Sukua atau Orang Kaili oleh sebagian ahli ilmu
bangsa-bangsa disebut juga sebagai orang Toraja Barat atau Toraja Palu, Toraja
Parigi-Kaili, Toraja Sigi. Mereka berdiam di wilayah Kabupaten Donggala,
Provinsi Sulawesi Tengah. Jumlah populasinya sekitar 300.000-350.000 jiwa. Suku
bangsa Kaili sebenarnya terdiri dari banyak sub-suku bangsa.
Dalam pergaulan antar suku bangsa
di Sulawesi bagian tengah setiap nama suku bangsa dilengkapi dengan prefiks to
yang berarti "orang". Sehingga orang Kaili disebut Tokaili atau To
Kaili. Sub suku yang lain juga adalah Palu (To-ri-Palu), Biromaru, Dolo, Sigi,
Pakuli, Bangga, Baluase, Sibalaya, Sidondo, Lindu, Banggakoro, Tamungkolowi,
Baku, Kulawi, Tawaeli (Payapi), Susu, Balinggi, Dolago, Petimpe, Raranggonau
dan Parigi.
Selain itu ada pula di antara
kelompok-kelompok mereka yang digolongkan orang luar sebagai masyarakat
"terasing", karena jarang sekali berhubungan dengan dunia luar. Sementara
itu di kalangan berbagai sub-suku bangsa tersebut terjadi lagi penggolongan
menurut wilayah pemukiman dan hubungan kekerabatan.
Bahasa Suku Kaili
Bahasa Kaili termasuk golongan
"bahasa tak" atau bahasa ingkar. Bahasa Kaili terbagi pula ke dalam
beberapa dialek, di samping adanya bahasa-bahasa sub-suku bangsa tertentu yang
dianggap asing bagi sub-suku bangsa yang lain. Dialek-dialek itu antara lain dialek
Kaili, dialek Tomini, dialek Dampelas, dialek Balaesang, dialek Pipikoro,
Bolano, Patapa, dan lain-lain.
Mata Pencaharian Suku Kaili
Mata pencaharian utama masyarakat
Kaili adalah bercocok tanam di sawah dan ladang. Tanaman yang biasa mereka
tanam adalah padi, jagung dan sayur-sayuran. Selain itu, pada masa sekarang
mereka juga bertanam cengkeh, kopi dan kelapa. Dari hutan mereka mengumpulkan
kayu hitam, damar, dan rotan yang cukup mahal harganya. Sebagian di antara
mereka menangkap ikan di sekitar pantai dan muara sungai. Mereka juga terkenal
sebagai penenun kain tradisional yang cukup terkenal, yaitu sarung Donggala.
Kekerabatan, Kekeluargaan Dan Kemasyarakatan Suku Kaili
Masyarakat ini menggunakan sistem
hubungan kekerabatan bilateral. Hubungan perjodohan yang menjadi dambaan lama
adalah endogami dan kuatnya pengaruh orang tua dalam penentuan jodoh. Walaupun
bentuk keluarga batih cukup berfungsi, akan tetapi kelompok kekerabatan yang
terutama adalah keluarga luas bilateral yang mereka sebut ntina. Keluarga luas
ini diaktifkan terutama dalam setiap upacara daur hidup. Akan tetapi masyarakat
ini juga mengenal sistem pewarisan menurut keturunan ibu dan sistem menetap
setelah kawin yang uksorilokal sifatnya.
Struktur sosial masyarakat Kaili
pada masa dulu terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan pertama adalah maradika,
yaitu golongan bangsawan keturunan bekas raja-raja Kaili dari cikal bakal
mereka yang dikenal sebagai to manuru, kedua adalah lapisan to guranungata,
yaitu keturunan para pembesar bawahan raja-raja zaman dulu, ketiga lapisan to
dea, yaitu orang kebanyakan, dan terakhir lapisan batua atau hamba sahaya.
Rajanya mereka sebut magau. Dalam pemerintahannya setiap magau biasanya dibantu
oleh beberapa orang tokoh, antara lain, madika malolo (raja muda), madika matua
(mangkubumi yang mengurus kemakmuran), ponggawa (pemimpin adat perkauman),
galara (penyelenggara hukum peradilan adat), tadulako (panglima atau hulubalang
pertahanan dan keamanan), pabicara (semacam hakim), sekarang pelapisan sosial
seperti ini semakin hilang.
Agama Dan Kepercayaan Suku Kaili
Pada masa sekarang sebagian besar
orang Kaili menganut agama Islam. Sebelum agama Islam masuk pada abad ke-17,
sistem kepercayaan lama mereka yang disebut Balia merupakan pemujaan kepada
dewa-dewa dan roh nenek moyang. Dewa tertinggi mereka sebut dengan berbagai
gelar, seperti Topetaru (sang pencipta), Topebagi (sang penentu), Topejadi
(sang pencipta). Setelah agama islam masuk para penganut dewa-dewa ini mengenal
pula istilah Alatala bagi dewa tertingginya.
Dewa kesuburan mereka sebut
Buriro. Makhluk-makhluk halus yang menghuni lembah, gunung dan benda-benda yang
dianggap keramat disebut tampilangi. Kekuatan-kekuatan gaib dari para dukun dan
tukang tenung mereka sebut doti. Kegiatan religi Balia diadakan di rumah
pemujaan yang disebut Lobo. Sistem pemujaan religi seperti diperkirakan sebagai
salah satu sebab mengapa orang Kaili terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok
keagamaan yang sering tertutup dan terasing sifatnya.
Kegiatan saling menolong dalam
kehidupan masyarakat Kaili terutama sekali terlihat dalam pelaksanaan
upacara-upacara adat yang amat banyak memakan biaya. Saling tolong ini
merupakan kewajiban setiap anggota kekerabatan dan mereka namakan sintuvu.
Kegiatan gotong royong dalam berbagai aspek kehidupan sosial ekonomi masyarakat
Kaili sekarang banyak mengambil dasarnya dari sintuvu itu.
Kesenian Suku Kaili
Orang Kaili termasuk salah satu
masyarakat yang mengembangkan permainan tradisional sepak raga yang mereka
sebut raego atau dero. Dalam pesta-pesta perkawinan dan pertemuan umum mereka
suka membacakan seni berpuisi yang disebut waino, isinya merupakan pantun
sindiran bersahut-sahutan antara orang muda laki-laki dan perempuan.
Sumber : https://suku-dunia.blogspot.com/2014/09/sejarah-suku-kaili.html
0 comments:
Posting Komentar