Dewan Adat Sigi

Waktu selesai rapat di rumah Ketua Dewan Adat Sigi di Kaleke.

SOSIALISASI

Sosialisasi pendidikan Pemilih.

TOTUA NU ADA

Totua nu Ada. Ane nggaulu Totuamo gala hi nompakenggenisi ngata ...

Silaturrahmi

Silaturrahmi dengan Yang Mulia Sri Paduka Mangku Alam II.

Kamis, 20 Februari 2025

Prosesi Adat Balia di Desa Binangga: Ritual Penyembuhan Tradisional

 

Prosesi Adat Balia di Desa Binangga: Ritual Penyembuhan Tradisional

Oleh : Sadri 

 


Binangga, 24 Februari 2025 – Prosesi Adat Balia, sebuah ritual penyembuhan tradisional yang dipercaya dapat mengobati penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh medis, telah sukses dilaksanakan di Desa Binangga, Kabupaten Sigi. Acara ini berlangsung selama empat hari, dari tanggal 20 hingga 23 Februari 2025, dan dihadiri oleh pemerintah setempat serta pemangku adat dari berbagai wilayah di Kabupaten Sigi.

Prosesi Adat Balia merupakan warisan budaya masyarakat Kaili yang masih tetap dijaga hingga saat ini. Ritual ini dipimpin oleh seorang manuru, yakni pemimpin upacara yang memiliki kemampuan spiritual dalam menjalankan prosesi penyembuhan. Dalam prosesi ini, berbagai instrumen musik tradisional seperti lalove (seruling bambu khas Kaili), gimba (gendang besar), dan gambusu (alat musik petik khas Sulawesi Tengah) turut dimainkan untuk mengiringi jalannya ritual.

 


Salah satu bagian menarik dari prosesi ini adalah kehadiran topotaro, yaitu para pelaku adat yang mengelilingi manuru selama ritual berlangsung. Mereka menjalankan berbagai gerakan dan mantra adat yang diyakini mampu membantu dalam proses penyembuhan.

Kepala Desa Binangga, Mohamad Ridwan dalam sambutannya, menyampaikan bahwa Prosesi Adat Balia bukan hanya tentang penyembuhan, tetapi juga sebagai bentuk pelestarian budaya yang harus terus diwariskan kepada generasi muda. “Kami berharap ritual ini tetap lestari sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Kaili,” ujarnya.

Pemerintah sekitar juga memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan ritual ini. Salah satu perwakilan dari Dinas Kebudayaan menyatakan bahwa pihaknya akan terus mendukung kegiatan adat seperti Balia agar tetap eksis di tengah arus modernisasi.

Masyarakat yang hadir dalam prosesi ini turut merasakan khidmatnya suasana sakral yang diciptakan selama upacara berlangsung. Beberapa warga bahkan menyatakan bahwa mereka masih percaya akan kekuatan penyembuhan dalam ritual Balia yang telah diwariskan secara turun-temurun.

  


Dengan suksesnya penyelenggaraan Prosesi Adat Balia tahun ini, diharapkan kesadaran akan pentingnya menjaga budaya lokal semakin meningkat. Ritual ini tidak hanya menjadi bagian dari warisan budaya, tetapi juga menjadi bukti bahwa kearifan lokal masih memiliki tempat di tengah masyarakat modern.


Sumber : https://karebakakitapura.blogspot.com/2025/02/prosesi-adat-balia-di-desa-binangga.html

Daftar Kepala Daerah Terpilih Provinsi Sulawesi Tengah

 


          Presiden Prabowo Subianto melantik 961 Kepala Daerah terpilih Pilkada Serentak 2024 di Istana Kepresidenan Jakarta pada Kamis (20/2). Mereka yang dilan merupakan hasil pemilihan di 481 daerah dari total 505 daerah yang menyelenggarakan Pilkada.

Kepala daerah yang telah dilantik terdiri dari 33 gubernur dan 33 wakil gubernur, 363 bupati, 362 wakil bupati, 85 wali kota, dan 85 wakil wali kota. Beberapa kepala daerah lainnya belum dilantik karena masih dalam tahap sidang sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dari seluruh daerah, hanya Kabupaten Ciamis yang tak dilakukan pelantikan wakil bupati. Sebelumnya, wakil bupati terpilih Ciamis Yana D Putra meninggal dunia dua hari sebelum pencoblosan, yakni pada 25 November 2024.

Ia menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Borromeus, Bandung, Jawa Barat diduga terkena serangan jantung. Oleh karena itu, Bupati Ciamis terpilih Ciamis, Herdiat Sunarya dilantik hari ini tanpa ada wakilnya.

Sementara itu, terdapat 22 kepala daerah yang telah ditetapkan tetapi tidak dilantik serentak oleh Presiden berasal dari wilayah Aceh. Merujuk aturan keistimewaan yang berlaku di Aceh, kepala daerah dilantik oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

Setelah dilantik, para kepala daerah terpilih akan mengikuti retreat di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah pada 21-28 Februari 2025. Selama retreat, pala kepala daerah akan mendapat arahan langsung dari Prabowo dan Menteri di Kabinet Merah Putih.


Daftar Kepala Daerah Terpilih Provinsi Sulawesi Tengah

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah: Anwar - Reny Lamadjido

 

Kabupaten Toli-Toli : Amran Hi. Yahya - Mohammad Besar Bantilan

Kabupaten Tojo Una-Una: Ilham - Surya

Kabupaten Banggai Laut: Sofyan Kaepa - Ablit

Kabupaten Poso: Verna Gladies Merry - Soeharto Kandar

Kabupaten Donggala: Vera Elena Laruni - Taufik M Burhan

Kabupaten Buol: Risharyudi Triwibowo - Nasir Dj. Daimaroto

Kabupaten Morowali: Iksan Iriane - Iliyas

Kabupaten Banggai Kepulauan: Rusli Moidady - Serfi Kambe

Kabupaten Sigi: Mohammad Rizal - Samuel Yansen

Kabupaten Morowali Utara: Delis Julkarson - Djira

Kota Palu: Hadianto Rasyid - Imelda Liliana


Sumber di SINI

Pelantikan Bupati Sigi


 

Bupati Sigi Terpilih Mohamad Rizal Intjenae bersama istri dan Wabup Samuel Yansen Pongi tiba lebih awal di Monas Jakarta, Kamis (20/2/2025), sebelum kirab dimulai.

Mohamad Rizal Intjenae dan Samuel Yansen Pongi tampil mengenakan Pakaian Dinas Upacara (PDU) saat tiba di Monas. Keduanya menjadi bagian dari 481 pasangan Kepala Daerah yang dilantik Presiden Prabowo Subianto hari ini. Rizal dan Samuel sempat foto bersama sebelum berjalan menuju pintuk masuk, tempat kumpul seluruh kepala daerah. Hanya pasangan Kepala Daerah Terpilih yang boleh masuk. Itupun harus membawa undangan resmi. Handphone dan barang lainya tidak boleh dibawa. Di dalam gate Monas itulah, para Kepala Daerah mempersiapkan diri untuk mengikuti kirab menuju istana kepresidenan. Kepala Daerah Terpilih berjalan kaki sekitar 700 meter. Sementara pasangan Kepala Daerah Terpilih menumpangi armada.


Sumber : di SINI

Selasa, 18 Februari 2025

Prosesi Adat No Raa Binangga, Tradisi Suku Kaili Memohon Kelimpahan Air

 

Prosesi Adat No Raa Binangga, Tradisi Suku Kaili Memohon Kelimpahan Air

Oleh : Sadri

Palu, 19 Februari 2025 – Masyarakat Suku Kaili di Kelurahan Kawatuna kembali menggelar prosesi adat "No Raa Binangga", sebuah tradisi sakral yang bertujuan memohon kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, agar menganugerahkan kelimpahan air bagi kehidupan. Upacara yang dipimpin oleh pemangku adat ini dihadiri oleh perwakilan adat dari Kota Palu dan Kabupaten Sigi, serta jajaran pemerintah setempat.



Prosesi "No Raa Binangga" merupakan warisan leluhur yang telah dijaga turun-temurun oleh masyarakat Kaili. Dalam ritual ini, para pemangku adat melantunkan doa-doa dan melakukan serangkaian prosesi khusus yang melambangkan harapan akan keberkahan dan kesuburan tanah. Air dianggap sebagai sumber kehidupan, sehingga permohonan akan kelimpahan air memiliki makna mendalam bagi keberlangsungan hidup masyarakat.

 


Acara ini diawali dengan pembacaan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh adat dan tokoh agama, dilanjutkan dengan prosesi adat yang mencakup penyampaian harapan serta simbolisasi penghormatan kepada alam. Para peserta mengenakan pakaian adat khas Kaili, menambah kekhidmatan suasana ritual.

Hadir dalam acara tersebut perwakilan dari Pemerintah Kota Palu dan Kabupaten Sigi yang menyampaikan apresiasi atas upaya masyarakat dalam melestarikan budaya lokal. Pemerintah berkomitmen untuk terus mendukung dan menjaga keberlanjutan tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya daerah.

 


Prosesi "No Raa Binangga" menjadi pengingat akan pentingnya keseimbangan antara manusia dan alam. Dengan mempertahankan adat dan tradisi, masyarakat tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga memperkuat nilai-nilai spiritual dan sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan terselenggaranya prosesi ini, diharapkan keberkahan air dan kesuburan tanah akan terus melimpah bagi masyarakat Kaili dan sekitarnya, serta adat istiadat ini tetap lestari di tengah arus modernisasi.

 


 


Sumber :  https://karebakakitapura.blogspot.com/2025/02/prosesi-adat-no-raa-binangga-tradisi.html

 

19 Tokoh Pejuang Diberi Gelar Anumerta oleh Pemkab Sigi

 


          Pemerintah Kabupaten Sigi memberikan penghargaan anumerta kepada 19 tokoh pejuang daerah atas jasa dan pengorbanan mereka dalam membangun daerah. Penghargaan ini diberikan pada tanggal 24 Januari 2025, sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi para tokoh dalam berbagai bidang.

Bupati Sigi, Mohamad Irwan, S.Sos., M.Si., menyampaikan bahwa penghargaan ini diberikan kepada tokoh-tokoh yang telah berjuang melawan penjajahan, serta mereka yang semasa hidupnya memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan dan kemajuan Kabupaten Sigi.

“Penghargaan ini adalah bentuk terima kasih kami kepada para pejuang dan tokoh yang telah memberikan sumbangsih besar bagi daerah ini,” kata Bupati Irwan. “Semangat juang dan dedikasi mereka adalah inspirasi bagi kita semua untuk terus membangun Kabupaten Sigi menjadi lebih baik.”

Selain itu, ada juga tokoh-tokoh lain dari berbagai latar belakang, seperti pejuang kemerdekaan, penggiat budaya, tokoh perempuan, dan politisi.

Pemberian penghargaan ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi generasi muda untuk terus berkontribusi dalam pembangunan daerah. Pemerintah Kabupaten Sigi juga berkomitmen untuk terus mendukung dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.



Berikut adalah daftar lengkap penerima penghargaan:

Almarhum Datupamusu

Almarhum Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo

Almarhum H. Joto Daeng Pawindu

Almarhum Tandalonggo

Almarhum KH. Syakir Hubaib

Almarhum Kundulemba

Almarhum Lasoso

Almarhum Lamasatu

Almarhum Tovoalangi

Almarhum Tokere

Almarhum Drs. Ridwan Yalidjama

Almarhum Ichsan Loulembah

Almarhum Jhon Mills

Almarhum Hidayat Lembang

Almarhum KH. Daeng Maria Pilarante Djaelangkara

Almarhum Lamariapa

Almarhum Qasim Maragau

Almarhum Dae Pasisi

Almarhum Karandjalemba


Sumber : di SINI

Kamis, 13 Februari 2025

Kunjungan Ketua PWRI Kaltim ke Bantaya Kalukubula.





 Pemerintah Kab. Sigi menerima kunjungan kerja dari Pengurus Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) Provinsi Kalimantan Timur pada Kamis, (13/02/25). Kegiatan kunjungan diawali bersilaturrahim dengan Dewan Adat Kabupaten Sigi yang berlangsung di Rumah Adat Bantaya Desa Kalukubula Kec. Sigi Biromaru. 




Sabtu, 08 Februari 2025

Pembagian Harta Warisan Menurut Adat Kaili

 

          Hukum adat hanya berlaku dalam bidang-bidang tertentu saja. Namun, diantara salah  satu  dari  bidang  hukum  yang  dimaksud  adalah  bidang  hukum  kewarisan. Untuk  masalah  kewarisan  belum  ada  hukum  waris  nasional  ataupun  undang-undang yang mengatur mengenai masalah pewarisan bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Pembagian  warisan menurut masyarakat adat Kaili mengenal adanya pembagian   waris  menurut  garis  keturunan. 

         Masyarakat  adat  Kaili  tersebut menganut sistem keturunan Parental yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak dan ibu yang mana kedudukan laki-laki lebih berperan dibandingkan kedudukan  wanita  dalam  pewarisan.  Dalam  pembagian  warisan  tersebut,  anak laki-laki  yang  mendapatkan  lebih  warisan. 

Upacara Adat Molili Ngata

 Upacara Adat Molili Ngata











Minggu, 02 Februari 2025

Megalit Vatunggaulu



KOTA PITUNGGOTA

 


          Budayawan Sulawesi Tengah, Sofyan Ing berpendapat, Pitunggota atau tujuh wilayah, adalah tujuh sub etnis dari suku kaili. Tujuh sub etnis itu, yaitu Topo (yang menggunakan bahasa) Ledo, Topo Ija, Topo Ado, Topo Unde, Topo Rai, Topo Da’a dan Topo Tara.

“Topo Ledo berasal dari pegunungan sebelah timur di atas bukit Paneki yang disebut Lando Raranggonao sekarang ini Topo Ledo bermukim di kota Palu kearah selatan samapai Kecamatan Dolo sampai dengan sungai wera di barat,” jelas Sofyan Ing.

Sedangkan menurutnya, Topo Ija pada awalnya, bermukim di sebelah utara danau lindu di lereng gunung yang disebut Leu, Silonga, Volau, Uwemalei, dan Sigi Pulu. Sekarang ini To Ija, menurutnya, bermukim di Bora, Watunonju, Oloboju dan dataran Palolo serta Sibowi.

Selain itu, Topo Ado awalnya bermukim di lereng pegunungan sebelah timur tenggara, Namun sekarang ini bermukim di sebelah selatan wilayah pemukiman Topo Ledo, kearah selatan berbatas dengan Kuala Saluki dan Kuala Tiva batas wilayah Desa Bangga. To Unde yang awalnya bermukim di lereng gunung Kangihui dan gunung Kayunaya. Sekarang ini Topo Unde umumnya bermukim di kecamatan Banawa, dan Banawa Selatan.

Topo Rai pada awalnya, bermukim di lereng gunung Pombare Basa atau Parampata. Sekarang, Topo Rai umumnya bermukim mulai dari Kecamatan Banawa Palu Utara kearah utara sampai dengan kecamatan Balaisang. Topo Tara awalnya bermukim di lereng gunung sebelah timur Kota Palu di bagian utara dari pemukiman Topo Ledo. Sekarang Topo Tara bermukim di Kecamatan Palrigi, Sausu, Sebagiam Kecamata Ampibabo, serta beberapa kelurahan di Kecamtan Palu Timur.

“Sedangkan Topo Da’a yang kita kenal dengan To Lare, tetap berdiam di sebelah barat Kota Palu dan Kecamatan Marawola. Sekarang ini tergabung dalam wilayah Kecamatan Tinembani dan Pekava,” sebut salah satu Ketua PB Akhairaat ini.

Uniknya, kata Sofyan, tujuh sub etnis ini terdapat tujuh pula pula Dewan Adat Pitu Nggota yaitu, Magau di Sigi, Galara di Banawa, Pabisara di Pulu, Baligau di Dolo, Jogugu di Dolo, Punggava di Pinombani dan Kapita di Behoa.

Kata Sofyan Ing, bahkan Sub Etnis ini mendirikan tujuh kerajaan di tanah kaili. “Yaitu, Kerajaan Pujananti di Ganti, Kerajaan Tatanga di Palu, Kerajaan Baloni di Sigi, Kerajaan Tinombani di Dombu, Kerajaan Sidiru di Sibalaya, Kerjaan Pemantoa atau Parampata di Sindue dan Kerajaan Sausu atau Parigi,” jelas Sofyan Ing.

Ia menyebutkan, tiap kerajaan melaksanakan pemerintahannya secara otonom namim tetap terikat pada posisi dan fungsi masing-masing dalam adat. Namun meskipun demikian tidak pernah terjadi peperangan anatara kerajaan. Hal ini menuruntya, karena masing-masing kerajaan patuh pada hukum adat yang mengikat. (nanang



Sumber : KOTA PITUNGGOTA




LEMBAGA LEGISLATIF PITUNGGOTA dan PATANGGOTA

Tentang Pitunggota dan Patanggota

Pada abad ke-13, di Sulawesi Tengah sudah berdiri beberapa kerajaan seperti kerajaan Banawa, kerajaan Tawaeli, kerajaan Sigi, kerajaan Bangga, dan kerajaan Banggai. Pengaruh Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah mulai terasa pada abad ke-16. Penyebaran Islam di Sulawesi Tengah ini merupakan hasil dari ekspansi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Pengaruh yang mula-mula datang adalah dari kerajaan Bone dan kerajaan Wajo.

Pengaruh Sulawesi Selatan begitu kuat terhadap kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah, bahkan sampai pada tata pemerintahan. Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tengah akhirnya terbagi dua, yaitu:

* berbentuk Pitunggota dan

* berbentuk Patanggota .

Pitunggota adalah suatu lembaga legislatif yang terdiri dari tujuh anggota dan diketuai oleh seorang Baligau. Struktur pemerintahan ini mengikuti susunan pemerintahan ala Bone dan terdapat di kerajaan Banawa dan kerajaan Sigi.

Patanggota adalah struktur lainnya, merupakan pemerintahan ala Wajo dan dianut oleh kerajaan Palu dan kerajaan Tawaeli. Patanggota Tawaeli terdiri dari Mupabomba, Lambara, Mpanau, dan Baiya.

Pitunggota atau tujuh wilayah, adalah tujuh sub etnis dari suku kaili:

* Topo (yang menggunakan bahasa) Ledo,

* Topo Ija,

* Topo Ado,

* Topo Unde,

* Topo Rai,

* Topo Da'a dan

* Topo Tara.

 

Tujuh sub etnis ini terdapat tujuh pula Dewan Adat Pitu Nggota yaitu:

* Magau di Sigi,

* Galara di Banawa,

* Pabisara di Pulu,

* Baligau di Dolo,

* Jogugu di Dolo,

* Punggava di Pinombani dan

* Kapita di Behoa.

 

Sub Etnis ini mendirikan tujuh kerajaan di Tanah Kaili:

Kerajaan Pujananti di Ganti,

Kerajaan Tatanga di Palu,

Kerajaan Baloni di Sigi,

Kerajaan Tinombani di Dombu,

Kerajaan Sidiru di Sibalaya,

Kerjaan Pemantoa atau Parampata di Sindue dan

Kerajaan Sausu atau Parigi .

 

Dewan Adat Pitunggota kerajaan Ngata Kaili abad ke-12

 


 

 Sumber : KOTA PATANGGOTA dan KOTA PITUNGGOTA


Tesa nu DANAU LINDU

 


          Dikisahkan bahwa suatu hari kapal yang membawa Sawerigading sepulang dari perjalanan ke tanah China untuk mengawini tunangannya We Cudai berkunjung ke laut kaili. Saat itu di tanah kaili terdapat beberapa kerajaan lokal yang berdaulat mulai dari Banawa, Bangga hingga Sigi. Setelah berkunjung ke Ganti, ibu kota kerajaan Banawa, Sawerigading berlayar ke arah selatan menuju pantai negeri sigi-pulu, dalam wilayah kerajaan sigi. Perahu Sawerigading berlabuh dipantai Uwe mebere, yang sekarang ini bernama Ranoromba. Kerajaan sigi dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ngginayo atau Ngilinayo yang berparas cantik dan namun belum menikah. Sawerigading terpikat oleh kecantikannya dan langsung mengajukan pinangannya untuk menjadikannya permaisuri, untuk memenuhi permintaanya Ngginayo mensyaratkan agar ayam aduan sawerigading yang bernama Baka Cimpolong terlebih dahulu mengalahkan ayam aduan raja sigi yang bernama Calabai, syarat itu disetujui Sawerigading , sehingga disepakatilah suatu waktu untuk menggelar upacara adu ayam sekembali dari kunjungan sawerigading kepantai barat, sambil di persiapkan arena (wala-wala) adu ayam.

Dipantai barat perahu Sawerigading berlabuh dipantai kerajaan Bangga, yang dipimpin oleh raja Wambulangi seorang perempuan yang bergelar Magau Bangga.dengan magau Bangga Sawerigading mengikat perjanjian persahabatan.

Setelah kunjungan ke bangga Saweri Gading kembali ke Sigi. Dalam perjalanan itu Sawerigading singgah di sebuah pulau kecil Bugintanga (pulau tengah), untuk menambatkan perahunya ia menancapkan sebatang tonggak panjang (Tokong –bgs-) ketika meninggalkan pulau itu Sawerigading tidak mencabut Tonggak itu, sehingga bertumbuhlah dan sampai kini dipercaya oleh penduduk sebagai kebangga atau bululanga yang terletak di kampung kaleke.

Di Sigi persiapan pertarungan sudah diselesaikan, sebuah gelanggang (wala-wala) sudah di sediakan bagi baka cipolong dan calabai, para penduduk juga sudah mendengarkan dan bersiap untuk menyaksikan pertarungan yang akan digelar kesekan paginya, namun diluardugaan, satu malam sebelum upacara dimulai, tersiar kabar, yang mengharuskan pertarungan itu dibatalkan.

Anjing Sawerigading yang digelar La Bolong (si Hitam -bgs-) diam-diam turun dari perahu, untuk berjalan-jalan di dataran Sigi. Tanpa di sadarinya ia berjalan terlalu jauh ke selatan hingga kemudian terperangkap kedalam sebuah lubang yang besar tempat kediaman se ekor Lindu (belut) yang sangat besar. Karena merasa terganggu dengan kedatangan anjing La Bolong yang tiba-tiba itu maka si Lindu menjadi marah dan menyerang La Bolong sehingga terjadilah pertarungan yang amat sengit antara keduanya. Sedemikian dahsyatnya pertarungan itu sehingga seolah-olah menimbulkan gempa yang menggetarkan bumi, penduduk pun menjadi panik dan ketakutan dibuatnya. Pada satu kesempatan La Bolong berhasil menyergap Lindu itu dengan taring-taringnya, kemudian dengan cengkeraman mulutnya ia menyentakan dan menarik sang Lindu hingga tercabut dari lubangnya. Sejenak kemudian La Bolong menyeret dan melarikan belut yang meronta-ronta itu ke arah utara.

Sementara itu, lubang tempat tinggal Lindu yang telah menjadi kosong dengan cepat terisi air, Sehingga lama kelamaan menjadi penuh dan meluap-luap, menggenangi daerah sekitarnya sampai akhirnya membentuk sebuah danau yang saat ini dikenal sebagai danau Lindu.

Demikian riwayat danau Lindu yang dikutip dari legenda Sawerigading, sebagaimana penuturan Matulada dalam bukunya sejarah dan kebudayaan To Kaili. Dibandingkan dengan penuturan Paulus Tampilangi, salah seorang tokoh Lindu pada tahun 2001, mitos pembentukan danau Lindu sedikit berbeda, meskipun alur ceritanya memiliki beberapa kemiripan sbb,

Di kisahkan, pada jaman dahulu kala dataran disekitar Lindu belum menjadi tempat tinggal manusia karena pada umumnya masyarakat pada saat itu memilih untuk tinggal di lereng-lereng gunung, maupun punggung-punggung bukit dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar-pencar, di Lantawongu, Katapia, Watureo, Sindimalei Lindu Tongoa dan Sandipo.

Beberapa jarak dibawah kaki gunung mapun bukit-bukit itu terdapat dataran, yang digenangi air sehingga membentuklah suatu rawa yang sangat luas. Di rawa itu hidup seekor Lindu atau belut yang sangat besar ukurannya. Selain besar Lindu, dikisahkan bahwa Lindu itu sangat buas. Ia menyerang dan memangsa hewan apa saja bahkan manusia yang dijumpainya disekitar rawa. Itulah sebab tidak seorangpun yang masyarakat pada saat itu yang berani datang apalagi bermukim tepian rawa.

Lindu itu hidup bak raja di daerah rawa yang maha luas itu, tidak henti-hentinya ia memangsai hewan-hewan hutan yang datang untuk minum dipinggiran rawa, tidak jarang manusia yang tersesat kedaerah rawapun dijadikannya santapannya, sehingga lama kelamaan jumlah anggota masyarakat yang menjadi mangsa Lindu menjadi banyak dan terus menerus bertambah banyak, sehingga mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat Lindu.

Keresahan yang menumpuk mulai menimbulkan ketakutan yang menghantui seluruh masyarakat pada saat itu. Keadaan ini mendorong totua maradika, ngata dan todea berkumpulah di suatu tempat untuk menyelenggarakan musyawarah (Mo Libu), dalam musyawarah itu para tokoh merundingkan cara untuk membunuh Lindu yang jahat itu.

Dikisahkan bahwa jalannya musyawarah berlangsung alot, silang pandapat terjadi antara para tokoh yang menghendaki agar setiap pemukiman mengirimkan sepuluh orang terkuatnya untuk membunuh lindu itu dengan para Tokoh yang mengusulkan untuk meminta bantuan ke keluarga mereka di Kerajaan Sigi, dengan pertimbangan hamparan rawa sangat luas bagi mereka, sehingga akan sulit untuk mengetahui dimana tepatnya lindu berada. Apalagi Lindu selalu berpindah dari satu tempat ketempat dalam mencari mangsanya, sehingga usul untuk meminta bantuan kesigilah yang diterima. Para pemuka bahwa percaya bantuan dari Kerajaan Sigi akan cepat menyelesaikan masalah.

Kerajaan Sigi pada waktu itu dipimpin oleh seorang raja perempuan yang bernama Bunga Manila , seorang raja yang terkeanl arif dan bijaksana, konon kabarnya ratu Bunga manila merupakan penjelmaan daun “tovavako”. Para pemuka di Lindu mengira saat itu Bunga Manila memiliki anjing pemburu yang terkenal berani, tangkas, kuat dan ganas yang bernama Liliwana atau penjelajah rimba. Menyusul keputusan itu, diberangkatkanlah beberapa orang menyampaikan ke kerajaan Sigi.

Di kerajaan Sigi, Ratu Bunga Manila, merasa sedih dan terharu begitu mengetahui kemalangan yang menimpa suadara-saudaranya di Lindu. Terlebih lagi ketika ia mengetahui maksud kedatangan keluarganya dari Lindu untuk memintai bantuannya mengirimkan Liliwana untuk menumpas sang Lindu, sementara ia tidak pernah memiliki anjing pemburu seperti dimaksudkan masyarakat Lindu itu.

Akan tetapi untung sekali, beberapa orang disekitar istana Bunga Manila yang turut mendengarkan percakapan itu mengaku pernah mendengar dan mengetahui perihal anjing perkasa yang bernama Liliwana itu. Disampaikannya Liliwana adalah anjing milik seorang raja di dari kerajaan Luwu di Sulawesi bagian Selatan. Mendengarkan hal ini Ratu Bunga Manila segera mengirimkan utusan ke kerajaan Luwu hal ini dilakukannya demi membantu saudara-saudaranya di Lindu.

Pada saat itu antara kerajaan sigi dengan kerajaan Luwu berikut kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi selatan telah terjalin hubungan yang baik. Hubungan itu antara lain terjalin melalui kerjasama di bidang perdagangan. Sebelum memberangkatkan utusannya Raja Sigi terlebih dahulu menyampaikan bahwa di selatan terdapat enam buah kerajaan, yang di ilustrasikan dengan ; “Payung ri Wulu, Somba ri Gua, Mangkau ri Bone, Datu ri Sopeng, Ade ri Sidrap dan Aung ri Wajo”.

Penyampaian ini dilakukan Raja Sigi agar supaya para utusan nantinya dapat menyampaikan pesan dengan baik-baik, santun dan berhati-hati, karena mereka akan berhadapan dengan raja-raja yang arif. Setelah memperoleh wejangan, berangkatlah utusan Raja Sigi yang terdiri dari tujuh orang. Dalam perjalanannya ke tujuh utusan pertama-tama menuju ke kerajaan Luwu. Di kerajaan ini para Utusan diterima dengan baik sekali, oleh Payung ri Wulu, mereka dijamu dengan baik mengingat hubungan yang baik antara kerajaan Sigi dan Luwu. Setelah melewati perjamuan di lingkungan istana, Payung ri Luwu memanggil utusan dari Raja Sigi itu untuk membicarakan maksud kedatangan mereka, ia menayakan berita apa yang hendak disampaikan oleh Raja Sigi kepadanya. Salah seorang utusan kemudian menceritakan apa yang terjadi dengan saudara mereka di Lindu sekaligus menyatakan maksud raja Sigi untuk meminjam Liliwana, anjaing pemburu yang kabarnya merupakan peliharaan Raja Luwu.

Raja Luwu membenarkan berita itu, ia juga bersedia meminjamkan Liliwana kepada Raja Sigi, demi persahabatan yang sudah terjalin, sembari berpesan agar anjing pemburu itu diperlakukan sebaik-baiknya, seperti halnya memperlakukan anak sendiri.

Singkat cerita, utusan Raja Sigi segera pulang. Karena keadaan yang sangat mendesak lama waktu perjalanan dari Luwu ke Sigi yang biasa ditempuh selama tujuh hari dapat di lalui dalam satu hari. Setibanya di Sigi, Liliwana diistirahatkan dua hari, setelah itu barulah si anjing pemburu yang perkasa meneruskan perjalanan ke dataran Lindu. Tiba di Lindu, anjing pemburu yang gagah berani ini tidak menyia-nyiakan waktu, dengan indera penciumannya yang tajam, ia segera melacak keberadaan si Lindu. Dalam waktu yang singkat Liliwana segera menemukan buruannya, sejenak kemudian terjadilah pertarungan yang seru antara Liliwana dan Lindu. Dalam perkelahian yang sengit itu kedua hewan saling menyerang, menggigit dan bergumul. Suatu waktu Liliwana terlilit dan berada di bawah, tetapi disaat yang lain, Lindu yang berada di bawah. Demikianlah terjadi berulang kali dalam waktu yang lama.

Pertarungan antara Lindu dan Liliwana disaksikan oleh masyarakat yang dari tujuh pemukiman yang berada di perbukitan dan pegunungan disekeliling rawa. Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan perasaan was-was dan khawatir, tidak sedikit yang meneteskan air mata karena tegangnya, mereka sangat khawatir kalau-kalau Liliwana tidak dapat mengalahkan si Lindu, karena dapat dibayangkan bagaimana akibatnya bila ternyata sang Lindu keluar sebagai pemenang.

Namun untunglah, pada suatu kesempatan Liliwana berhasil menggigit kepala Lindu itu dengan kuatnya, taring-taringnya yang tajam menghunjam kedalam daging hingga tengkorak Lindu, dan mencengkeramnya dengan kuat. Si Lindu menggelatarkan badannya yang besar, meronta-ronta, sambil memukul-mukulkan badannya mengipasi tumbuhan dan pepohonan yang ada dipermukaan rawa yang berlumpur, namun cengkeraman Liliwana terlalu kuat, sehingga ia tak kuasa meloloskan diri, sehingga lama kelamaan Lindu menjadi lemah dan akhirnya menemui ajalnya. Liliwana keluar sebagai pemenang.

Kemenangan Liliwana disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh penduduk lindu mereka bersorak dan bersyukur, sambil mengucapkan terima kasih didalam hati kepada Liliwana, anjing pemburu yang perkasa.

Sejak itu, masyarakat Lindu menguak lembaran baru dalam hidupnya, mereka mulai membuka pemukiman baru di sekitar rawa, diatas tanah-tanah yang landai, diseputar rawa, tanpa ada rasa takut terhadap serangan Lindu. Ditempat ini mereka dapat mencetak sawah dan membuka perkebunan yang luas. Apalagi tanah disekitar rawa merupakan tanah yang subur, karena di bentuk melalui pelapisan humus yang dibawa aliran sungai yang berhulu di gunung-gunung disekelilingnya.

Sementara itu, akibat pertarungan yang maha dahsyat antara Lindu dan Liliwana, permukaan rawa yang luas menjadi terkuak, membentuk sebidang danau yang besar. Orang-orang yang tinggal di sekitarnya menamakannya sebagai Rano Lindu atau Danau Lindu.

Meskipun mengandung beberapa perbedaan, namun pada intinya kedua versi cerita rakyat diatas meyakini bahwa pembentukan danau Lindu, diawali dengan terjadinya pertarungan antara seekor Lindu dengan se ekor anjing pemburu.

Jika dikaitkan secara ilmiah menurut Whitten (1987) yang menghubungkan dengan analisa binatang moluska, menyatakan bahwa Danau Lindu terbentuk pada masa kira-kira antara 5 sampai 1.6 juta tahun yang lalu. Cerita versi kedua lebih mendekati nyata.

Kedua riwayat juga mengkaitkan riwayat pembentukan danau Lindu dengan kerajaan sigi dan bangsawan-bangsawan dari sulawesi selatan, yaitu Sawerigading dari Bone dan Payung Ri Luwu dari kerajaan Luwu, melalui intermediasi raja perempuan Sigi. Keterkaitan itu dijalinkan melalui kepemilikan mereka terhadap anjing pemburu yang perkasa (Liliwana versi Tampilangi atau La Bolong versi Matulada).

Sawerigading adalah tokoh legendaris dalam cerita rakyat tanah kaili. Tokoh ini dihubungkan dengan kedudukan kerajaan Bone, sebagai kerajaan bugis di Sulawesi selatan yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan di tanah kaili. Dapat diperkirakan bahwa hubungan-hubungan yang akrab antara kerjaan Bone dengan kerajaan-kerajaan di Tana kaili berlangsung pada abad ke-17. adapun tokoh sawerigading di sulawesi selatan tersebut terdapat dalam epos la-galigo, dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal raja-raja bugis, khusunya dikerajaan Luwu yang terletak di sebelah utara kerajaan Bone. (Matulada, 1976, et al.,)

Menurut Matulada (et al.,) ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai alat identifikasi etnologis, untuk suatu kelompok manusia dalam suatu komunitas tertentu untuk membedakannya dari kelompok-kelompok lainnya. Biasanya digunakan beberapa kedaan khusus dari kelompok itu sebagai alat identifikasi yang dimaksud seperti ; dialek, ciri kebudayaan, nama tempat, keadaan alam tertentu dan sebagainya, keadaan itulah yang kemudian menjadi identitas atau sebutannya.

Matulada (et al.,) juga mencontohkan bentuk pengelompokan yang dimaksud, misalnya berdasarkan bahasa, terdapat sebutan orang bugis atau orang jawa, kepada suatu kaum dikarenakan mereka berbahasa bugis maupun bahasa jawa; demikian halnya, berdasarkan dialeknya, sebagaimana Adriani dan Kruijt dalam Matulada (et al.,) mengelompokan dialek-dialek dalam kalangan yang disebutnya Toraja, dengan menggunakan kata sangkal seperti ; tae, rai, ledo, daá dan lain-lain. Selajutnya, berdasarkan ciri kebudayaan yang melekat pada suatu kaum Matulada, mencontohkan penamaan yang terjadi pada “to panambe” , yaitu masyarakat yang bermata pencaharian hidup dengan menggunakan alat penangkap ikan yang disebut “panambe”, sedangkan untuk suatu kelompok atau kaum yang diidentifikasikan menurut nama tempatnya, dicontohkan To Palu, To (ri) palu, ialah orang atau kaum yang bermukim di palu.

Menggunakan pendekatan serupa itu, nampaknya identifikasi atau sebutan bagi Toi Lindu didasarkan pada nama tempat mereka bermukim saat ini, yaitu dataran di sekitar danau Lindu, sehingga masyarakat yang bermukim disekelilingnya di kenal sebagai To Lindu atau orang yang bermukim di dataran Lindu.

To Lindu, merupakan sub kultur atau sub etnik Kaili. Matulada, 1976 mengelompokan beberapa kelompok etnis yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari etnis Kaili, yang dalam pernyataan-pernyataan kulturalnya saat itu dapat disebut sesuai dengan nama tempat pemukimannya. Sebagai berikut ; 1) To palu, 2) To Biromaru, 3) To Dolo, 4) To Sigi, 5) To Pakuli, To Bangga, To Baluase, To Sibalaya, To Sidondo, 6) To Lindu, 7) To Banggakoro, 8. To Tamungkulowi dan To Baku, 9) To Kulawi, 10) To Tawaeli, 11) To Susu, To Balinggi, To Dolago, 12) To Petimpe 13) To Raranggonau, 14) To Parigi.

Matulada mengakui bahwa dalam kalangan sub etnik tersebut acapkali terjadi penggolongan yang lebih kecil lagi, dengan ciri-ciri khusus, yang kelihatannya lebih dekat kepada kelompok kekerabatan, yang menunjukan sifat satuan geneologisnya. Kekhususan yang dimaksud dapat pula meliputi ceritera asal usul maupun dialek, yang merupakan pernyataan kulturalnya.

Hal demikian dapat dijumpai pada To Lindu. untuk menegaskan identitasnya, To Lindu memiliki sejumlah cerita rakyat (Folk Tale), mitos, tokoh-tokoh legendaris yang menjadi suatu pengikat solidaritas bagi anggota masyarakat yang terhisap kedalam sub etnis Lindu.

         Bahasa To Lindu digunakan To Lindu berdialek Tado. Dialek ini merupakan salah satu jenis dialek yang tergolong delam rumpun bahasa kaili sebagaimana Unde, Ledo, Tara, Daá dan lain-lain. Penggunaan dialeg ini juga membedakan To Lindu dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya dalam rumpun kaili, termasuk To Kulawi yang berbahasa Uma maupun Moma maupun Ompa. Dibandingkan dengan Pemakaian dialek lain dalam rumpun bahasa kaili, pemakaian dialek Tado kemungkinan merupakan populasi terkecil. Selain To Lindu, komunitas asli Sinduru di Desa Tuva, juga mengklaim diri sebagai pengguna dialek ini, meskipun dengan sedikit varian. Mereka menyebut dialek mereka sebagai dialek “Tado Mbei” , dalam cerita mengenai asal-usulnya, masyarakat Sinduru di Tuva, mengakui bahwa leluhur mereka dulunya berasal dari dataran Lindu, yang bermigrasi ke daerah barat dan membuka pemukiman pertamanya di Oda vatu, suatu tempat yang terletak di sebelah timur desa Tuva kecamatan Gumbasa saat ini.

          To lindu juga memiliki sejumlah cerita rakyat maupun mitos mengenai asal-usul mereka, maupun legeda-legenda mengenai ketokohan leluhur mereka, yang selain menimbulkan kebanggan pada diri mereka sebagai bagian dari To Lindu, juga menjadi pengikat solidaritas. Oleh Paul Cohen (2001, et al.,) menekankan bahwa mitos Mitos ini bukan berarti sesuatu yang salah atau tidak nyata. Sejarah sebagai mitos dimaksudkan sebagai sejarah yang dipakai untuk justifikasi tindakan masa kini.



Sumber : DANAU LINDU

Sabtu, 01 Februari 2025

Sejarah Singkat Masyarakat adat KINOVARO

 


Kinovaro adalah salah satu Sub komunitas masyarakat adat yang ada di wilayah ke adatan besar Kamalisi Sulawesi Tengah yang kini pada umumnya bermukim diwilayah lembah,lereng dan pegunungan Kamalisi.

Kinovaro merupakan salah komunitas adat di wilayah kamalisi,kinovaro sendirii berasal dari nama nenek moyang yang bernama Kino yang mendiami wilayah kinovaro bertempat kampong tua di sebut Jengi kemudian ia memiliki keturunan yang banyak terpencar di kamalisi atau di wilayah adat lainnya sehingga disebut varo (terpencar). sistem kepemimpinan di kinovaro di pimpin oleh madika, namun madika dikinovaro tidak banyak dikenal di wilayah adat lainya karena kinovaro merupakan komunitas yang sering dijadikan upacara adat oleh komunitas lainya ketika ada pelanggaran adat.

Komunitas masyarakat adat Kinovaro tersebut memiliki sejarah yang sama dan mereka hidup dari satu komunitas lainnya yang cukup besar di kamalisi secara adminitrasi berada di wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kota Madya Palu, bahkan wilayah adatnya kamilisi sampai kewilayah adminitrasi provinsi Sulawesi Barat. Dalam pengetahuan literatur antropologi dan etnokologi komunitas besar di Wialyah Adat Kamalisi tersebut adalah bahagian dari sub etnis kaili terdiri dari etnis Unde,Inde Tado dan Da’a. tapipada umumnya di sub kewilalayaan komunitas vaenumpu adalah menggunakan bahasa/suku da’a.

Dalam batasan teritori dan penyebaran etniknya, sub komunitas Masyarakat adat kamalisi ini tidak lepas dari bagian penyebaran wilayah adat yang ada di lembah, lereng pegunungan kamalisi, dengan kearifan identitas lokalnya dalam pemperlakukan alam sebagai subjek yang harus hidup dan memiliki hak yang sama seperti manusia serta memiliki tataruang adat yang sangat arif.

Sebaran Pembagian Besar Wilayah Adat Kamalisi terdiri dari Sub Wilayah Adatnya Yaitu. Komunitas Vaenumpu (Uwenumpu), Kinovaro Komunitas Pantapa, Vayanga, Nggolo bolonggima, Kasoloa (Ntoli), Lumbu Lama, Ona, Karavana (Dombu), Kinovaro, Vau (Mabere), Vugaga, Binggi dan Pakava

Pemberian wialayah ini tidak terpisahkan dari sejarah yang panjang to kamalisi dengan menggunakan bahasa Da’a secara turun temurun (kepercayaan) jauh sebelum penjajahan masuk di wilayah nusantara Indonesia mereka terbagi dan tersebar secara turun temurun dan membagi suatu wilayah kelolah secara arif, dari zama-kezaman sampai kemerdekaan di bagi secara adminitarsi (Hukum Negara) di beberapa desa, kecamatan kabupaten sigi (kecamatan marawola barat, dolo barat pesisir, dan marawola) sampai ke kota madya palu, akan tetapi ada juga sebagian besar wilayah komunitasnya masuk di kabupaten donggala (kec.Pinembani, Rio Pakava, banawa Selatan) sampai ke Sulawesi barat (Kab.Mamuju Utara).

pengalaman infestigasi lapangan dan pengakuan orang-orang da’a di vaenumpu mereka adalah etnis tersendiri yang mereka sebut To Ulujadi atau Ulunggatoka Pinandu-ongunja poamaya. Dengan penama’an ini orang da’a mempercayai bahwa dari puncak gunung inilah awalnya dari kehidupan manusia, biasa sebutan lainnya di kenal dengan Ulunggatoka Pinandu – Pinandu : Tananilemo Nggari Tanah Pinandu – di ciptakan dari tanah, adalah tanah di jadikan manusia dan menurut orang da’a pinandu itu pulahlah nama orang yang diciptakan dari tanah tersebut. Kemudian barulah dari tulang rusuk pinandu di ciptakan perempuan yang disebut “usukei”- usukei adalah perempuan pertama yang diciptakan dari tulang rusuk pinandu.

 

Dalam perkembangan manusia ini, orang da’a memprcayai belum ada adat atau aturan yang mengatur adat dalam kehidupan manusia nanti setelah diciptakannya orang yang mereka sebut sebagai “Tomanurung – Tobarakah “ dari sinilah barulah mereka mengenal system adat, yang kini tetap di jaga.

Hak atas tanah dan pengelolaan Wilayah

Pembagian ruang menurut adat

Pangale : Hutan larangan adat (tidak boleh di olah) Ova : Lahan Bekas Garapan dan di tinggalkan selama 10-15 tahun dan menjadi hutan kembali ditumbuhi kayu-kayu relatih kecil, suatu saat bias di olah kembali secara adat/arif

Olo : bagian hutan yang di larang di olah karena merupakan zona penyediaan sumber air (mata air)

Pantalu : lahan hutan yang diperbolehkan dibuka sesuai aturan adat dan mejadi kebun

Ngata : pemukiman penduduk dijadikan ngata

 

Sistem Penguasaan & Pengelolaan Wilayah

1. Sistem penguasaan

Dalam penguasaannya, sumber daya alam di kuasai dan di manfaatka oleh kelompok komunitas adat ini di mana semua orang mempunyai hak yang yang sama dalam penguasaannya. Penguasan yang di maksud di sini adalah penguasaan komunal. Penguasaan komunal adalah penguasaan dan kepemilikan berdasarkan prinsip dan kepentingan bersama di bawah pengawasan bersama..

2. Sistem Kepemilikan

Tanah dan Masyarakat hukum adat saling memiliki korelasi yang signifikan, ini menciptakan suatu hak untuk menggunakan, menguasai, memelihara sekaligus mempertahankannya. Hak-hak dan system kepemiliklah tanah di wilayah adat da’a juga seperti halnya beberapa wilayah adat

yang ada disulawesi tengah. Kepemilikan tersebut di dasarkan atas dan proses kepemilikan komunal, kepemikan individual dengan sebuah prinsip yang telah di percayai oleh orang da’a

bahwa tanah itu adalah tanah adat yang telah di wariskan dan di berikan oleh leluhur untuk ntodea (Masyarakat) agar dijaga. Prinsip kepemilikan dan penjagaan itu dapat dilihat dari ungkapan leluhur ”Menjual tanah adat sama dengan menjual adat, menjual adat berarti menjual rakyat dan menjual rakyat dalah mendustai dan menyakiti leluhur” .


Sumber : Sejarah Singkat Masyarakat adat




۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞