Pada awal tulisan
ini telah diungkapkan fenomena upacara dan ritus yang dirangkaikan dengan .
pesta, tidak pernah sepi dalam perjalanan kehidupan masyarakat Kaili dan
Kulawi. Pelaksanaan kesemva kegiatan ini dituntun atau dipandu oleh suatu
ketentuan atau norma yang berdasarkan·suatu falsafah hidup yang san gat
mendasar. Dengan menganalisa makna dan hakikat dari pelaksanaan kegiatan itu,
maka kit a akan menemukan pola-pola dasar pernik iran dan orientasi masyarakat
dan individu yang melaksanakannya.
Taiganja yang
menjadi pokok kajian dalam tulisan ini telah menampakkan peranannya sebagai :
lambang, benda kelengkapan upacara dan ritus, dan sebagai benda yang memiliki
nilai "super". Sebagai lambang kebangsaan, Taiganja sekaligus
mempertegas adanya stratifikasi sosial secara tajam dalam masyarakat Kaili dan
Kulawi, yaitu bangsawan (madika), rakyat jelata (todea), dan budak (batua).
Ketiga lapisan ini mempertegas adanya lapisan bangsawan yang berkuasa, karena
dipercayai sebagai titisan manusia jelmaan dari Kayangan. Namun demikian,
lapisan madika ini tidak mutlak, karena ketentuan penurunan darah madika
melalui pewarisan secara matrilineal, maka dapat menyebabkan turunan seorang dari lapisan atas,
turun setingkat· atau sebaliknya. lni menunjukkan bahwa lapisan· sosial manapun
tetap memiliki peluang untuk menjadi bangsawan dan sekaligus berkuasa, yang
dalam hal ini tidak secara langsung melainkan melalui generasi turunannya. ~
Taiganja sebagai
kelengkapan upacara dan ritus, hanya diperuntukkan bagi keluarga madika
(bangsawan), memiliki tata cara dan persyaratan khusus untuk melaksanakannya.
Sebagai persyaratan pokok bagi pelaksanaan upacara dan ritus dengan adat
Taiganja adalah keharusan menumpahkan darah kerbau (dilambangkan pada jonga
Taiganja) yang jumlah idealnya adalah 7 ekor ( sesuai· dengan bilangan
pitumpole). Jika adat Taiganja tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya, ini berarti terjadinya pelanggaran norma dengan akibat yang dapat
berkepanjangan, yang merongrong kesehatan dan kesejahteraan pemilik dan
kerabatnya. Kenyataan ini memotivasi pemilik adat Taiganja untuk mengembangkan
kreatifitasnya bagi tersedianya kerbau dalam jumlah yang besar.
Secara ekonomi, memang
hanya kaum bangsawanlah yang mampu melaksanakan adat taiganja, karena hanya
merekalah yang menguasai hampir semua sarana dan prasarana ekonomi negara.
Untuk keenam tahap peralihan dan perpisahan hidup yang diupacarakan itu, bagi
setiap individu kerabat madika, minimal harus mengorbankan 42 ekor kerbau
sepanjang hidupnya (6 tahap X 7 ekor). Dengan demikian, pelaksanaan adat
Taiganja secara ideal bagi kerabat bangsawan harus selalu mempersiapkan kerbau
dalam jumlah yang cukup.
Kenyataan sekarang bahwa,
pelaksanaan adat Taiganja dengan menyembelih kerbau yang jumlah ideal, sudah
semakin langka dilaksanakan, dan hal ini dapat diterjemahkan sebagai suatu
kemunduran dibidang budaya yang ditimbulkan oleh pergeseran-pergeseran nilai.
Mungkinkah adat Taganja dengan memotong 7 ekor kerbau tidak lagi dilaksanakan
karena tidak tersedianya jumlah kerbau yang dibutuhkan sesuai dengan
persyaratannya. Ataukah semangat untuk mengupayakan selalu tersedianya kerbau
menjadi kendur karena, adat Taiganja tidak lagi dilaksanakan. Dan lain-lain
ke.mungkinan.
Pesta dengan upacara dan
ritus dengan adat Taiganja, tidak hanya melibatkan kaum bang saw an saja, akan
tetapi telah menjadi pesta segenap rakyat, sehingga berkurang atau hilangnya
samasekali kegiatan seperti ini, akan mengendurkan semangat kehidupan sosial
antara warga, yang selanjutnya akan menimbulkan berbagai ganguan psikologi dan
fisiologis yang kurang disadari. Memang secara sepintas, pesta-pesta yang
menyertai upacara dan ritus yang dilaksanakan dengan adat Taiganja kelihatannya
hanya menampilkan sifat-sifat sosial, seremonial dan kepercayaan religi belaka
akan tetapi jika dikaji lebih jauh, maka kita akan melihat adanya orientasi
pada kondisi ekonomi, ekologi, kesehatan, dan sebagainya.
Orientasi ekonomi akan
terlihat bahwa, di samping sebagai pemegang kekuasaan kaum bangsawan juga
sebagai penguasa harta yang banyak sehingga kaum bangsawan identik dengan
kekayaan. Seorang dari lapisan rakyat biasa deogan berbagai kiat dapat
mengumpul banyak kekayaan s e h i n g g a secara. financial dapat mengawini
seorang bangsawan dan meningkatkan strata. sosialnya. Namun terjadinya peluang
seperti ini sangat langka, apalagi kaum bangsawan dan hartawan ini, cenderung
memberikan rintangan bagi perkembangan ekonomi seseorang dari rakyat jelata,
menyebabkan orang-orang kebanyakan bersikap masa bodoh karena ulah raja-raja
yang sewenang-wenang (Kruyt 1938 : 632). Karena kaum bangsawan memerlukan
banyak harta dalam melaksanakan pesta yang pada hakekatnya juga untuk rakyat,
akan mengeluarkan kebijakan ypng melemahkan semangat dan ambisi ekonomi
rakyatnya. ~
Keterkaitan dengan aspek
ekologis dari pelaksanaan adat Taiganja, setidaknya adalah sebagai upaya untuk
mencapai suatu keseimbangan ekologis antara populasi kerbau dengan areal tanah
pengembalaan sebagaimana pesta Boka-Goe di daerah Flores (Dove 1985 : 295).
Dalam konteks ekologi, perkembangan jumlah populasi pada suatu areal yang
terbatas akan menimbulkan kritisnya keadaan lahan di areal tersebut. Mungkin
karena meningkatnya populasi kaum bangsawan sebagai "pemangsa" tidak
diimbangi dengan perluasan habitat bagi perkembang biakan kerbau yang memang
bukan binatang rakyat, menjadi semakin terdesak.
Penentuan jumlah korban kerbau
pada pelaksanaan adat Taiganja mungkin adalah jumlah yang menjamin keseimbangan
ekologis antara luas lahan (habitat) yang mendukung jumlah populasi dan
keperluanpesta adat Taiganja di masa yang lalu. Terjadinya ketidakseimbangan
dimana pihak yang mengorbankan kerbau, populasinya lebih cepat dibanding dengan
kerbau, yang otomatis tidak dapatnya dilaksanakan adat Taiganja secara ideal
(tujuh kerbau), sehingga upacara ini hanya dilaksanakan dengan seekor kerbau
yang dicukupkan 7 dengan 6 ekor · kambing.
Belum dapat diketahui secara pasti akibat sosial psikolgis dari pemisahari
sosio-kultur, yang menghilangkan hubungan masa lampau dengan masa sekarang
melalui adat taiganja. Trauma semacam ini dapat mengakibatkan hilangnya
pengetahuan dan nilai-nilai luhuryang direkayasa melalui penyempurnaan pada
sejumlah generasi.
Sumber : KOLEKSI TAIGANJA; Mesium Negeri Propinsi Sulawesi Tengah.
0 comments:
Posting Komentar