Usman Lajanja: Juru Kunci Pelestari Kesenian “Dadendate”
Bukan perkara gampang untuk
bisa menguasai kesenian dadendate, seni bertutur khas masyarakar etnis Kaili di
Sulawesi Tengah. Selain harus mampu mengungkapkan suatu masalah atau satu
peristiwa lewat syair yang baik dan bersifat spontan, juga butuh bakat
berimprovisasi yang mumpuni. Pilihan kata pun tak boleh sembarangan, akan
tetapi mesti menggunakan kata-kata dalam bahasa Kaili yang sarat nilai
sastranya yang indah memesona.
Tak hanya kemampuan
bertutur, kesenian dadendate juga menuntut penguasaan memainkan kecapi dan
mbasi-mbasi (sejenis suling) sebagai instrumen alat musik pengiringnya. Untuk
bisa memainkan mbasi-mbasi (alat musik tiup terbuat dari bamboo dan rotan
sepanjang kurang lebih 20 cm) misalnya, perlu teknik khusus, mengingat alat ini
mesti ditiup terus-menerus tanpa terputus. Di sini, teknik “mengambil” napas
menjadi kunci utama. Begitupun dalam memetik dawai kecapi khas Kaili, yang
hanya memilki dua tali (dulu terbuat dari tali enau, kini umumnya menggunakan
kawat kecil terbuat dari baja atau tali rem sepeda), juga butuh teknik khusus
untuk bisa mengiringi pertunjukan dadendate.
Meski tak gampang menguasai
jenis seni tradisi ini, kan tetapi masih ada sosok yang setia menjaganya.
Adalah Usman Lanjanja yang kini menjadi semacam juri kunci dalam pelestarian
dadendate. Usman adalah orang yang paling menguasai jenis kesenian ini, seni
tradisi tutur yang dulu sangat populer di kalangan masyarakat suku Kaili, suku
mayoritas yang mendiami kota Palu, Donggala, Kulawi, Parigi, dan Ampana.
Namun masa kejayaan seni
bertutur dadendate tinggal hanya kenangan. Saat ini pertunjukan dedendate sudah
merupakan peristiwa langka. Jika dulu berbagai acara adat atau acara syukuran
setiap usai membangun rumah, merayakan kelulusan dari lembaga pendidikan, orang
mengundang pemain dadendate; kini hampir tak ada lagi acara-acara semacam itu
menghadirkan sosok sepertiUsman Lanjanja untuk bertutur mengenai perjalanan
sekaligus memaknai peristiwa daur kehidupan yang telah mereka lalui tersebut.
Alhasil, yang terpampang di
layar masa depan kita adalah bahwa kesenian yang telah diwariskan dari generasi
ke generasi ini sudah bisa dikatakan terancam keberadaannya alias hampir
musnah. “Generasi muda sekarang malah malu menjadi bagian dari kesenian ini.
Mereka bilang kuno. Mereka lebih senang bernyanyi dengan gitar, organ, atau
dangdutan sampai tengah malam,” tutur Usman saat ditemui di rumahnya di Desa
Taripa, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, awal September
2019. Bahkan kebanyakan generasi muda suku Kaili tidak tau-menahu kesenian
dadendate. “Apalagi dalam hal memainkan alat musik dan melantunkan syair-syair.
Sulit sekali mencari anak didik yang mau belajar kesenian ini. Anak saya
sendiri tidak tertarik sama sekali,” ujar ayah dari enam anak ini dalam nada
suara lirih. Biasanya Usman membawakan kesenian ini memainkan suling bersama
tiga orang teman seperjuangannya, yakni Lafante sebagai pembawa kecapi dan
penyair, Simalia sebagai penyair, dan Ali Musa sebagai pemain mbasi-mbasi.
“Belum ada orang lain yang bisa memainkan secara baik selain saya dan
teman-teman saya itu,” jelas Usman, yang sehari-hari bekerja sebagai pengambil
rotan dan berkebun kakao.
Menurut Usman, kesenian
dadendate dimainkan minimal oleh tiga orang dan maksimalnya tidak terbatas.
Jika dimainkan oleh tiga orang, maka dua orang menjadi pelantun syair, di mana
salah seorang dari pelantun tersebut sambil bermain kecapi. Sementara satu orang
lagi menggunakan alat musik mbasi-basi. Namun sebaiknya, lanjut Usman, harus
ada dua orang pelantun, satu orang pemain kecapi, dan satunya lagi peniup
mbasi-mbasi.
Usman hidup di tempat di
mana kesenian dadendate tercipta, tumbuh, dan populer pada masanya, yakni di
Desa Taripa, Kecamatan Sindue. Usman mengaku belajar dari sepupunya sejak kecil
ketika di bangku sekolah dasar (SD), yang bernama Tombualah. Tidak banyak yang
dia ingat mengenai sejarah dan asal mula kesenian ini. “Yang saya tahu, dulu,
kesenian ini menjadi kesenian wajib dan sering digunakan pada setiap acara
penting,” ungkap Usman, lelaki kelahiran Taripa, tahun 1946.
Namun, menurut Muhammad
Jaruki, peneliti sastra lisan dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebetulnya dadendate telah tumbuh di
tengah masyarakat Desa Taripa sejak abad ke-18. Pada mulanya dadendate hanya
berupa alat musik berbentuk perahu kecil, tanpa alunan lagu, dan fungsinya
hanya sebagai pelampiasan kerinduan seseorang untuk berlayar ke lautan. Dalam
perkembangannya, dadendate dinyanyikan (berbalas pantun) dan diiringi alat musik
seperti kecapi, gimba, kodi, mbasi-mbasi, yori, dan pare’e. Dadendate pun
akhirnya mendapat perhatian dari masyarakat luas, kemudian sering dipentaskan
pada saat pesta panen, pesta perkawinan, khitanan, dan lain sebagainya.
Secara etimologi, dadendate
berasal dari kata dade yang berarti nyanyian dan ndate (bahasa Kaili dialek
Kori) yang berarti panjang atau tinggi. Dadentate, dengan demikian, secara
harfiah adalah nyanyian orang yang melakukan perjalanan dengan menaiki atau
mendaki bukit hingga sampai ke tujuan. Oleh karena itu, dadendate sebagai seni
tradisi tutur dapat diartikan lagu yang mengisahkan sesuatu dari bawah ke atas
alias dari awal sampai akhir cerita, di mana isi ceritanya bersifat menanjak
menuju puncak: dari paparan umum hingga cerita mencapai klimaks.
“Penciptaan syair dadendate secara spontanitas sesuai dengan keperluan,
misalnya untuk pengobatan atau hiburan. Fungsi dadendate sebagai hiburan
dilantunkan pada pesta panen raya (movunja), pesta sunatan (mokeso), pesta
perkawinan, hari-hari besar, dan pesta syukuran (kelahiran, menempati rumah
baru). Dadendate juga dapat dimainkan pada acara mengenang seratus hari atau
satu tahun orang yang telah meninggal.
“Pelantunan dadendate dapat dilaksanakan kapan saja, baik pada waktu siang,
malam, maupun semalam suntuk, bahkan berhari-hari sesuai dengan permintaan
masyarakat yang memerlukan,” kata Jaruki (lihat, “Pesan Bijak dan Pesan Moral
dalam ‘Dadendate’: Tradisi Lisan Masyarakat Taripa”). Dadendate itu sendiri
mengandung makna dan fungsi sosial kemasyarakat, berisikan pesan bijak untuk
mengajak masyarakat agar berbuat yang bermanfaat dan kebaikan, untuk memelihara
persatuan dan keutuhan, menyampaikan berita atau informasi, serta menceritakan
sejarah atau peristiwa.
Usman menjelaskan, para
pelantun berbagi peran dalam dadendate, ada yang melontarkan pertanyaan dan ada
yang menjawab pertanyaan. Sahut-sahutan sampai semuanya terceritakan, maka
tidak menuntut kemungkinan sampai berhari-hari. Jika dadendate diundang dalam
acara syukuran atas selesainya seseorang dari perguruan tinggi atau
universitas, maka orang tersebut diceritakan dari awal menempuh pendidikan
sampai meraih gelar sarjana. Semua itu termasuk halangan dan rintangan,
prestasi, dan segala hal yang berkaitan dengan hal itu, bahkan dana yang
dihabiskan selama menjalani pendidikan. Tak jarang orang-orang yang hadir dalam
acara tersebut juga ikut diceritakan dalam kesenian ini.
Usman terus menggolarakan
semangatnya untuk melestarikan kesenian dadendate ini. Di tengah kemajuan zaman
dan pusaran arus deras perubahan sosial-budaya di banyak tempat, tradisi lisan
dalam bentuk seni bertutur seperti yang dilakoni Usman memang mulai kehilangan
pijakan danbahkan tempat bergayut. Seperti suara dari masa silam yang terdengar
semakin lirih, sayup dan terus menjauh, begitu pula seni tradisi pada umumnya
yang kian tersingkir oleh anak-anak zaman.
Dia sangat berharap
pemerintah dapat melakukan pembinaan terhadap pelaku seni dan generasi muda di
Desa Taripa untuk pelestarian kesenian dadendate. Apabila keadaan sekarang dibiarkan
terus berlanjut, dikhawatirkan—cepat ataupun lambat—dadendate akan hilang atau
musnah seiring dengan tidak adanya lagi penerus atau pewaris kesenian ini. “Sekarang ini paling hanya 3-5 kali dalam
setahun saya diundang untuk memainkan kesenian dadendate pada acara hajatan
atau lainnya,” imbuh Usman. Meski begitu Usman dapat tersenyum lebar dan
matanya berkaca-kaca ketika diberitahukan akan dinobatkan sebagai Maestro Seni
Tradisi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. “Sampai akhir hayat, saya akan terus
mencoba melestarikan dan mengajarkan dadendate. Saya tidak ikhlas apabila
dadendate hilang dari bumi ini,” tegasnya.
Selama hidupnya, Usman sudah
malang melintang memainkan dan mengajarkan kesenian dadendate di sekitar Palu,
Donggala, Manado, bahkan sampai Bali, Lampung, Yogjakarta dan Jakarta.
Dadendate memang tidak banyak memberinya penghasilan, tetapi lewat kemampuan
bertutur serta memetik kecapi dan meniup mbasi-mbasi, paling tidak ia—bersama
rekannya Lagum Puyuh dan Lafante—sempat diundang tampil di sejumlah panggung
tingkat nasional: Festival Tradisi Lisan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta
(1999);
0 comments:
Posting Komentar