Raja Muda
Sigi
Karajalembah, seorang pejuang
dari tanah Sulawesi Tengah. Raja Muda Sigi (Madika Malolo) Karajalembah
bergelar Toli i Dompo atau Toma i Dompo (setingkat perdana mentri), merupakan
pejuang yang mempertahankan wilayahnya dari serbuan Belanda.
Karajalembah memimpin Perang
Sigi-Dolo pada periode awal tahun 1900–an di lembah Palu. Bersama rakyatnya, ia
melakukan perang terbuka melawan Hindia Belanda hingga penangkapannya pada
tahun 1905 dan diasingkan pada 1915.
Difitnah
mencuri kuda
Selain itu, Karajalembah juga
menentang secara terbuka aturan Hindia Belanda tentang Plakat Pendek (Koerte
Varklaring), yang berisi pengakuan raja-raja di Nusantara untuk mengakui
kekuasaan mereka atas wilayahnya. Sifat tegas dan keras kepala yang dimiliki
Karanjalemba membuat pihak Hindia Belanda mencari cara lain.
Belanda memfitnahnya dengan
tuduhan mencuri seekor kuda kesayangan seorang bangsawan Belanda. Perangkap ini
sengaja dipasang untuk menangkapnya sebagai panglima perang, sebab ialah
penghalang utama bagi pihak Belanda dalam rangka memuluskan rencana mereka
untuk menguasai Lembah Kaili.
Rajamuda ini melakukan perlawanan
akibat adanya pemaksaan pihak Hindia Belanda kepada masyarakat Donggala untuk
melakukan kerja paksa tanpa upah dan menyediakan material serta tanah tanpa
dibayar untuk pembangunan jalan dari Donggala ke wilayah-wilayah di sekitarnya,
termasuk pembangunan penunjang ekonomi seperti pergudangan dan pelabuhan.
Karajalembah dan pasukan
melakukan perlawanan, namun dapat digagalkan Belanda yang dipimpin Kapten Maze.
Pasukan Karajalembah akhirnya memilih bergerilya dan terus mengacaukan pasukan
Belanda.
Hingga pada 1905, Karajalembah
dapat dikalahkan dan ditangkap di Binomaru, kemudian ditahan di Watunonju dan
dibawa ke Donggala. Atas perintah Residen Menado, kemudian ia dibawa ke Manado
untuk diadili di pengadilan Landraad.
Dalam persidangan pertegahan Mei
1906, ia dituduh dengan dakwaan primer melakukan makar terhadap pemerintah, dan
dakwaan sekunder menolak perintah dan menghambat pembangunan jalan. Vonis
dijatuhan oleh pemerintah Pusat di Batavia, Gubernur Jendral Van Heutsz
memutuskan hukuman sepuluh tahun pembuangan ke Sukabumi.
Karajalembah
dibuang ke Sukabumi
Pada Juni 1906, Karajalembah
diberangkatkan ke Sukabumi dengan kapal uap milik KPM bersama Mahasuri, dan
Palarante. Setibanya di Sukabumi, ketiganya ditempatkan di sebuah rumah di
wilayah Gunung Puyuh (sekarang wilayah Kota Sukabumi).
Meskipun dibuang ke Sukabumi,
kondisi di Donggala tetap kacau karena masyarakat terus membangkang untuk
melakukan kerja paksa. Hingga pada 1913 pertempuran kecil tetap ada, dan
berakibat terbengkalainya proses pembangunan.
Kembali
ke Sulawesi
Juni 1915, Karajalembah,
Palarante, dan Mahasuri diminta membantu Belanda dan dikembalikan ke pulau
Sulawesi. Palarante dan Karajalembah kembali ke tanah kelahirannya, namun
Mahasuri menolak dan kabur dari rumah tahanan dengan menitipkan ziga untuk
dibawa ke Sulawesi, sebagai bukti bahwa dirinya masih hidup.
Setibanya di Binomaru,
Karajalembah melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh pada November 1916, namun
pertemuan itu juga diselipkan rencana mereka untuk memberontak kembali kepada
Belanda.
Maret 1917 diadakanlah upacara
sakral, selepas itu diserukan perintah pepererangan ke segala penjuru hingga ke
Palu. Pemerintah Hindia Belanda yang mengendus rencana tersebut segera mengirim
pasukan besar ke kediaman Karajalembah, dan berhasil menangkapnya.
Dibuang
lagi hingga meninggal dunia di Sukabumi
Sementara Karajalembah tertangkap
pasukan Belanda, pasukan yang dipimpinnya memilih melarikan diri dan meneruskan
perjuangan dari pegunungan.
Karajalembah sendiri dikirim ke
Manado dan mendapat dakwaan menyalahgunakan kepercayaan sehingga dijatuhi
hukuman pembuangan seumur hidup di Sukabumi. Ia pun akhirnya kembali ke
Sukabumi sebagai tahanan untuk kedua kalinya, dan menempati tempat yang sama di
Gunung Puyuh.
Konon, selama masa pembuangan
itu, Karajalembah menikahi seorang wanita Sukabumi dan memiliki keturunan. Ia
meninggal pada 1917 dalam pengasingannya di Sukabumi dan dimakamkan di
dikuburkan di atas bukit dekat SPBU Situawi.
Pada tahun 2006, di masa pemerintahan
Gubernur Bandjela Paliudju, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah memindahkan
jenazah Karajalembah dari Sukabumi ke Desa Watunonju, Kabupaten Sigi.
Pemindahan ini menelan biaya sekira Rp250 juta, dengan tujuan untuk memudahkan
perawatan sekaligus upaya memperjuangkan Raja Sigi Karajalembah sebagai
pahlawan nasional.
Makam Karajalembah ditetapkan
sebagai salah satu Cagar Budaya di Sulawesi Tengah. Untuk mengenangnya, banyak
jalan raya di kota-kota Sulawesi Tengah seperti Palu dan Sigi Biromaru yang dinamai
Jalan Karajalembah.
Sementara itu, Mahasuri yang
melarikan diri ke arah timur Pulau Jawa, menetap hingga meninggal dunia di
Probolinggo, Jawa Timur.
0 comments:
Posting Komentar