PENDAHULUAN
Dalam acara nosalia,
khususnya pada nosalia poboti (pesta perkawinan) peran perempuan sangat dominan
dalam pelaksanaannya. Ketika sebuah acara nosalia sudah ditetapkan waktu dan
tempatnya oleh keluarga, maka akan disampaikan pada keluarga dan saudara yang
dekat, penyampaian yang bermaksud mengundang untuk hadir dalam pesta tersebut.
Untuk keluarga dan saudara yang dekat, undangan disampaikan secara lisan, yang
disebut negaga atau memberitahu (netoka). Bertugas negaga/netoka biasanya dilakukan
oleh perempuan yang sudah berkeluarga dan agak berumur, sebagai wakil tuan
rumah untuk berjalan mencari sanak keluarga yang masih kerabat dekat (sampesuvu).
Peran perempuan yang diharapkan mengundang lisan karena dalam pertimbangan
orang Kaili, perempuan lebih telaten dan fokus mendatangi satu demi satu keluarga
yang akan di undang, perempuan juga lebih mengingat siapa saja keluarga yang
akan didatangi, apalagi negaga/netoka dimaksudkan bukan hanya mengundang kepala
rumah tangga, atau seorang anggota rumah tangga namun mengundang satu keluarga
yang tinggal dalam satu rumah tangga, dan dalam penyampaian kata-kata perempuan
lebih dapat mengungkapkan dengan bahasa yang lebih halus.
Kemudian saat pelaksanaan
pesta perkawinan, pihak keluarga harus
mencari dan menentukan seorang perempuan yang dapat menangani konsumsi atau
penyajian makanan bagi undangan , yaitu seorang ino nu
rampa. Peran ino nu rampa (diartikan ibu rempah, secara umum pemahamannya
adalah perempuan yang menjadi pengatur menu, mengatur dan menghitung rempah
untuk berbagai jenis makanan yang akan dihidangkan untuk tamu), akan menjadi pertaruhan
tuan rumah bagi para undangannya, bila sajian makanan bagus dan mencukupi maka
tuan rumah akan dipuji karena telah memilih ino nu rampa yang tepat, namun bila
sajian makanan tidak/kurang bagus baik dilihat dari variasi menu, rasa,
tampilan, bahkan kurang jumlahnya (undangan masih ada dalam ruang pesta bahkan
ada yang baru datang namun makanan sudah berkurang atau habis sama sekali),
tuan rumah akan menjadi bahan pembicaraan dengan persepsi yang negatif dari
para undangan, tuan rumah biasanya
dikatakan pelit (nasina) berbagi makanan. Kesuksesan sebuah pesta adalah bila keluarga
atau undangan yang datang dapat menikmati makanan yang disediakan. Kegagalan pesta
adalah bila tuan rumah kehabisan makanan sementara undangan masih datang. Dalam
setiap acara pesta dalam masyarakat Kaili, bila menyangkut penyediaan
makanan/konsumsi merupakan bagian yang terpenting untuk mengukur keberhasilan
acara tersebut, sehingga dapat dikatakan perempuan sebagai tulang punggung
utama pengatur konsumsinya sangat dibutuhkan strategi dan keahlian mengatur
makanan agar cukup untuk disantap para undangan. Saat ini keberadaan ino rampa
di daerah perkotaan makin tergeser perannya dalam acara pesta karena banyak
orang memilih memesan makanan pada jasa katering.
Perempuan yang kemudian
dicari dan ditentukan oleh keluarga yang mempunyai hajat poboti, adalah ino boti (ibu
pengantin, atau perempuan yang bertugas menghias pengantin). Pengantin
diibaratkan sebagai raja dan ratu sehari, dalam seremoni pesta pernikahan, maka
tampilan pengantin akan menjadi sorotan undangan, bagaimana makeupnya, baju
yang digunakan, hiasan di kamar pengantin dan pelaminan merupakan pusat
perhatian. Ino Boti
yang banyak dipilih adalah yang pandai menghias pengantin hingga
terlihat sangat cantik, memiliki baju pengantin yang bervariasi, biasanya ino
boti juga sekalian memiliki hiasan dan alat-alat untuk digunakan mendekorasi
pelaminan. Ino boti dalam hal ini yang memiliki kemampuan sumber daya manusia
berupa kemampuan pengetahuan dan keterampilan menghias pengantin yang menjadi pilihan
orang-orang yang melaksananakan acara pesta perkawinan, makin terampil ino boti
makin dicari oleh calon mempelai.
Malam menjelang pernikahan,
di rumah calon mempelai perempuan pada masyarakat yang kuat memegang adat maka
akan dilaksanakan acara memakai daun inai (mokolontigi) pada mempelai
perempuan. Pada prosesi mokolontigi, untuk memulainya akan dicari perempuan yang
sudah sepuh dan dihormati oleh keluarga untuk meletakan daun inai yang sudah ditumbuk
halus pada telapak tangan mempelai perempuan, setelah itu akan dilanjutkan oleh
keluarga lain yang disepakati oleh keluarga. Biasanya yang meletakkan daun inai
jumlahnya ganjil, lima atau tujuh orang .
Sebelum malam mokolontigi, mempelai perempuan diupayakan
tampak lebih segar, harum dan wajahnya berseri-seri. Untuk itu keluarga biasanya
melakukan mandi uap (pasoa)
bagi mempelai perempuan. Perempuan yang mempersiapkan segala bahan-bahan pasoa
di sebut Topopasoa. Mandi uap yang
tradisional berupa dipanaskan beberapa batu yang besarnya sekitar tiga genggaman
orang dewasa, sementara itu juga dididihkan panci yang berisi air dan berbagai rempah-rempah
yang berfungsi menyegarkan dan mengharumkan badan. Panci berisi rempah lalu
dimasukkan dalam sarung panjang (sarung yang menutupi seluruh tubuh) yang membuat
uap dan aromanya masuk dalam badan orang yang di pasoa, posisi orang di pasoa
berdiri sambil memegang sarung. Jika suhu air dalam panci menurun maka akan
dimasukkan batu yang telah dipanaskan tadi. Di pedesaan tempat To Kaili yang
melakukan pasoa, cara tersebut masih dilakukan. Sementara di perkotaan sudah
banyak tersedia tempat mandi uap.
Setelah serangkaian acara
pesta perkawinan di rumah mempelai perempuan terlaksana, terdapat juga acara
yang wajib dilakukan, yaitu menemui keluarga mempelai laki-laki, disebut mematua. Pada saat acara kunjungan ke rumah mertua,
maka keberadaan ibu pengantin laki-laki atau perempuan lain yang dianggap
pantas mewakili, akan memasang ikatan pada tangan pengantin perempuan (ne ingga) sebagai tanda diterima sebagai anak.
Sumber : Jurnal Online Kinesik Vol. 4 No. 1 April 2017
0 comments:
Posting Komentar