Senin, 24 Juli 2023

Sejarah Singkat Masyarakat adat TORO

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-------------------------------------------------------------

 


Sejarah Singkat Masyarakat adat TORO

Komunitas Toro yang sekarang dikenal dengan Ngata Toro terbentuk pada 1950-an, yaitu pada saat kedatangan orang Rampi dalam jumlah yang cukup besar. Perpindahan itu terjadi ketika berlangsungnya pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar pada awal tahun 1950-an di Propinsi Sulawesi Selatan. Masuknya orang Rampi secara bergelombang ini telah meningkatkan jumlah kelompok masyarakat ini di Toro. Namun, keragaman kelompok masyarakat di Toro tidak terbatas pada orang Rampi semata. Pada akhir 1960-an, Toro kembali menampung migrasi kelompok masyarakat Uma yang berasal dari Kulawi bagian barat. Berbeda dari pola migrasi sebelumnya, kedatangan orang Uma ke Toro ini merupakan bagian dari proyek pemukiman kembali(resettlement) yang dilakukan secara paksa oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap terasing dan terbelakang. Dengan sejarah demografi ini, maka komposisi penduduk Toro saat ini terdiri atas tiga kelompok dominan, yaitu orang Moma sebagai penduduk asli dengan jumlah mayoritas, orang Rampi dan Uma sebagai etnis pendatang yang jumlahnya juga cukup signifikan. Yang menarik, keragaman kelompok masyarakat ini ternyata telah menciptakan struktur pemukiman yang terdistribusi menurut kelompoknya sehingga menciptakan boya-boya (dusun-dusun) dengan komposisi penduduk yang secara etnis relatif homogen. Orang Moma terkonsentrasi di Boya 1, 2, 3 dan sebagian Boya 4 sedangkan orang Rampi di Boya 5 dan 7 dan orang Uma terpusat di Boya 6 Meskipun keragaman kelompok masyarakat di Toro ini membentuk pola pemukiman yang saling terpisah, namun keragaman ini dalam derajat tertentu telah dirajut oleh ikatan-ikatan kekerabatan dan yang telah dimapankan oleh rasa saling hormat menghormati dan saling menghargai antara penduduk asli dan penduduk pendatang. Semua orang Toro menyebut diri dengan ‘kami adalah masyarakat Toi Toro’.

Mitos asal-usul memiliki kedudukan yang penting di masyarakat Toro dan amat sentral bagi proses identifikasi kelompok dan penumbuhan kesadaran akan kesatuan dan sekaligus perbedaan. Proses identifikasi semacam ini merupakan hal yang amat perlu bagi masyarakat Toro, terutama untuk memproduksi pranata sosial yang ada dengan melibatkan segenap unsur di masyarakat Toro. Dengan demikian, meskipun mitos mengisahkan kejadian-kejadian yang tidak biasa ditemui di dunia nyata, mitos bukanlah cerita kosong belaka tanpa makna. Mitos di Toro merupakan merupakan unsur yang menggambarkan ”angan-angan sosial” yang ikut membentuk identitas pada kelompok dan makna pada sejarahnya. Angan-angan sosial tersebut terbangun dari berbagai unsur peristiwa nyata, realitas sosial, dan lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan. Suatu pernyataan mitos tentang kejadian masa lampau berfungsi sebagai “cerminan bagi kehidupan masa kini”.

Ada tiga mitos yang hidup di tengah masyarakat Toro yang menjelaskan tentang asal-usul dan identitas kolektif mereka. Dalam bahasa Kulawi Moma kata ‘Toro’ berarti ‘sisa’. Pengertian ini mengacu pada suatu wilayah yang ditinggal pergi oleh penduduknya sehingga telah menjadi hutan belantara dan bukan merupakan pemukiman lagi. Selain itu, juga mengacu pada pelarian sisa-sisa penduduk kampung Malino yang akhirnya menempati wilayah yang telah ditinggalkan tadi. Kedua mitos ini saling berkaitan dan dirajut oleh mitos ketiga tentang kegiatan berburu “Balu” (bangsawan Kulawi). Ketiga mitos ini secara bersama-sama saling terjalin erat sebagai kisah terbentuknya komunitas Toro. Berikut ini adalah narasi dari ketiga mitos yang hidup di tengah – tengah masyarakat Toro akan diuraikan pada bagian berikut ini.

• Mitos tentang tempat. Mitos pertama ini mengisahkan tentang lokasi yang sekarang ini membentuk Ngata Toro. Dikisahkan tentang riwayat tempat ini yang semula didiami oleh etnis Uma. Bencana banjir besar dan longsor menyebabkan tempat ini ditinggalkan oleh penduduknya. Tempat pemukiman itu kemudian berubah menjadi danau setelah terjadinya banjir besar itu. Konon kisah terjadinya banjir di awali dengan pertengkaran dua kakak beradik yang memperebutkan tambur emas (karatu bulawa). Salah satu dari mereka yang bertengkar memotong kaki kucing, kemudian dipakai untuk menabuh tambur tersebut dengan sekeras kerasnya. Padahal kucing dianggap hewan keramat yang menurut kepercayaan tidak boleh dimandikan, apalagi sampai diusik dan disakiti. Diyakini, tindakan semacam itu akan mendatangkan bencana besar. Tidak lama setelah pemotongan kaki kucing, menjelang sore hari, hujan mendadak turun dengan derasnya disertai angin ribut dan bunyi petir yang meledak-ledak. Kegelapanpun meliputi pemukiman, pohon-pohon mulai bertumbangan, tanahpun mulai longsor. Ini berlangsung selama tiga hari tiga malam. Akhirnya pemukiman ini hancur lebur dilanda bencana alam dan menjadi sebuah danau.

• Kisah pelarian orang Malino Berbeda dengan mitos pertama yang mengisahkan riwayat sebuah tempat, mitos kedua menceriterakan tentang penduduk Malino yang diserang oleh makhluk halus sehingga melarikan diri dari kampungnya. Para pelarian Malino inilah yang membentuk satu perkampungan baru yang dikenal dengan nama Toro yang sekarang. Konon kisahnya diawali dengan permainan gasing antara anak-anak penduduk Malino dengan anak orang bunian. Anak-anak bunian menggunakan gasing dari emas dan gasing anak-anak Malono dikalahkan semuanya. Anak-anak Malino melapor kepada orang tuanya bahwa tadi siang mereka bermain gasing dengan orang yang tidak dikenal. Gasing mereka semuanya berwarna kuning mengkilap, demikian pula anak-anak tak dikenal tersebut. Keesokan harinya orang tua dari anak-anak penduduk Malino membunuh anak yang memakai gasing emas dan mengambil gasing emasnya. Sore setelah peristiwa itu terdengar suara yang bergemuruh seperti orang yang sedang berperang. Namun, tidak ada siapapun yang terlihat selain parang dan tombak yang beterbangan menyerang. Sadarlah orang Malino bahwa mahluk halus telah datang menyerang untuk menuntut balas atas kematian anaknya. Penduduk Malino tercerai berai karena tidak mampu melawan para penyerang yang tidak kelihatan. Sebagian besar penduduk Malino terbunuh dan hanya 7 rumah tangga yang berhasil selamat pergi mengungsi ke tempat lain. Para pelarian dari Malino ini lantas membuka hutan dan membangun pemukiman, bertani hingga membentuk satu perkampungan yang mereka beri nama Toro atau yang tersisa menurut dialek Moma.

• Kisah penguasaan tempat

Mitos ketiga ini menuturkan aktivitas berburu Balu, seorang bangsawan Kulawi. Balu, seorang Maradika (bangsawan) Kulawi, yang memerintah saat itu, dikenal sebagai orang yang gemar berburu. Tidak puas dengan tempat yang sudah pernah didatangi, ia pun pergi menjelajah gunung-gunung dan lembah-lembah baru untuk mencari tempat perburuan. Akhirnya ia menemukan lembah yang amat subur karena terbentuk dari danau yang telah surut. Tempat ini adalah bekas pemukiman pada masa lampau yang ditinggalkan karena bencana alam. Kemudian Balu mengajak orang pelarian dari Malino untuk melihat-lihat lokasi perburuan yang ditemukannya. Setelah melihat-lihat keadaan di sana dan merasa cocok, maka terjadi tawar menawar antara Balu dan Mpone, si pemimpin rombongan pelarian. Dicapailah kesepakatan untuk membeli lembah dan gunung-gunung yang ada di sekitarnya dengan harga tujuh gumpal emas sebesar burung pipit. Lokasi terjadi kesepakatan jual beli itu kelak di belakang hari disebut Kaputua yang berarti tempat mencapai keputusan. Setelah transaksi, para pelarian Malino kemudian tinggal di tempat ini dan berkembang kian banyak. Lama kelamaan tempat ini dikenal dangan nama “Toro” karena didiami pelarian sisa-sisa orang dari Malino. Sejarah panjang komunitas Toro dengan lingkungannya telah membentuk suatu lanskap budaya dan stabilitas ekologis yang mantap. Hal ini tercermin baik pada aras pranata sosialbudaya maupun sistem pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat pada komunitas ini.

Hak atas tanah dan pengelolaan Wilayah

Pembagian ruang menurut adat

• Wana Ngkiki, yaitu kawasan hutan primer di puncak gunung yang sebagiannya didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Kawasan ini dianggap amat penting sebagai sumber udara segar (winara), dan tidak boleh dijamah aktivitas manusia. Dalam kawasan Wana Ngkiki ini tidak terdapat hak

• Wana, yaitu hutan primer di sebelah bawah Wana ngkiki yang merupakan habitat hewan dan tumbuhan langka, dan sebagai kawasan tangkapan air. Karena itu, di area ini dilarang membuka lahan pertanian karena bisa menimbulkan bencana alam. Wana hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan, serta rotan. Kepemilikan pribadi (Dodoha) di dalam kawasan ini hanya berlaku pada pohon damar yang penentuannya tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya. Sementara sumber daya alam yang selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif sebagai bagian ruang hidup dan wilayah kelola tradisional masyarakat (Huaka).

• Pahawa pongko yaitu, campuran hutan semi-primer dan sekunder merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama sekitar 25 tahun atau lebih sehingga sudah menyerupai pangale. Pohonnya sudah besar, jadi untuk menebangnya sudah harus menggunakan pongko (pijakan yang terbuat dari kayu) yang cukup tinggi agar dapat menebangnya dengan mudah. Penebangan pada tempat yang agak tinggi ini dimaksudkan agar tunggulnya bisa bertunas kembali ( karena itu disebut pahawa yang berarti “pengganti“). Seperti halnya pangale, kawasan ini juga tidak tercakup dalam hak pemilikan pribadi terkecuali pohon damar yang ada di dalamnya.

• Oma yakni hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergilir. Oleh karena itu, pada kategori ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi (Dodoha) dan tidak berlaku lagi kepemilikan kolektif (Huaka) karena lahan ini merupakan areal yang dipersiapkan untuk diolah lagi menurut urutan pergilirannya. Urutan pergiliran ini membentuk tiga kategori Oma yaitu:

- Oma ntua, apabila lahan ini dibiarkan selama 16 hingga 25 tahun, mengingat usianya, jenis ini sudah tua sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah pulih dan dapat diolah

- Oma ngura, yaitu kategori yang lebih muda karena dibiarkan selama 3 hingga 15 tahun. Lahan ini didominasi rerumputan dan belukar. Pohon-pohon yang tumbuh masih kecil sehingga masih bisa ditebas memakai parang tanpa banyak kesulitan.

- Oma nguku adalah bekas kebun belum sampai 3 tahun ditinggalkan. Lahan ini masih di dominasi oleh rerumputan, ilalang dan semak perdu.

• Balingkea yaitu bekas kebun yang sudah berkurang kesuburannya dan sudah harus di istirahatkan. Meskipun begitu, lahan ini masih bisa diolah untuk tanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe, dan sayuran. Balingkea sudah termasuk hak kepemilikan pribadi (Dodoha).

• Pangale, yaitu kawasan hutan semi-primer yang dulu sudah pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Kawasan ini dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dibuat lahan kebun, sedangkan datarannya untuk dijadikan sawah. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotandan kayu untuk bahan rumah dan keperluan rumah tangga, pandan hutan ntuk membuat tikar dan bakul, bahan batobatan, getah damar dan wewangian.

 

Sistem Penguasaan & Pengelolaan Wilayah

• Hak kepemilikan bersama (Katumpuia Hangkani) Tanah dan segala sumber daya alam yang ada di wilayah adat (huaka) termasuk tanah Desa adalah milik bersama seluruh masyarakat adat Ngata Toro mencakup wana ngkiki, wana dan pangale dengan segala yang ada di dalamnya kecuali damar yang sudah diolah oleh orang. Hak pemilikan bersama ini tidak boleh diperjual-belikan, disewakan (dikontrak) kepada siapapun juga. Hak pemilikan kolektif/komunal terbatas pada pemanfaatan yang diatur dan ditetapkan oleh lembaga adat Ngata Toro.

• Hak pemilikan pribadi/individu (Katumpuia Hadua) Tanah dan segala sumber daya alam dalam kawasan tertentu dapat menjadi milik pribadi/individu apabila sudah dikelola sebagai lahan pertanian. Umumnya pemilikan ini atas nama yang membuka pertama kali hutan di situ yang disebut dengan “popangalea”. Semua lahan yang dikuasai melalui popangalea disebut “dodoha”. Dasar pemilikan yang lain adalah hasil pembelian (raiadai), internal, pemberian secara cuma-cuma (ahirara) dan yang diminta (perapi). Milik pribadi mencakup pahawa pongko, oma, balingkea, dengan segala yang ada di dalamnya dan damar di wana.

 

Kelembagaan Adat

Nama    Ngata Toro

Struktur               - Maradika - Totua Ngata - Tina Ngata - Huro ngata - Tondo Ngata

Tugas dan Fungsi Pemangku Adat

Ketiga kepengurusan tersebut dipilih melalui pertemuan kampung berdasarkan garis keturunan.

a. Maradika

Mengatur hubungan ngata (kampung) dengan ngata lain yang disebut ”Hintuwu Ngata”, Menentukan perang dengan ngata lain, tempat pengambilan keputusan terakhir. Kalau dimasa sekarang ini Maradika adalah Kepala Kampung.

b. Totua Ngata

Mengatur dan mengawasi aturan adat yang disepakati dalam musyawarah, Memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat, menentukan besar kecilnya sanksi adat atas pelanggaran, memimpin sidang menyangkut penyelesaian perselisihan pada tingkat dusun atau kampung, mengatur pelaksanaan perkawinan adat serta menentukan besar kecilnya mas kawin menurut keturunan dari keluarga yang bersangkutan.

c. Tina Ngata

Perancang pekerjaan dalam pertanian, pendingin artinya jika ada konflik dan dalam kampung kalau ada perempuan biasanya hal yang begitu tegang sekalipun cepat reda sehingga selesai dengan jalan damai.

d. Huro Ngata : Humas

e. Tondo Ngata : Keamanan

Mekanisme Pengambilan keputusan

Molibu

Hukum Adat

Aturan adat yang berkaitan dengan pengelolaan Wilayah dan Sumber daya alam

Larangan :

• Tidak diperkenankan membuka hutan atau mengolah hutan di tempat yang ada mata air

• Dilarang menebang kayu-kayuan yang ada pada palungan sungai atau kali-kali kecil yang ada dalam hutan ataupun pelungan suingai/kali kecil yang melewati pemukiman penduduk, pada saat menebang pohon tidak diperkenankan menebang habis pohon yang diketahui mempunyai khasiat obat-obatan tradisional, seperti pohon beringin dan melinjo.

• Dilarang menebang pohon/membuka lahan perkebunan di daerah kemiringan yang terjal.

• Larangan keras membuka lahan perkebunan di Wana Ngkiki dan Wana.

• Dilarang membuka kebun dibekas pangale, Oma, Balingkea, Pahawa pongko orang lain.

 

Pantangan :

• Dilarang membawa hasil hutan seperti rotan, pandan hutan, bambu mentah dalam jumlah yang banyak ke rumah melewati persawahan pada masa padi dalam keadaan berbuah.

• Dilarang mengilir rotan di sungai pada masa padi akan keluar buah, karena akan mempengaruhi keberhasilan panen (buah padi akan hampa/kurang berisi).

• Larangan membuka hutan yang diketahui ada pohon damar, dan membuka hutan sampai pada puncak gunung.

• Larangan menebang kayu yang diketahui sebagai makanan pokok burung-burung dalam hutan.

• Mampeoni : Upacara adat utk pembukaan lahan baru, sambil meletakan sesajian di area lahan yg akan dibuka.

• biasanya akan dilakukan pemotongan ayam, dan jika ayam tsb empedunya pica maka pembukaan lahan tdk akan dilanjutkan atau biasanya hatih ayam diketemukan Hatinya hanya satu maka tdk akan dilanjutkan.

 

Aturan Adat terkait Pranata Sosial

• Kasus pencurian : Menurut aturan adat Toro, mencuri adalah perbuatan yang memalukan dan merusak tatanan kehidupan masyarakat. Orang yang kedapatan mencuri , dihadapkan ke peradilan adat, disertai saksi-saksi dan barang bukti yang ada. Jika perbuatan tersebut terbukti, makanya kepadanya akan diberikan sanksi adat berupa ”tiga ekor kerbau, tiga lembar kain mbesa, tiga puluh buah dulang (bahasa lokal : TOLU MPOLE, TOLU ONGU, TOLU NGKAU).

• Perselisihan antar warga : Untuk menyelesaikan kasus perselisihan, masyarakat Toro senantiasa melibatkan tua-tua adat. Tua-tua adat melakukan musyawarah adat di rumah adat (Lobo), dengan menghadirkan keduabelah pihak tua-tua adat dari warga yang bertikai. Yang melakukan Tindakan perselisihan lebih dahulu akan mendapatkan sanksi adat dengan menyediakan seekor hewan seperti kerbau atau sapi (Motinuwui) dan disembellih untuk dikonsumsi saat pelaksanaan pesta perdamaian yang dihadiri oleh dua belah pihak warga yang bertikai.

 

Contoh Keputusan dari penerapan Hukum Adat

Menghamili di luar nikah ( Nampopo tiana Ana Do) : Perbuatan seks di luar nikah merupakan hal yang sangat memalukan bagi orang Toro. Perbuatan ini biasanya didasari oleh cinta sehingga dilakukan sukasama suka. Kadang-kadang perbuatan aib ini baru ketahuan setelah si wanita hamil, namun ada juga yang terungkap sebelum hamil yaitu perbuatan kepergok oleh orang lain (tertangkap basah) sehingga dialporkan ke pemangku adat. Pemangku adat yang mendapat laporan adanya wanita hamil di luar nikah atau dua insan yang kepergok perbuatan mesum akan mengambil tindakan dengan melakukan musyawarah yang menghadirkan wanita dan pria tersebut beserta orangtua keduabelah pihak dan saksi-saksi. Dalam proses peradilan ini diputuskan untuk meminta pengakuan kedua orang tersebut, apabila si pria mengingkari perbuatannya maka ia akan dikenai sanksi adat berupa membayar lunas sebesar mahar si wanita dan menyediakan hewan korban penebus salah (Moraa Eo) dan tidak diperkenankan untujk menemui wanita itu lagi. Jika ia kedapatan menemui wanita itu lagi maka kepadanya akan dikanakan sanksi adat yang lebih berat.


Sumber : https://brwa.or.id/wa/view/NTFRLWRhQlZvSFU


۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-------------------------------------------------------------

0 comments:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞