Megalit menjadi objek utama dari
citra pariwisata Sulawesi Tengah (Sulteng) di masa depan.
Dinas Pariwisata Sulteng pun
mengusung slogan “Negeri Seribu Megalit” sebagai jualan untuk menarik atensi
para wisatawan datang berkunjung.
Kepala Dinas Pariwisata Sulteng
Diah Agustiningsih dalam wawancaranya kepada Tutura.Id mengungkapkan, wisata
megalit telah masuk dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (RIPAR)
Provinsi Sulawesi Tengah.
Menurut Diah, usia patung megalit
tersebut berdasarkan hasil penelitian kurang lebih 3000 tahun Sebelum Masehi.
Namun, pesona ini belum
dimanfaatkan sebagai potensi wisata. Mereka yang datang berkunjung hanya
terbatas para peneliti.
Ada empat kawasan lembah di tiga
kabupaten Sulteng yang selama ini menjadi ”taman bermain” para peneliti. Itu
berlangsung sejak era penjajahan Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kala itu ada Albertus Christian
Kruyt dan Nicolas Adriani yang telah mendokumentasikan megalit dalam "Van
Poso naar Parigi Een Lindoe". Di dalamnya menyebutkan beberapa tinggalan
arkeologi di daerah Poso dan Danau Lindu.
Setelah kemerdekaan, dalam kurun
waktu Tahun 1975-1976, Indonesia pertama kali melakukan penelitian peninggalan
megalitik di Kawasan Lore Lindu. Tim ini dipimpin oleh Haris Sukendar yang
berasal dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas).
Gambar patung Palindo di Lembah
Bada kemudian jadi salah satu Ikon Budaya Megalitik Indonesia dalam
"Pameran Filateli internasional" di London, Inggris, pada tahun 1980.
Majalah National Geographic
Indonesia, terbitan Oktober 2018, secara khusus menampilkan megalit di Sulteng
sebagai laporan utama dan mengulasnya secara mendalam.
Laporan berjudul "Mencari
Leluhur Sulawesi" menyebut Dwi Yani Yuniawati Umar alias Atik sebagai salah
satu arkeolog Indonesia yang paling gandrung melakukan penelitian di kawasan
ini.
Dituliskan bahwa penelitian yang
dilakukan Atik dan kawan-kawan pada 2013 berhasil menemukan 1.466 megalit dari
83 situs.
Jumlah itu hanya mereka dapatkan
di kawasan Lore yang mencakup Lembah Behoa, Bada, dan Napu, Kabupaten Poso.
Atik juga menemukan kronologi
yang cukup tua dari tulang-tulang yang terkubur di Situs Wineki. Dari hasil
penelitian berdasarkan penanggalan karbon, usia temuan itu sekitar tahun
2531-1416 SM.
Alhasil Situs Wineki jadi yang
tertua di antara situs lain di lembah-lembah kawasan Lore Lindu. Temuan ini
mirip dengan peninggalan di Lembah Mekhing (Laos) dan Assam (India).
Makna sejarah yang terkandung
dalam peninggalan zaman batu besar (megalitikum) di Sulteng jadi sumbangsih
besar untuk ilmu pengetahuan dunia.
Badan PBB UNESCO sejak 2019 telah
mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah
Provinsi Sulawesi Tengah untuk mempersiapkan kawasan Megalitik Lore Lindu dalam
pengusulan menjadi Warisan Dunia (World Heritage) hingga tahun 2029.
Bagi yang masih awam, kami
menyarikan letak situs-situs megalit yang tersebar mulai dari Lembah Palu,
Napu, Behoa dan Bada.
Peninggalan zaman megalitikum berupa kalamba (Foto: Kholik/Shutterstock)
Lembah Palu
Adriani dan Kyrut telah menemukan
sebuah lumpang batu besar di dekat Kampung Bora, Lembah Palu, pada 1898.
Penelitian selanjutnya
berlangsung 1975. Tim pengumpulan data Masterplan menemukan lumpang-lumpang
batu di Bangga, Vatunonju, Tulo, Dolo, dan Pevunu yang semuanya terletak di
Kabupaten Donggala (sekarang Kabupaten Sigi).
Lumpang-lumpang batu tersebut
semuanya terbuat dari batu berwarna putih yang mengandung partikel-partikel
kristal putih. Diperkirakan bahwa Vatunonju dulunya merupakan perkampungan kaum
megalitikum.
Hingga sekarang 12 buah lumpang
batu di Desa Vatunonju tetap dipelihara dan dilindungi menjadi situs taman
purbakala atau cagar budaya arkeologi.
Vatunonju atau biasa pula disebut
Watunonju berada sekitar 30 kilometer sebelah selatan Kota Palu. Secara
administrasi merupakan salah satu desa di Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten
Sigi.
Selain Vatununjo, di Desa Bangga
yang masuk wilayah Kecamatan Dolo Selatan juga terdapat 15 buah lumpang batu.
Bersamanya ditemukan pula kereweng alias pecahan benda yang terbuat dari tanah
liat atau tembikar berhias pola tali. Ada juga kereweng polos tanpa pola.
Lumpang batu juga ditemukan berada di Desa Tulo dan Desa Pevunu. Semuanya
merupakan peninggalan megalit.
Lembah Napu
Berjarak sekitar 116 kilometer
dari Kota Palu, Lembah Napu terletak pada ketinggian 1000 meter di atas
permukaan laut sehingga cuacanya jadi lebih sejuk sepanjang tahun. Lembah ini
merupakan wilayah penyangga dari Taman Nasional Lore Lindu.
Menurut cerita rakyat yang
dituturkan turun-temurun, dahulu Lembah Napu adalah danau luas. Sebutannya
"Rani Raba". Setelah Rano Raba mengering dan menjadi permukiman
penduduk, tersisa hingga saat ini danau kecil bernama "Rano Wanga".
Warisan dari zaman megalitikum
yang ditemukan di sekitar Danau Lindu berupa lumpang batu, monolit, menhir, dan
peti kubur kayu. Majalah National Geographic Indonesia menuliskan, di Lembah
Napu terdapat 17 situs megalitik di daerah cakupan Kabupaten Poso dengan luas
sekitar 40.000 hektare.
Total 312 benda peninggalan zaman
megalitikum yang ditemukan di Lembah Napu. Letak persebarannya ada di Kecamatan
Lore Utara, Kecamatan Lore Timur, dan Kecamatan Lore Peore.
Patung Tadulako jadi salah satu daya tarik kunjungan ke Lembah Behoa (Foto: Raynton Rare'a/Shutterstock)
Lembah Behoa
Lembah Behoa atau Besoa terletak
1200-1700 meter di atas permukaan laut. Jaraknya sekira 161 kilometer dari Kota
Palu alias menghabiskan waktu lebih dari empat perjalanan dengan kendaraan
bermotor.
Tempat ini paling banyak
ditemukan peninggalan megalit. Jumlahnya 824 megalit yang tersebar di 33 situs.
Mungkin karena alasan itu pula
daerah ini menjadi salah satu calon tuan rumah peluncuran program pariwisata
“Negeri Seribu Megalit” oleh Pemerintah Provinasi Sulteng.
Koran Radar Sulteng sempat
membuat seri tulisan berisi petualangan mencari megalit di Lembah Behoa
bertajuk "Megalit Hunt" yang rilis pada 2017.
Situs Pokekea diulas utuh dalam
satu tulisan mengingat keunggulan situs ini dibandingkan situs-situs lainnya yang
ada di Lembah Behoa.
Letak Situs Pokekea ada di Dusun
Pendele, Desa Hanggira. Tak hanya peneliti yang sering mampir ke tempat ini,
tapi juga orang awam.
Mereka biasanya mendirikan tenda
untuk kemping sembari melihat kumpulan megalit yang cukup beragam.
Berdasarkan keterangan Juru
Pelihara Situs Pokekea Sunardi Pokiro, ada 103 benda megalit yang tersebar di
wilayah ini, mulai dari kalamba, tutup kalamba, arca batu, batu dakon, lumpang
batu, meja altar, batu dulang, batu bergores, hingga gerabah kubur.
Sementara di situs lainnya
penemuan benda megalit bisa dihitung dengan jari dan letaknya terpencar.
Misalnya, di Desa Lempe yang
memiliki Situs Lempe, Situs Padang Hadoda, Situs Tovera, dan Situs Tundu Wanua.
Di Situs Lempe yang terletak di
hutan dengan pepohonan yang masih rapat ditemukan patung megalit berupa ibu
hamil.
Adapun peninggalan berupa patung
Tadulako yang tersohor itu ada di Situs Tadulako yang berlokasi di Desa Bariri.
Tak jauh dari Situs Tadulako, ada
Situs Padang Masoara yang memiliki megalit dengan pahatan wajah hewan.
Warga lokal memercayainya sebagai
patung monyet. Bila beruntung di lokasi ini dapat menemukan anggrek macan.
Lembah Bada
Lembah yang berada di Kabupaten
Poso ini jadi tempat mengalirnya Sungai Lariang yang menyatu dengan Sungai
Malei. Daerahnya relatif datar yang dikelilingi perbukitan.
Tahun 2013, tercatat sebanyak 330
tamuan megalit tersebar di 33 situs yang ada di kawasan ini.
Selain patung Palindo yang kadung
populer, temuan lainnya adalah kalamba (kubur batu), batu gores, wati baula,
dan masih banyak lagi.
Beberapa situs penting di lembah
ini, antara lain Situs Suso yang memiliki kalamba berukuran raksasa sebagai
daya tarik.
Ada pula arca dengan posisi tidur
berukuran tinggi 175 centimeter dan lebar 76 centimeter. Memiliki pahatan
laiknya anatomi manusia yang terdiri dari kepala, mata, hidung, telinga, dan
tangan bersilang di bawah perut.
Patung besar lainnya juga
ditemukan di Desa Runde. Hanya saja bentuknya tidak menyerupai manusia,
melainkan dipercaya sebagai patung kerbau. Letaknya ada di tengah sawah
penduduk.
Ada banyak situs megalit lain
yang khas dan unik di Lembah Bada. Mereka tersebar di segala penjuru lembah,
mulai dari kaki gunung, sawah, kebun warga, pekarangan rumah, hingga ada yang
menjadi median jalan.
Sumber : https://tutura.id/homepage/readmore/mengenal-lebih-dekat-negeri-seribu-megalit-1689161401
0 comments:
Posting Komentar