Komunikasi antar Budaya
Arab Hadramaut dan Etnis Kaili
di Kota Palu Sulawesi
Tengah
Raisa Alatas
Magister Ilmu Komunikasi Program
Pascasarjana UNS
Email: Raisaalatas.ra@gmail.com
Abstract
Background of this research was
located in Palu where cross culture communication take place between Arab
Hadrmaut and Kaili ethnic, which watching religion as cultural system and way
of seeing in everyday life. This research was case study by using purposive
sampling. To choose informant, this was began by snowball sampling technique.
The findings found that way of seeing in cultural system between Arab Hadramaut
and Kaili ethnic developed from competencies and openness of culture. In
relation like this, it was easier to them forming a specific and kind way of
seeing over social reality in everyday life. It was enforced by transactional
communication done by prominent figures of ethnics either Arab Hadramaut and
Kaili ethnic.Similar of religion between Arab Hadramaut and Kaili ethnic, cross
cultura marital and ethic that their own
were be able to syncronize their own perspective to the life. Togetherness
these ethnics can be seen from school building and religion activities e.g
qira’ah, halaqah, preach, and other tenets that they believe it.
Keywords: Cross culture communication,
religion, culture system, culture manifestation, Arab Hadramaut and Kaili
ethnic
Abstrak Penelitian ini berlatar
belakang pada komunikasi antar budaya yang terjadi pada Arab Hadramaut dan
etnis Kaili di Kota Palu berupa pertemuan antar budaya yang terdapat agama
sebagai suatu sistem budaya dan cara pandang dalam melihat kehidupan. Metode
penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Teknik pengambilan sampel/informan menggunakan Purposive sampling kemudian
dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data yaitu teknik snowball
sampling. Hasil penelitian menunjukkan
adanya proses pembentukan cara pandang dalam sebuah sistem budaya yang
dilakukan Arab Hadramaut dan etnis Kaili terlihat dari kompetensi komunikator
antarbudaya dan sifat open culture etnis Kaili yang mempermudah proses
pembentukan cara pandang tersebut. Dalam proses pembentukan cara pandang
tersebut terdapat bentuk komunikasi tranksaksional yang dilakukan oleh tokoh
Arab Hadramaut dan bangsawan Raja etnis Kaili. Faktorfaktor pendukung yang
terlihat adalah faktor persamaan agama antara etnis Kaili dan Arab Hadramaut
yang cukup membantu menyelaraskan cara pandang, faktor pernikahan antar budaya
serta faktor etika antara Arab Hadramaut dan etnis Kaili melalui hubungan yang
terjalin dengan baik sekaligus hasil dari terbentuknya cara pandang tersebut
adalah seperti sekolah keagamaan dalam bentuk Qira’ah, halaqah, ceramah,
pengajaran Islam dalam kelas.
Kata Kunci :
Komunikasi Antar Budaya, Agama, Sistem Budaya, Manifestasi Budaya, Arab
Hadramaut dan Etnis Pribumi
Pendahuluan
Arab Hadramaut berperan dalam
proses penyebaran agama Islam walaupun mereka hanya pendatang. Pernyataan yang
diperkuat oleh Sir Thomas Arnold, Crawfurd, Niemann, dan de Hollander, mereka
memandang sumber Islam di Nusantara bersumber atau berasal dari Hadramaut
(Azra, 2008:2). Di Palu-Sulawesi Tengah, warga keturunan Arab Hadramaut berada
di kawasan Sis-aljufri atau biasa juga dikenal dengan lingkungan Al-khairaat.
Berbeda dengan proses komunikasi Arab Surakarta yang peneliti lihat terkesan
sangat berkelompok, warga keturunan Arab di Palu justru dihargai oleh
masyarakat suku asli Kaili (suku asli Palu). Walaupun warga Arab Hadramaut Palu
mempunyai cara atau pola yang sama dalam berkomunikasi seperti Arab Hadramaut
di pasar Kliwon namun semua ini juga tidak terlepas dari bagaimana peran source
(komunikator) menyampaikan pesan kepada komunikan dan kemudian membawa
kebudayaan minoritas ini menjadi dominan melalui dialog ataupun sosialisasi
yang dilakukannya bersama suku asli setempat.
Habib Idrus Bin Salim Aljufri
merupakan salah satu tokoh warga keturunan Arab Hadramaut yang penting yang
membawa keakraban antara warga keturunan Arab Hadramaut dengan suku asli Kaili
bahkan nama beliau digunakan sebagai nama bandara Sulawesi Tengah. Ini
menjadikan Palu sebagai satu-satunya provinsi yang mempunyai nama bandara
memakai nama warga keturunan Arab Hadramaut di dalam kawasan Indonesia yang
memiliki keragaman budaya yang kuat.
Walikota Palu sendiri dalam
sambutannya pada acara haul Habib Sayyid Idrus mengatakan bahwa “jika Habib
Idrus tidak datang ke Palu, saya tidak tau apa yang akan terjadi sama kita ini”
(Sambutan Haul, 2015). Ini membuktikan pada saat itu rakyat Palu yang mempunyai
berbagai macam kepercayaan dan agama tidak mempunyai tempat bertumpu dalam
keIslaman. Tetapi semua kepercayaankepercayaan itu kemudian berangsur-angsur
hilang karena pendidikan dan dakwah Sayyid Idrus melalui Al-Khairaat. Sayyid
Idrus datang ke Palu dengan mendirikan pendidikan Islam Alkhairaat ditengah
masih banyaknya masyarakat yang menganut paham bercampur animisme.
Habib Idrus tidak sendiri dalam
penyebaran Islam di kota Palu. Guru Tua begitu sebutan akrab warga kota Palu
kepada Habib Idrus bersama anak, cucu, dan murid-muridnya berusaha memasukkan
ilmu-ilmu Islam ditengah keadaan kota Palu marak dengan organisasi yang
menjurus pada paham animisme. Pendekatan melalui pendidikan dan dakwah
digunakan Arab Hadramaut kota Palu untuk mencapai tujuan bersama bersama suku
asli dalam meningkatkan agama dan juga pendidikan itu sendiri. Pendekatan
melalui pendidikan sebagai proses yang menekankan pembentukan karakter manusia
sosial dapat bisa mengatasi sebuah konflik etnis dan permasalahan silang
budaya. Bidang pendidikan merupakan salah satu cara yang digunakan oleh Arab
Hadramaut di Palu untuk bisa membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat
suku asli Kaili. Peran lembaga pendidikan yang dibangun oleh warga keturunan
Arab Hadramaut Palu menjadi salah satu poin penting bagaimana pola-pola
komunikasi mereka terjadi dalam proses relationship keagamaan antar etnis yang sedang terjadi dari dahulu hingga
sekarang.
Proses transksional seakan terjadi
di lingkungan Al-khairaat. Jika melihat perbedaan cara berkomunikasi warga
keturunan Arab Hadramaut Palu dengan masyarakat suku asli Kaili merupakan
sebagian dari identitas diri dari kelompok mereka ataupun identitas budaya yang
bisa dihargai maupun dihormati bukan untuk menjadi sifat egoisme kelompok itu
sendiri.
Penelitian ini lebih melihat
komunikasi antar budaya yang dilakukan oleh Arab Hadramaut dan etnis Kaili di
Kota Palu, Sulawesi Tengah. Serta komunikasi transaksional pada proses
pertemuan budaya sekaligus hambatan, pendukung, dan manifestasi budaya sebagai
hasil pembentukan cara pandang. Adapun tujuan
penelitian yang diharapakan dapat dicapai dan dari rumusan masalah
diatas, tujuan dari
penelitian ini adalah : (1)
Mendapatkan gambaran secara detail dan menyeluruh mengenai proses komunikasi
antar budaya antara Arab Hadramaut dan etnis Kaili. (2). Mendapatkan gambaran
secara detail dan menyeluruh mengenai proses transaksional komunikasi yang
terjadi pada Arab Hadramaut dan etnis Kaili. (3). Mendapatkan gambaran secara
detail dan menyeluruh mengenai hambatan-hambatan komunikasi yang terjadi antara
Arab Hadramaut dan etnis Kaili. (4). Mendapatkan gambaran secara detail dan
menyeluruh mengenai faktor-faktor pendukung dalam komunikasi antar budaya Arab
Hadramaut dan etnis Kaili. (5). Mendapatkan gambaran secara detail dan
menyeluruh mengenai manifestasi budaya antara Arab Hadramaut dan etnis Kaili.
Sistem nilai budaya merupakan
tingkat yang paling abstrak dari adat istiadat. Hal ini disebabkan oleh karena
nilai-nilai budaya adalah konsep mengenai apa yang ada dan hidup di alam
pikiran manusia, apa yang mereka anggap bernilai, berharga, yang penting dan
tidak penting sehingga sistem nilai tersebut berguna sebagai pedoman
berperilaku, memberi arah dan orientasi kepada setiap warga masyarakat untuk
menjalankan kehidupan (Purwasito, 2015: 324).
Inti penting dari budaya adalah
pandangan yang bertujuan untuk mempermudah hidup dengan mengajarkan orang-orang
bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti yang dituliskan oleh
Triandis yaitu “Budaya berperan untuk memperbaiki cara anggota kelompok suatu
budaya beradaptasi dengan ekologi tertentu dan hal ini melibatkan pengetahuan
yang dibutuhkan orang supaya mereka dapat berperan aktif dalam lingkungan
sosialnya” (Samovar, 2010: 28). Hal penting kemudian pada komunikasi antar
budaya adalah bagaimana identitas tersebut memengaruhi dan mengarahkan harapan
terhadap peranan sosial terhadap orang lain serta memberikan petunjuk dalam
suatu interaksi komunikasi antar budaya (Samovar, 2010:184).
Hakikatnya agama lahir dalam
ruang budaya, dan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya di mana agama itu
lahir, tumbuh, dan berkembang, sehingga kehidupan beragama merupakan gejala
universal yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat, dari zaman klasik sampai
kontemporer. Menurut Bergson (18591941) “Kita menemukan masyarakat tanpa sains,
seni, dan filsafat, tapi tidak ada masyarakat tanpa agama”. Bahkan agama adalah
the most important aspect of culture yang terus berinteraksi dengan institusi
budaya, baik budaya material, perilaku, pandangan hidup, seperti nilai moral,
ekonomi, hukum, politik, seni dan sebagainya (Hamilton, 1995: 97).
Dalam Samovar (2010: 117-123),
dijelaskan bahwa cara pandang merupakan cara manusia mengartikan antara
kenyataan dan peristiwa termasuk bagaimana gambaran dengan dunia sekitar
sebelum dan sesudahnya. Cara pandang merupakan orientasi budaya terhadap Tuhan
dan juga kemanusiaan hingga kehidupan maupun moral. Agama merupakan faktor
penting dalam sebuah cara pandang sehingga cara pandang dalam pertemuan antar
budaya sangat erat kaitannya dengan praktik agama. agama berusaha untuk
membantu orang memahami kehidupan dan menghadapi kematian.
Setelah pemahaman itu didapatkan
dan diwujudkan dalam kehidupan maka jika terjadi pada pertemuan antar budaya,
cara pandang tersebut akan berakhir pada manifestasi budaya. Dalam Samovar
(2010), manifestasi budaya dijelaskan sebagai bentuk bagaimana Islam menjadi
cara hidup yang lengkap melalui perwujudan perintah umatnya untuk menghidupi
kehidupan pribadi, sosial, politik dan spirit sebaik-baiknya. Kemudian dari
manfestasi budaya tersebut dapat terlihat dari interaksi antara umat muslim
maupun nonmuslim. Nydell dalam Samovar menyebutkan agama seseorang mempengaruhi
kehidupannya sehari-hari dan agar hal tersebut diajarkan disekolah, bahasa yang
dgunakan sangat rohani, dan orang mempraktikkan agamanya secara terbuka.
Konsepnya sangat menyolok hingga mengekspresikannya dalam berbagai cara.
Metode Penelitian
Sesuai dengan rumusan
permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai maka penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif. Adapun metode dan pendekatan yang akan dipakai dalam
penelitian ini adalah studi kasus. Pokok permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini menyangkut pembentukan dan pengembangan identitas pada Arab
Hadramaut dan etnis Kaili. Studi ini akan
mengarah pada pendeskripsian masalah secara rinci dan mendalam mengenai
potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya
dilapangan. Penelitian studi kasus adalah pendekatan kualitatif yang meneliti
kehidupan nyata, kasus atau berbagai kasus melalui pengumpulan data yang detail
dan mendalam yang melibatkan berbagai sumber informasi atau sumber informasi
majemuk seperti pengamatan, wawancara, bahan audiovisual dan dokumen dari
berbagai laporan dan kemudian melaporkan deskripsi kasus dan tema kasus
(Creswell, 2015:135).
Terkait dengan penelitian di
atas, studi kasus yang dilakukan dalam penelitian ini mengambil lokasi di
Alkhairaat kota Palu Sulawesi Tengah. Untuk mendukung data yang ada, peneliti
juga melakukan observasi langsung ke yayasan Alkhairaat dan masyarakat Kaili.
Untuk sampling yang digunakan,
peneliti menggunakan purposive sampling guna memperoleh kedalaman atas data
yang diperoleh. Dalam proses penelitian ini seleksi terhadap sumber data primer
(informan) dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data yaitu dengan
teknik snowball sampling. Hal ini dilakukan karena peneliti belum memiliki data
pasti dan lengkap mengenai jumlah dan karakteristik sumber data di lokasi
penelitian. Kecukupan jumlah informan ditentukan berdasarkan kecukupan data
penelitian yang diperlukan.
Analisis data dalam penelitian
kualitatif dimulai dengan menyiapkan dan mengorganisasikan data (yaitu, data
teks seperti transkrip, atau data gambar seperti foto) untuk analisis, kemudian
mereduksi data tersebut menjadi tema melalui proses pengodean dan peringkasan
kode, dan terakhir menyajikan data dalam bentuk bagan, table atau pembahasan
(Creswell, 2015: 251). Guna menguji data, peneliti menggunakan teknik
trianggulasi sumber. Patton dalam Sutopo (2002: 79) menyatakan teknik ini
sebagai teknik yang mengedepankan sumber data berbeda dalam menguji kebenaran
ataupun validitas suatu data, terutama pada datadata yang bersifat sama dan
sejenis.
Hasil dan Pembahasan
Komunikasi Transaksional
Kebutuhan akan afiliasi terdapat
dalam hubungan ini karena seperti yang dikatakan oleh Marzuki adalah keturunan
Arab Hadramaut ini memang mengafiliasikan dirinya kepada kaum bangsawan
terutama Raja. Dikarenakan Raja yang sudah beragama Islam pada saat itu menjadi
lebih mudah bagi Habib Idrus dan lainnya untuk mengadaptasikan diri.
Komunikator dalam hal ini para keturunan Arab Hadramaut tidak hanya
berinteraksi dengan orang lain dan dengan objek-objek sosial yang ada namun
mereka berkomunikasi dengan diri sendiri sebagai suatu bentuk proses interaksi.
Menurut pak Marzuki, “mereka
(Arab Hadramaut) mengafiliasikan dirinya kepada kaum bangsawan terutama Raja
yang ada itu sudah Islam”. Habib Ali juga mengatakan “dengan bertemu
kepala-kepala adat dan menjelaskan mempunyai misi yaitu misi dakwah, ya
kemudian diajak untuk membuka madrasah di Wani namun Guru Tua lebih tertarik di
Palu karena melihat masyarakat yang tidak pada jalannya”.
Dalam pertemuan untuk menemui
Magau Djanggola, Habib Idrus dan dua tokoh Arab yang sekaligus menjadi
penerjemahnya diterima oleh Magau Djanggola, disambut dengan kegiatan adat, dan
berdialog mengenai masalah agama yang ingin dibangun oleh Habib Idrus. Seperti
yang dikatakan Habib Ali, pembicaraan mereka di dalam seperti digambarkan Habib
Ali yaitu diawali dengan disambutnya Habib Idrus dengan adat Kaili di kediaman
Raja Djanggola, 34 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 14, Nomor 1, Januari - April
2016, halaman 30-40 “Tabe pua magau, makavamo ustad Idrus. Magau bilang, Iya
silahkan pangge kamari, suruh masuk”. Melalui salah satu tokoh Arab yang
menjadi penerjemah Habib Idrus, mengatakan bahwa “Tuan Raja ini dia tuan guru
Sayid Idrus bin Salim Aljufri”. Menyambut dengan sangat baik terlihat dalam
perkataan Raja Djanggola yaitu “terima kasih atas kehadiran ustad, kami sangat
berbahagia atas kehadiran ustad di kota Palu. Mudah-mudahan bisa memberikan
ajaran-ajaran agama islam di kota Palu seperti mengaji juga”. Melalui dialog
tersebut menurut Habib Ali, Habib Idrus
menyanggupi untuk bisa melaksanakan seperti yang dikatakan oleh Raja. Habib
Idrus menjelaskan misinya ke Raja-Raja dan juga tokoh adat maupun tokoh
masyarakat karena menurut Dewi Abdullah, Habib Idrus belum memiliki dukungan
maka pada tokoh adatlah pendekatan awalnya dilakukan.
Guru tua bisa berkeliling ke
daerah-daerah selama tiga
bulan dan selalu membawa guru-guru yang sudah dianggap untuk bisa mengajarkan
ilmu agama. Tatap muka selama tiga bulan yang dilakukan itu selalu membuahkan
permintaan untuk juga membangun sekolah di daerah-daerah mereka. Jika
perjalanan tiga bulan yang sering dilakukan itu merupakan cara agar Habib Idrus
bisa secara langsung melihat apa yang terjadi pada etnis Kaili yang ada di
daerahdaerah dan ternyata kedatangan Habib Idrus kedaerah-daerah tidak pernah
sendiri karena ke daerah apapun yang didatangi, Habib Idrus akan ditemani tokoh
adat setempat.
Hambatan-Hambatan Komunikasi
Bahasa ; Dalam proses
penyampaian dan penyebaran agama agar etnis Kaili tetap berada pada jalannya
merupakan tantangan bagi Habib Idrus yang merupakan suku asing dan tidak bisa
memakai bahasa Indonesia pada saat itu. Keadaan yang tidak memungkinkan
mengingat raja yang juga tidak bisa berbahasa Arab ditambah lagi masyarakatnya
menjadi hal yang menambah rasa penasaran bagaimana kemudian keturunan Arab
Hadramaut menyampaikan pesan-pesan agama mereka.
Seperti yang dipraktekkan ibu
Sa’diyah Aljufri yaitu “Saya punya aba itu mengajar pakai alat peraga. Umpama
angkat ini tasbih terus saya punya aba bilang “Haadza Tasbeih” terus kalau
angkat batu “Haadza Ha Hajaruu” terus anak-anak yang ba dengar itu bilang
“batu” begitu”. Dalam ilustrasi yang dilakukan ibu Diya sapaan akrabnya,
terlihat bagaimana ibu Diya mengangkat sebuah objek dan menjelaskan bahasa Arab
objek tersebut. Dalam pertemuan untuk melakukan komunikasi transaksional, Habib
Idrus terlihat membawa penerjemah yang tidak lain merupakan tokoh Arab yang
sudah bermukim lebih dulu di kota Palu.
Penerjemah dan alat peraga
merupakan hal yang digunakan untuk menggapai etnis Kaili. Sadig yang juga
mengakui alat peraga lebih mengatakan “Habib Idrus mengangkat sebuah barang
lalu dia berkata bahasa Arabnya”. Cara memakai alat peraga ini juga telah
diilustrikan dalam sebuah film dokumenter yang mengisahkan Habib Idrus dan
penerjemah juga digunakan Habib Idrus pada masa mengunjungi raja-raja untuk
mempermudah proses komunikasinya. Alat peraga kemudian menjadi proses keturunan
Arab Hadramaut memproduksi pesan mereka kepada etnis Kaili yang menjadi
muridnya.
Kepercayaan ; Selain
kepercayaan tradisional dari leluhur,
kepercayaan-kepercayaan terdapat
tradisional pula kaili lainnya
seperti balia, sesajen dan lain-lain. Balia merupakan upacara tertentu sebagai
suatu kepercayaan dan keyakinan bahwa dengan adanya prosesi tersebut dapat
menyembuhkan seseorang yang sedang sakit parah. Tetapi semua
kepercayaan-kepercayaan berangsur-angsur hilang dengan tersebut adanya
pendidikan dan dakwah Habib Idrus
melalui Alkhairaat dan murid-muridnya. Habib Idrus melakukan segalanya untuk bisa
menyalurkan ilmu agamanya ke etnis-etnis Kaili agar dapat mengurangi perilaku
syirik yang masih terlihat itu.
Semua kegiatan adat menurut Habib
Ali akan diikuti oleh habib Idrus karena sifat rasa ingin tahu Habib Idrus
terlalu tinggi. Kemudian jika ada orang bertanya kepada Habib Idrus lalu dijelaskan kemudian orang tersebut
menerima. Hal ini beda dengan mereka datang dan kemudian langsung mengatakan
“eh ini tidak boleh”. Seperti diilustrasikan oleh Habib Ali, “seperti sedang
khotbah jumat terus ada orang yang seperti raja-raja ini masih memiliki
kebiasaan makan sirih. Di mesjid mereka makan sirih dan guru tua ada disitu
tapi tidak ditegur malah dibiarkan. Tetapi ketika ditanya hukumnya barulah Habib
Idrus jelaskan. Habib Idrus malah mengikuti sehingga timbul pertanyaan kepada
Habib Idrus makan sirih hukumnya bagaimana kalau sedang khotbah. Barulah
kemudian Habib Idrus jelaskan bahwa hal tersebut tidak boleh dan kalau mau
makan sirih itu diluar mesjid”.
Stereotip ; Arab
Hadramaut termasuk pada stereotip yang fleksibel karena selalu terbuka pada
informasi dan sesuatu hal yang lebih baru dan dapat dijadikaan pegangan.
Stereotip positif lebih terbentuk dibandingkan stereotip negatif dikarenakan
keturunan Arab Hadramaut di Kota Palu menghormati adat istiadat dan memiliki
satu tujuan yang sama yaitu agama dan saling menghormati kemudian sifat terbuka
yang telah ada pada etnis Kaili membuat stereotip demi stereotip positif dan
fleksibel terbentuk diantara hubungan Arab Hadramaut dan etnis Kaili dan juga
membuktikan stereotip tidak selamanya menyoal negatif.
Para keturunan Arab Hadramaut
merupakan suatu identitas yang timbul melalui identitas pribadi yang di
dalamnya membedakan mereka dengan yang lainnya dan menandakan Arab Hadramaut
merupakan pribadi yang spesial dan unik seperti suatu talenta atau kemampuan
bawaan yang lebih dibandingkan kepunyaan etnis setempat. Djamal Mariajang
mengakui bahwa komunikasi yang dibangun Habib Idrus dengan penduduk setempat
sangatlah baik. Dengan memberikan keteladanan dan tidak menyinggung segala
sesuatu itu haram. Habib Idrus menjawab semua perilaku adat yang menyimpang
tersebut dengan aktivitas keagamaan yang dapat meruntuhkan kepercayaan adat
etnis Kaili bahwa dakwah yang disyiarkan Habib Idrus lebih mencerahkan
dibandingkan pegangan mereka sebelumnya.
Mengikuti Perkembangan Politik
; Pada saat pilkada pemilihan Gubernur di Kota Palu, Alkhairaat melakukan
kembali sebuah retorika ajakan namun bukan dalam bidang pendidikan dakwah tapi
dalam bidang politik yang merupakan bidang yang sama sekali tidak disentuh oleh
Habib Idrus dari awalnya. Walaupun maklumat yang dikeluarkan Saggaf Aljufri
untuk abnaul khairaat memilihi salah satu pasangan calon untuk pertama kalinya
dilakukan oleh Alkhairaat dan maklumat tersebut ternyata sangat berpengaruh
untuk pasangan calon tersebut.
Kekecewaan-kekecewaan dilontarkan
karena Saggaf Aljufri mengeluarkan maklumat tersebut. Terlepas dari hal politik
tersebut, dalam retorika ajakan yang dilakukan oleh ketua utama Alkhairaat
melalui maklumat tersebut menurut salah satu masyarakat yang ditemui oleh
penulis, bahwa suara pasangan yang namanya dikeluarkan maklumat oleh Saggaf
Aljufri yang awalnya hanya diperkirakan mendapat 10% suara di Sulawesi Tengah,
dengan adanya maklumat mendapatkan 45% suara. Kekuatan ajakan Alkhairaat
dibuktikan masih berlaku sangat besar pengaruhnya dari dahulu sampai sekarang.
Walaupun tidak memenangkan namun itu merupakan pencapaian tertinggi menurut
mereka. Perilaku Saggaf Aljufri yang sempat dikecewakan oleh beberapa orang
namun tetap memperlihatkan bahwa pengaruh keturunan Arab Hadramaut di Kota Palu
masih sangatlah kuat.
Faktor-Faktor Pendukung
Faktor Agama
Rum Parampasi menyebutkan bahwa
“Habib Idrus ini kan dengan tujuan syiar Islam, dan yang bawa masuk juga Raja
jadi tidak menganggu”. Penjelasan tersebut lebih memastikan bahwa misi dakwah
tersebut tidak mengganggu dengan apa yang sebelumnya telah berada di kota Palu.
Bahkan menurut Habib Ali, etnis Kaili sangat menerima misi dakwah Habib Idrus
dan memfasilitasi keberadaan Habib Idrus di Kota Palu.
Rum parampasi sendiri sebagi
ketua adat Kaili mengakui sangat bersyukur dengan adanya Habib Idrus dan
sekolahnya Alkhairaat. Itu tentunya sangat memberikan ketenangan bagi
masyarakat Kaili dan menurutnya dimana-mana, agamalah yang menentukan. Rum
Parampasi menyebutkan ada alasan sederhana mengapa penyiar agama begitu mudah
diterima di kota Palu. Menurutnya alasan itu seperti “Falsafah to-kaili ada
istilah tiga tungku (tonda talusi) yaitu pemerintah, agama dan adat. Itu harus
bersamaan dan tidak bisa berpisah”.
Faktor Pernikahan
Pengaruh pendekatan melalui
kerajaan ternyata membuat hubungan antara keturunan Arab Hadramaut dan etnis
Kaili terjalin lebih erat melalui perkawinan. Djamal Mariajang mengatakan
“namanya orang menyebarkan pendidikan agama, orang kaili ini Habib Idrus
rangkul sampai dia kawin dengan mereka kan”. Habib Ali juga mengakui bahwa keturunan
Arab Hadramaut banyak yang menikahi perempuan asal sebagai bagian dari teknik
dakwah mereka. Peristiwa ini juga sekiranya mempermudah penyebaran agama yang
dilakukan oleh Habib Idrus.
Perkawinan antara Habib Idrus dan
Intje Ami merupakan pembauran dua budaya yang kemudian menghasilkan unsur baru.
Jika dihubungkan dengan beberapa model asimilasi, tentunya kejadian ini berada
pada bentuk asimilasi perkawinan. Kepulangan Habib Idrus pada Habib Saleh sudah
dapat dirasakan Habib Al-Muhdar yang mengharuskan Habib Idrus sebagai ulama
untuk menikahi perempuan pribumi berketurunan Raja.
Sekiranya pengungkapan perilaku
tersebut merupakan faktor pendukung melalui pemikiran agama yang juga diakui
oleh Dewi Abdullah mewakili etnis Kaili yang mengatakan, “Ustad tua memahami
dia datang disini dan Kaili mempunya budaya jadi beliau dengan cerdas dan
perlahan-lahan sampai mengawini orang sini”. Asimilasi perkawinan yang terjadi
merupakan tindakan yang mendapat respon baik oleh tokoh-tokoh adat Kaili.
Faktor Etika
Karakter kaili merupakan karakter
yang mudah menerima pendatang ini diperkuat oleh pernyataan bapak Djamal yaitu:
“Ya itu dia kan karena karakter orang Kaili itu mudah menerima. Kalau ada orang
datang, mereka berikan sambutan yang luar biasa. Ditempatkan di kamar yang
bagus lalu diberikan kain Donggala. Itu semacam penghargaan orang-orang Kaili
terhadap pendatang-pendatang”. Etnis Kaili begitu sangat positif menerima Habib
Idrus. Bahkan menurut Dahlan Tangkaderi, “orang Kaili itu tanpa pikir panjang.
Halhal yang diikuti orang kaili itu seperti caranya ustad tua berkomunikasi,
caranya bermasyarakat, pembawaan dirinya yang tidak memperlihatkan keangkuhan
bahwa Habib Idrus merupakan ulama besar. Ustad tua itu menerima siapa saja
datang untuk bertanya apa saja”.
Budaya Kaili yang open culture
benarbenar membawa rasa simpati kepada habib Idrus yang murni membawa ilmu
agama untuk mereka. Dukungan raja, dan tidak mengambil pengaruh politik sama
sekali membuat Habib Idrus disenangi semua orang. Proses komunikasi yang berjalan
secara cepat karena ditambah dengan asimilasi perkawinan yang terjadi juga
perilaku dilapangan yang tetap menghormati adat dengan menggunakan pendekatan
yang evolusioner dalam hubungan yang terjalin agar tetap berjalan sesuai dengan
syariat agama, tenang, tentram, dan tetap saling menghargai dan juga
menghormati.
Manifestasi Budaya
Habib Idrus melakukan segalanya
untuk bisa menyalurkan ilmu agamanya ke etnis-etnis Kaili agar dapat mengurangi
perilaku syirik yang masih terlihat. Dalam qira’ah menurut Dahlan Tangkaderi,
bukan hanya masalah agama saja yang akan ditanyakan suku Kaili, masalah apapun
itu yang ingin dia ketahui apakah sesuai dengan jalan agama akan ditanyakan
kepada Guru Tua dan beliau juga akan menjawabnya sesuai syariat agama. Melalui
percakapan dalam proses qira’ah ataupun percakapan biasa, etnis Kaili dapat
mengetahui secara pasti apapun nilai-nilai keagamaan yang diberitahukan Habib
Idrus. Seperti yang digambarkan oleh Saggaf Aljufri bahwa proses qira’ah
selayaknya seprti membaca salah satu ayat dari dalam kitab dan terdapat
kesalahan-kesalahan penyebutan maka hal tersebut akan dibenarkan oleh Habib
Idrus.
Seperti dikatakan kebanyakan informan
baik arab maupun kaili, qira’ah merupakan cara Arab Hadramaut berhubungan
dengan suku kaili. Diperjelas oleh ibu Diya, hal-hal yang dilakukan dalam
proses Qira’ah di Pagi Hari selain membahas ayat dalam kitab juga melakukan hal
seperti Dimulai subuh: Bismillah hirahman nirahim radiallahu anhum. Hal ini
dilakukan sebagai pengiriman doa bagi para wali-wali yang telah berpulang
terlebih dahulu.
Menurut Habib Ali, semua dialog
dibentuk dalam topik pendidikan seperti dalam salah satu ceramah di desa Tinombo
Habib Idrus menjabarkan ayat-ayat dari surat Al-Alaq ‘iqra’ bismi
rabbikal-ladzi khalaq, kita disuruh membaca dengan nama Allah SWT’. Sadig juga
mengatakan hal yang sama, “Guru tua itu mengambil lewat jalan pendidikan karena
dia yakin dengan jalur pendidikan ini, Indonesia akan berubah”.
Habib Idrus akan mengangkat salah
satu alat peraga yang Habib Idrus pegang dan akan mengatakan ‘ma haadzaa?” dan
menurut Mochsen Alhabsyi, murid-murid yang mayoritas merupakan anak Kaili ini
akan menjawabnya terkadang memakai bahasa Kaili ataupun Indonesia seperti dalam
gambar di atas, Habib Idrus mengangkat buah pisang. Kemudian murid mengatakan
‘loka ustad’ yang lain kemudian menyambungkan ‘ledo, ledo loka’ itu pisang’ dan
Habib Idrus akan mengatakan bahasa Arabnya ‘bialllughat alearabia, mauzun’.
Begitu seterusnya Habib Idrus akan mengangkat alat peraga lainnya menurut
Mochsen Alhabsyi. Murid-murid akan mengerti dan menuliskan dibuku catatannya
menggunakan tulisan arab maupun latin.
Menurut Sa’diyah Aljufri, “Aba
itu 24 jam mengajar. Bahkan lagi dipijit pun mereka mengajar. Di gerobak dia
mengajar, dikapal juga mengajar. Dimana-mana mengajar”. Mengajar pendidikan
agama dimanapun dan kapanpun sempat dilontarkan juga oleh Saggaf Aljufri dan
Ali Aljufri.
Yayasan Alkhairaat ; Dari
bawah kolong rumah tersebut nama Alkhairaat sudah digunakan oleh Habib Idrus
sesuai dengan apa yang dilihat oleh Habib Ali. Sampai pada akhirnya proses
membangun pendidikan dalam bentuk sekolah. Sadig Alhabsyi juga menambahkan
bahwa “Habib Idrus berinisiatif mendirikan itu bukan dengan nama ataupun marga
Habib Idrus. Disitulah orang mulai tambah kagum dengan habib Idrus”. Selagi
menunggu sekolah yang terbangun, Habib Idrus tetap melakukan ceramah-ceramah
agama, qira’ah dan mengunjungi daerah-daerah di Sulawesi Tengah.
Setiap masyarakat yang bertemu
dengan Habib Idrus di daerah-daerah terpencil di Palu, maka mereka akan meminta
untuk dibangunkan madrasah Alkhairaat di tempatnya yang sama seperti yang ada
di kota Palu. Maka menurut ketua adat Kaili, “dimintalah untuk didirikan
madrasah yang kini bernama Alkhairaat dan Habib Idrus kumpulkan semua anak-anak
Kaili”.
Keturunan Arab lainnya melalui
pendidikan dan dakwah yang mereka beri nama Alkhairaat dari awal itu dimulai
bahkan dengan sekolah yang belum terbentuk membuat kegiatan pemerintahan
Sulawesi Tengah yang dahulunya tidak terpusat di Kota Palu menjadi di Kota Palu
karena semua kegiatan pendidikan dan dakwah dilakukan sebagian besar di kota
Palu. Adanya Alkhairaat yang terbangun di Kota Palu sebagai lembaga pendidikan
sekaligus dakwah pertama dikota Palu menjadikan Kota Palu menjadi pusat
pemerintahan dan terkenal namanya.
Alkhairaat sangat dekat dengan masyarakat.
Banyak yang bergotong royong membangun gedung dan membiayai ustadnya serta
murid-murid tidak dituntut pembayaran. Itu prinsip dasar yang ditanamkan untuk
pengembangan Islam. Prinsip Habib Idrus, kalau sudah agama dikomersilkan itu
sudah bukan dakwah namanya, tapi mencari keuntungan (Abubakar, 2012:45).
Mulai diajaknya beberapa etnis
Kaili untuk ikut membangun Alkhairaat dari dalam merupakan langkah yang sangat
positif dan tanpa melupakan apa yang telah diberikan oleh etnis Kaili. Dahlan
Tangkaderi mengakui perbedaan terdapat dalam perilaku Arab Hadramaut yang
dipimpin oleh Habib Idrus dan sekarang yang masih diteruskan oleh anak dan cucu
Habb Idrus, karena semua itu menurut Dahlan karena perkembangan zaman. Dahlan
Tangkaderi melihat perbedaannya “ketika guru tua dulu, dia didatangi untuk
qira’ah. Sekarang orang-orang yang datang di Alkhairaat”.
Peringatan Kematian atau Haul
Habib Idrus Bin Salim Aljufri ; Setiap
tahun setelah hari raya Idul Fitri, persisnya 12 Syawal, ribuan umat Islam dari
berbagai daerah di kawasan Indonesia timur berduyun-duyun datang ke Palu,
Sulawesi Tengah. Tujuannya, menghadiri acara haul (peringatan wafatnya) Habib
Sayid Idrus Salim Aljufri atau yang biasa dikenal juga di Palu sebagai guru
tua. Di Palu, penyebar Islam asal Hadramaut yang menghabiskan separuh usianya
di Indonesia ini dimakamkan dan setiap tahun peringatan wafatnya tidak pernah
sepi pengunjung.
Haul merupakan salah satu
tradisi untuk memperingati wafat seorang ulama besar seperti Habib idrus. Dalam
acara Haul itu sendiri dilaksanakan beberapa kegiatan seperti pembacaan tahlil,
ceramah agama yang biasa mendatangkan langsung dari Hadramaut, nasehat-nasehat
dari Habib Saggaf Aljufri dan tidak lupa sambutan-sambutan oleh kepalakepala
daerah di Sulawesi Tengah. Haul awalnya bertujuan untuk memperingati wafat
dengan membacakan tahlil untuk Habib Idrus.
Tanggapan positif etnis Kaili
terlihat dalam bentuk dukungan-dukungan kepada Alkhairaat baik pada saat acara
Haul atau diluar daripada hal tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Djamal Mariajang,
sumbangan-sumbangan lain itu berbentuk “kelapa, sawah, sampai sekarang kita
menginventarisir wakaf itu kesulitan dan yang lain dukungannya lebih berupa
sumbangan pada saat haul guru tua”. Sumbangan-sumbangan etnis Kaili pada saat
haul bisa berupa seekor sapi ataupun makanan-makanan yang akan dibagikan kepada
pengunjung. Makanan-makanan tersebut dianggap sebagai suatu hal yang berkah.
Hal lain adalah bandara
kebanggaan masyarakat Kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah itu bernama
Mutiara SIS Aljufri, setelah Menteri Perhubungan EE Mangindaan membubuhkan
tandatangan di surat keputusan perubahan nama itu. Di dalam Surat Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor KP 178 Tahun 2014 tercatat Habib Sayyid Idrus bin
Salim AlJufri merupakan tokoh pejuang di Provinsi Sulawesi Tengah di bidang
pendidikan agama Islam. (http://www.republikapenerbit.com/artikel/901 diakses
pada 29 Februari 2016).
Perubahan nama bandara itu juga
untuk menghargai jasa serta perjuangan Habib Sayyid Idrus bin Salim Aljufri
dalam menyebarkan ajaran Islam di kawasan timur Indonesia. Sejarah memang tak
bisa dikesampingkan. Karena itu nama Bandara Mutiara SIS Aljufri diusulkan oleh
Pemkot Palu setelah melalui persetujuan DPRD setempat sejak tiga tahun silam.
SIS Aljufri dianggap sosok yang mewariskan ilmu tak lekang oleh waktu dan terus
memancarkan sinar ibarat mutiara. Nama Bandara Mutiara SIS Aljufri yang baru
diumumkan itu kini gencar disosialisaikan oleh pihak bandara, Pemerintah Kota
Palu, dan maskapai penerbangan.
Kesimpulan
Proses komunikasi transaksional
yang terjadi di Kota Palu. Arab Hadramaut mengafiliasikan dirinya kepada kaum
bangsawan terutama raja yang pada saat itu telah memeluk agama Islam. proses
transaksional selain menemui petinggi adat, hal lain yang dilakukan oleh Habib
Idrus dan lainnya adalah berkeliling ke daerah-daerah selama tiga bulan untuk mengajarkan ilmu agama dan juga
membuahkan hasil untuk permintaan membangun sekolah Islam di daerahdaerah
mereka dan kedatangan Habib Idrus ke daerah-daerah tersebut tidak terlepas dari
tokoh adat setempat.
Hambatan dalam hubungan Arab
Hadramaut dan etnis Kaili. Seperti pada bahasa, tokoh Arab Hadramaut yang tidak
menguasai bahasa Indonesia mengatasi hambatan ini dengan penerjemah dan alata
peraga untuk menggapai etnis Kaili. Alat peraga merupakan kode non-verbal atau
artefak. Selain alat peraga dan penerjemah, media lain yang selalu digunakan
oleh Habib Idrus adalah syair Arab. Syair digunakan sebagai media dalam proses
penyebaran pendidikan dan dakwah Habib Idrus dan lainnya.
Dalam penyampaian misi dakwahnya
habib Idrus tidak secara radikal melakukan kritik terhadap apa yang dilakukan
oleh etnis Kaili. Pegangan para tokoh Hadramaut bahwa bertentangan dengan adat
bisa menyebabkan permusuhan menjadi tolak ukur bahwa pendekatan yang
evolusioner membuat proses pengembangan cara pandang dapat dilalui dengan tidak
butuh waktu yang lama. Sama halnya dengan hambatan lain identitas yaitu
stereotip yang tidak selamanya berakhir menjadi stereotip negatif namun juga
bisa menjadi stereotip positif. Arab Hadramaut termasuk stereotip yang
fleksibel karena selalu terbuka pada informasi dan sesuatu hal yang lebih baru
dan dapat dijadikan pegangan. Ketika semakin berkembang dan berusaha untuk
bereksplorasi ke hal-hal lain, Alkhairaat seakan-akan tidak boleh untuk
bergabung di ranah tersebut dan hanya perlu fokus ke pendidikan dan dakwah
saja. Politik kemudian menjadi salah satu penghambat bagi Arab Hadramaut di
Palu untuk berkembang.
Faktor-faktor pendukung yang
membuat hambatan dapat teratasi dengan sendirinya. Diantaranya faktor-faktor
pendukung tersebut ialah faktor persamaan agama, faktor pernikahan, dan faktor
etika. Selain tujuan syiar Islam Arab Hadramaut, di sisi lain seperti yang
dikatakan oleh ketua adat Kaili bahwa falsafah to-Kaili dikenal dengan istilah
tiga tungku (tonda talusi) yaitu pemerintah, agama dan adat. Sehinga menjadi
suatu kesamaan bahwa etnis Kaili juga membutuhkan pendidikan agama namun tidak
mempunyai wadah dan wadah tersebut disediakan oleh Arab Hadramaut. Faktor
pendukung lain yang timbul adalah faktor pernikahan antara Habib Idrus dan
perempuan Kaili. hal tersebut diakui oleh sebagian tokoh Arab Hadramaut sebagai
bagian dari teknik dakwah. Tentunya kejadian ini berada pada bentuk asimilasi
perkawinan yang di dalamnya terdapat pembauran dua budaya. Faktor terakhir yang
juga sangat berpengaruh adalah faktor etika yang membuat keterbukaan, saling
menghargai dan menghormati yang terjalin diantara kedua hubungan ini. Selain
etnis Kaili yang open culture, perilaku-perilaku penyambutan Arab Hadramaut
oleh etnis Kaili di daerah-daerah membuat perilaku-perilaku ini mencerminkan
norma-norma sosial tentang kesopanan, menghargai dan juga menghormati situasi
agar keinginan dapat tercapai dengan sepenuhnya.
Akhir dari pembentukan cara
pandang dalam komunikasi antar budaya adalah manifestasi budaya oleh Arab
Hadramaut dan etnis Kaili diantaranya sekolah, yayasan Alkhairaat, peristiwa
keagamaan atau Haul Habib Idrus dan nama bandara kota Palu, Sulawesi Tengah.
Habib Idrus melakukan segalanya untuk bisa menyalurkan ilmu agamanya ke etnis
Kaili agar dapat mengurangi perilaku syirik yang masih terlihat diantaranya
melalui qira’ah, halaqah, ceramah maupun pengajaran di dalam kelas. dan yayasan
Alkhairaatdi kota Palu menjadi metode penyampaian sekaligus pencerah ditengah
etnis Kaili. selain membuat kota Palu tersohor namanya tapi juga dengan adanya
Alkhairaat ini setidaknya dapat mengurangi paham animisme yang berada di kota
Palu. Manifestasi budaya lain yaitu peringatan Haul. Setiap tahun setelah hari
raya Idul Fitri, persisnya 12 Syawal, ribuan umat Islam dari berbagai daerah di
kawasan Indonesia timur berduyun-duyun datang ke Palu, Sulawesi Tengah.
Hubungan baik yang terjalin antara Arab Hadramaut dan etnis Kaili terus
berlanjut dan berkembang menjadi besar berwujud manifestasi budaya yang
disepakati bersama seperti pemberian nama kawasan wisata religi untuk kawasan
makam Habib Idrus dan nama bandara Mutiara SIS Aljufri. Persamaan cara pandang
maupun keagaamaan yaitu Islam mempengaruhi hubungan antara Arab Hadramaut dan
etnis Kaili di kota Palu. Agama yang dibuat sebagai cara pandang dan etika yang
turut membantu dalam pertemuan antar budaya tersebut. Sehingga dalam Samovar
hal ini merupakan pendukung dalam sebuah proses komunikasi antar budaya.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, 2008., Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana,
Creswell, John W. 2015,
Penelitian Kualitatif dan Desain Riset. Terj. Ahmad Lintang Lazuardi, Ed ke-3.
Yogyakarta: Pustaka
Devito, Joseph A. Antarmanusia.
2011, Terj. Pelajar,. .Komunikasi Ir. Agus Maulana M.S.M., Ed. Ke-5, Jakarta: KARISMA Publishing Group .
Hamilton, Malcolm B,
1995, The Sociology of Religion:
Theoretical and Prespectives , London and New York :Routledge
Purwasito, Andrik,
Komunikasi Yogyakarta: Pustaka 2015, Multikultural, Pelajar,.
Samovar, Porter and
McDaniel Edwin R, 2010, Komunikasi Lintas Budaya. Terj. Indri
Margaretha Sidabalok, S.S, Ed ke-7. Jakarta: Salemba Humanika,.
Sutopo, “ H.B. Penelitian Sebelas 2002, Kualitatif.
Maret Metodologi Surakarta: University Menhub Sahkan Perubahan Nama Bandara di
Palu”. Muhammad Hafil. 29 Februari 2016. Republika. http://www.republikapenerbit.
com/artikel/detail_info/901 diakses
pada 29 Februari 2016
H. Rusdi Mastura.
Sambutan Walikota Palu Di Haul ke-47. Palu: PB. Alkhairaat, 2015.
Sumber :
0 comments:
Posting Komentar