Orang Muna adalah masyarakat Suku Bangsa Muna, yang mendiami seluruh Pulau Muna dan pulau-pulau kecil disekitarnya, serta sebagian besar Pulau Buton khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut, selatan dan Barat Daya Pulau Buton, Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah administrasi Kabupaten Buton Selatan dan Buton Tengah). Menurut Sarasin[1] bersaudara dan Bernhard Hagen[2], Orang Muna yang mereka sebut sebagai Tomuna merupakan penghuni pertama Kepulauan Muna bahkan termasuk penghuni pertama Kepulauan Nusantara. Baik Sarasin maupun Bernhard berpendapat bahwa Tomuna di Pulau Muna dan Tokea di Sulawesi Bagian Tenggara ( Konawe Utara saat ini ) bersama Toala di Sulawesi Selatan dan Orang Kubu di Sumatra, adalah migrant dari benua Afrika melalui Saylon yang masuk di Nusantara sekitar 60.000 – 50.000 SM.
Orang Muna mulai mendiami Pulau Muna sejak jaman purba tepatnya sekitar era mesolitikum ( 50.000 SM ). Namun Orang Muna saat ini bukanlah asli dari keturunan migrant yang pertama kali ( 60.000 – 50.000 SM ), tetapi telah terjadi percampuran dengan ras Austronesia –yang datang pada era berikutnya ( 7.000- 5.000 SM ) dan ras Melanosoid ( Doutro Melayu & Protto Melayu) serta Mongoloid yang datang sekira 4000 – 2000 tahun SM. . Asumsi penulis ini didasarkan pada fakta dimana Bahasa Muna merupakan lingua franca Orang Muna masih satu rumpun Bahasa Austronesia ( Rene Van Deberg , 2006 ; 115 ). Herawati,seorang peneliti dari lembaga penelitian Eijkman berhipotesa bahwa penyebaran penutur Austronesia di Nusantara terjadi sekitar 5.000 hingga 7.000 SM ke arah selatan. Berdasarkan hipotesa Herawati tersebut maka dapat dipastikan Orang Indonesia yang bahasanya masih satu rumpun dengan bahasa Austronesia dalam hal ini termasuk Orang Muna saat ini yang menggunakan Bahasa Muna yang masih serumpun dengn bahasa Austronesia adalah percampuran ras Weddoid ( migran pertama 60 – 50 ribu SM ) dan ras austronesia yang mulai menghuni Kepuluan Nusantara sekitar 7.000 – 5.000 SM.
Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, keberagaman manusia Indonesia dipengaruhi gelombang kedatangan dan jalur perjalanan yang berbeda walaupun asal- usulnya tetap satu, yaitu dari Afrika (out of Africa).
Pendapat Harry Truman tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati Sudoyo. Dalam studi genetika terbaru menunjukkan bahwa, genetika manusia Indonesia saat ini kebanyakan adalah campuran, berasal dari dua atau lebih populasi moyang. Secara gradual, presentasi genetikan Austronesia lebih dominan di bagian timur Indonesi
Anwar Hafid[3] mengutip Razake mengungkapkan bahwa orang muna banyak memiliki persamaan dengan ras Austro-Melanesoid (Razake, 1989 dalam H. Anwar Hafid, 2013). Di Nusantara, Orang Muna memiliki kesamaan dengan penduduk di Kepulauan Banggai (Sulteng) dan suku-suku di Nusa Tenggara Timur ( NTT ) dan Kepulauan Maluku. Kesamaan itu dapat di identifikasi dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal). Hal ini semakin diperkuat dengan kedekatan tipikal manusianya dan kebudayaan dari suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan di Kepulauan Banggai serta Maluku.. Masih menurut Hafid, ras Austro-Melanosoid ini merupakan kelompok migrant terakhir yang datang di Kepulauan Sulawesi Tenggara dan merupakan nenek moyang masyarakat di kepulauan tersebut.
Motif sarung tenunan di NTT,
Kepulaun Banggai dan Muna memiliki kemiripan yaitu garis-garis horisontal dengan
warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam dan bentuk ikat
kepala juga memiliki kemiripan satu sama lain serta memiliki nama yang sama
yakni ‘ Kampurui ‘. Demikian juga dengan
bahasa, antara bahasa di daerah NTT, Maluku dan Muna banyak memiliki
kesamaan. Dalam hal makanan pokok serta kebiasaan dalam bercocok tanam dan
lain-lain, antara Orang Muna dengan masyarakat di NTT serta Maluku juga
memiliki banyak kesamaan. Banyaknya kesamaan tersebut semakin memperkuat keyakinan penulis, bahwa penduduk di daerah-daerah tersebut
benar memiliki kesamaan ras dengan Orang Muna.
Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan muna, khususnya di Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga sering mencari ikan atau teripang hingga ke perairan Darwin. Hal ini membuktikan adanya hubungan antara Orang Muna dengan Orang Aborigin di Australian.
Telah beberapa kali Nelayan Muna[4] ditangkap di perairan ini oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara Orang Muna dengan suku asli Australia Aborigin.
La Kimi Batoa dalam bukunya ‘Sejarah Kerajaan Muna’ terbitan Jaya Press Raha ( 1993 ) mengatakan bahwa penduduk asli Pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu. O Tomuna memiliki ciri-ciri berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 Cm. Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia dan Aborigin di Australia .Suku-suku di Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini mendiami wilayah Irian,. Sedadangkan Batuawu berkulit Coklat berambut ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm. Postur tubuh seperti ini merupakan ciri-ciri yang dimiliki suku-suku Polynesia yang mendiami Pulau Flores dan Maluku. Sisa-sisa Orang Batuawu di Pulau Muna saat ini sebgian telah di mukimkan di Desa Nihi Kecamatan Sawerigading wilayah administrasi Kabupaten Muna Barat. Sedangkan sebagian lainnya masih hidup didalm gua-gua di dalam hutan di wilayah Punto, Desa Lagadi Kecamatan Lawa Muna Barat.
Idris Bolopari seorang tokoh masyarakat Muna ( Wawacara, 2015 ), mengatakan penghuni Pulau Muna pertama kali adalah ras Negroit yang datang dari Daratan Tinggi Golan Afrik. Sayagnya Indris Bolopari tidak menjelaskan secara pasti kapan ras Negroit itu datang ke Pulau Muna. Masih menurut Idris Bolopari, mereka itulah penghuni gua-gua di Pulau Muna. Manusia dengan ras negroit yang digambarkan Idris Bolopari ini besar kemungkinan merupakan penduduk asli Pulau Muna seperti yang digambarkan oleh Sarasin bersaudara, Hargen dan La Kimi Batoa yang dikenal dengan O Tomuna. Siasa – sisa sejarah peradaban ras Negroid tersebut dapat di lihat pada lukisan dinding- dinding gua yang tersebar di daerah Kawuna-wuna ( Kopleks Liangkobori ). Lukisan-lukisan pra sejarah yang ada di Kompleks Gua Liangkobhori tersebut menurut Koasi telah berusia diatas 25.000 tahun.
Suku Tomuna yang mendiami Pulau Muna di Sulawesi Tenggara merupakan salah satu suku tertua di Indonesia. Keberadaan Suku Tomuna tidak hanya memperkaya khazanah budaya Nusantara, tetapi juga memberikan gambaran mendalam tentang perjalanan panjang manusia di Nusantara. Suku Tomuna, Diperkirakan Berasal dari Benua Afrika 50 Ribu Tahun Lalu
Menurut para arkeolog dan sejarawan, nenek moyang Suku Tomuna diperkirakan berasal dari benua Afrika. Mereka melakukan migrasi besar-besaran sekitar 50.000 tahun yang lalu, melintasi benua dan samudra hingga tiba di wilayah yang kini dikenal sebagai Pulau Muna. Proses migrasi yang panjang ini membawa mereka melintasi berbagai ekosistem dan medan yang menantang, membentuk daya tahan dan kebudayaan unik yang bertahan hingga saat ini. Salah satu bukti nyata keberadaan Suku Tomuna di masa lalu adalah lukisan tangan yang ditemukan di dinding gua prasejarah di Pulau Muna. Lukisan ini diperkirakan berusia sekitar 40.000 tahun, menjadikannya salah satu bukti seni tertua di dunia.
Lukisan tangan ini menggambarkan kehidupan sehari-hari, ritus keagamaan, dan kepercayaan nenek moyang mereka. Melalui goresan-goresan sederhana ini, kita dapat melihat sekilas kehidupan dan kebudayaan yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Kebudayaan Suku Tomuna tidak hanya tercermin dari artefak arkeologis, tetapi juga dari tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Cerita-cerita rakyat, legenda, dan mitos yang mereka miliki menjadi cerminan dari kehidupan, nilai-nilai, dan pandangan dunia mereka. Salah satu cerita yang terkenal adalah tentang perjalanan nenek moyang mereka dari Afrika ke Pulau Muna, yang dikisahkan dengan penuh petualangan dan tantangan.
Keunikan Suku Tomuna juga terlihat dalam bahasa dan sistem sosial mereka. Bahasa yang mereka gunakan berbeda dengan bahasa-bahasa lain di sekitarnya, menunjukkan kekhasan dan isolasi budaya yang mereka alami selama ribuan tahun. Sistem sosial mereka yang kompleks mencerminkan adaptasi terhadap lingkungan dan kebutuhan untuk bertahan hidup di pulau yang kaya akan sumber daya alam namun penuh tantangan.
Selain itu, Suku Tomuna juga dikenal dengan keterampilan mereka dalam bertani dan berburu. Kehidupan mereka sangat tergantung pada alam, dan mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang flora dan fauna di sekitar mereka. Teknik bertani tradisional dan cara berburu yang efektif menjadi bagian integral dari kebudayaan mereka, diwariskan dari generasi ke generasi sebagai pengetahuan yang berharga.
Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian terhadap Suku Tomuna semakin meningkat seiring dengan upaya pelestarian budaya dan sejarah mereka. Berbagai penelitian arkeologi dan antropologi dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang asal-usul dan perkembangan kebudayaan mereka. Pemerintah dan berbagai lembaga kebudayaan juga berusaha untuk melestarikan warisan budaya Suku Tomuna melalui berbagai program dan kegiatan. Namun, modernisasi dan perubahan sosial juga membawa tantangan bagi keberlangsungan budaya Suku Tomuna. Generasi muda mulai terpengaruh oleh budaya luar, dan banyak tradisi yang mulai dilupakan. Upaya pelestarian menjadi semakin penting untuk memastikan bahwa warisan budaya ini tidak hilang di tengah arus perubahan zaman.
Mengenal sejarah Suku Tomuna adalah menghargai perjalanan panjang manusia dan kebudayaan di Nusantara. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari mozaik keberagaman Indonesia, yang kaya akan sejarah dan kebudayaan. Melalui upaya pelestarian dan penghargaan terhadap warisan budaya ini, kita dapat belajar banyak tentang masa lalu, sekaligus memperkaya identitas kita sebagai bangsa yang beragam. Pulau Muna, dengan segala kekayaan sejarah dan budayanya, menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang Suku Tomuna. Jejak mereka yang terpahat di dinding gua dan terpatri dalam cerita-cerita lisan adalah harta karun yang tak ternilai, menunggu untuk terus digali dan dihargai oleh generasi masa kini dan mendatang.
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar