HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.2. Perkembangan Kota Masa
Kolonial
Perkembangan kota masa kolonial
pada prinsipnya merupakan lanjutan perkembangan kota masa prakolonial, hanya
saja pada periode ini pemerintahan kerajaan secara perlahan-lahan mulai diambil
alih oleh pemerintahan kolonial Belanda yang menjadikannya sebagai wilayah
kekuasaan dan jajahan.
a. Periode Tahun 1888 – 1902
Periode ini Kerajaan Banawa
dibawah pemerintahan Raja Banawa kedelapan yang bernama La Makagili setelah
peralihan tahta kerajaan dari Raja Banawa ketujuh La Sabanawa.
Awal periode ini, tepatnya
Tanggal 19 Mei 1890 pemerintah Belanda mulai menancapkan kekuasaannya dengan
memaksa Raja La Makagili untuk menandatangani sebuah kontrak tentang pajak yang
dipungut dari rakyat dan barang-barang yang masuk keluar melalui Pelabuhan
Donggala yang dimasukkan ke kas pemerintah Belanda.
Bulan Agustus tahun 1891 dengan
Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda diterbitkan lagi Kontrak Ringkas yang
harus ditanda tangani oleh Raja Banawa, Magau Sigi dan Magau Dolo tentang
penegasan kembali dari ketiga kerajaan itu mengakui kekuasaan pemerintah
Belanda di wilayahnya. Kontrak ini disahkan pada tanggal 3 Juli 1892.
Kemudian pada tahun 1893
ditempatkanlah seorang Posthouder berkebangsaan Belanda di Kota Donggala untuk
mengawasi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah yang telah mengakui kekuasaan
pemerintahan Belanda.
Untuk menginbangi kekuasaan
pemerintah Belanda pada tahun 1893 itu juga Raja La Makagili memindahkan
Ibukota pemerintahan Kerajaan Banawa dari Pujananti ke Kota Pelabuhan Donggala
dalam rangka mempertahankan eksistensi kerajaan Banawa sebagai Kerajaan Maritim
yang menguasai perekonomian di Sulawesi Tengah dari campur tangan Belanda yang
mulai terang-terangan melaksanakan politik monopoli dan politik adu domba.
Selanjutnya Raja La Makagili
mengajak raja-raja daerah lainnya yang telah menandatangani kontrak tersebut
untuk bersama-sama tidak mematuhi dan melakukan perlawanan dengan berbagai aksi
pemberontakan. Perlawanan yang dilakukan Raja La Makagili, Raja Karanjalembah
(Magau Sigi) dan Tombolotutu (Raja Moutong) sempat membuat pemerintah Belanda
kewalahan. Namun pada akhir walaupun betapa gigihnya rara-raja tersebut melawan
Belanda, mereka dapat ditaklukkan karena Belanda mempunyai persenjataan yang
sudah canggih.
Secara berturut-turut mereka dikalahkan dengan waktu yang berbeda-beda yaitu : pertama tahun 1901 Tombolotutu berhasil disergap dan wafat di Toribulu, kedua tahun 1902 Raja La Magakili ditangkap dan dibuang ke Makassar dan pada tahun 1903 wafat di Gowa, serta yang ketiga Raja Karanjalembah yang tertangkap pada tahun 1905 di Watunonju Biromaru dan dibuang ke Sukabumi dan wafat di sana pada tahun 1917.
b. Periode Tahun 1902 – 1930
Sepeninggalnya Raja La Magakili tampuk pemerintahan kerajaan berpindah tangan ke Raja Banawa kesembilan yaitu La Marauna yang memerintah pada periode tahun 1902 – 1930.
Pada awal abad XX (Tahun 1903 –
1918) situasi pemerintahan semakin dikuasasi oleh pemerintah Belanda dengan
membagi Pulau Sulawesi menjadi dua bagian yaitu : Gubernuran Makassar dan
Karesidenan Manado (terdiri dua Afdeeling Manado dan Donggala).
Dalam sistuasi yang semakin
dikuasai oleh pemerintah Belanda, maka pada tanggal 7 Mei 1903 dengan S.K. No.
16 La Marauna menandatangi kontrak penyediaan
lokasi bangunan Gubernemen dan
perumahan Asisten Residen yang berlokasi di Gunung Bale Donggala.
Selanjutnya, pada tanggal 28
Agustus 1903 dibentuklah “Midden Celebes” dan kerajaan-kerajaan lokal di
Sulawesi Tengah disatukan dibawah pemerintahan Residen dengan nama Afdeeling
Donggala yang dipimpin oleh Asisten Residen yang akan berkedudukan di Kota
Pelabuhan Donggala. Istilah Lanschap atau Kerajaan dirubah menjadi Swapraja.
Pada periode ini Pelabuhan
Donggala merupakan pelabuhan besar nomor 3 (tiga) sesudah Makassar dan Manado
dan merupakan pelabuhan antar pulau yang juga berorientasi eksport ke Manca
Negara dan terutama ke negara-negara Eropah Barat. Komoditi eksportnya adalah
kopra, damar, rotan, kayu hitam, teripang, dan domba serta sapi Donggala.
Semakin ramainya Pelabuhan
Donggala maka dibangun sebuah hotel bernama “Hotel Himalaya” untuk bertama
kalinya di Pelabuhan Donggala pada tahun 1905 oleh seorang saudagar Cina
terkaya di Sulawesi Tengah bernama “Ban Soen” dengan ijin dari Raja La Marauna.
Dihotel ini tamu-tamu Kerajaan Banawa yaitu tamu asing dari Manca Negara
menginap.
Pada tahun 1919 seluruh wilayah
Sulawesi Tengah dimasukkan kedalam pemerintahan Karesidenan Manado dan
dimekarkan menjadi dua Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala dan Afdeeling Poso.
Kedua afdeeling ini merupakan embrio pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II
Donggala dan Kabupaten Daerah Tingkat II Poso.
Kemudian pada tahun 1919,
tepatnya tanggal 19 Juli 1919 saat pembagian kedua wilayah tersebut, telah
dibuka Kantor Doane di Pelabuhan Donggala yang secara otomatis di bawah
penguasaan pemerintah Belanda, sehingga perputaran perdagangan di pelabuhan
juga telah beralih ke tangan penguasa Belanda. Dan untuk kelancaran hubungan
antar wilayah, pemerintah Belanda merencanakan membuat proyek jalan raya.
Rakyat dipaksa kerja rodi membuat jalan-jalan penghubung antara daerah kerajaan
satu dengan daerah kerajaan lainnya.
Melihat perkembangan hasil penimbunan kopra di Pelabuhan Donggala semakin meningkat dengan pesat, pemerintah Belanda memberi usul kepada Raja Banawa untuk
membangun “Gedung Kopra” di atas
tanah watas Kerajaan Banawa. Realisasi pembangunan Gedung Kopra dilaksanakan
tahun1934.
Tahun 1926 – 1934 pemerintahan
swapraja Banawa dalam keadaan “chaos” dengan merajalelanya kekuasaan yang
berubah-ubah visi dari pelaksana pemerintah kolonial Belanda yang selalu menang
sendiri.
c. Periode Tahun 1930 – 1932
Keadaan yang “chaos” memaksa Dewan
Adat Kota Pitunggota mengangkat Lagaga sebagai Raja Banawa Kesepuluh yang
merupakan keponakan Raja La Marauna untuk mengisi kekosongan tahta kerajaan
menunggu para putera mahkota kerajaan yang masih mengikuti pendidikan di
Makassar dan di Manado.
Pada periode ini timbul berbagai
permasalahan sosial dengan meningkatnya pertambahan penduduk di Kota Donggala
dari kalangan guru-guru, pegawai-pegawai pada kantor pemerintahan Belanda,
dimana Belanda mulai pula menyusupkan pendidikan dan budaya-budaya Belanda yang
tidak sesuai dengan masyarakat pendukung adat dan tidak sesuai dengan ajaran
serta aturan agama yang mereka yakini, seperti : perjudian, pencurian,
perkelahian dan pengangguran.
Akhirnya pemerintahan diambil
alih oleh pemerintah Belanda dengan mengangkat Kepala-Kepala Distrik sebagai
kepanjangan tangan pemerintah ke daerah-daerah untuk mengatur pemerintahan,
penduduk dan hukum-hukum yang dijalankan sesuai hukum Kolonial Belanda.
d. Periode Tahun 1935 – 1947
Tahun 1932 – 1934 Raja Banawa
keduabelas, sebagai pelaksana harian Negeri Banawa, telah mendirikan
sekolah-sekolah rakyat sampai ke desa-desa dan dengan bantuan K.J. Rorimpandey
didatangkan guru-guru dari Manado (Minahasa), Sangir Talaud dan dari Ambon.
Awal tahun 1934 di tanda tangani
persetujuan pembangunan Gedung Kopra oleh La Parenrengi Lamarauna (L.
Lamarauna) mewakili pemerintah Kerjaan Banawa dan K. J. Roriempanday mewakili
pemerintah Belanda. Juni 1934 Gedung Kopra sebanyak 3 (tuga) buah gedung
berkapasitas 2.500 ton/gudang telah mulai di bangun dengan mengerahkan 120
orang rakyat Banawa dengan di pimpin oleh seorang ahli bangunan bernama Ir.
Diapri dari Sumatera dan seorang ahli bangunan dari Belanda bernama Ir.
Binkorf. Gedung Kopra ini diberi nama Het Koprafonds.
Selanjutnya pada tahun 1935
diangkatlah La Ruhana Lamarauna sebagai Raja Banawa kesebelas menggantikan Raja
Banawa Kesepuluh. Sebelum menduduki tahta kerajaan, tahun 1916 La Ruhana
Lamarauna diangkat sebagai Ketua Syarikat Dagang Islam Indonesia untuk Sulawesi
Tengah, dikukuhkan oleh Umar Said Tjokroaminoto saat kedatangannya ke Pelabuhan
Donggala.
Tahun 1939 pecah Perang Dunia Ke-II, Donggala sebagai pusat perdagangan turut di bom oleh Sekutu yang menghancurkan hampir setengah dari bangunan toko-toko dan rumah-rumah serta gudang-gudang barang para pedagang. Akibat pemboman di Pelabuhan Donggala, maka untuk sementara kegiatan bongkar muat bagi kapal-kapal dagang dipindahkan ke Kabonga Besar selama kurang lebih delapan bulan.
Pada Tahun 1942 saat Jepang sudah
menduduki Donggala, Raja Banawa La Ruhana Lamarauna membentuk organisasi
perjuangan bernama Lasykar Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) yang dipimpinnya
sendiri sebagai wadah perjuangan para pemuda di wilayah Kerajaan Banawa
Donggala secara sembunyi-sembunyi.
Pada Tahun 1943 Kota Pelabuhan
Donggala dan sekitarnya kembali di bom oleh pesawat sekutu akibat salah satu
pesawatnya jatuh di Towale kira-kira 15 Km dari Kota Donggala. Akibat pemboman
itu rakyat setahun hidup dalam pelarian dan pengunsian, bangunan-bangunan rumah
adat serta gedung-gedung perkantoran Belanda, rumah Asisten Residen menjadi
hancur dan rumah-rumah penduduk di pelabuhan rata dengan tanah. Pelabuhan
Donggala kembali hancur total, kota menjadi kosong dan penduduk menyingkir
keluar kota membuat lubang-lubang perlindungan.
Pada Tahun 1945 Pelabuhan
Donggala ikut mendapat buangan bom oleh tentara sekutu yang menuju Morotai dan
kembali dari Morotai, sehingga Kota Pelabuhan Donggala yang baru selesai di
bangun sejak kerusakan pada Perang Dunia Ke-II kembali hancur.
Dalam dokumen UNIVERSITAS
TADULAKO (Halaman 51-55)
Sumber : https://123dok.com/article/perkembangan-kota-masa-kolonial-hasil-dan-pembahasan.qv7g06gq
0 comments:
Posting Komentar