Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia
Eksistensi peradilan adat dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia masih sangat mungkin untuk diakui dan
diperjuangkan.
Sudah menjadi pengetahuan umum
bahwa keberadaan hukum adat dalam pembangunan hukum nasional belum mendapatkan
tempat yang layak. Hukum adat seakan sengaja dipinggirkan dalam pembentukan
hukum nasional. Hukum adat hanya diakui keberadaannya dalam proses peradilan.
Itu pun hanya diakomodasi jika terdapat kekosongan dalam hukum tertulis. Meski
masih diakui dan dianut sebagian masyarakat adat di Indonesia, tapi secara
nasional tidak mendapat pengakuan yang baik. Akhirnya, produk hukum nasional
Indonesia mengabaikan keberadaan hukum adat.
Beberapa daerah yang masyarakat
hukum adatnya masih kuat memang hukum adat masih diakui dan diakomodasi dalam
pembentukan hukum. Namun, sifatnya lokal dalam bentuk Peraturan Daerah seperti
yang ada di Sumatera Barat dan Papua. Itu pun tidak semua daerah mengakomodasi
hukum adat dalam Peraturan Daerah. Hukum yang mengatur pertanahan—seperti hak
atas tanah ulayat adat—ada yang diakomodasi dalam Peraturan Daerah. Ada juga
hukum adat di bidang lain yang diakomodasi oleh Pemerintah Daerah ke dalam
suatu Peraturan Daerah.
Hilman Hadikusuma (1989)
berpendapat peradilan adat sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, jauh sebelum
agama Islam masuk ke wilayah Indonesia. Masyarakat telah melaksanakan tata
tertib peradilannya menurut hukum adat. Peradilan adat pada masa itu adalah
tempat penyelesaian perselisihan secara damai. Praktiknya tanpa berdasarkan
peraturan tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara. Cukup
berdasarkan hukum adat yang dilaksanakan dalam masyarakat hukum adat.
Pada masa kekuasaan Hindia
Belanda keberadaan peradilan adat (inheemsche-rechtspraak) ini tetap diakui
selain peradilan resmi yang dibentuk Pemerintah (governments-rechtspraak).
Keberadaan peradilan adat seperti di Palembang, Jambi, Sumatera Barat, dan
peradilan swapraja di beberapa tempat di Jawa tetap diakui. Memang dengan
catatan bahwa yurisdiksinya terbatas hanya pada perkara-perkara adat semata.
Undang-Undang RR (Regerings
Reglement) Tahun 1854 dan Pasal 130 Undang-Undang IS (Indische Staatsregeling)
tahun 1912 adalah contohnya. Pengaturan keduanya sudah membagi pemberlakuan
hukum bagi rakyat di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Pada masa Hindia
Belanda inilah dikenalnya peradilan adat selain peradilan negara—seperti yang
terdapat di Jambi, Palembang dan Sumatera Barat.
Selanjutnya di masa pendudukan Jepang,
Pasal I Sjiho-sosjiki-rei tetap mengakui peradilan adat khususnya untuk daerah
Sumatera. Keberadaannya dilanjutkan sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia.
Keberadaan peradilan adat ini pada tahun 1945-1950 menurut Sudikno (2016) tetap
diakui. Hal ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal II ini
juga yang menjadi dasar hukum terpenting bagi praktik peradilan di Indonesia
setelah kemerdekaan hingga tahun 1950.
Setelah Indonesia merdeka,
keberadaan lembaga pengadilan adat ini malah secara berangsur-angsur dihapuskan
dari sistem peradilan resmi di Indonesia. Isi UU Darurat No.1 Tahun 1951
tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan Kekuasaan
dan Acara Pengadilan Sipil menegaskan bahwa Pengadilan Pribumi—sebutan lain
Pengadilan Adat dan Pengadilan Swapraja—secara perlahan dihapuskan total.
Sisa-sisa peradilan adat
sebenarnya masih ada sampai sekarang. Beberapa daerah seperti di Dayak (Kalimantan),
Papua, dan Sumatera Barat, tetap mengakui keberadaan peradilan adat. Eksistensi
peradilan adat di daerah itu malah diperkuat. Soal kepatuhan terhadap putusan
pengadilan adat, sepenuhnya memang bergantung pada para pihak yang bersengketa.
Perintah dalam putusan pengadilan
adat memang tidak dapat dilaksanakan secara paksa (eksekusi) seperti pada
putusan pengadilan negeri. Bahkan, putusan pada pengadilan adat tidak dapat
dieksekusi dengan meminta bantuan (fiat) dari pengadilan negeri. Sebabnya
karena putusan pengadilan adat dianggap sebagai bentuk penyelesaian sengketa di
luar pengadilan.
Amandemen Konstitusi
Sejak era Reformasi digulirkan
pada tanggal 20 Mei 1998, terjadi kebangkitan masyarakat Indonesia yang
memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka. Salah satu kelompok masyarakat
yang aktif adalah Masyarakat Hukum Adat. Usaha Masyarakat Hukum Adat itu
berkaitan dengan hak-hak tradisional sebagaimana diatur Pasal 18B ayat (2) jo.
Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 tentang identitas budaya. Peradilan adat adalah hak
tradisional Masyarakat Hukum Adat sekaligus identitas budaya masyarakat
tradisional. Faktanya sebagian besar Masyarakat Hukum Adat memang masyarakat
tradisional.
Upaya membahas peradilan adat
mulai dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui Seminar
Nasional di Surabaya pada 20 Juni 2013. Seminar Nasional itu bertema “Seminar
Arah Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional”. Seminar ini sebagai upaya
persiapan dalam pembentukan peradilan adat melalui RUU Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) yang diajukan ke DPR.
Amandemen UUD 1945 dengan Pasal
18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3) berpotensi mengembalikan eksistensi hukum
adat termasuk peradilannya. Sistem hukum adat pada dasarnya bagian dari hak-hak
tradisional serta identitas budaya masyarakat hukum adat yang patut diakui.
Adanya kedua pasal konstitusi tersebut, selain mengembalikan status hukum adat
dan peradilannya juga menegaskan eksistensi pluralisme hukum di Indonesia.
Pluralisme hukum ini tentu meliputi
isu peradilan termasuk peradilan adat yang sudah ada dan berkembang sejak
sebelum kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Konstitusi Indonesia secara
tertulis mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI.
Hukum adat sebagai hukum yang
tidak tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) merupakan
bagian hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi, keberadaan hukum adat adalah bukti
nyata Indonesia mengakui pluralisme hukum.
UU Desa
Selanjutnya terkait eksistensi
lembaga peradilan adat ini makin menarik ketika kita mencermati UU No.6 Tahun
2014 tentang Desa (UU Desa). Isinya juga menguatkan keberadaan Masyarakat Hukum
Adat. Tersedia peluang bagi mereka menjadikan desanya sebagai desa adat bagi
yang memenuhi syarat. Hal ini tertuang dalam Pasal 96 UU Desa.
Pengaturan tentang keberadaan
masyarakat hukum adat dan desa adat dalam UU Desa ini berdampak terhadap
keberadaan lembaga peradilan adat. Semula ia berada dalam kesatuan kekuasaan
Masyarakat Hukum Adat, lalu berubah menjadi dalam kekuasaan desa adat. Hal ini
kemudian sejalan dengan konsep lembaga peradilan adat yang diterapkan dalam
beberapa Peraturan Daerah (Perda). Sebut saja seperti Perdasus Provinsi Papua
No. 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua, Perda Provinsi Sumatera
Barat No.7 Tahun 2018 tentang Nagari, dan Perda Kabupaten Landak No.1 Tahun
2021 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kabupaten Landak.
Akhirnya, eksistensi lembaga
peradilan adat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih sangat mungkin untuk
diakui dan diperjuangkan. Persoalannya adalah harus menyusun kerangka politik
hukum di bidang kekuasaan kehakiman secara universal.
*)Adeb Davega Prasna, S.H., M.H.,
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi.
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar