Jumat, 28 Maret 2025

Mengenal Ikat Kepala SIGA

Silahkan bagikan :
۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه الرّحمٰن الرّحيـــــــــــــم ۞
-----------------------------------------------------------------------

          


          Mengenal Pernak Pernik Budaya dan Tradisi Masyarakat Suku Kaili adalah satu keberuntungan tersendiri bagi penulis ketika diamanahi sebagai Ketua Ikatan Pemandu Museum Indonesia (IPMI) Provinsi Sulawesi Tengah. Bukan semata mengurusi kepemanduan museum, tetapi juga mengenal kehidupan sosial budaya Suku Kaili yang menjadi etnis terbesar di Sulawesi Tengah.

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010 dengan jumlah penduduk 2.623.679 jiwa, suku bangsa di provinsi Sulawesi Tengah termasuk beragam. Suku mayoritas adalah suku asli setempat termasuk suku Kaili, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan, dan lainnya, sebanyak 1.630.937 jiwa (62,16%).

Dari segi bahasa lokal, Bahasa Suku Kaili termasuk dalam penutur Austronesia dengan karakter ras mongoloid (Purwanti, 2016; Yuniawati, 2016). Dengan bahasa dari komunitas Kaili sehingga rumpun ini juga termasuk bangsa Austronesia.

Stratifikasi sosial masyarakat suku Kaili tercermin dari klasifikasi rumah tinggalnya, sementara rumah ibadah yang disebut Masigi juga memiliki arti masjid, menandakan bahwa mayoritas suku Kaili menganut Agama Islam. Simbolisasi stratifikasi sosial untuk menandakan seseorang itu bangsawan atau tidak dalam masyarakat Suku Kaili juga dapat dilihat dari pakaian adat yang dikenakan, dan terkhusus pada ikat kepalanya.

Baju adat Suku Kaili, begitu pula ikat kepalanya tercermin dari bahan kain tenun beragam warna. Hampir keseluruhan pakaian adat Suku Kaili tersebut menggunakan kain tenun, yang ditenun menggunakan alat tradisional khas Suku Kaili. Ciri khas yang paling mudah dikenali adalah Ikat Kepala Siga, aksesoris penutup kepala yang menggambarkan simbol kebesaran masyarakat Kaili.

Siga adalah kain penutup kepala yang digunakan oleh pria Suku Kaili. Ikat kepala ini memiliki makna tersendiri bila dilihat dari warnanya. Siga yang berwarna kuning dengan lipatan kedepan biasanya digunakan oleh tetua adat, para raja (magau) dan bangsawan, warna biru dengan lipatan ke kanan dan ke kiri dikhususkan untuk para pejabat. Sementara warna merah dengan lipatan ke belakang dikhususkan bagi kalangan masyarakat umum. Siapa saja dapat memakai siga warna merah tanpa membedakan kelas sosial.

Tak lengkap rasanya bagi para lelaki di Sulawesi Tengah menghadiri upacara adat bila tanpa mengenakan siga. Ikat kepala Siga yang asli, sebagaimana banyak ditemukan di Donggala, itu sebenarnya terbuat dari kulit kayu, dipercayai sebagai simbol kebesaran dan penanda bagi mereka yang dianggap mampu mengayomi Orang-orang disekitarnya.

Bagi masyarakat adat Suku Kaili di Kabupaten Donggala, siga bukan cuma sekedar kain yang diikat di kelapa, tapi juga sebagai penanda status sosial penggunanya. Ikat kepala siga biasanya diberi motif-motif geometris. Tak lupa dilengkapi dengan hiasan sulangkambaja, yaitu sulaman benang berwarna keemas atau perak yang dipercaya sebagai simbol suami yang sayang anak dan istrinya.

Meskipun tidak lagi digunakan dalam busana sehari-hari, masyarakat dan pemerintah Sulawesi Tengah masih menjadikan filosofi SIGA sebagai pegangan dalam berkehidupan serta landasan budaya kerja di daerahnya.

Kini, setiap orang di Sulawesi Tengah, khususnya di Kota Palu dapat memakai ikat kepala Siga yang menjadi kebanggaan masyarakat Kaili tanpa melihat kasta pemakainya, aksesori tersebut kini tersedia dalam berbagai pilihan warna guna mempermudah padu padan dengan pakaian yang digunakan. Meski demikian, Ikat kepala Siga tetap menjadi simbol kebesaran, khususnya bagi masyarakat Kaili. (*)

 



Sumber : DISINI


     Ikat Kepala Siga merupakan salah satu simbol kebesaran masyarakat Kaili di Palu, Sulawesi Tengah. Ikat kepala yang khusus dikenakan oleh kaum laki-laki ini memiliki makna tersendiri dalam pemakainnya, yaitu status sosial dibalik warna. Warna kuning adalah warna tertinggi, yang hanya dapat dikenakan oleh para raja dan bangsawan. Si warna laut, biru, menunjukkan strata sosial pemakainya yang memangku tugas sebagai gubernur atau bupati atau perangkat pemerintah lainnya. Sedangkan warna merah dapat dipakai oleh siapapun tanpa membedakan kelas sosial.

     Kini, siapapun dapat memakai Ikat Kepala Siga kebanggan masyarakat Kaili. Tidak lagi memandang kasta sosial si pemakai, si aksesoris budaya ini kini sudah tersedia dalam berbagai warna, memudahkan pemakai memadu madankan warna dengan pakaian. Pun tidak lagi perlu bersusah payah mengikat, kini sudah tersedia pula ikat kepala yang bisa langsung dikenakan. Namun bagaimanapun, Ikat Kepala Siga tetaplah menjadi simbol kebesaran dan kebanggan masyarakat Kaili, Sulawesi Tengah.



          Siga adalah aksesori kepala yang digunakan oleh pria Suku Kaili. Warna warni dari sebuah aksesoris kepala pria merupakan salah satu simbol kebesaran masyarakat kaili di kota palu sulawesi tengah. Ikat kepala yang khusus di kenakan oleh kaum laki laki ini memiliki makna tersendiri dalam pemakaiannya, yaitu status sosial dibalik warna:

Warna kuning adalah warna tertinggi yang hanya dapat dikenakan oleh para raja (magau) dan bangsawan,

warna biru menunjukan strata sosial pemakainya yang memangku sebagai Gubernur,Walikota dan Bupati atau perangkat pemerintah lainnya

warna merah dapat dipakai oleh siapapun tanpa membedakan kelas sosial.

Kini di kota pPalu siapapun dapat memakai ikat kepala Siga yang menjadi kebanggaan masyarakat kaili itu yang tidak lagi melihaat kasta si pemakai, bahkan sekarang di kota palu siga digunakan Setiap hari kamis oleh anak sekolah dasar dan Pegawai Negri Sipil di jajaran pemerintah kota palu yang di promotori oleh walikota palu Drs. Hidayat M.Si, Aksesori Budaya ini kini sudah tersedia Dalam berbagai Warna memudahkan si pemakai memadukan warna dengan pakaian yang digunakan, walaupun sekarang sudah banyak tersedia pula ikat kepala yang bisa langsung di kenakan, Namun SIGA tetap Menjadi Simbol kebesaran Dan Kebanggaan Masyarakat kaili.

 

Sumber:http://palukota.go.id/v2/siga-simbol-kebesaran-suku-kaili/


          
          Menurut Kakek Lahasa (Tomaitawiya), diceritakannya kepada puteranya Abdullah (Tomaiyaro), kemudian diceritakan Abdullah (Tomaiyaro) kepada kami, bahwa sejak beliau berhenti jadi Totua nu Ngata (Kepala Kampung) Kalukubula, beliau diangkat sebagai  Totua nu Ada. Beliau bertugas sebagai Totua nu Ada yang ditunjuk oleh Magau Dolo Datupamusu, meskipun tinggalnya di Kalukubula yang waktu itu menjadi Wilayah Magau Sigi Biromaru.

Beliau menceritakan, bahwa Siga adalah pengikat kepala, bukan hanya sekedar sebagai penutup kepala seperti Toru, atau penutup kepala lain, yang saat itu wajib dikenakan oleh semua Totua nu Ada, maupun Totua nu Ngata. Tidak ada pengecualian untuk penggunaan Siga, karena sangat tergantung pada kesiapan yang ada. Tidak ada penjelasan mengenai warna, dan jenis apapun kain yang digunakan untuk mengikat kepala, bahkan waktu itu masih ada juga yang menggunakan kain dari Kulit Kayu. Semua yang digunakan untuk mengikat kepala, itulah yang disebut Siga, Dan adapula dari Ngata/Boya/Soki (Kampung) lain yang menyebutnya Higa, dll.

Tidak ada larangan bagi Masyarakat Adat lainnya yang menggunakan Siga, tergantung dari kesiapan dan persiapan dari warga itu sendiri. Hanya saya pada waktu itu tidak seorangpun yang berani memakai Siga yang sama persis seperti Magau. Bukan karena adanya larangan, atau ancaman sanksi Givu, tetapi adalah bentuk penghargaan dan penghormatan warga kepada sang Magau.

Dahulu juga kalangan bangsawan maupun masyarakat biasa (masyarakat adat) sangat sulit mendapatkan kain tenun, sehingga digunakan pada waktu itu kain dibuat dari kulit kayu. Ukuran yang digunakan sebagai Siga belum beraturan, sehingga bentuknya sangat berbeda-beda.

Dalam sejarah, sekitar abad ke-7 di Kerajaan Swiwijaya, masyarakat sudah banyak menggunakan kain tenun sebagai ikat kepala. Ukurannya kecil hanya sebesar sapu tangan, atau dalam bahasa Kaili Ledo disebut Pasapu (Sapu tangan). Pasapu mulai digunakan sebagai pengikat kepala yang disebut Siga. Pasapu mulai dikenal dalam keadatan Kaili, namun sebenarnya itu kemungkinan kesamaan penggunaan kata dengan masyarakat adat di kerajaan Gowa, yang menyebutnya itu sebagai Passapu.

Hadirnya jenis penutup kepala ini tidak terlepas dari budaya Melayu yakni Sumatera, Padang, dan Malaysia. Meski begitu masing-masing daerah memiliki ciri khas dan penamaan tersendiri.

Jadi ada pengaruh makanya kalau kita lihat sekarang orang-orang Melayu, Sumatera, Padang, Malaysia, dan sebagainya ada yang menggunakan penutup kepala yang lancip," 

Passapu mulai dikenakan pada masa Kerajaan Gowa yang ke-10. Saat itu Kerajaan Gowa dipimpin oleh Raja I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng.




Sumber : DISINI



IKAT KEPALA  "SIGA"
Bahan             : Kain
Jenis               : Etnografi
No.Inventaris : 23522
Lembaga        : Musium Nasional Indonesia

       Tak lengkap rasanya bagi lelaki Sulawesi Tengah menghadiri upacara adat bila tanpa menggunakan Siga. Selain menambah kepercayaan diri, ikat kepala yang terbuat dari kulit kayu ini juga menjadi simbol kebesaran dan penanda badi mereka yang dianggap mampu mengayomi orang-orang disekitarnya. Bagi masyarakat adat suku Kaili, Kabupaten Donggala, Siga bukan cuman sekedar kain yang diikat di kepala, tetapi juga sebagai penanda status sosial penggunanya. Siga yang berwarna kuning dengan lipatan kedepan biasanya digunakan Totua Adat, warna biru dengan  lipatan ke kanan dan ke kiri dikhususkan untuk para pejabat. Sementara warna merah dengan lipatan kebelakang dikhususkan bagi kalangan masyarakat biasa.
     Ikat kepala Siga biasanya diberi motif-motif geometris. Tak lupa dilengkapi dengan hiasan sula ngkabaja, yaitu sulaman benang,yaitu sulaman benang keemasan atau perak yang dipercaya sebagai simbol suami yang sayang anak dan isterinya. Meskipun tidak lagi digunakan dalam busana sehari-hari, masyarakat dan Pemerintah Sulawesi Tengah masih menjadikan filosofi SIGA sebagai pegangan dalam kehidupan  serta landasan budaya kerja di daerahnya.

Sumber : DISINI



۞ الحمد لله ربّ العٰلمين ۞

----------------------------

0 comment:

Posting Komentar

۞ SEKRETARIAT SEMENTARA DEWAN ADAT KAB. SIGI ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞