Peneliti
ilmu kesehatan modern mendapati musik tak hanya dapat meningkatkan suasana
hati, namun juga bisa dijadikan terapi untuk beberapa gangguan kesehatan. Jauh
sebelum itu, suku Kaili, sudah menjadikan musik sebagai bagian dari pengobatan
masyarakat.
Suku ini mendiami sebagian besar
wilayah di Provinsi Sulawesi Tengah. Mereka tingal di lembah antara Gunung
Gawalise, Gunung Nokilalaki Kulawi, dan Gunung Raranggona yang berada di
Kabupaten Donggala, Sigi, dan Kota Palu. Suku ini juga mendiami wilayah pantai
timur Sulawesi Tengah meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Tojo-Una Una, dan
Poso. Bahkan mereka tersebar dalam kampung-kampung di Teluk Tomini hingga
pesisir Pantai Poso.
Suku Kaili merupakan salah satu
etnik yang memiliki rumpun etnik sendiri. Ada lebih dari 30 rumpun suku,
seperti, rumpun Kaili Rai, rumpun Kaili Ledo, rumpun Kaili Ija, rumpun Kaili
Moma, rumpun Kaili Da'a, rumpun Kaili Unde, rumpun Kaili Inde, rumpun Kaili
Tara, rumpun Kaili Bare'e, rumpun Kaili Doi, dan rumpun Kaili Torai.
Masing-masing rumpun memiliki bahasa yang berbeda dan dipergunakan dalam
percakapan sehar-hari. Untuk menyatukannya, mereka menggunakan lingua franca
yaitu bahasa Ledo.
Sama halnya suku-suku lainnya di
Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya
di dalam kehidupan sosial. Salah satunya adalah upacara penyembuhan penyakit
atau disebut Balia yang masih terpelihara hingga kini.
Orang Kaili percaya keharusan
menjaga hubungan baik dengan kekuatan yang menguasai alam. Dimana penguasa alam
mereka personifikasikan ke dalam bentuk leluhur dan dewa-dewa. Ketika manusia
tidak mampu menjaga hubungan baik tersebut, maka sang penguasa marah sehingga
mendatangkan musibah sakit. Musibah ini mesti disembuhkan dengan memuja-muja
dewa yang memberi sakit. Dan itu disajikan dalam bentuk pertunjukan musik.
Terdapat sepuluh jenis ritual
adat Balia, yaitu; ritual Pompoura dari Keluarahan Balaroa, Enje Da’a dari
Kelurahan Donggala Kodi, Tampilangi Ulujadi dari Kelurahan Kabonena, Pompoura
Vunja dari Kelurahan Petobo, Manuru Viata dari Kelurahan Tipo, Jinja dari
Kelurahan Lasoani, Balia Topoledo dari Kelurahan Taipa, Vunja Ntana dari
Kelurahan Tanamondindi, Tampilangi Api dari Kelurahan Kayumalue Pajeko, dan
Nora Binangga dari Kelurahan Kawatuna.
Ritual Adat
Semua ritual Balia akan diiringi
dengan musik tradisional yang utama yaitu Lalove. Alat musik ini sangat penting
kedudukannya dalam mengiringi tarian upacara penyembuhan. Lalove sepintas mirip
seperti seruling, yang terbuat dari bambu atau rotan pilihan yang tumbuh di
puncak gunung paling tinggi.
Sebelum menebang atau mengambil
buluh tersebut, terlebih dahulu dibuatkan upacara untuk minta izin kepada
penghuni/ penguasa di bukit tersebut. Upacara ini menyuguhkan sesajen berupa
ayam putih yang diambil darahnya sedikit lalu dilepas.
Disamping itu adapula makanan,
sambil membacakan mantera-mentera. Selesai upacara, lalu memilih buluh yang
paling tinggi, lurus dan sudah tua, dan ditebang sambil mengucapkan tebe
(permisi). Lalu tiga bambu yang dipilih dibawa ke sungai. Setelah dikeluarkan
ranting-rantingnya, ketiga bambu itu dilempar ke air. Buluh bambu yang lebih
dahulu hanyut itulah yang dipilih menjadi Lalove.
Cara membentuk menjadi alat musik
Lalove juga tidak sembarang. Buluh pilihan dipotong seruas-ruas, lalu
dianginkan sampai kering. Salah satu ruas buku tidak dikeluarkan. Pada bagian
buku ini disayat sedikit, kemudian dililit dengan rotan yang telah diraut,
sehingga antara sayatan dan lilitan rotan ada lubang untuk masuknya udara dari
dalam mulut. Pada bagian yang bertolak belakang dengan bagian yang disayat tadi
dibuat enam lubang dengan jarak yang sama tiap tiga lubang dan antara tiap tiga
lubang.
Untuk memperbesar suara Lalove
tadi pada ujungnya ditambah dengan buluh yang lebih besar, sehingga ujung Lalove
dapat masuk dalam buluh tadi. Buluh untuk menambah besar suara Lalove disebut
solonga. Dahulu, Lalove ini tidak boleh sembarangan ditiup. Sebab bagi
orang-orang yang biasa kerasukan roh, jika mendengar suara Lalove maka dengan
spontan orang tersebut akan kerasukan.
Itulah sebabnya alat musik ini awalnya hanya dimiliki orang tertentu dan
disebut bule.
Untuk memainkannya juga butuh
teknik tinggi. Sehingga kebanyakan orang-orang yang telah berumur yang mampu
meniupnya secara sempurna. Tetapi akhir-akhir ini alat tersebut telah banyak
dipakai untuk mengiringi tarian tradisional yang telah dikreasikan. Selain itu,
sudah mulai banyak anak muda juga belajar memainkan alat musik ini. Kini Lalove
tak hanya tampil di ritual Baria tetapi juga lebih luas lagi.
Apalagi kemudian oleh seniman
Amin Abdullah, Lalove dijadikan bagian dari instrument dalam The Hawai’i Kakula
Ensemble. Sehingga Lalove berpadu dengan musik Kakula dan tampil di berbagai
pertunjukkan internasional seperti di University of Hawai’i Gamelan Ensemble
Concert , Honolulu , Hawaii (November 2005). Jadi Musik Pembuka pemutaran Film
“The Last Bissu” karya Rhoda Grauer, East West Center, Honolulu (October 2005),
Honolulu Zoo Society untuk pencaharian dana orang utan Rusty (October 2005).
Efek “penyembuh” Lalove pun jadi lebih luas. (K-GR)
Sumber : https://indonesia.go.id/ragam/seni/seni/lalove-alat-musik-penyembuh-suku-kaili
0 comments:
Posting Komentar