Pendahuluan
Tradisi lisan merupakan bagian
kekuatan kultural suatu bangsa. Tradisi
lisan sangat beraneka ragam bentuknya, tidak hanya berupa dongeng, mitos, dan
legenda atau pantun dan syair. Setiap daerah bahkan setiap suku memiliki
tradisi lisan masing-masing. Misalnya, kuntulan (tradisi lisan Jember, Jawa
Timur), kentrung (tradisi lisan Jawa
Timur), macapatan (tradisi lisan Madura), jemblung (tradisi lisan Banyumas,
Jawa Tengah), wayang garing dan ubruk (tradisi lisan Banten), sintren (tradisi
lisan Cirebon, Jawa Barat), rancag (tradisi lisan Betawi), warahan (tradisi
lisan Lampung), tale (tradisi lisan Kerinci), serambeak (tradisi lisan Suku
Rejang, Bengkulu), guritan (tradisi lisan Suku Besemah, Sumatra Selatan),
didong (tradisi lisan Gayo, Aceh), lamut (tradisi lisan Banjar, Kalimantan
Selatan), moronene (tradisi lisan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara),
kabhanti (tradisi lisan Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara), iko-iko (tradisi
lisan Suku Bajo, Sulawesi Utara), sinrilik (tradisi lisan Sulawesi
Selatan), tanggomo (tradisi lisan
Gorontalo), lohia sapalewa (tradisi
lisan Seram Barat, Maluku), dan sosondah
(tradisi lisan Rote, Nusa Tenggara Timur). Di dalam tradisi
lisan-tradisi lisan itu terkandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan
kehidupan masyarakat pendukungnya pada masa itu, seperti kearifan lokal, sistem nilai, sejarah, hukum, adat, dan pengobatan. Kleden
(2004:10) berpendapat, dalam pandangan fungsional, sastra dianggap sebagai
salah satu fungsi dari perkembangan masyarakat dan kebudayaan, dengan
konsekuensi bahwa perkembangan dalam sastra harus dilihat dalam kaitan dengan
fungsi-fungsi lain dalam masyarakat dan kebudayaan, seperti halnya keadaan
ekonomi, susunan dan bangun kelas sosial, pembentukan kekuasaan dan distribusi
kekuasaan dalam suatu sistem politik, ada tidaknya kebudayaan dominan, atau
peran dan kedudukan agama dalam suatu kebudayaan.
Dadendate merupakan salah satu tradisi lisan
masyarakat Desa Taripa, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi
Tengah. Selain dadendate, masyarakat Sulawesi Tengah juga memiliki beberapa
tradisi lisan yang lain, misalnya faino (penghibur), tombilo (pengobatan),
heranga (pengobatan), lude (pengobatan), danu (pengobatan), sede (upacara adat
memandikan anak), dondi sede (upacara
adat), ndolu (upacara adat), ngeaju (upacara adat), baliore (upacara adat), dan
vantantoi (upacara adat).
Dadendate berasal dari kata dade berarti
nyanyian dan ndate (bahasa Kaili, dialek Kori) berarti panjang atau tinggi.
Arti Dadendate adalah nyanyian orang berada di atas gunung. Misalkan seseorang
berada di kaki bukit atau gunung ketika ditanyakan hendak ke mana, jawabnya
Ndate berarti di atas bukit sana atau ia akan melakukan perjalanan dengan
menaiki atau mendaki bukit itu sampai tujuan. Dengan demikian, arti dadendate
adalah lagu yang mengisahkan sesuatu dari bawah ke atas. Apa yang diceritakan
dalam dadendate sifatnya menanjak dan menuju ke puncak. Apabila dia
menceritakan sesuatu, selalu dari awal sampai akhir cerita tersebut.
Sejak tahun 1714 atau abad ke-18
dadedante telah tumbuh subur di tengah masyarakat Desa Taripa, Kecamatan Sindue,
Kabupaten Donggala. Provinsi Sulawesi Tengah. Pada mulanya dadendate hanya
berupa alat yang berbentuk perahu kecil, tanpa alunan lagu, dan fungsi hanya
sebagai pelampiasan kerinduan seseorang untuk berlayar ke lautan. Dalam
perkembangannya, dadendate dinyanyikan (balas pantun) dan diiringi dengan alat
musik, seperti kecapi, gimba kodi, mbasi-mbasi, yori, dan pare’e. Dadendate
mendapat perhatian dari masyarakat yang kemudian sering dipentaskan pada
saat pesta panen, pesta perkawinan,
pesta khitanan, pestan selamatan, dan hari-hari besar.
Dadendate tidak hanya mendapat
perhatian dari masyarakat setempat, masyarakat Desa Taripa, Kecamatan Sindue,
Kabupaten Donggala melainkan mempunyai daya tarik bagi masyarakat lain.
Kemudian dadendate merambah ke Desa Saloyu dan Sumari, Kecamatan Sindue,
Kabupaten Donggala. Penyebaran dadendate tidak berhenti di kedua desa itu. Akan
tetapi, justru merambah ke wilayah lain, yaitu ke Desa Labuan Kungguna,
Kecamatan Labuan dan Desa Sidole, Kecamatan Ampibobo, Kabupaten Parigi Moutong.
Bahkan dadendate menyebar ke Kota Palu, yaitu di Desa Kayumalue Pajiko,
Kecamatan Palu Utara dan Desa Balaroa, Kecamatan Palu Barat.
Pada tahun 1970-an dengan kemajuan
dan perkembangan teknologi, dadendate mulai tidak mendapat tempat di masyarakat
Indonesia, baik masyarakat perkotaan maupun masyarakat desa. Pada masa itu
media elektronik, televisi mulai banyak dimiliki oleh masyarakat sebagai media
pendidikan dan hiburan. Perhatian masyarakat pun cenderung ke televisi. Bahkan
masyarakat mulai beranggapan bahwa tradisi lisan merupakan hal yang kuno atau
tertinggal. Bersamaan dengan hal itu, dadendate sebagai salah satu tradisi
lisan yang semula tumbuh subur di masyakat Desa Taripa, Kecamatan Sindue,
Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah mulai terancam punah. Masyarakat Desa
Taripa banyak terhipnotis dengan sajian-sajian yang ditayangkan melalui
telivisi dan media elektronik yang lain. Akibatnya, proses pewarisan pun tidak
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tak terkecuali tradisi lisan Dadendate.
Menurut Kleden (2004: 342), orang-orang
muda yang dapat menghafal tradisi lisan semakin jarang dan tradisi ini terancam
punah kalau tidak segera dilakukan usaha perekaman. Namun demikian, usaha
seperti ini jelas bukanlah sekadar ikhtiar melestarikan suatu warisan yang
segera hilang, melainkan memberikan berbagai dimensi baru dalam pengertian dan
apresiasi tentang apa yang dikenal sebagai kebudayaan tradisional. Bersamaan
dengan itu, sudah tentu para penuturnya pun semakin berkurang atau langka.
Dihadapkan pada kenyataan seperti itu,
upaya yang penting dalam melestarikan tradisi lisan sebagai sumber ilmu
pengetahuan pada masa sekarang dan akan datang adalah merevitalisasi tradisi
lisan. Bertolak dari hal itu, kita menyadari bahwa penelitian tradisi lisan
perlu dilakukan agar dapat digunakan untuk membuka wawasan masyarakat yang
pluralistik. Di samping itu, dalam kaitannya dengan hal ini penting juga kita
memperhatikan upaya pengembangan potensi, penyusunan langkah-langkah pelindungan
termasuk pelindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan pemanfaatan
tradisi lisan sebagai kekuatan kultural yang kreatif
Demografi Provinsi Sulawsesi Tengah
Sulawesi Tengah adalah sebuah
provinsi di Indonesia yang beribukota di Palu. Secara geografis Sulawesi Tengah
berada pada 3º 30' lintang selatan - 1º
50' lintang utara dan 119º 0' - 124º 20'
bujur timur. Luas Provinsi Sulawesi
Tengah 61,841.29 km2 atau 23,877.06 mil². Berdasarkan sensus penduduk tahun
2010, Provinsi Sulawesi Tengah terdiri atas 12 kabupaten, 1 kota madya, 147
kecamatan, dan 1.664 desa/kelurahan. Nama kabupaten/kota madya adalah (1)
Kabupaten Banggai, (2) Kabupaten Banggai Kepulauan, (3) Kabupaten Banggai Laut,
(4) Kabupaten Buol, (5) Kabupaten Donggala, (6) Kabupaten Morowali, (7)
Kabupaten Kabupaten Morowali Utara, (8)
Kabupaten Parigi Moutong, (9) Kabupaten Poso, (10) Kabupaten Sigi, (11)
Kabupaten Tojo Una-Una, (12) Kabupaten Tolitoli, dan (13) Kota Madya Palu.
Jumlah penduduknya 2.633.420 jiwa yang
terdiri atas (1) Suku Kaili berdiam di Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi
Moutong, Kabupaten Sigi, dan Kota Madya Palu, (2) Suku Kulawi berdiam di
Kabupaten Sigi, (3) Suku Lore berdiam di Kabupaten Poso, (4) Suku Pamona
berdiam di Kabupaten Poso, (5) Suku Mori berdiam di Kabupaten Morowali, (6)
Suku Bungku berdiam di Kabupaten Morowali, (7) Suku Saluan dan Loinang berdiam
di Kabupaten Banggai, (8) Suku Balantak berdiam di Kabupaten Banggai, (9) Suku
Mamasa berdiam di Kabupaten Banggai, (10) Suku Bare’e berdiam di Kabupaten
Poso, Touna, (11) Suku Banggai berdiam di Kabupaten Banggai Kepulauan, (12)
Suku Buol berdiam di Kabupaten Buol, (13) Suku Tolitoli berdiam di Kabupaten
Tolitli, (14) Suku Tomini berdiam di Kabupaten Parigi Moutong, (15) Suku Dampal
berdiam di Dampal, Kabupaten Tolitoli, (16) Suku Dondo berdiam di Dondo,
Kabupaten Tolitoli, (17) Suku Pendau
berdiam di Kabupaten Tolitoli, dan (18) Suku Dampelas berdiam di Kabupaten
Tolitoli. Selain itu, ada beberapa suku
yang hidup di daerah pegunungan, antara lain Suku Da'a di Kabupaten Donggala
dan Kabupaten Sigi, Suku Wana di Kabupaten Morowali, Suku Seasea dan Suku Ta'
di Kabupaten Banggai, dan Suku Daya di Buol Tolitoli. Mereka sebagian memeluk agama Islam,
Prostestan, Katolik, Hindu, dan Budha.
Masyarakat Sulawesi Tengah
memiliki sekitar 22 bahasa daerah.
Akan tetapi, sebagai bahasa pengantar untuk berkomunikasi sehari, mereka
menggunakan bahasa Indonesia.
Kehidupan sehari-hari penduduk Provinsi
Sulawesi Tengah pada umumnya adalah bertani, terutama bertani padi. Selain itu,
mereka juga bertani kopi, kelapa, kakao,
dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan. Di samping itu, Provinsi
Sulawesi Tengah memiliki hasil hutan berupa rotan dan beberapa macam kayu,
seperti agatis, ebony, dan meranti yang merupakan andalan Provinsi Sulawesi
Tengah.
Struktur kepemerintahan di Provinsi
Sulawesi Tengah selain aparat pemerintah, seperti kepala desa, masyarakat
Sulawesi Tengah juga mengenal kepala adat—sebagai pemimpin masyarakat yang
bertempat tinggal di daerah pedesaan. Tugasnya adalah sebagai pemegang hukum
adat dan melakukan denda bagi penduduk yang melanggar hukum adat. Tugas lain
ketua adat adalah memimpin upacara adat dalam penyambutan para tamu, seperti
persembahan ayam putih, beras, telur, dan tuak yang difermentasikan dan
disimpan dalam bambu.
Provinsi Sulawesi Tengah kaya akan budaya
warisan nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut
aspek kehidupan tetap dipelihara dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dengan
pengaruh agama dan budaya modern. Provinsi Sulawesi Tengah juga memiliki banyak
kelompok etnis. Oleh karena itu,
terdapat pula banyak perbedaan budaya. Akan tetapi, hal itu merupakan khazanah
budaya. Mereka yang bertempat tinggal di pantai bagian barat Kabupaten Donggala
telah terpengaruh oleh kebudayaan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan
masyarakat Gorontalo. Masyarakat yang bertempat tinggal di bagian timur Pulau
Sulawesi mendapat pengaruh budaya dari masyarakat Gorontalo dan Manado. Hal itu
terlihat dengan adanya dialek daerah Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di
Kecamatan Bualemo yang cukup dominan. Masyarakat Donggala mendapat pengaruh
dari Sumatera Barat, yaitu berupa dekorasi upaca perkawinan, dan pengaruh Hindu
berupa tradisi menenun kain terdapat di Donggal Kodi, Watusampu, Tawaeli, dan
Banawa. Kain tenun spesial bermotif Bali, India, dan Jepang juga masih dapat
ditemukan di sana.
Masyarakat pegunungan memiliki budaya
tersendiri yang banyak dipengaruhi oleh Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Akan
tetapi, masalah tradisi, adat, dan model pakaian serta arsitektur rumah tetap
sesuai dengan budaya asli mereka. Misalnya, pakaian penghangat badan mereka menggunakan
kulit beringin dan rumah adat mereka masih bertiang dan berdinding kayu,
beratap ilalang, serta memiliki satu ruang besar.
Musik tradisional mereka menggunakan alat
musik seperti suling, gong, dan gendang. Musik tradisional itu berfungsi sebagai
hiburan, bukan bagian ritual keagamaan. Untuk etnis atau Suku Kaili yang
bertempat tinggal di sekitar pantai barat, musik tradisional ditampilkan pada
upacara kematian. Sementara itu, tari tradisional yang terkenal bernama Dero.
Tarian itu berasal dari masyarakat Pamona, Kabupaten Poso yang kemudian
berkembang pada masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tari Dero khusus
ditampilkan pada musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran, dan hari-hari
besar tertentu. Penari dero terdiri atas laki-laki dan Dero—mereka bergandengan
tangan dan membentuk lingkaran. Tarian Dero bukan warisan melainkan merupakan
kebiasaan selama pendudukan Jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II.
Makna dan Fungsi Tradisi Lisan Dadendate
Dadendate berisi (1) pesan bijak, yakni mengajak masyarakat
agar berbuat yang bermanfaat bagi masyarakat, (2) pesan moral, yakni mengajak
masyarakat agar berbuat kebaikan, (3) pemersatu bangsa, (4) menyampaikan berita
atau informasi, dan (5) menceritakan sejarah.
Penciptaan syair dadendate secara
spontanitas sesuai dengan keperluan, misalnya untuk pengobatan atau hiburan.
Fungsi dadendate sebagai hiburan dilantunkan pada pesta panen raya (movunja),
pesta sunatan (mokeso), pesta perkawinan, hari-hari besar, dan pesta syukuran
(kelahiran, peletakan batu pertama, menempati rumah baru). Dandedate juga dapat
dimainkan pada acara mengenang seratus hari atau satu tahun orang yang telah
meninggal.
Pelantunan dadendate dapat dilaksanakan
kapan saja, baik pada waktu siang, malam, maupun semalam suntuk bahkan
berhari-hari sesuai dengan permintaan masyarakat yang memerlukan. Di samping
itu, dadendate dapat dipentaskan di mana saja.
Pemain Dadendate
Dadendate merupakan tradisi lisan
milik rakyat. Siapa pun boleh memainkanya, terutama orang yang mempunyai bakat
dan kemampuan khusus memainkan alat musiknya serta dapat melantunkan pantunnya.
Biasanya dadendate dimainkan oleh empat orang laki-laki dan satu orang
perempuan untuk berbalas pantun atau syair. Akan tetapi, dadendate juga
dapat dimainkan oleh satu atau dua orang
dengan syarat tetap menggunakan alat musik kacapi.
Alat Musik Dadendate
Alat musik yang digunakan dalam
tradisi lisan dadendate adalah (1) kacapi (sebagai melodi), (2) gimba kodi
(sebagai ritme), (3) mbasi-mbasi (sebagai melodi), (4) yori (sebagai ritme dan
efek), dan (5) pare’e (sebagai ritme dan
efek). Alat musik kecapi terbuat dari kayu balaroa atau lengaro. Proses
pembuatan alat musik kecapi selama satu bulan. Cara memainkan alat-alat musik
itu: kecapi dipetik, mbasi-mbasi ditiup,
gendang dipukul, yori ditarik dengan memanfaatkan ruang mulut, dan
pare’e dipukulkan ke telapak tangan.
Lagu-Lagu Dadendate
Lagu-lagu dadendate, antara
lain eiei, dadendate, andianoda,
andiandi, inalele
janda muda, inae, lagu malaikat,
rugi temba, gunung ladi saya, dan uawe. Berikut ini contoh syair dadendate.
E E E E E E
Sumilaku domasa masa lasumi
Lahu sala domasa domasala
Sumilaku domasala
Neralava nggahu nggahu yana nera
Lava nggahuya kuya kuyana.
Diawali dengan membaca bismillah
Semoga tidak terjadi suata
kesalahan
Semoga tidak terjadi sesuatu
Syair Inalele
Tora-tora nema-nema linga
Oh ina lele sayang
Pajanjita bara, bara pia awe-awe
Bolimo ivetu-ivetu aku
Oh ina lele sayang
Mariaja sila-sila kamu
Ane lompe mbole-mbole lompe
Oh ina lele sayang
Mata jamo mosi bole awe-awe
Tanaturu tane-tane bangu
Oh ina lele sayang
Tandona tope-topemrayu.
Ingat-ingat, jangan lupakan
Oh ina lele sayang
Janji kita yang lalu
Sungguh aku simpan kamu
Oh ina lele sayang
Ada celaka ada dosa kamu
Sama-sama baik
Oh ina lele sayang
Mata itu boleh disimpan
Dibilang-bilang jangan bangun
tidur
Oh ina lele sayang
Sebagai perayu.
Maestro Dadendate
Keberadaan maestro dadendate
mulai langka. Beberapa orang maestro yang masih aktif
dalam dadendate, antara lain (1)
Lagum Puyuh, (2) Nawir, (3) Lafante, (4) Usman.
Lagum Puyuh lahir di Taripa,
Kecamatan Sindui pada tahun 1931. Pendidikan yang pernah ditempuh hanya SR.
Perkawinannya dikaruniai tiga orang anak, yakni Kasmar (laki-laki), Cariha
(perempuan), dan Sarnita (perempuan). Salah seorang anaknya, Kasmar aktif dalam
kegiatan tradisi lisan. Akan tetapi, sayang dia telah meninggal. Sejak tahun
1951 atau pada usia 20 tahun ia sudah
menggeluti Dadendate. Dia belajar tradisi lisan Dadendate atau tradisi lisan
yang lain, seperti Tombilo, Heranga, Lude, Sede, Kayori, dan Ndolu kepada
ayahnya. Kemudian membentuk grup Dadendate pada tahun 1963. Pada tahun 1999 dia
bersama grupnya mengikuti festival tradisi lisan di Taman Ismail Marzuki dan
mendapat juara II, pada tahun 2001mengikuti festival tradisi lisan di Lampung
mendapat juara I, dan pada tahun 2003 mengikuti festival tradisi lisan di
Manado tidak menjadi juara.
Nawir lahir di Taripa, Kecamatan
Sindui pada tahun1970. Pendidikan yang pernah ditempuh adalah SMP di Taripa.
Pekerjaan sehari-hari bertani padi. Perkawianannya dikaruniai tiga orang anak,
yakni dua orang anak laki-laki dan satu orang perempuan. Dia belajar Dadendate
kepada kakaknya, Usman. Selain Dadendate, ia juga menguasai tradisi lisan
Tombilo, Nogimba, Nompaura. Ketiga tradisi lisan itu digunakan untuk pengobatan
pada orang yang terkena guna-guna atau kesurupan.
Lafante lahir di desa Taripa,
Kecamatan Sindui pada tahun 1954. Dia kakak beradik dengan Lagum Puyuh. Dia
tidak pernah mengikuti pendidikan. Pekerjaan sehari-harinya adalah bertani padi
di ladang. Perkawinannya karuniai empat orang anak, yakni dua orang anak
laki-laki dan dua orang anak perempuan. Semua anaknya sudah berkeluarga. Dari
keempat anaknya tidak seorang pun anaknya yang menyukai tradisi lisan baik
Dadendate maupun tradisi lisan yang lain. Akan tetapi, salah seorang cucunya
yang perempuan pada usia dua belas tahun telah aktif pada tradisi lisan
Dadendate.
Lafante belajar tradisi lisan
kepada ayahnya, seperti yang dilakukan kakaknya, Lagum Puyuh. Untuk memetik
alat musik kecapi, dia belajar sendiri (autodidak). Bahkan dia bisa membuat
alat musik tersebut. Pada tahun 1999 dia mengikuti festival tradisi lisan di
Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta meraih juara II, pada tahun 2001 mengikuti
festival tradisi lisan di Lampung meraih juara II, dan pada tahun 2003
mengikuti festival tradisi lisan di Manado, tidak meraih juara.
Usman lahir pada tahun 1956 di
desa Taripa, Kecamatan Sindui. Dia kakak beradik
dengan Nawir. Pendidik yang
pernah dikenyamnya adalah SD. Pekerjaan sehari bertani padi. Dia dikaruniai
empat orang anak, dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Mereka
sudah berkeluarga. Sekarang Usman mempunyai enam orang cucu. Dari keenam
anaknya, tidak seorang pun yang aktif dalam tradisi lisan.
Pada usia dua belas tahun dia sudah
aktif pada kegiatan tradisi lisan. Awal belajar tradisi lisan pada Bapak
Tombualah, pakar Dadendate dari desa Taripa. Menurutnya, Dadendate adalah
tradisi lisan asli dari desa Taripa yang berfungsi sebagaihiburan. Hingga kini
tradisi lisan tersebut masih digemari oleh masyarakat desa Taripa, sering
dipentaskan pada acara pesta perkawian atau syukuran. Untuk melestarikannya,
dia melatih generasi muda yang terdiri atas tiga orang anak laki-laki dan tiga
orang anak perempuan di Sanggar Topaso dengan imbalan sukarela.
Pada tahun 1999 dia bersama Lagum Puyuh
dan Lafante mengikuti festival tradisi lisan di Taman Ismail Marzuki (TIM)
Jakarta meraih juara II, pada tahun 2001 mengikuti festival tradisi lisan di
Lampung meraih juara II, dan pada tahun 2003 mengikuti festival tradisi lisan
di Manado, tidak meraih juara.
Daftar Pustaka
Kleden, Ignas. 2004. Sastra
Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-Esai Sastra dan Budaya.
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
http://www.forumbudaya.org,
Kompas, 22 Desember 2008
http://www.bing.com/search?q=Demografi+Sulawesi+Tengah
0 comments:
Posting Komentar