Upacara pernikahan adalah upacara adat yang diselenggarakan dalam
rangka menyambut peristiwa pernikahan. Pernikahan sebagai peristiwa penting
bagi manusia, dirasa perlu disakralkan dan dikenang sehingga perlu ada
upacaranya. seperti halnya upacara perkawinan masyarakat Kaili di Palu, bagi
masyarakat Sulawesi Tengah secara keseluruhan, selalu ada upacaranya. Misalnya
dimulai sejak sebelum kelahiran bayi, yakni upacara masa hamil, kemudian adat
dan upacara kelahiran, adat dan upacara sebelum dewasa, adat dan upacara
perkawinan dan upacara kematian. Dari sekian banyak upacara tersebut, maka
upacara peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dilakukan sangat unik.
Beberapa diantaranya adalah
nopasoa(orang yang akan mandi uap), Nokolontigi (malam pacar),Mematua(kunjungan
pengantin kepada mertua,dll tetapi pada kesempatan kali ini saya akan
menjelaskan nokolotongi, dan adat mematua.sebagai berikut, tentang upacara perkawinan dan tata
cara perkawinan :
A. Nokolontigi (malam pacar)
Nokolontigi dilaksanakan pada
malam hari dirumah calon pengantin perempuan, yang biasanya dilaksanakan sehari
sebelum upacara akad nikah. Tujuan dari upacara adat tersebut antara lain ialah
:
1. Memeberikan kekuatan kepada kedua calon
pengantin agar tidak mudah dipengaruhi oleh setan atau roh-roh jahat.
2. Memberikan makna dan arti simbolik bagi
keduanya tentang ancaman bilamana terjadi perceraian.
3. Agar kedua calon pengantin dapat panjang
umur, murah rezeki, hati tenang, pikiran tajam, dan banyak anak.
.
Adapun alat-alat kelengkapan
upacara antara lain :
a. Daun pacar (kolontigi) yang sudah
ditumbuk halus yang dapat meberi warna merah pada telapak tangan, kaki, atau
kuku calon pengantin.
b. Sebuah baki dengan beberapa mangkok kecil
berisi minyak kelapa, kapur sirih, bedak, dan kain putih untuk membersihkan
tangan.
c. Daun siranindi, atau daun pendingin dan
sebuah bantal yang beralaskan daun pisang.
Nilai simbolis dari alat-alat
perlengkapan tersebut adalah :
o Daun pacar adalah lambang darah (pengorbanan
bila mana bercerai)
o Minyak kelapa digosok di kepala, simbol
bahwa kepala itu dipotong bilamana
berkhianat.
o Kapur sirih dan Bedak sebagai lambang batang
leher yang akan disembelih.
o Kain putih adalah lambang dari kain kafan
(mayat).
Mengenai jalannya upacara
Nokolontigi adalah sebagai berikut :
1. Minta kesediaan kepada 5 orang, 7 orang
atau 9 orang yang dituakan dan hadir pada saat upacara Nokolontigi berlangsung.
Biasanya orang tua yang terpilih adalah biasanya orang tua yang memiliki status
sosial ditengah masyarakat, orang yang murah rezeki, memiliki anak dan cucu,
serta berhasil dalam mebina rumah tangganya. Penetapan 5 orang, 7 orang atau 9
orang terkait dengan tatus sosial calon pengantin.
2. Oarang tua yang sudah ditetapkan
jumlahnya dan mendapat kepercayaan itu meletakkan Kolontigi itu ( daun pacar
yang sudah dihaluskan) sambil menggosok ditelapak tangan calon pengantin secara
bergilir, sebagai simbol untuk memberi warna merah disekitar ditangan. Orang
ketujuh atau kesembilan yang mendapat kesempatan terakhir menutup pemberian
Kolontigi dengan cara mengangkat dan memutar-mutar lilin disekitar muka dan
kepala calon pengantin dan setelah itu menghambur beras kuning kesekujur tubuh
calon pengantin.
3. Bagi calon pengantin laki-laki yang turut
serta dalam acara Nokolontigi di rumah calon pengantin perempuan diteruskan
dengan cara Nepadupa artinya suatu penghargaan terhadap calon pengantin
laki-laki ditandai dengan pemberian sarung (buya sabe) yang telah dipersiapkan
oleh keluarga calon pengantin perempuan
unntuk dipakai pengentin laki-laki pada upacara itu.
4. Kemudian dilanjutkan dengan makanan jajan
teradisional sekedarnya sebagai tanda ucapan syukur atas berlangsungnya upacara
tersebut. Akhir dari upacara ini juga memaknai bahwa antara kedua calon
pengantin itu telah terikat oleh ikatan batin. Setelah itu calon pengantin
laki-laki diantar pulang kerumahnya.
B. Mematua(Kunjungan pengantin kerumah
mertua)
Mematua adalah kunjungan pengantin
perempuan kerumah mertuanya. Tujuan upacara ini ialah memberi penghargaan dan
penghormatan kepada mertuannya. Sebagai pertanda sudah adanya hubungan
kekeluargaan dan sebagai balasan anak laki-lakinya yang sudah menjadi keluarga
pihak wanita. Dengan cara ini maka secara resmi pengantin melaporkan diri pada
pihak keluarga suaminya sudah menjadi anggota dari keluarga dari keluarga pihak
suaminya. Juga dengan uapacara ini menghilangkan rasa keengganan, kekakuan
pengantin perempuan dalam penyesuaian diri dalam lingkungan keluarga suaminya
khususnya hubungan dengan mertuanya.
Upacara mematua ini dilaksanakan
dirumah pengantin laki-laki dengan sajian kecil-kecilan, dimana dihadiri oleh
seluruh kerabat dekat pihak laki-laki serta tua-tua adat. Biasanya pula sang
suami berkewajiban mengantar sang istri mengunjugi rumah sanak keluarganya satu
persatu untuk memperkenalkan diri secara lebih dekat.
Waktu pelaksanaan ini biasanya 5
sampai 7 hari sesudah pesta perkawinan, dan kadang-kadang tergantung dari
situasi setelah pesta selesai. Dalam mematua ini kedua sang pengantin biasannya
bermalam satu mala, kemudian kembali kerumah pengantin perempuan.
Mengenai jalannya upacara adalah
sebagai berikut :
a. Setelah waktu mematua ditentukan dan
diberitahukan kepada mertua (orang tua laki-laki), maka pengantin baru diantar
oleh orang tua perempuan dan beberapa orang keluarga dekat kerumah mertua
laki-laki.
b. Setibanya anak mantu dirumah, diadakan
acara niingga yaitu pemasangan sejenis gelang yang terbuat dari manik-manik
(botiga) yang dilakukan oleh orang tua perempuan laki-laki (mertua perempuan)
kepada anak mantunya itu. Acara ini memberikan arti simbol bahwa anak mantunya
resmi sebagai anggota keluarga pihak suaminya.
c. Disamping acara niingga tersebut juga
oleh mertuanya memberikan kepada anak mantunya sebuah kalung emas dan cincin
emas yang langsung dipasangkan sendiri kepada leher dan jari manis anak
mantunya itu. Pemberian ini sebagai manifestasi kasih sayang dan kegembiraan
menyambut kedatangan anak mantunya yang baru.
d. Selanjutnya diadakan makan bersama
sekedarnya meliputi suasana santai, penuh dengan rasa kekeluargaan yang akrab.
Dengan selesainya upacara tersebut maka selesai semua upacara-upacara dalam
rangkaian perkawinan itu.
2. ADAT Kehamilan PADA Suku kaili
Asal-Usul
Kesehatan bayi dalam kandungan
harus selalu dijaga. Salah satu cara agar bayi dalam kandungan senantiasa sehat
adalah dengan menjaga kesehatan si ibu yang mengandung si bayi. Sebelum dikenal
adanya dokter yang mampu memeriksa dan mengobati seorang ibu yang sedang hamil,
masyarakat tradisional mempunyai cara khusus untuk mengupayakan kesehatan si
ibu yang sedang mengandung. Salah satu suku di Indonesia yang mempunyai cara
khusus untuk menyembuhkan seorang ibu hamil
yang sedang sakit adalah Suku Kaili yang berada di Sulawesi Tengah,
Indonesia.
1. Upacara selamatan kandungan pada
masa hamil pertama (Nolama Tai)
Upacara ini adalah upacara
selamatan kandungan pada kehamilan anak yang pertama apabila kandungan berusia
7 bulan. Upacara ini sering dinamakan No jemparaka manu (memisah-misahkan
bagian daripada daging ayam) atau biasa disebut mantale (membuat sesajian).
Nama-nama itu ditonjolkan sesuai dengan penonjolan dari bagian upacara ini
yaitu memenggal bagian daging ayam untuk upacara sebagai sesajian utama dalam
upacara Nolama Tai. Upacara ini bagi masyarakat Kaili berbeda kualitas dan
kuantitasnya sesuai dengan kedudukan sosial seseorang atau Vati seseorang dalam
masyarakat.
a. Maksud Penyelengaraan Upacara
Tujuan upacara ini adalah
dimaksudkan agar kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan selamat tanpa
cacat jasmani dan rohani, serta keselamatan ibu yang akan melahirkan, dan juga
agar ibu terhindar dari gangguan-gangguan rate.
Dari mantera-mantera sando
(dukun) diketahui bahwa tujuan upacara ini adalah agar anak yang lahir kelak
tidak tuli, kudisan, bodoh, nakal, penyakitan, dan sebagainya. Menurut
kepercayaan masyarakat Kaili bahwa leluhur mereka yang disebut rate selalu
mengganggu dan menjadi sebab berbagai penyakit tersebut di atas, dan bagi bayi
dalam kandungan apabila upacara diabaikan.
b. Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara ini dilakukan pada siang
hari sebelum matahari condong ke barat. Hal ini sebagai suatu simbol bahwa bayi
yang akan lahir kelak memiliki sumber kekuatan dan tenaga serta murah rezeki.
Usia kandungan yang diupacarakan berkisar antara 7 sampai 9 bulan dan pantang
untuk bulan ke 8 karena dianggap bulan yang kurang baik. Penetapan waktu
ditetapkan dengan seksama melalu ilmu Kotika dengan cara menghitung hari bulan
di langit yang dianggap sebagai hari baik dan disepakati oleh dua belah pihak
orang tua suami istri dan sando.
c. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Upacara diselenggarakan di rumah
dan tempat-tempat tertentu yang dianggap berkaitan dengan kekuatan magis
religius, atau tempat yang dianggap dikuasai oleh kekuatan roh halus dan dihuni
oleh rate di dalam dan di luar rumah. Di dalam rumah upacara ini dilaksanakan
di beranda depan, yaitu di depan pintu rumah (tambale), sedangkan kalau di luar
rumah disiapkan tempat tertentu sebagai tempat sesajian sesuai kondisi
lingkungan desa bersangkutan.
d. Penyelenggaran Teknis Upacara
Upacara ini dipimpin oleh seorang
dukun wanita (sando) yang dapat berkomunikasi dengan mahluk halus dan telah
berusia lanjut. Tidak kurang peranannya ialah orang tua kedua belah pihak yang
menyediakan korban upacara seperti kambing atau domba bagi keluarga bangsawan
dan ayam bagi keluarga biasa.
E. Jalannya Upacara
Dalam upacara nolama bagi
keluarga bangsawan, pertama ialah mengadakan undangan (pegaga), yaitu suatu
undangan dengan jalan mengundang langsung dari rumah ke rumah jauh sebelum
upacara diadakan. Bila telah tiba hari yang ditentukan, undangan-undangan
dijemput kembali (neala) dari rumah ke rumah. Kegiatan ini disebut peonggotaka
(suatu penghormatan dari keluarga yang berpesta) kepada orang tua adat.
Pada hari upacara diadakan
penyembelihan kambing/domba yang disembelih tersebut dibakar/dipanggang di atas
api (nilambu), sehingga seluruh bulu-bulunya habis terbakar. Maksudnya agar
kulitnya dapat diproses menjadi bahan makanan. Sebelum dagingnya
dipotong-potong hatinya diambil lebih dahulu yang biasa disebut nompesule
(mengambil hati) dan langsung ditusuk dan dibakar sebagai bahan sesajian atau
nilanjamaka (dijadikan sesajian).
2. Pengobatan Ibu Hamil
Upacara Novero (upacara
pengobatan apabila sang ibu yang hamil kurang sehat)
Upacara ini dapat juga
dilaksanakan bagi ibu yang tidak hamil, namun ada perbedaan-perbedaan yang
tidak berarti.
1. Maksud Penyelenggaraan Upacara
Novero (mengobati penyakit) atau
moragi ose (memberi warna warni beras) bertujuan untuk menyembuhkan ibu hamil
dari penyakit yang dideritanya karena nilindo nuviata (diganggu mahluk halus).
2. Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara ini sering dilaksanakan
serentak dengan upacara nolama, yaitu bila ibu hamil kelihatannya kurang sehat.
Perbedaannya ialah nolama lebih dekat kepada pemujaan arwah nenek moyang,
sedangkan novero lebih berorientasi kepada mahluk-mahluk halus yang dianggap
jahat.
3. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Tempat upacara diadakan di luar
rumah, di tempat yang dipercayai sebagai tempat hunian mahluk halus, seperti di
tepi sungai, tepi pantai, di pohon-polion besar, dan sebagainya. Dan di sini
pula dibuat suampela, sebuah tempat penyimpangan sesajian yang dibuat dari kayu
bertiang tiga. Pada bagian atas dibuat sebuah anyaman dari ranting kayu atau
bambu tempat sesajian itu disimpan, dan kulili (kayu yang dibuat seperti model
parang, yang diberi warna belang hitam putih). Ketiganya (suampela, kulili, dan
berbagai jenis makanan) merupakan perlengkapan upacara novero tersebut termasuk
ose ragi (beras yang telah diberi warna-warni) seperti disebutkan di atas.
4. Penyelenggara Teknis Upacara
Yang berperan dalam upacara ini
ialah seorang dukun wanita sejak awal sampai dengan upacara ini selesai.
Pihak-pihak lain yang terlibat terbatas dalam lingkungan keluarga terdekat
saja, yang mempersiapkan perlengkapan upacara adat lainnya.
5. Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Perlengkapan-perlengkapan selain
yang telah disebutkan di atas ialah membuat pekaolu nuvayo (tempat
berlindungnya bayangan), maksudnya tempat roh kita berlindung bila mendapat
gangguan mahluk halus. Juga perlengkapan yang disebut toge, yang dibuat semacam
janur dari daun kelapa seperti bentuk tombak, kepala kuda yang berkepala dua
dan berkepala sebelah dan lain-lain. Pada bagian bawah janur tersebut bersusun
4-5 dan yang terakhir inilah yang disebut pekaolu nuvayo. Perlengkapan lainnya
ialah tuvu mbuli seperti yang telah disebutkan terdahulu.
Di dalam rumah disiapkan
mbara-mbara (barang perhiasan/pakaian adat) yaitu vuya (sarung), baju, dan
bulava (emas). Ketiganya disimpan di atas dula palangga (dulang berkaki).
Selanjutnya diadakan acara
noronde (dialog dukun dengan orang-orang yang ada dalam rumah). Dialog tersebut
terjadi sebagai berikut:
Dukun : "Nolompemo
yanu!!" (Si Anu sudah sembuh). Orang di rumah menjawab : "Yo
nalompemo" (Ya sudah), eva apu nitulaka uve (seperti api kena air), eva
kuni niboli toila (seperti kunyit diberi kapur). Dukun naik ke rumah sambil
berkata kepada ibu hamil: "niratakumo vayo miu, naialaku riviata,
rikarampua, rirate njae, rirate vou" (saya sudah menemukan sumber kekuatan
hidup yang hilang dari viata (setan/jembalang) dari para dewa dan roh-roh nenek
moyang yang telah lama dan baru meninggal).
Acara terahir ialah noave ose
niragi, bila ibu telah melahirkan dengan selamat, maka ose niragi (beras 4
warna) yang disebutkan di atas valas suji (semacam rakit kecil). Noave
(mengalirkan) barang tersebut mengandung arti nompakatu (mengirimkan sesajian)
tersebut kepada pue ntasi (penghuni laut) diiringi pula dengan mantera-mantera
yang isinya minta segera ibu hamil yang sakit segera sembuh, dan karena
penyakit sudah terbawa ke laut, pergi bersama penyakit.
Dengan selesainya acara ini,
selesailah upacara novero tersebut bagi seorang ibu hamil yang kurang sehat.
Sumber : Topopasiromu Tesa
0 comments:
Posting Komentar