Mengenal Pernak Pernik Budaya dan Tradisi Masyarakat Suku Kaili adalah satu keberuntungan tersendiri bagi penulis ketika diamanahi sebagai Ketua Ikatan Pemandu Museum Indonesia (IPMI) Provinsi Sulawesi Tengah. Bukan semata mengurusi kepemanduan museum, tetapi juga mengenal kehidupan sosial budaya Suku Kaili yang menjadi etnis terbesar di Sulawesi Tengah.
Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010 dengan jumlah penduduk 2.623.679 jiwa, suku bangsa di provinsi Sulawesi Tengah termasuk beragam. Suku mayoritas adalah suku asli setempat termasuk suku Kaili, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan, dan lainnya, sebanyak 1.630.937 jiwa (62,16%).
Dari segi bahasa lokal, Bahasa Suku Kaili termasuk dalam penutur Austronesia dengan karakter ras mongoloid (Purwanti, 2016; Yuniawati, 2016). Dengan bahasa dari komunitas Kaili sehingga rumpun ini juga termasuk bangsa Austronesia.
Baju adat Suku Kaili, begitu pula ikat kepalanya tercermin dari bahan kain tenun beragam warna. Hampir keseluruhan pakaian adat Suku Kaili tersebut menggunakan kain tenun, yang ditenun menggunakan alat tradisional khas Suku Kaili. Ciri khas yang paling mudah dikenali adalah Ikat Kepala Siga, aksesoris penutup kepala yang menggambarkan simbol kebesaran masyarakat Kaili.
Siga adalah kain penutup kepala yang digunakan oleh pria Suku Kaili. Ikat kepala ini memiliki makna tersendiri bila dilihat dari warnanya. Siga yang berwarna kuning dengan lipatan kedepan biasanya digunakan oleh tetua adat, para raja (magau) dan bangsawan, warna biru dengan lipatan ke kanan dan ke kiri dikhususkan untuk para pejabat. Sementara warna merah dengan lipatan ke belakang dikhususkan bagi kalangan masyarakat umum. Siapa saja dapat memakai siga warna merah tanpa membedakan kelas sosial.
Tak lengkap rasanya bagi para lelaki di Sulawesi Tengah menghadiri upacara adat bila tanpa mengenakan siga. Ikat kepala Siga yang asli, sebagaimana banyak ditemukan di Donggala, itu sebenarnya terbuat dari kulit kayu, dipercayai sebagai simbol kebesaran dan penanda bagi mereka yang dianggap mampu mengayomi Orang-orang disekitarnya.
Bagi masyarakat adat Suku Kaili di Kabupaten Donggala, siga bukan cuma sekedar kain yang diikat di kelapa, tapi juga sebagai penanda status sosial penggunanya. Ikat kepala siga biasanya diberi motif-motif geometris. Tak lupa dilengkapi dengan hiasan sulangkambaja, yaitu sulaman benang berwarna keemas atau perak yang dipercaya sebagai simbol suami yang sayang anak dan istrinya.
Meskipun tidak lagi digunakan dalam busana sehari-hari, masyarakat dan pemerintah Sulawesi Tengah masih menjadikan filosofi SIGA sebagai pegangan dalam berkehidupan serta landasan budaya kerja di daerahnya.
Kini, setiap orang di Sulawesi Tengah, khususnya di Kota Palu dapat memakai ikat kepala Siga yang menjadi kebanggaan masyarakat Kaili tanpa melihat kasta pemakainya, aksesori tersebut kini tersedia dalam berbagai pilihan warna guna mempermudah padu padan dengan pakaian yang digunakan. Meski demikian, Ikat kepala Siga tetap menjadi simbol kebesaran, khususnya bagi masyarakat Kaili. (*)
Sumber : DISINI
Ikat Kepala Siga
merupakan salah satu simbol kebesaran masyarakat Kaili di Palu, Sulawesi
Tengah. Ikat kepala yang khusus dikenakan oleh kaum laki-laki ini memiliki
makna tersendiri dalam pemakainnya, yaitu status sosial dibalik warna. Warna
kuning adalah warna tertinggi, yang hanya dapat dikenakan oleh para raja dan
bangsawan. Si warna laut, biru, menunjukkan strata sosial pemakainya yang
memangku tugas sebagai gubernur atau bupati atau perangkat pemerintah lainnya.
Sedangkan warna merah dapat dipakai oleh siapapun tanpa membedakan kelas
sosial.
Kini, siapapun dapat
memakai Ikat Kepala Siga kebanggan masyarakat Kaili. Tidak lagi memandang kasta
sosial si pemakai, si aksesoris budaya ini kini sudah tersedia dalam berbagai
warna, memudahkan pemakai memadu madankan warna dengan pakaian. Pun tidak lagi
perlu bersusah payah mengikat, kini sudah tersedia pula ikat kepala yang bisa
langsung dikenakan. Namun bagaimanapun, Ikat Kepala Siga tetaplah menjadi
simbol kebesaran dan kebanggan masyarakat Kaili, Sulawesi Tengah.
Siga adalah aksesori
kepala yang digunakan oleh pria Suku Kaili. Warna warni dari sebuah aksesoris
kepala pria merupakan salah satu simbol kebesaran masyarakat kaili di kota palu
sulawesi tengah. Ikat kepala yang khusus di kenakan oleh kaum laki laki ini memiliki
makna tersendiri dalam pemakaiannya, yaitu status sosial dibalik warna:
Warna kuning adalah warna
tertinggi yang hanya dapat dikenakan oleh para raja (magau) dan bangsawan,
warna biru menunjukan strata
sosial pemakainya yang memangku sebagai Gubernur,Walikota dan Bupati atau
perangkat pemerintah lainnya
warna merah dapat dipakai oleh
siapapun tanpa membedakan kelas sosial.
Kini di kota pPalu siapapun dapat
memakai ikat kepala Siga yang menjadi kebanggaan masyarakat kaili itu yang
tidak lagi melihaat kasta si pemakai, bahkan sekarang di kota palu siga
digunakan Setiap hari kamis oleh anak sekolah dasar dan Pegawai Negri Sipil di
jajaran pemerintah kota palu yang di promotori oleh walikota palu Drs. Hidayat
M.Si, Aksesori Budaya ini kini sudah tersedia Dalam berbagai Warna memudahkan
si pemakai memadukan warna dengan pakaian yang digunakan, walaupun sekarang
sudah banyak tersedia pula ikat kepala yang bisa langsung di kenakan, Namun
SIGA tetap Menjadi Simbol kebesaran Dan Kebanggaan Masyarakat kaili.
Sumber:http://palukota.go.id/v2/siga-simbol-kebesaran-suku-kaili/
Hadirnya jenis penutup kepala ini
tidak terlepas dari budaya Melayu yakni Sumatera, Padang, dan Malaysia. Meski
begitu masing-masing daerah memiliki ciri khas dan penamaan tersendiri.
Jadi ada pengaruh makanya kalau kita lihat sekarang orang-orang Melayu, Sumatera, Padang, Malaysia, dan sebagainya ada yang menggunakan penutup kepala yang lancip,"
Passapu mulai dikenakan pada masa
Kerajaan Gowa yang ke-10. Saat itu Kerajaan Gowa dipimpin oleh Raja I
Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng.
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar