Sabtu, 17 Mei 2025

Sejarah Singkat Desa Wisolo

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-----------------------------------------------------------------------

 


Suku Kaili Inde Gia yang menjadi penduduk mayoritas Desa Wisolo pada awalnya adalah kelompok-kelompok kecil berbasis keluarga yang bermukim di Boya-boya (kampung) yang tersebar di kaki Gunung Wisolo dan aliran sungai di sekitarnya. Beberapa Boya itu adalah Boya Tabaro dan Boya Parigi yang terletak di sekitar aliran Kuala Ombi (Sungai), Boya Tompu yang terletak di seberang Kuala Sambo, sedangkan Boya Wisolo, Boya Dele, Boya Barangga, Boya Kamande, dan Boya Daeruwa tersebar di kaki Gunung Wisolo. Keluarga-keluarga dari tiap-tiap Boya itu saling berinteraksi dan berkerabat serta memiliki petinggi yaitu Tetu’a Ngata yang biasa dipanggil dengan sebutan Pue. Sehari-harinya, mereka mencari penghidupan dengan berburu hewan, berladang berpindah, dan mengumpulkan hasil hutan. Pada saat berladang berpindah, Masyarakat Adat Kaili Inde Gia mendirikan pondok-pondok di dekat ladang/kebun yang disebut Lompu.

Masyarakat Adat Kaili Inde Gia memiliki “Cerita Tanah Segenggam” yang berisikan pembabakan sejarah yang diturunkan secara lisan kepada orang-orang tertentu. Adapun Pue yang paling diingat oleh Masyarakat Adat Kaili Inde Gia bernama Mijupau yang hidup pada zaman kolonial Belanda. Sedangkan ada dua Pue pendahulu sebelum Mijupau yang diyakini dan masih diingat yakni Pue Sompolemba (zaman kolonial) dan Rimba (sebelum zaman kolonial). Pada zaman Pue Sompolemba, Belanda mendirikan sebuah sekolah rakyat pertama di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Desa Bobo. Selain mendirikan sekolah, Belanda juga menyebarkan ajaran Nasrani Bala Keselamatan yang akhirnya menyesuaikan dengan hukum adat secara damai. Para Pemimpin Kampung itu pada perkembangan sejarahnya dipilih oleh Madika (Raja), penguasa sebuah wilayah yang lebih luas dan terdiri dari beberapa Ngata (kampung). Selain Belanda, masyarakat Kaili Inde Gia juga berinteraksi dengan toke-toke Cina untuk urusan perdagangan damar dan rotan.

Sebelum tahun 1960, Madika Bengge Tai atau Bapak Datu Mamusu memindahkan Masyarakat Kaili Inde Gia dari boya-boya lama ke sebuah wilayah dataran yang saat ini dikenal sebagai Desa Wisolo dengan kepala kampung pertama yaitu Pue Mujipau. Penamaan Wisolo berasal dari nama sebuah pohon yang amat besar yang dulu banyak tumbuh di wilayah gunung. Secara bertahap anggota masyarakatt di boya-boya lama itu membangun rumah di wilayah dataran hingga pada 1960 masyarakat berpindah menetap ke pemukiman baru tersebut. Hanya 1-2 keluarga yang kini bertahan di beberapa Boya Lama seperti di Tabaro dan Parigi. Selain itu, ada juga sebagian masyarakat Kaili Inde Gia yang berpindah ke wilayah lain yaitu sebagian masyarakat Boya Parigi ke Desa Poi dan sebagian masyarakat Boya Daeruwa ke dusun Kora di Desa Sejahtera yang hidup berdampingan dengan masyarakat Kaili Da’a hingga kini. Sejak masa Pue Mijupau, tercatat 14 Kepala Kampung/Desa Wisolo hingga tahun 2018.

Wilayah Desa Wisolo saat ini ditempati juga oleh suku lain seperti Kaili Ledo, Jawa, Bugis, Poso, dan lain-lain. Mereka tetap terikat dengan aturan dan hak sesuai adat Kaili Inde Gia dengan penyesuaian-penyesuaian.


Batas Wilayah :

BARAT : Desa Palintuma, Kec. Pinembani, Kab. Donggala dengan batas berupa puncak gunung Kagado, puncak gunung Lengano, puncak gunung Ntatiru, puncak gunung Lengaro II, puncak gunung Vatumputi, puncak gunung Lora, puncak gunung Rongu, puncak gunung Lengano III, dan puncak gunung Vatikanivala.

SELATAN : Desa Balongga dengan batas berupa jalan lokal Desa Poi dengan batas berupa Cekukan/Cikukan sungai Limba Lonja/Simondu Binge, lereng gunung Lambara, puncak gunung Tule, hulu anak sungai Sopi, Alu Taivavu, sungai Pema, puncak gunung/Bunggu Kagado

TIMUR : Desa Sambo dengan batas berupa bekas Kuala Sambo/Binge, Uwe Mpemata, jalan ninja/jalan lokal, dan jalan Kambaroa. Desa Balongga dengan batas berupa percabangan sungai Sambo dan sungai Ombi 1, jalan lokal, Ombi 2, Ombi 4, Ombi 5, Cikukangan sungai Limba Lonja/Simondu

BARAT : Desa Jono dengan batas berupa puncak gunung Vatikanivala, hulu sungai Sambo, anak sungai Mbalaya, puncak gunung Mpa’o, Bingge gunung Tobetue, hulu anak sungai Salu Mpelipo, dan jalan lokal. Desa Sambo dengan batas berupa jalur irigasi sekunder, jembatan, dan jalur irigasi lama.


Aturan Adat Terkait Pranata Sosial .

- Sala Bualo: Perampasan pasangan dan perselingkuhan: Jika lelaki ambil istri orang lain dan berteriak (paksaan) maka Givu dikenakan kepada pihak laki-laki. Jika tidak berteriak (suka sama suka), Givu dibagi dua pihak laki-laki dan perempuan. Givu: 1 ekor kerbau/sapi atau Babi/Kambing 7 ekor, Piring Putih 30 buah, Parang 5 buah. Dibayarkan 70% untuk suami, 15% untuk ngata, dan 15% untuk administrasi Tetu’a Ngata. Paling cepat 2 minggu, paling lambat 4 minggu.

- Sala Mbive (Salah Bibir) termasuk memfitnah, menghina, dan lain-lain: Givu dimulai dari yang paling ringan (Sompo), jika diulangi maka Givu berat (Vaya). Givunya yaitu I. Ayam 1 ekor dan Piring putih 1 buah, II. Babi/Kambing 1 ekor dan Piring putih 3 buah, III. Kelipatan Vaya.

- Penggarapan lahan dengan izin memiliki ketentuan bahwa hasil dari tanaman sebagian 50% menjadi hak pemilik lahan. Penggarapan lahan tanpa meminta izin kepada pemilik dikenakan Givu Berat (Vaya) yaitu Babi/Kambing 1 ekor dan Parang 1 buah.

- Pengambilan hasil tanaman tanpa meminta izin kepada pemilik dikenakan Givu bertingkat yaitu I. 1 Ekor Ayam (Peringatan), II. Babi/Kambing 1 ekor jika diulangi.

- Jika ada perkelahian, maka dikenakan Givu Berat (Vaya) yaitu: 1 babi/kambing, 12 meter kain putih, 30 piring, 1 baki.

- Terdapat tradisi kelahiran anak Pohaya Kula, Anak didoakan dan dibuatkan Kaveve Enau (ketupat daun enau) dan Ketupat oleh Tokoh Perempuan Adat dan dimakan bersama-sama. Si anak memperoleh status gender sebagai laki-laki (Bo’o) dan perempuan (Dei).

- Pada saat ada kematian, tidak boleh memakan Kelor dan Terong (Pali/Pantangan) dan dilarang bekerja sebelum melayat dan dilarang berisik memutar musik dan motor (Larangan/Netagi).


Pembagian Ruang Menurut Adat

Pantalu: Wilayah yang menjadi kebun baik yang menetap maupun masih berpindah.

Ova: Wilayah hutan yang sudah digarap dan ditinggalkan 1-2 tahun, biasanya ditumbuhi rumput dan tumbuhan liar lainnya.

Pangale: Wilayah hutan yang sudah digarap dan ditinggalkan 10 tahun ke atas, biasanya ditumbuhi pohon kayu.

Wana Nggiki: Dalam hutan rimba yang belum dijamah dan dijaga untuk tempat berburu.

Ngata/Boya: Wilayah yang dijadikan pemukiman.


Sumber : DISINI



۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

----------------------------

0 comment:

Posting Komentar

۞ SEKRETARIAT SEMENTARA DEWAN ADAT KAB. SIGI ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞