Kamis, 23 Januari 2025

TAIGANJA

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-------------------------------------------------------------

 


          Pada awal tulisan ini telah diungkapkan fenomena upacara dan ritus yang dirangkaikan dengan . pesta, tidak pernah sepi dalam perjalanan kehidupan masyarakat Kaili dan Kulawi. Pelaksanaan kesemva kegiatan ini dituntun atau dipandu oleh suatu ketentuan atau norma yang berdasarkan·suatu falsafah hidup yang san gat mendasar. Dengan menganalisa makna dan hakikat dari pelaksanaan kegiatan itu, maka kit a akan menemukan pola-pola dasar pernik iran dan orientasi masyarakat dan individu yang melaksanakannya.

          Taiganja yang menjadi pokok kajian dalam tulisan ini telah menampakkan peranannya sebagai : lambang, benda kelengkapan upacara dan ritus, dan sebagai benda yang memiliki nilai "super". Sebagai lambang kebangsaan, Taiganja sekaligus mempertegas adanya stratifikasi sosial secara tajam dalam masyarakat Kaili dan Kulawi, yaitu bangsawan (madika), rakyat jelata (todea), dan budak (batua). Ketiga lapisan ini mempertegas adanya lapisan bangsawan yang berkuasa, karena dipercayai sebagai titisan manusia jelmaan dari Kayangan. Namun demikian, lapisan madika ini tidak mutlak, karena ketentuan penurunan darah madika melalui pewarisan secara matrilineal, maka dapat menyebabkan turunan seorang dari lapisan atas, turun setingkat· atau sebaliknya. lni menunjukkan bahwa lapisan· sosial manapun tetap memiliki peluang untuk menjadi bangsawan dan sekaligus berkuasa, yang dalam hal ini tidak secara langsung melainkan melalui generasi turunannya. ~

          Taiganja sebagai kelengkapan upacara dan ritus, hanya diperuntukkan bagi keluarga madika (bangsawan), memiliki tata cara dan persyaratan khusus untuk melaksanakannya. Sebagai persyaratan pokok bagi pelaksanaan upacara dan ritus dengan adat Taiganja adalah keharusan menumpahkan darah kerbau (dilambangkan pada jonga Taiganja) yang jumlah idealnya adalah 7 ekor ( sesuai· dengan bilangan pitumpole). Jika adat Taiganja tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, ini berarti terjadinya pelanggaran norma dengan akibat yang dapat berkepanjangan, yang merongrong kesehatan dan kesejahteraan pemilik dan kerabatnya. Kenyataan ini memotivasi pemilik adat Taiganja untuk mengembangkan kreatifitasnya bagi tersedianya kerbau dalam jumlah yang besar.

          Secara ekonomi, memang hanya kaum bangsawanlah yang mampu melaksanakan adat taiganja, karena hanya merekalah yang menguasai hampir semua sarana dan prasarana ekonomi negara. Untuk keenam tahap peralihan dan perpisahan hidup yang diupacarakan itu, bagi setiap individu kerabat madika, minimal harus mengorbankan 42 ekor kerbau sepanjang hidupnya (6 tahap X 7 ekor). Dengan demikian, pelaksanaan adat Taiganja secara ideal bagi kerabat bangsawan harus selalu mempersiapkan kerbau dalam jumlah yang cukup.

          Kenyataan sekarang bahwa, pelaksanaan adat Taiganja dengan menyembelih kerbau yang jumlah ideal, sudah semakin langka dilaksanakan, dan hal ini dapat diterjemahkan sebagai suatu kemunduran dibidang budaya yang ditimbulkan oleh pergeseran-pergeseran nilai. Mungkinkah adat Taganja dengan memotong 7 ekor kerbau tidak lagi dilaksanakan karena tidak tersedianya jumlah kerbau yang dibutuhkan sesuai dengan persyaratannya. Ataukah semangat untuk mengupayakan selalu tersedianya kerbau menjadi kendur karena, adat Taiganja tidak lagi dilaksanakan. Dan lain-lain ke.mungkinan.

          Pesta dengan upacara dan ritus dengan adat Taiganja, tidak hanya melibatkan kaum bang saw an saja, akan tetapi telah menjadi pesta segenap rakyat, sehingga berkurang atau hilangnya samasekali kegiatan seperti ini, akan mengendurkan semangat kehidupan sosial antara warga, yang selanjutnya akan menimbulkan berbagai ganguan psikologi dan fisiologis yang kurang disadari. Memang secara sepintas, pesta-pesta yang menyertai upacara dan ritus yang dilaksanakan dengan adat Taiganja kelihatannya hanya menampilkan sifat-sifat sosial, seremonial dan kepercayaan religi belaka akan tetapi jika dikaji lebih jauh, maka kita akan melihat adanya orientasi pada kondisi ekonomi, ekologi, kesehatan, dan sebagainya.

          Orientasi ekonomi akan terlihat bahwa, di samping sebagai pemegang kekuasaan kaum bangsawan juga sebagai penguasa harta yang banyak sehingga kaum bangsawan identik dengan kekayaan. Seorang dari lapisan rakyat biasa deogan berbagai kiat dapat mengumpul banyak kekayaan s e h i n g g a secara. financial dapat mengawini seorang bangsawan dan meningkatkan strata. sosialnya. Namun terjadinya peluang seperti ini sangat langka, apalagi kaum bangsawan dan hartawan ini, cenderung memberikan rintangan bagi perkembangan ekonomi seseorang dari rakyat jelata, menyebabkan orang-orang kebanyakan bersikap masa bodoh karena ulah raja-raja yang sewenang-wenang (Kruyt 1938 : 632). Karena kaum bangsawan memerlukan banyak harta dalam melaksanakan pesta yang pada hakekatnya juga untuk rakyat, akan mengeluarkan kebijakan ypng melemahkan semangat dan ambisi ekonomi rakyatnya. ~

          Keterkaitan dengan aspek ekologis dari pelaksanaan adat Taiganja, setidaknya adalah sebagai upaya untuk mencapai suatu keseimbangan ekologis antara populasi kerbau dengan areal tanah pengembalaan sebagaimana pesta Boka-Goe di daerah Flores (Dove 1985 : 295). Dalam konteks ekologi, perkembangan jumlah populasi pada suatu areal yang terbatas akan menimbulkan kritisnya keadaan lahan di areal tersebut. Mungkin karena meningkatnya populasi kaum bangsawan sebagai "pemangsa" tidak diimbangi dengan perluasan habitat bagi perkembang biakan kerbau yang memang bukan binatang rakyat, menjadi semakin terdesak.

          Penentuan jumlah korban kerbau pada pelaksanaan adat Taiganja mungkin adalah jumlah yang menjamin keseimbangan ekologis antara luas lahan (habitat) yang mendukung jumlah populasi dan keperluanpesta adat Taiganja di masa yang lalu. Terjadinya ketidakseimbangan dimana pihak yang mengorbankan kerbau, populasinya lebih cepat dibanding dengan kerbau, yang otomatis tidak dapatnya dilaksanakan adat Taiganja secara ideal (tujuh kerbau), sehingga upacara ini hanya dilaksanakan dengan seekor kerbau yang dicukupkan 7 dengan 6 ekor · kambing.

Belum dapat diketahui secara pasti akibat sosial psikolgis dari pemisahari sosio-kultur, yang menghilangkan hubungan masa lampau dengan masa sekarang melalui adat taiganja. Trauma semacam ini dapat mengakibatkan hilangnya pengetahuan dan nilai-nilai luhuryang direkayasa melalui penyempurnaan pada sejumlah generasi.


Sumber : KOLEKSI TAIGANJA; Mesium Negeri Propinsi Sulawesi Tengah.


۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

-------------------------------------------------------------

0 comments:

Posting Komentar

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞