan yang bernama La Makagili setelah peralihan tahta kerajaan dari Raja Banawa ketujuh La Sabanawa.

Awal periode ini, tepatnya Tanggal 19 Mei 1890 pemerintah Belanda mulai menancapkan kekuasaannya dengan memaksa Raja La Makagili untuk menandatangani sebuah kontrak tentang pajak yang dipungut dari rakyat dan barang-barang yang masuk keluar melalui Pelabuhan Donggala yang dimasukkan ke kas pemerintah Belanda.

Bulan Agustus tahun 1891 dengan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda diterbitkan lagi Kontrak Ringkas yang harus ditanda tangani oleh Raja Banawa, Magau Sigi dan Magau Dolo tentang penegasan kembali dari ketiga kerajaan itu mengakui kekuasaan pemerintah Belanda di wilayahnya. Kontrak ini disahkan pada tanggal 3 Juli 1892.

Kemudian pada tahun 1893 ditempatkanlah seorang Posthouder berkebangsaan Belanda di Kota Donggala untuk mengawasi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah yang telah mengakui kekuasaan pemerintahan Belanda.

Untuk menginbangi kekuasaan pemerintah Belanda pada tahun 1893 itu juga Raja La Makagili memindahkan Ibukota pemerintahan Kerajaan Banawa dari Pujananti ke Kota Pelabuhan Donggala dalam rangka mempertahankan eksistensi kerajaan Banawa sebagai Kerajaan Maritim yang menguasai perekonomian di Sulawesi Tengah dari campur tangan Belanda yang mulai terang-terangan melaksanakan politik monopoli dan politik adu domba.

Selanjutnya Raja La Makagili mengajak raja-raja daerah lainnya yang telah menandatangani kontrak tersebut untuk bersama-sama tidak mematuhi dan melakukan perlawanan dengan berbagai aksi pemberontakan. Perlawanan yang dilakukan Raja La Makagili, Raja Karanjalembah (Magau Sigi) dan Tombolotutu (Raja Moutong) sempat membuat pemerintah Belanda kewalahan. Namun pada akhir walaupun betapa gigihnya rara-raja tersebut melawan Belanda, mereka dapat ditaklukkan karena Belanda mempunyai persenjataan yang sudah canggih.

Secara berturut-turut mereka dikalahkan dengan waktu yang berbeda-beda yaitu : pertama tahun 1901 Tombolotutu berhasil disergap dan wafat di Toribulu, kedua tahun 1902 Raja La Magakili ditangkap dan dibuang ke Makassar dan pada tahun 1903 wafat di Gowa, serta yang ketiga Raja Karanjalembah yang tertangkap pada tahun 1905 di Watunonju Biromaru dan dibuang ke Sukabumi dan wafat di sana pada tahun 1917. 

b. Periode Tahun 1902 – 1930

Sepeninggalnya Raja La Magakili tampuk pemerintahan kerajaan berpindah tangan ke Raja Banawa kesembilan yaitu La Marauna yang memerintah pada periode tahun 1902 – 1930.

Pada awal abad XX (Tahun 1903 – 1918) situasi pemerintahan semakin dikuasasi oleh pemerintah Belanda dengan membagi Pulau Sulawesi menjadi dua bagian yaitu : Gubernuran Makassar dan Karesidenan Manado (terdiri dua Afdeeling Manado dan Donggala).

Dalam sistuasi yang semakin dikuasai oleh pemerintah Belanda, maka pada tanggal 7 Mei 1903 dengan S.K. No. 16 La Marauna menandatangi kontrak penyediaan

lokasi bangunan Gubernemen dan perumahan Asisten Residen yang berlokasi di Gunung Bale Donggala.

Selanjutnya, pada tanggal 28 Agustus 1903 dibentuklah “Midden Celebes” dan kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Tengah disatukan dibawah pemerintahan Residen dengan nama Afdeeling Donggala yang dipimpin oleh Asisten Residen yang akan berkedudukan di Kota Pelabuhan Donggala. Istilah Lanschap atau Kerajaan dirubah menjadi Swapraja.

Pada periode ini Pelabuhan Donggala merupakan pelabuhan besar nomor 3 (tiga) sesudah Makassar dan Manado dan merupakan pelabuhan antar pulau yang juga berorientasi eksport ke Manca Negara dan terutama ke negara-negara Eropah Barat. Komoditi eksportnya adalah kopra, damar, rotan, kayu hitam, teripang, dan domba serta sapi Donggala.

Semakin ramainya Pelabuhan Donggala maka dibangun sebuah hotel bernama “Hotel Himalaya” untuk bertama kalinya di Pelabuhan Donggala pada tahun 1905 oleh seorang saudagar Cina terkaya di Sulawesi Tengah bernama “Ban Soen” dengan ijin dari Raja La Marauna. Dihotel ini tamu-tamu Kerajaan Banawa yaitu tamu asing dari Manca Negara menginap.

Pada tahun 1919 seluruh wilayah Sulawesi Tengah dimasukkan kedalam pemerintahan Karesidenan Manado dan dimekarkan menjadi dua Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala dan Afdeeling Poso. Kedua afdeeling ini merupakan embrio pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala dan Kabupaten Daerah Tingkat II Poso.

Kemudian pada tahun 1919, tepatnya tanggal 19 Juli 1919 saat pembagian kedua wilayah tersebut, telah dibuka Kantor Doane di Pelabuhan Donggala yang secara otomatis di bawah penguasaan pemerintah Belanda, sehingga perputaran perdagangan di pelabuhan juga telah beralih ke tangan penguasa Belanda. Dan untuk kelancaran hubungan antar wilayah, pemerintah Belanda merencanakan membuat proyek jalan raya. Rakyat dipaksa kerja rodi membuat jalan-jalan penghubung antara daerah kerajaan satu dengan daerah kerajaan lainnya.

Melihat perkembangan hasil penimbunan kopra di Pelabuhan Donggala semakin meningkat dengan pesat, pemerintah Belanda memberi usul kepada Raja Banawa untuk

membangun “Gedung Kopra” di atas tanah watas Kerajaan Banawa. Realisasi pembangunan Gedung Kopra dilaksanakan tahun1934.

Tahun 1926 – 1934 pemerintahan swapraja Banawa dalam keadaan “chaos” dengan merajalelanya kekuasaan yang berubah-ubah visi dari pelaksana pemerintah kolonial Belanda yang selalu menang sendiri.

c. Periode Tahun 1930 – 1932

Keadaan yang “chaos” memaksa Dewan Adat Kota Pitunggota mengangkat Lagaga sebagai Raja Banawa Kesepuluh yang merupakan keponakan Raja La Marauna untuk mengisi kekosongan tahta kerajaan menunggu para putera mahkota kerajaan yang masih mengikuti pendidikan di Makassar dan di Manado.

Pada periode ini timbul berbagai permasalahan sosial dengan meningkatnya pertambahan penduduk di Kota Donggala dari kalangan guru-guru, pegawai-pegawai pada kantor pemerintahan Belanda, dimana Belanda mulai pula menyusupkan pendidikan dan budaya-budaya Belanda yang tidak sesuai dengan masyarakat pendukung adat dan tidak sesuai dengan ajaran serta aturan agama yang mereka yakini, seperti : perjudian, pencurian, perkelahian dan pengangguran.

Akhirnya pemerintahan diambil alih oleh pemerintah Belanda dengan mengangkat Kepala-Kepala Distrik sebagai kepanjangan tangan pemerintah ke daerah-daerah untuk mengatur pemerintahan, penduduk dan hukum-hukum yang dijalankan sesuai hukum Kolonial Belanda.

d. Periode Tahun 1935 – 1947

Tahun 1932 – 1934 Raja Banawa keduabelas, sebagai pelaksana harian Negeri Banawa, telah mendirikan sekolah-sekolah rakyat sampai ke desa-desa dan dengan bantuan K.J. Rorimpandey didatangkan guru-guru dari Manado (Minahasa), Sangir Talaud dan dari Ambon.

Awal tahun 1934 di tanda tangani persetujuan pembangunan Gedung Kopra oleh La Parenrengi Lamarauna (L. Lamarauna) mewakili pemerintah Kerjaan Banawa dan K. J. Roriempanday mewakili pemerintah Belanda. Juni 1934 Gedung Kopra sebanyak 3 (tuga) buah gedung berkapasitas 2.500 ton/gudang telah mulai di bangun dengan mengerahkan 120 orang rakyat Banawa dengan di pimpin oleh seorang ahli bangunan bernama Ir. Diapri dari Sumatera dan seorang ahli bangunan dari Belanda bernama Ir. Binkorf. Gedung Kopra ini diberi nama Het Koprafonds.

Selanjutnya pada tahun 1935 diangkatlah La Ruhana Lamarauna sebagai Raja Banawa kesebelas menggantikan Raja Banawa Kesepuluh. Sebelum menduduki tahta kerajaan, tahun 1916 La Ruhana Lamarauna diangkat sebagai Ketua Syarikat Dagang Islam Indonesia untuk Sulawesi Tengah, dikukuhkan oleh Umar Said Tjokroaminoto saat kedatangannya ke Pelabuhan Donggala.

Tahun 1939 pecah Perang Dunia Ke-II, Donggala sebagai pusat perdagangan turut di bom oleh Sekutu yang menghancurkan hampir setengah dari bangunan toko-toko dan rumah-rumah serta gudang-gudang barang para pedagang. Akibat pemboman di Pelabuhan Donggala, maka untuk sementara kegiatan bongkar muat bagi kapal-kapal dagang dipindahkan ke Kabonga Besar selama kurang lebih delapan bulan.

Pada Tahun 1942 saat Jepang sudah menduduki Donggala, Raja Banawa La Ruhana Lamarauna membentuk organisasi perjuangan bernama Lasykar Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) yang dipimpinnya sendiri sebagai wadah perjuangan para pemuda di wilayah Kerajaan Banawa Donggala secara sembunyi-sembunyi.

Pada Tahun 1943 Kota Pelabuhan Donggala dan sekitarnya kembali di bom oleh pesawat sekutu akibat salah satu pesawatnya jatuh di Towale kira-kira 15 Km dari Kota Donggala. Akibat pemboman itu rakyat setahun hidup dalam pelarian dan pengunsian, bangunan-bangunan rumah adat serta gedung-gedung perkantoran Belanda, rumah Asisten Residen menjadi hancur dan rumah-rumah penduduk di pelabuhan rata dengan tanah. Pelabuhan Donggala kembali hancur total, kota menjadi kosong dan penduduk menyingkir keluar kota membuat lubang-lubang perlindungan.

Pada Tahun 1945 Pelabuhan Donggala ikut mendapat buangan bom oleh tentara sekutu yang menuju Morotai dan kembali dari Morotai, sehingga Kota Pelabuhan Donggala yang baru selesai di bangun sejak kerusakan pada Perang Dunia Ke-II kembali hancur.

Dalam dokumen UNIVERSITAS TADULAKO (Halaman 51-55)


Sumber : https://123dok.com/article/perkembangan-kota-masa-kolonial-hasil-dan-pembahasan.qv7g06gq


۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-------------------------------------------------------------

0 comments:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞