ETNIS KAILI DAN ADAT PITUMPOLE
TO KAILI atau orang Kaili, adalah
salah satu etnis yang memiliki sub etnis terbesar dari 24 etnis yang hidup di
wilayah Propinsi Sulawesi Tengah. Kebanyakan etnis Kaili mendiami wilayah
lembah Palu, sebagai ibukota propinsi, memiliki berbagai keragaman seni budaya
yang menjadi eksotika, pesona keindahan kehidupan masyarakatnya, ditunjang
dengan panorama alam yang tak kalah banding dengan daerah lain di Indonesia.
Dari rupa warna dinamika
kehidupan budayanya, hingga saat ini yang masih tumbuh lestari, dipelihara oleh
masyarakat Kaili adalah ADAT PERKAWINAN.
Salah satu adat perkawinan yang
masih terpelihara dan dilaksanakan adalah rangkaian adat perkawinan bangsawan
etnis Kaili Kota Palu di Sulawesi Tengah “PITU MPOLE “ .
PITU artinya tujuh dan MPOLE
berarti ikatan. Simbol dari adat PITUMPOLE adalah TAIGANJA ( terbuat dari emas
sebagai lambang kehormatan adat), DOKE dan TINGGORA serta 7 (tujuh) lembar kain
MBESA (kain kulit kayu) yang diletakkan di atas DULA PALANGGA ( dulang berkaki
), diserahkan oleh pihak keluarga calon pengantin pria kepada keluarga calon
pengantin wanita pada saat NANGORE BALANJA (mengantar harta).
Makna dari PITUMPOLE adalah
MABOSU TAINA ( cukup pangan ), MARANGGALA BUKUNA ( kuat / kekar ), MANAPA
POPAKEANA ( cukup sandang ), MANOU BALENGGANA ( teduh ), MAPIRI MATANA (lelap
dalam tidur), MALINO TALINGANA ( tenang dalam pendengaran ), MAREME
PANGANTOAKANA ( terang dalam penglihatan ).
SEBELUM PERKAWINAN
Sebelum saat perkawinan tiba,
terlebih dahulu dilakukan beberapa upacara adat, yaitu :
NOTATE DALA
Bilamana pilihan calon istri
telah disepakati oleh orang tua dan seluruh keluarga dekat dan anak laki – laki
itu sendiri, maka diadakanlah usaha NOTATE DALA, yaitu merintis jalan akan
adanya kemungkinan jalan yang terbuka bagi pihak keluarga laki – laki untuk
meneruskan peminangan.
Upacara ini bertujuan untuk
mencari informasi tentang apakah calon pengantin perempuan sudah terikat dengan
laki – laki lain atau belum.
NOTATE DALA tentunya akan
berdampak pada dua kemungkinan, yaitu pinangan diterima atau ditolak. Bagi
etnis Kaili, penolakan pinangan dianggap satu hal yang cukup memalukan pihak
keluarga laki – laki.
Prosesi usaha merintis jalan
(NOTATE DALA) dilakukakan dengan cara mengutus keluarga terdekat pihak laki –
laki yang disebut suro atau kurir, berkunjung secara kekeluargaan ke rumah
pihak keluarga perempuan untuk mencari informasi. Utusan ini melaksanakan
tugasnya dengan sangat rahasia menyampaikan niat pihak keluarga laki - laki
kepada pihak orang tua perempuan. Penyampaian maksud kedatangan merekapun
menggunakan kata – kata kias sebagai media penyampaiannya.
Bila jalan yang dirintis telah
terbuka, NOTATE DALA merupakan tonggak utama untuk melanjutkan niat pihak
keluarga laki - laki untuk menuju tahapan peminangan atau nebolai.
NEBOLAI
Nebolai atau peminangan,
digunakan untuk kalangan para raja atau bangsawan. Sementara untuk kalangan
rakyat biasa disebut Neduta.
Tujuan peminangan yaitu
mengajukan lamaran kepada anak gadis untuk dikawinkan atau dijodohkan dengan
seorang laki – laki dari pihak keluarga yang melamar. Dalam bahasa Kaili maksud
peminangan ialah nantarima karava nujarita dako rimombine, artinya menerima
kejelasan atau ketegasan hasil musyawarah dari pihak keluarga perempuan.
Upacara ini umumnya dilakukan di
rumah keluarga perempuan. Saat peminangan, biasanya anak gadis yang akan
dilamar diusahakan tidak berada di rumahnya. Si gadis oleh keluarganya diajak
bertandang ke rumah keluarga lainnya atau diundang secara khusus oleh keluarga
terdekatnya. Hal ini dimaksudkan agar yang bersangkutan tidak mengetahui hal –
hal yang dibicarakan di rumahnya.
Dalam upacara NEBOLAI, pihak
keluarga laki – laki membawa perangkat adat yang disebut SAMBULU GARO ( sirih
pinang ), SAMPU LOIGI ( perhiasan emas untuk wanita ) dan SABALE KAMAGI ( buah
kalung emas ) yang berfungsi sebagai PEMBEKA NGANGA atau pembuka mulut untuk
mengawali pembicaraan meminang. Terjadilah dialog antara juru bicara dari pihak
keluarga laki – laki atau TOPEBOLAI dengan juru bicara pihak keluarga perempuan
atau TOPANTARIMA PEBOLAI.
Dari hasil pembicaraan kedua
belah pihak keluarga, akhirnya SINTUVU atau kesepakatan dibulatkan untuk
menjodohkan anak mereka. Sebagai simbol tanda kesepakatan, oleh utusan pihak
keluarga laki – laki mengikat anak gadis yang telah dipinang dengan POMPOKADA
atau pengikat kaki. Umumnya POMPOKADA berbentuk cincin kawin sebagai tanda
ikatan bagi kedua calon pengantin, dengan harapan dari keluarga kedua belah
pihak anak mereka tidak lagi melirik pria atau gadis lain, membatasi pergaulan
mereka, bersama – sama menjaga harkat dan nama baik keluarga.
NO OVO
Setelah pembicaraan NEBOLAI atau
peminangan selesai, oleh kedua belah pihak keluarga melanjutkan musyawarah
mereka untuk menentukan atau NO OVO pelaksanaan mengantar harta belanjaan bagi
calon pengantin wanita atau NANGORE BALANJA, penentuan mahar atau SUNDA dan
hari pelaksanaan akad nikah atau EO MPONIKA, yang biasa juga disebut EO MATA
MPOBOTI atau hari perkawinan.
Di kalangan etnis Kaili,
menentukan hari – hari pelaksanaan upacara adat tersebut tidak sembarang.
Sebuah perhitungan secara tradisi yang masih terpelihara secara turun temurun
pada masyarakat Kaili yang disebut KOTIKA, digunakan untuk mencari dan
menentukan hari – hari baik pelaksanaan upacara - upacara adat tersebut.
Rumus perhitungan KOTIKA sangat
sederhana namun diyakini jitu untuk dijadikan perhitungan, menggunakan telapak
dan jari – jari tangan yang mempunyai simbol angka dan maknanya.
NANGORE BALANJA
Upacara adat NANGORE BALANJA
adalah proses penghantaran harta belanjaan darai pihak keluarga calon pengantin
laki – laki ke rumah calon pengantin perempuan. Jumlah pelaksana upacara adat
ini lebih besar dari jumlah pelaksana upacara adat NOTATE DALA dan NEBOLAI.
Rombongan keluarga laki-laki terdiri dari para orang tua adat ( TOTUA NU ADA ),
tokoh masyarakat (TOTUA NU NGATA), keluarga dan kerabat lainnya. Demikian pula
halnya di rumah calon pengantin perempuan, sudah menanti pula para orang tua
adat, keluarga dan kerabat mereka.Umumnya NANGORE BALANJA dilaksanakan sore
hari.
Rombongan pihak keluarga laki –
laki selain membawa sambulu ( sirih pinang ) yang berfungsi sebagai suatu adat
yang menandakan memasuki jenjang perkawinan atau ADA MPOBEREI. Selain sambulu,
harta bawaan pihak keluarga laki – laki juga membawa uang tunai ( DOI BALANJA )
yang jumlahnya sesuai kesepakatan saat NEBOLAI, beras, pakaian dan kelengkapan
kosmetik calon pengantin wanita, tempat tidur lengkap, aneka buah – buahan
serta kue atau penganan khas daerah.
Khusus buah – buahan, semuanya
dibawa menggunakan SAVIRA, semacam keranda terbuka yang dibuat dari bambu
kuning ( BOLOVATU ), diusung saat dibawa ke rumah calon pengantin perempuan.
MOTINDA ULA ULA
ULA ULA terbuat dari kain yang
berbentuk orang – orangan berjumlah 2 buah, berwarna merah dan kuning
dipancangkan pada sisi kanan dan kiri depan pintu pagar rumah calon pengantin wanita,
memakai tiang dari bambu kuning. ULA ULA adalah simbol pelaksanaan sebuah pesta
adat.
Memasang atau memancangkan ULA
ULA, juga melalui prosesi adat yang disebut MOTINDA ULA ULA.
Oleh seorang pemuka adat, sebelum
ULA ULA dipancangkan terlebih dahulu dibacakan mantera – mantera atau ( GANE )
lalu ditetakkan darah ayam atau (NICERA) pada tiangnya.
Setelah ULA ULA berdiri
terpancang, dengan demikian pesta adat dinyatakan dimulai. Tetabuhan musik
tradisional KAKULA mulai dibunyikan dan segala aktifitas pembuatan kelengkapan
pesta sudah boleh dilaksanakan, seperti : membuat MATUBO (pintu gerbang) yang
dihiasi janur ( NIVERA ), TANGGA LANJARA ( tangga yang terbuat dari anyaman
bambu kuning ) di pintu pagar rumah calon pengantin perempuan. Pada sisi kanan
dan kiri TANGGA LANJARA diletakkan pohon pisang yang berbuah tanpa daun masing
– masing 1 pohon, kelapa muda 3 – 5 buah, nangka yang sudah masak 2 buah, 2
batang tebu yang masih lengkap dengan akar dan daunnya dan taba. Sementara itu
di dalam rumah juga dimulai kegiatan membuat PUADE ( pelaminan ).
Perihal musik tradisional KAKULA
adalah seperangkat alat musik yang terdiri dari KAKULA ( gamelan ) berjumlah 7
buah bernada pentatonis, 2 buah TAWA –TAWA ( gong ) dan 1 buah GIMBA ( gendang
). Alat musik ini memainkan aneka irama tradisi seperti NDUA-NDUA, PALANGA dan
ANADARA BOTITO.
M O D U T U
MODUTU adalah proses pelaksanaan
dekorasi kamar dan ranjang pengantin. Kelengkapan tata rias interior kamar dan
ranjang pengantin terdiri dari aneka kain warna warni bersulam ornamen khas
daerah. Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh kaum wanita, dibantu kaum remaja
yang dipimpin oleh orang tua adat dan ibu perias pengantin (TINA NUBOTI).
NOMANU – MANU DAN NOMPASOA
NOMANU – MANU merupakan sebuah
tradisi dalam rangkaian upacara perkawinan bangsawan Kaili yang bersifat
hiburan sebelum dilaksanakan upacara NOMPASOA (mandi uap) bagi calon pengantin
pria. Dalam prosesi upacara adat ini calon pengantin pria bersama 6 orang pria
lainnya mengenakan sarung panjang ( BUYA AWI ) berwarna - warni yang menutup
seluruh badan mereka. Ketujuh pria ini, termasuk calon pengantin pria oleh
orang tua adat wanita diraba di bagian kepala untuk dicari / ditebak mana calon
pengantin pria yang sesungguhnya.
Prosesi ini biasanya berlangsung
agak lama karena postur tubuh ketujuh pria ini hampir sama. Setelah ditemukan,
calon pengantin pria dibawa oleh orang tua adat wanita (TOPOPASOA) ke tempat
mandi uap yang telah disiapkan, lalu calon pengantin pria pun dimandi uapkan
(NIPASOA).
Adapun kelengkapan untuk mandi
uap (NOMPASOA) terdiri dari : sebuah loyang besar yang diisi air dingin, batu
yang dipanaskan dan aneka daun dan kembang yang harum baunya.
N O G I G I
Menurut kepercayaan To Kaili (
orang Kaili ), setiap calon pengantin sebelum melangsungkan akad nikah sebagian
bulu – bulu badan keduanya harus dicukur yang dianggap sebagai sumber
kecelakaan hidup, biasa disebut VULU CILAKA. Bagi calon pengantin perempuan,
yang dicukur adalah bagian – bagian rambut bagian depan termasuk bulu – bulu
tengkuk, alis mata dan bagian bulu kepala bagian muka serta tangan dan kaki,
harus dilicinkan. Sementara bagi calon pengantin pria hanya pada bagian alis
atau tengkuknya saja. Mencukur sebagian bulu badan inilah yang disebut NOGIGI.
Upacara NOGIGI dilakukan oleh
orang tua adat wanita, juga bertujuan untuk memantapkan keyakinan kedua calon
pengantin bahwa mereka telah siap meninggalkan masa mudanya dan secara mental
siap menghadapi hari depan mereka dengan keyakinan yang kokoh, kuat dalam
dirinya masing-masing.
Bagi kalangan bangsawan Kaili,
sebelum dicukur (NIGIGI), calon pengantin perempuan dari kamarnya diangkat
dengan kursi ke kamar adat yang telah disiapkan, menggunakan sarung panjang
(BUYA AWI) dan saat dicukur calon pengantin dipangku oleh ibunya sebagai tanda
kasih saying pada si anak.
Selain pisau cukur, dalam upacara
NOGIGI juga disiapkan kelengkapan berupa segelas air, daun kamonji, silaguri,
patoko dan siranindi. Selain itu disiapkan pula JAJAKA, terdiri dari : gula
merah, 1 butir telur ayam, 1 buah kelapa yang sudah bertunas, 3 ikat padi, 1
buah benang, 1 mangkuk beras yang di atasnya diletakkan sebatang sirih dan
pinang.
MOKOLONTIGI
MOKOLONTIGI artinya malam
pacar,sebuah upacara adat turun temurun yang dilaksanakan oleh etnis Kaili,
sehari sebelum melangsungkan akad nikah.
Nokolontigi dimaksudkan sebagai :
1. Memberikan kekuatan kepada
calon pengantin agar tidak mudah dipengaruhi oleh setan dan roh – roh jahat
2. Memberikan makna dan arti
simbolik bagi keduanya tentang ancaman bilamana terjadi perceraian
3. Agar kedua calon pengantin
umur panjang, mudah rezeki, hati yang terang dan pikiran yang tajam
Yang paling pokok dalam acara
Nokolontigi adalah berkumpulnya seluruh sanak keluarga, kerabat dan handai
taulan yang memberi doa restu disertai harapan agar kelak calon pengantin dapat
membangun mahligai rumah tangga yang hakiki, sakinah, mawaddah warahma.
Dalam adat PITUMPOLE, pelaku
MOKOLONTIGI terdiri dari 7 orang laki – laki dan 7 orang perempuan. Mereka
umumnya adalah orang tua adat, tokoh masyarakat dan pemuka agama.
Perangkat pokolontigi terdiri
dari :
Bantal, umumnya dipakai sebagai
pengalas kepala saat tidur, melambangkan kehormatan dan martabat seseorang.
Kain Putih, simbol dari kesucian
dan keagungan, bermakna agar calon pengantin dalam kehidupannya kelak cukup
sandang, dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka selalu berada di jalan
yang lurus, suci, diridhoi oleh Allah SWT di dunia dan akhirat.
Daun Pisang, perlambang pohon
yang dingin dan sejuk, mudah tumbuh berketurunan, bermakna agar kedua calon
pengantin tetap dalam suasana kesejukan, hidup aman dan tentram, diberi
keturunan yang saleh atau salehah.
Air, lambang kehidupan. Siklus
kehidupan di bumi ini selalu tergantung pada air. Bagi calon pengantin,
bermakna kesinambungan hidup, umur panjang, banyak rezeki, meluap bagai mata
air, mengalir tak henti, suci dalam berpikir lahir dan bathin.
Daun kolontigi atau daun pacar,
apabila diletakkan di telapak tangan akan menjadi merah. Makna simbolik dari
warna merah adalah keberanian, ikrar yang tak bias dipungkiri oleh kedua calon
pengantin bahwa mereka telah resmi bertunangan, tidak boleh melirik wanita atau
pria lain. Kolontigi juga sebagai lambang kesenangan dan membuat hati terang
Minyak, melambangkan kehidupan
yang mapan, tak ada hambatan dalam mencari rezeki, licin bagai minyak.
Disimbolkan pula sebagai strata kehidupan, karena bila di air, minyak akan
selalu di atas. Begitupun kehidupan kedua calon pengantin kelak.
Bedak, perlambang sebuah
perlindungan dan pesona aura. Olehnya, dalam mengarungi bahtera rumah tangga,
kedua calon pengantin selalu terlindungi, memperoleh kebahagiaan,
kesejahteraan, kesejukan, pesona aura kecantikan dan ketampanan mereka tetap
terjaga, sejuk dan damai.
Lilin, yang diputar di depan
calon pengantin bermakna sebagai suluh atau obor penerang dalam mengarungi
bahtera rumah tangga, kemudian ditiup sampai padam oleh calon pengantin yang
bermakna untuk mengusir iblis yang selalu menggoda hati manusia. Kita ketahui
bahwa iblis diciptakan Allah SWT dari api. Kemudian arang dari sumbu lilin yang
dipadamkan diletakan di dahi, leher dan pusat. Hal ini bermakna sebagai tolak
bala atau pelindung dari godaan iblis dan roh jahat yang masuk dari mata, ubun
– ubun, telinga, tenggorokan dan pusat.
Beras Kuning, bermakna semoga
calon pengantin memperoleh perlindungan, kesehatan, kesejahteraan, selamat dan
bahagia serta maghfirah dari Allah SWT.
Setelah NOKOLONTIGI selesai,
calon pengantin pria diberikan sarung untuk dikenakannya dari keluarga calon
pengantin perempuan, yang disebut NIPASALINGI.
NIPASALINGI dimaksudkan sebagai
bentuk penghargaan bagi calon pengantin pria yang nantinya secara resmi menjadi
anggota keluarga calon pengantin wanita.
MANGGENI BOTI
Didahului dengan kedatangan
utusan penjemput dari pihak keluarga calon pengantin wanita yang datang ke
rumah calon pengantin wanita, calon pengantin pria dan rombongan pengantarnya
siap menuju rumah calon pengantin wanita untuk pelaksanaan akad nikah. Dari
SOURAJA (kediaman Raja), calon pengantin pria diantar / diarak oleh rombongan orang
tua adat, tokoh masyarakat, pemuka agama, kerabat dan keluarga. Prosesi
mengantar calon pengantin pria ini disebut MANGGENI BOTI.
Bagi kalangan bangsawan Kaili,
calon pengantin pria dinaikkan ke punggung seekor kuda yang telah disiapkan
lalu dibawa berjalan menuju rumah calon pengantin wanita. Calon pengantin ini
dikawal oleh 2 orang pemuda yang juga berkuda, dengan pakaian adat lengkap yang
disebut PANGAMPI sebagai simbol kebesaran.
Pasukan pengawal lainnya yang
berada pada posisi terdepan adalah TOPEAJU. Pasukan ini dikenal gagah berani,
siap menghalau musuh atau orang – orang jahat yang mencoba menghalangi
rombongan calon pengantin pria di sepanjang perjalanan.Mereka dilengkapi dengan
senjata khas Kaili berupa DOKE ( tombak ), KALIAVO ( perisai ) dan GUMA (parang
panjang).
Sepanjang perjalanan menuju rumah
calon pengantin wanita, TOPEAJU memekikkan teriakan – teriakan heroik atau NEAJU
sebagai simbol semangat dan kegigihan mereka untuk mengawal calon pengantin.
Selain itu, iring – iringan calon pengantin pria juga dimeriahkan oleh
tetabuhan musik tradisi RABANA.
MBATOMUNAKA BOTI
Inilah prosesi penjemputan calon
pengantin pria sebelum memasuk pintu gerbang rumah calon pengantin wanita,
MBATOMUNAKA BOTI ( penjemputan pengantin ).
Di pintu gerbang rumah calon
pengantin wanita telah siap pasukan bersenjata khas lengkap ( TOPEAJU ). Perang
– perangan pun terjadi antara TOPEAJU dari pihak calon pengantin pria dengan
TOPEAJU dari calon pengantin wanita. Ibaratnya mereka saling bersikukuh untuk
mempertahankan kebesaran Rajanya. Di satu pihak mencoba untuk menerobos masuk,
namun pihak lainnya menghalangi.
Suasana perang pun menjadi damai
setelah sang Raja dan Permaisuri (ayah dan ibu kandung calon pengantin wanita)
datang menjemput calon menantunya untuk dibawa ke dalam rumah mereka
melaksanakan prosesi akad nikah sambil diiringi musik tradisi KAKULA.
Setelah turun dari kuda sambil
diantar oleh kedua calon mertua, calon pengantin pria berjalan dan dipayungi
dengan paying kebesaran kerajaan. Memasuki halaman rumah, calon pengantin pria
berjalan diatas hamparan daun pinang yang dilapisi kain putih sampai di tangga
rumah calon pengantin wanita.
Sebelum menaiki tangga rumah
dilakukan prosesi PETAMBULI (sebuah prosesi dialog menggunakan bahasa adat
Kaili sebagai salam hormat untuk memasuki rumah calon pengantin wanita).
Seorang tetua adat ( TOPETAMBULI ) dari calon pengantin pria sambil memegang DOKE
(tombak) menyampaikan salam….. Ri pura – puramo tupu banua (sudahkah ada semua
tuan rumah). Lalu dijawab oleh tetua adat dar calon pengantin wanita……. Ri pura
– puramo, le nague – gue (sudah ada semua, tidak ada yang kurang). Kemudian
dilanjutkan oleh tetua adat calon pengantin pria dengan kata –kata…….. Muli
ntopebolai kana mebolaimo, yang dijawab oleh tetua adat calon pengantin
wanita……. Muli ntopebolai kana rabolaimo artinya keturunan asal dari orang
meminang harus dipinang yang dijawab keturunan asal dipinang mesti harus
dipinang.
Setelah prosesi PETAMBULI
selesai, calon pengantin pria oleh tetua adat wanita diulurkan CINDE untuk
dipegangnya sambil ditarik masuk ke dalam rumah dan dihamburkan beras kuning (
NIKAMBU OSE KUNI ) sampai calon pengantin duduk di tempat yang telah disiapkan.
CINDE adalah perangkat adat untuk
menjemput calon pengantin pria atau tamu agung yang berkunjung di Tana Kaili.
CINDE terbuat dari kain putih dililit dengan MBESA (kain tenunan khas, dulu
bahannya terbuat dari kulit kayu) yang panjangnya 4 atau 8 meter. Ujung
lilitannya diisi telur ayam 1 butir, gula merah dan beras. Untuk menguatkan
lilitannya digunakan PONTO NDATE atau gelang panjang.
ULU CINDE ( diulurkan cinde ) dan
NIKAMBU OSE KUNI (dihamburkan beras kuning) bermakna simbolik agar calon
pengantin murah rezeki, dapat merasakan manisnya kehidupan, kompak dalam
mengarungi bahtera rumah tangga dan senantiasa diberi perlindungan dari Tuhan
Yang maha Esa.
M O N I K A
MONIKA artinya akad nikah.
Sebelum prosesi akad nikah dilaksanakan, terlebih dahulu diawali dengan
penyerahan SAMBULU GANA ( sirih pinang lengkap ) dari utusan yang telah
dipercayakan oleh pihak keluarga calon pengantin pria yang diterima oleh
penerima sambulu yang telah dipercayakan oleh pihak keluarga calon pengantin
wanita. SAMBULU GANA dianggap sebagai kepala adat ( BALENGGA NU ADA ) untuk
memulai sebuah prosesi adat pernikahan PITUMPOLE bagi kalangan bangsawan etnis
Kaili di lembah Palu. Dalam adat istiadat Kaili, SAMBULU GANA harus berkepala (
NOBALENGGA ) berupa 1 ekor kambing, berotak ( NOUNTO ) berupa cincin emas,
berisi ( NOISI / NOKANDEA ) berupa beras 25 liter. Selain SAMBULU GANA, juga
diserahkan SUNDA ( mahar / mas kawin ), biasanya berupa uang tunai dan
seperangkat alat shalat.
Setelah serah terima SAMBULU GANA
dan SUNDA dilaksanakan, dilanjutkan dengan pelaksanaan Ijab Kabul. Secara umum
jalannya prosesi acara ini sesuai dengan syariat agama Islam yang dianut oleh
sebagian besar penduduk kota Palu.
NOGERO JENE
Setelah ijab kabul dilaksanakan,
pengantin pria diantar ke kamar pengantin wanita untuk membatalkan wudhu atau
NOGERO JENE. Turut serta dibawa masuk ke kamar pengantin wanita oleh pengantar
pengantin pria adalah SAMBULU GANA dan SUNDA ( mahar ).
Prosesi acara ini umumnya
mengikuti aturan sesuai syariat agama Islam.
NOPATUDA
NOPATUDA artinya duduk bersanding
bagi kedua pengantin. Inilah saat kedua pengantin duduk di pelaminan ( PUADE )
untuk disaksikan oleh seluruh yang hadir. Bagi kalangan bangsawan etnis Kaili,
tata cara duduk kedua pengantin mempunyai aturan tertentu yakni NOSULEKA atau
duduk bersila bagi pengantin pria dan bagi pengantin wanita, kaki kanannya
diangkat, kedua tangan dipangku dan diletakkan di atas lutut kanan. Busana yang
dipakai pengantin juga mencerminkan ciri khas bangsawan yaitu warna kuning.
Adapun kelengkapan busana dan
aksesoris pengantin bangsawan etnis Kaili adalah :
Yang digunakan pengantin wanita :
- Baju Gembe ( baju yang
bentuknya agak besar )
- Geno ( kalung )
- Pavala ( gelang lengan )
- Paseda ( gelang bundar )
- Pungu Tandu ( sanggul berbentuk
tanduk )
- Utu utu ( kain penutup kepala )
- Jimawalu, jima jiji, dali taru
( anting – anting panjang )
- Gogo ( kalung yang mengikat
lehar )
- Geno ( kalung panjang di dada )
- Sampoaro ( kalung lebar )
- Kavari ( kalung yang tergantung
di dada sampai punggung )
- Ponto Ndate ( gelang panjang )
- Lola ( gelang kaki )
- Vinti ( gelang kaki )
Yang digunakan pengantin pria :
- Baju Banjara ( baju lengan
panjang )
- Puruka Ndate ( celana panjang )
- Sigara ( destar / penutup
kepala )
- Geno ( kalung panjang di dada )
- Pavala dan Paseda ( gelang )
- Sulepa ( ikat pinggang )
- Keri ( keris )
Semua aksesories yang digunakan
pengantin terbuat dari emas. Demikian pula ornament yang menghiasi busananya, disulam
dari benang emas.
SESUDAH PERKAWINAN
MANDIU PASILI
Ini adalah prosesi adat
perkawinan di Tana Kaili bertujuan untuk mempererat hubungan suami istri, agar
keduanya dapat hidup rukun dan damai. MANDIU PASILI atau mandi kembang bagi
pengantin, dilakukan di depan pintu rumah pengantin wanita. Kedua pengantin
yang telah resmi menjadi suami istri memakai sarung panjang ( BUYA AWI ). Pria
duduk di atas sebilah kapak, sedang wanita duduk di atas alat tenun tradisional
yang disebut BOKO – BOKO, disampingnya diletakkan rumput PAKELA dan SILAGURI.
Kedua jenis rumput ini kecil
bentuknya tetapi akarnya sangat kuat menghujam melekat di dalam tanah.
Perangkat MANDIU PASILI, selain
loyang besar berisi air yang telah dicampur dengan ramuan aneka kembang dan
daun yang harum juga ada mayang kelapa dan mayang pinang. Untuk memayungi kedua
pengantin saat dimandikan, diletakkan kain putih dan jala ikan yang di atasnya
ditaruh sebutir telur ayam. Kain putih dan jala ini dipegang oleh 4 orang ibu –
ibu yang membantu jalannya prosesi MANDIU PASILI.
Oleh ibu pengantin ( TINA NUBOTI
) sebelum kedua pengantin disiram dengan air kembang terlebih dahulu dibacakan
mantera – mantera ( GANE – GANE ) ….. He Tupu, yaku mo mandiu pasili ana
botiku, maliuntinuvu, mandate kaloro, masempo dale, ne maraya mbulu …… artinya
Hai Tuhanku, aku memandikan kedua pengantin ini, agar perkawinan mereka
langgeng sampai akhir hayat, panjang umur, murah rezeki dan tidak mengalami
banyak penyakit. Selanjutnya kedua pengantin dimandikan oleh ibu pengantin.
Setelah selesai dimandikan, oleh
ibu pengantin kedua pengantin disatukan dengan ikatan kain putih pada pinggang
mereka dan dibawa berjalan masuk ke dalam rumah. Penghamburan beras kuning (
NOKAMBU ) tetap dilakukan. Setelah sampai di dalam rumah dan kedua pengantin
duduk pada tempat yang telah disiapkan, mereka NILILI atau diputarkan lilin
yang masih menyala di atas kepala keduanya lalu ditiup untuk dipadamkan
bersama. Arang dari sumbu lilin yang dipadamkan itu ditetakkan di dahi,leher
dan pusat kedua pengantin. Ini bermakna agar keduanya tidak diganggu oleh roh
atau ilmu jahat yang menurut kepercayaan orang Kaili biasa masuk lewat ubun –
ubun, leher atau pusat. Di akhir prosesi MANDIU PASILI dilakukan pembacaan do’a
secara syariat agama Islam sebagai ungkapan kesyukuran pada Tuhan Yang maha
Esa.
MEMATUA
Selain sebagai bagian akhir dari
seluruh prosesi upacara adat perkawinan PITUMPOLE, kalangan bangsawan etnis
Kaili, MEMATUA adalah kunjungan pertama pengantin wanita ke rumah mertuanya.
Upacara adat ini bertujuan untuk memberi penghargaan dan penghormatan pengantin
wanita dan kerabat keluarganya kepada kedua mertuanya.
Sebelum berkunjung ke rumah
mertuanya, terlebih dahulu pengantin dan rombongan yang akan mengantar mereka
dijemput oleh utusan dari pihak keluarga pengantin pria sebagai isyarat bahwa
keluarga pengantin pria telah siap menerima kunjungan mereka. Dalam kunjungan
MEMATUA, rombongan pengantar juga membawa PETAMPARI ( cinderamata ) dan PO’OLO
( aneka kue khas yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk sesajian
bertingkat ).
Sebelum masuk ke rumah pengantin
laki - laki, kedua pengantin di tangga rumah terlebih dahulu menginjakkan kaki
di DULA NU ADA ( dulang adat ). Hal ini bermakna agar kedua mempelai dalam
mengarungi bahtera rumah tangga selalu rukun, damai dan sejahtera. Semua
dilambangkan dengan kelengkapan perangkat DULA NU ADA yang terdiri dari : kapak
besi, rumput silaguri, rumput pamanu, daun kamonji, siranindi yang semuanya
diletakkan di atas nampan / dulang besar.
Menginjakkan kaki di atas DULA NU
ADA merupakan simbolik pernyataan kepribadian yang kokoh, kuat, bersatu dengan
bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam berumah tangga. Setelah itu
kedua pengantin diulurkan CINDE dan dihamburkan beras kuning ( NIKAMBU OSE KUNI
) oleh tetua adat wanita, dibawa sampai pada tempat duduk mereka yang telah
disiapkan.
Bagian lain dari prosesi MEMATUA
adalah NEINGGA dan NOSIPAKANDE. NEINGGA ditandai dengan pengikatan BOTIGA pada
pergelangan tangan kanan pengantin wanita.
BOTIGA, terbuat dari manik –
manik yang yang ditusuk dengan benang. Bila telah diikatkan pada pergelangan
tangan pengantin wanita, ini berarti pertanda bahwa pengantin wanita telah
resmi menjadi anak mantu sekaligus anggota keluarga pengantin pria dan berhak
mengemukakan pendapat dalam musyawarah keluarga, bila diperlukan. Hal ini juga
bermakna agar pengantin wanita dapat berbaur atau mosimposoa dengan keluarga, termasuk
anak cucu kelak, hidup sehat walafiat tanpa goresan – goresan pada kulit atau
berpenyakit kulit, yang dalam bahasa kaili ala nemo makata, makadoa dan
sebagainya.
Setelah NEINGGA dilanjutkan
dengan NOSIPAKANDE, dimana kedua pengantin saling memberi makan dan minum
sambil dituntun oleh seorang tetua adat wanita.
Sajian makanan dalam NOSIPAKANDE
terdiri dari UTA TAVA TOMOLOKU (sayur daun ketela rambat), BAU ( ikan ), DAGI (
daging ) dan segelas air putih. Semuanya bermakna agar kasih sayang diantara kedua
pengantin tak kan pupus, saling menjaga dan melindungi, hidup berketurunan
seperti tumbuhnya ketela rambat.
Setelah semua prosesi NOSIPAKANDE
selesai, dilanjutkan dengan pembacaan do’a menurut syariat agama Islam.
Sebelum kedua pengantin
disandingkan di pelaminan, rangkaian upacara adat MEMATUA diakhiri dengan
pemberian cindera mata ( PETAMPARI ) dari ayah dan ibu kandung pengantin pria,
saudara kandung dan keluarga dekatnya kepada anak mantu sebagai wujud tali
kasih atas kebahagiaan mereka atas selesainya hajatan perkawinan yang telah
dilaksanakan.
Diposting oleh TAMAN BUDAYA PALU
di 10.51
Sumber : https://tamanbudayapalu.blogspot.com/2009/01/kaili-dan-budaya-perakawinannya.html
0 comments:
Posting Komentar