Asal-usul Masyarakat Kaili Ledo
dikisahkan sebagai orang-orang yang berburu di hutan yang berlokasi di Gunung
Lando dan berpindah-pindah di wilayah sekitarnya. Mereka amat menyukai meminum
Tule (Saguer), minuman yang terbuat dari buah Enau. Mereka kemudian menemukan
sebuah tempat yang banyak ditumbuhi oleh Pohon Enau dan memutuskan untuk
menetap di tempat yang saat ini disebut sebagai Gunung Sigirayo yang kemudian ditanami
banyak Maku (pohon jambu air). Seiring waktu, penduduk bertambah maka
ditetapkanlah pemukiman yang saat ini dikenal sebagai kampung Raranggonau atau
“Kampung di dalam Buah Enau.”
Orang-orang yang bermukim di
kampung Raranggonau itu kemudian bertumbuh dan menjadi cikal bakal dari rumpun
etnis “Kaili Ledo”. Masyarakat Raranggonau pada awalnya hidup dengan berpegang
pada hukum adat Kaili Ledo yang dikembangkan oleh para Madika (pemimpin). Adat
itu menncakup pada hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antar-masyarakat dan
juga tata cara mengelola serta menguasai sumber daya alam.
Seiring berjalannya waktu,
datanglah orang-orang Tobula Mata (Orang Putih) yaitu misionaris dari Inggris
yang mengenalkan Agama Kristen di tanah Raranggonau. Terjadilah penyesuaian
antara Hukum adat Kaili Ledo dengan ajaran Kristiani Bala Keselamatan secara
damai. Pada tahun 1928, sebagian besar warga Raranggonau berpindah ke wilayah
Bora untuk dapat mendekat ke Gereja. Mereka dibuatkan pemukiman dan dibagikan
lahan garapan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, ternyata alam di
Bora tidak tersedia sumber air yang mencukupi untuk menyuburkan tanaman.
Berpindahlah masyarakat Raranggonau kembali ke kampung asalnya dan menjadi
sebuah Kampung/Desa dengan Kepala Kampung pertama bernama Lajuru (pada zaman
kolonial). Pada perkembangannya, Masyarakat Ranggonau berinteraksi dengan
beberapa masyarakat lain seperti Kaili Ledo yang berasal daerah Tompu dan juga
Kaili Ija untuk urusan jual-beli rotan. Bahkan, keakraban antara Kaili Ledo dan
Kaili Ija (saat ini) menghasilkan pertukaran bahasa lokal yang disepakati
bersama saat itu. Sejak itu, bahasa Ija yang berasal dari kampung Raranggonau
menjadi bahasa yang digunakan dan disebarkan di Bora, pusat pemerintahan Kab.
Sigi saat ini.
Masyarakat Kaili Ledo di Desa
Raranggonau kemudian bertemu dengan orang-orang yang berbahasa Indonesia dan
dipaksa pindah ke wilayah lain. Oleh karena tidak suka diperintah, mereka
kemudian menyebar dan bersembunyi menyebar di hutan-hutan yang dalam dan
mendirikan pemukiman di beberapa tempat yang saat ini dikenal sebagai: 1. Desa
Rejeki (1957), 2. Dusun Parigi Bonebula (1962), 3. Desa Parigi Gangga (1962),
4. Dusun Maranata (1962), 5. Dusun Manggalapi (1971), dan 6. Dusun Palolo
Bampres (1977). Namun, sebagian dari mereka yang merindukan kampung halamannya,
kembali ke kampung yang menjadi Dusun Raranggonau yang termasuk ke wilayah Desa
Pombewe di masa kini. Sejak itulah Masyarakat Kaili Ledo itu berdiaspora ke
berbagai wilayah di Sulawesi Tengah.
Batas Wilayah
Batas Barat Boyavou (Dusun 2,
Desa Pombewe) dengan batas yaitu Tabaro (Sungai Konju), Uve Rompu Doda,
Saukaleto, Buliongu. Desa Oloboju dengan batas yaitu Tabaro (Sungai Konju).
Desa Tompu dengan batas yaitu Buliongu.
Batas Selatan Desa Oloboju dengan
batas yaitu Sirame, Landara, Bau Katinga, Sambita Oge, Vuno, Posovo, Taipa
Jaleje.
Batas Timur Wilayah Adat
Parigi, Kab. Parigi Moutong dengan batas yaitu Tanggumbuno, Tanggumbuno Kodi,
Baongga, Bu Tondo, Tovilao, Saunda, Kaoti, Rorona, Kayulopa, Sausiora, Sau Vanga,
dan Ravana Sirame.
Batas Utara Wilayah Adat
Tompu, Desa Loru dengan batas berupa Sungai Paneki.
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar