AMAN
mempadankan terminologi “Indigenous Peoples” - yang dipakai secara global -
sebagai “Masyarakat Adat.” Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang
memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun.
Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan
sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan
keberlanjutan kehidupan Masyarakat Adat sebagai komunitas adat.
Terdapat empat
warisan leluhur atau asal-usul sebagai pembeda antara Masyarakat Adat dan
kelompok masyarakat lainnya. Unsur-unsur tersebut, antara lain identitas budaya
yang sama, mencakup bahasa, spiritualitas, nilai-nilai, serta sikap dan
perilaku yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lain; sistem
nilai dan pengetahuan, mencakup pengetahuan tradisional yang dapat berupa
pengobatan tradisional, perladangan tradisional, permainan tradisional, sekolah
adat, dan pengetahuan tradisional maupun inovasi lainnya; wilayah adat (ruang
hidup), meliputi tanah, hutan, laut, dan sumber daya alam (SDA) lainnya yang
bukan semata-mata dilihat sebagai barang produksi (ekonomi), tetapi juga
menyangkut sistem religi dan sosial-budaya; serta hukum adat dan kelembagaan
adat aturan-aturan dan tata kepengurusan hidup bersama untuk mengatur dan
mengurus diri sendiri sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi, dan
politik.
Sementara itu,
mengacu pada Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat
Adat atau Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP),
karakteristik penanda Masyarakat Adat, antara lain identifikasi diri
(self-identification); keberlanjutan sejarah (sebelum diinvasi oleh kekuatan
penjajah atau kolonial); penduduk asal (sejarah); hubungan spiritual dengan
tanah dan wilayah adat; identitas yang khas (bahasa, budaya, kepercayaan);
serta sistem sosial politik dan ekonomi yang khas.
Secara
internasional, sebelum lahirnya UNDRIP, Konvensi ILO No. 169 atau Konvensi
Masyarakat Adat 1989 menjadi instrumen internasional pertama yang mengakui
Masyarakat Adat. Konvensi tentang Masyarakat Adat yang ditetapkan oleh
negara-negara anggota Organisasi Perburuhan Internasional pada 1989 itu,
bertujuan untuk merevisi Konvensi ILO No. 107 (Konvensi Masyarakat Adat 1957).
Prinsip utama konvensi tersebut adalah perlindungan terhadap Masyarakat Adat
atas kebudayaan, gaya hidup, tradisi, dan kebiasaan.
Selain itu, hak
asal-usul merupakan pula faktor yang secara tegas membedakan Masyarakat Adat
dengan kerajaan atau kesultanan. Kerajaan atau kesultanan merupakan konsep
negara lama. Sehingga, Masyarakat Adat tidak sama dengan kerajaan atau
kesultanan.
Sejak awal,
Indonesia telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat lewat Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Ppengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Adat, tercantum di
dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3).
“Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.” UUD 1945 Pasal 18B ayat (2)
“Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.” UUD 1945 Pasal 28I ayat (3)
Dalam berbagai
narasi dan produk hukum di Indonesia, terdapat juga istilah yang dipakai, yaitu
masyarakat hukum adat (MHA), masyarakat lokal, masyarakat tradisional,
komunitas adat terpencil (KAT), dan penduduk asli. Berbagai sebutan tersebut
dapat merujuk pada Masyarakat Adat, misalnya penyebutan “masyarakat lokal” di
nagari pada Masyarakat Adat Minangkabau, Sumatera Barat atau marga di
Masyarakat Adat Batak, Sumatera Utara atau penduduk asli Papua (suku dan marga)
di Papua dan Papua Barat. Namun, sebutan-sebutan yang ada, dapat pula merujuk
pada masyarakat lokal - bukan Masyarakat Adat - dalam konteks di Jawa atau
komunitas pendatang (misalnya, kampung transmigran) yang mendiami suatu wilayah
selama beberapa generasi jika penyebutannya tidak mempertimbangkan identitas
bahasa, ikatan genealogis, maupun teritorial terkait pada warisan
asal-usul sebagai pembeda. Penulisan
“Masyarakat Adat” pun menggunakan awalan huruf kapital untuk mempertegas
Masyarakat Adat sebagai subjek hukum.
Sementara itu,
kebijakan-kebijakan negara yang selama ini memprioritaskan pembangunan
industri-industri berbasis sumber daya alam (SDA), telah menyebabkan Masyarakat
Adat terpinggirkan sekaligus kehilangan hak dan akses atas SDA. Misalnya,
pembangunan perkebunan monokultur secara masif oleh perusahaan perkebunan sawit
yang menggusur hutan-hutan adat sebagai sumber penghidupan Masyarakat Adat,
mengakibatkan Masyarakat Adat kehilangan pangan dan ruang hidup. Belum
disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (RUU MA) juga kian
meningkatkan eskalasi terjadinya berbagai konflik, diskriminasi, kriminalisasi,
perampasan wilayah adat, dan tindak kekerasan terhadap Masyarakat Adat di
berbagai penjuru Indonesia. Saat ini, pengakuan maupun perlindungan Masyarakat
Adat di Indonesia, masih menghadapi persoalan terkait dengan pengakuan
bersyarat. Apalagi, dengan lahirnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang baru,
telah menghadirkan anomali pada iklmi demokrasi sekaligus menegaskan ancaman
terhadap eksistensi Masyarakat Adat.
Di dalam Masyarakat
Adat sendiri, juga hidup beragam kelompok minoritas, yaitu mereka Masyarakat
Adat yang mengalami ketertindasan berlapis, baik itu karena faktor kesejarahan,
kelas, maupun lainnya. Mereka adalah yang mengalami diskriminasi dan stigma
berganda, bukan hanya karena Masyarakat Adat, tetapi karena identitas lain yang
melekat. Kelompok Masyarakat Adat minoritas itu, - tak terbatas pada yang
disebutkan di sini - meliputi perempuan, anak (berusia di bawah 17 tahun),
penyandang disabilitas, lansia, minoritas gender dan seksual, dan kelompok
minoritas lainnya yang hidup di dalam suatu komunitas adat sebagai Masyarakat
Adat.
Sumber : https://aman.or.id/news/read/1267
0 comments:
Posting Komentar