Jumat, 13 Juni 2025

Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-----------------------------------------------------------------------

 


Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia

Eksistensi peradilan adat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih sangat mungkin untuk diakui dan diperjuangkan.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keberadaan hukum adat dalam pembangunan hukum nasional belum mendapatkan tempat yang layak. Hukum adat seakan sengaja dipinggirkan dalam pembentukan hukum nasional. Hukum adat hanya diakui keberadaannya dalam proses peradilan. Itu pun hanya diakomodasi jika terdapat kekosongan dalam hukum tertulis. Meski masih diakui dan dianut sebagian masyarakat adat di Indonesia, tapi secara nasional tidak mendapat pengakuan yang baik. Akhirnya, produk hukum nasional Indonesia mengabaikan keberadaan hukum adat.

Beberapa daerah yang masyarakat hukum adatnya masih kuat memang hukum adat masih diakui dan diakomodasi dalam pembentukan hukum. Namun, sifatnya lokal dalam bentuk Peraturan Daerah seperti yang ada di Sumatera Barat dan Papua. Itu pun tidak semua daerah mengakomodasi hukum adat dalam Peraturan Daerah. Hukum yang mengatur pertanahan—seperti hak atas tanah ulayat adat—ada yang diakomodasi dalam Peraturan Daerah. Ada juga hukum adat di bidang lain yang diakomodasi oleh Pemerintah Daerah ke dalam suatu Peraturan Daerah.

Hilman Hadikusuma (1989) berpendapat peradilan adat sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala, jauh sebelum agama Islam masuk ke wilayah Indonesia. Masyarakat telah melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat. Peradilan adat pada masa itu adalah tempat penyelesaian perselisihan secara damai. Praktiknya tanpa berdasarkan peraturan tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara. Cukup berdasarkan hukum adat yang dilaksanakan dalam masyarakat hukum adat.

Pada masa kekuasaan Hindia Belanda keberadaan peradilan adat (inheemsche-rechtspraak) ini tetap diakui selain peradilan resmi yang dibentuk Pemerintah (governments-rechtspraak). Keberadaan peradilan adat seperti di Palembang, Jambi, Sumatera Barat, dan peradilan swapraja di beberapa tempat di Jawa tetap diakui. Memang dengan catatan bahwa yurisdiksinya terbatas hanya pada perkara-perkara adat semata.

Undang-Undang RR (Regerings Reglement) Tahun 1854 dan Pasal 130 Undang-Undang IS (Indische Staatsregeling) tahun 1912 adalah contohnya. Pengaturan keduanya sudah membagi pemberlakuan hukum bagi rakyat di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Pada masa Hindia Belanda inilah dikenalnya peradilan adat selain peradilan negara—seperti yang terdapat di Jambi, Palembang dan Sumatera Barat.

Selanjutnya di masa pendudukan Jepang, Pasal I Sjiho-sosjiki-rei tetap mengakui peradilan adat khususnya untuk daerah Sumatera. Keberadaannya dilanjutkan sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia. Keberadaan peradilan adat ini pada tahun 1945-1950 menurut Sudikno (2016) tetap diakui. Hal ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal II ini juga yang menjadi dasar hukum terpenting bagi praktik peradilan di Indonesia setelah kemerdekaan hingga tahun 1950.

Setelah Indonesia merdeka, keberadaan lembaga pengadilan adat ini malah secara berangsur-angsur dihapuskan dari sistem peradilan resmi di Indonesia. Isi UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil menegaskan bahwa Pengadilan Pribumi—sebutan lain Pengadilan Adat dan Pengadilan Swapraja—secara perlahan dihapuskan total.

Sisa-sisa peradilan adat sebenarnya masih ada sampai sekarang. Beberapa daerah seperti di Dayak (Kalimantan), Papua, dan Sumatera Barat, tetap mengakui keberadaan peradilan adat. Eksistensi peradilan adat di daerah itu malah diperkuat. Soal kepatuhan terhadap putusan pengadilan adat, sepenuhnya memang bergantung pada para pihak yang bersengketa.

Perintah dalam putusan pengadilan adat memang tidak dapat dilaksanakan secara paksa (eksekusi) seperti pada putusan pengadilan negeri. Bahkan, putusan pada pengadilan adat tidak dapat dieksekusi dengan meminta bantuan (fiat) dari pengadilan negeri. Sebabnya karena putusan pengadilan adat dianggap sebagai bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

 

Amandemen Konstitusi

Sejak era Reformasi digulirkan pada tanggal 20 Mei 1998, terjadi kebangkitan masyarakat Indonesia yang memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka. Salah satu kelompok masyarakat yang aktif adalah Masyarakat Hukum Adat. Usaha Masyarakat Hukum Adat itu berkaitan dengan hak-hak tradisional sebagaimana diatur Pasal 18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 tentang identitas budaya. Peradilan adat adalah hak tradisional Masyarakat Hukum Adat sekaligus identitas budaya masyarakat tradisional. Faktanya sebagian besar Masyarakat Hukum Adat memang masyarakat tradisional.

Upaya membahas peradilan adat mulai dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui Seminar Nasional di Surabaya pada 20 Juni 2013. Seminar Nasional itu bertema “Seminar Arah Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional”. Seminar ini sebagai upaya persiapan dalam pembentukan peradilan adat melalui RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) yang diajukan ke DPR.

Amandemen UUD 1945 dengan Pasal 18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3) berpotensi mengembalikan eksistensi hukum adat termasuk peradilannya. Sistem hukum adat pada dasarnya bagian dari hak-hak tradisional serta identitas budaya masyarakat hukum adat yang patut diakui. Adanya kedua pasal konstitusi tersebut, selain mengembalikan status hukum adat dan peradilannya juga menegaskan eksistensi pluralisme hukum di Indonesia.

Pluralisme hukum ini tentu meliputi isu peradilan termasuk peradilan adat yang sudah ada dan berkembang sejak sebelum kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Konstitusi Indonesia secara tertulis mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.

Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) merupakan bagian hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi, keberadaan hukum adat adalah bukti nyata Indonesia mengakui pluralisme hukum.

 

UU Desa

Selanjutnya terkait eksistensi lembaga peradilan adat ini makin menarik ketika kita mencermati UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Isinya juga menguatkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Tersedia peluang bagi mereka menjadikan desanya sebagai desa adat bagi yang memenuhi syarat. Hal ini tertuang dalam Pasal 96 UU Desa.

Pengaturan tentang keberadaan masyarakat hukum adat dan desa adat dalam UU Desa ini berdampak terhadap keberadaan lembaga peradilan adat. Semula ia berada dalam kesatuan kekuasaan Masyarakat Hukum Adat, lalu berubah menjadi dalam kekuasaan desa adat. Hal ini kemudian sejalan dengan konsep lembaga peradilan adat yang diterapkan dalam beberapa Peraturan Daerah (Perda). Sebut saja seperti Perdasus Provinsi Papua No. 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua, Perda Provinsi Sumatera Barat No.7 Tahun 2018 tentang Nagari, dan Perda Kabupaten Landak No.1 Tahun 2021 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kabupaten Landak.

Akhirnya, eksistensi lembaga peradilan adat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih sangat mungkin untuk diakui dan diperjuangkan. Persoalannya adalah harus menyusun kerangka politik hukum di bidang kekuasaan kehakiman secara universal.

 

 

*)Adeb Davega Prasna, S.H., M.H., Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi.


Sumber : DISINI


۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

----------------------------

0 comment:

Posting Komentar

۞ SEKRETARIAT SEMENTARA DEWAN ADAT KAB. SIGI ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞