"Nokeso Toniasa, Harmoni
Warisan Jiwa"
Oleh : SADRI Datupamusu
Di tanah leluhur yang disiram cahaya pagi, terdengar lantunan doa yang bersatu dalam hening dipandu oleh Lamposiga. Asap dupa naik perlahan, membelah langit mengiringi langkah-langkah yang tak sekadar jejak, melainkan gema jiwa yang tengah tumbuh menuju dewasa.
Lamposiga ia bukan sekadar pelaku upacara, melainkan sabda adat yang
mengurai benang-benang kehidupan. Di balik gerak tangan dan tarian dedaunan,
terpatri nasihat para tetua dalam bahasa semesta, tentang tanggung jawab,
tentang cinta yang tak bersyarat.
Lalu Lamposuruba datang seperti cahaya fajar, membasuh jiwa dalam sujud dan khusyuk. Ia menuntun hati menapaki jalan lurus, di mana adat dan keimanan saling memeluk, seperti embun dan daun yang tak pernah saling meninggalkan.
Dua kekuatan itu adat dan keimanan berjumpa dalam Nokeso Toniasa, perubahan
sikap dari tunas yang rapuh menjadi pohon yang mampu menaungi semesta kecilnya.
Inilah saatnya jiwa muda membaca dirinya, menafsir dunia bukan hanya dengan
mata, tapi juga dengan nurani.
Sebab anak pertama, vati ntinana, memikul kelembutan, kasih, dan
kebijaksanaan sang ibu. Sedang anak kedua, vati ntuamana, menyandang
keberanian, keteguhan, dan suara hati ayahnya. Dua sifat, dua warisan, bersatu
dalam darah dan doa.
Agar mereka anak-anak tanah ini berbakti kepada yang melahirkan, kepada yang menggendong dunia dengan sabar dan peluh.
Agar mereka jauh dari malapetaka, terhindar dari penyakit yang tak hanya
menggerogoti tubuh, tapi juga hati yang lupa arah.
Beginilah kisah ditulis oleh leluhur, dalam nyanyian bambu, dalam tarian, dalam langkah yang penuh makna dan pengabdian.
Lamposiga dan Lamposuruba, dua jiwa dan roh satu tujuan, mengantar jiwa
muda melewati gerbang Nokeso Toniasa menuju dewasa, menuju suci, menuju manusia
yang tahu darimana ia datang dan kemana ia harus kembali.
0 comment:
Posting Komentar