Dewan Adat Sigi

Waktu selesai rapat di rumah Ketua Dewan Adat Sigi di Kaleke.

SOSIALISASI

Sosialisasi pendidikan Pemilih.

TOTUA NU ADA

Totua nu Ada. Ane nggaulu Totuamo gala hi nompakenggenisi ngata ...

Silaturrahmi

Silaturrahmi dengan Yang Mulia Sri Paduka Mangku Alam II.

Jumat, 31 Maret 2017

Peran Perempuan dalam Acara Nosalia Poboti

 

PENDAHULUAN

          Dalam acara nosalia, khususnya pada nosalia poboti (pesta perkawinan) peran perempuan sangat dominan dalam pelaksanaannya. Ketika sebuah acara nosalia sudah ditetapkan waktu dan tempatnya oleh keluarga, maka akan disampaikan pada keluarga dan saudara yang dekat, penyampaian yang bermaksud mengundang untuk hadir dalam pesta tersebut. Untuk keluarga dan saudara yang dekat, undangan disampaikan secara lisan, yang disebut negaga atau memberitahu (netoka). Bertugas negaga/netoka biasanya dilakukan oleh perempuan yang sudah berkeluarga dan agak berumur, sebagai wakil tuan rumah untuk berjalan mencari sanak keluarga yang masih kerabat dekat (sampesuvu). Peran perempuan yang diharapkan mengundang lisan karena dalam pertimbangan orang Kaili, perempuan lebih telaten dan fokus mendatangi satu demi satu keluarga yang akan di undang, perempuan juga lebih mengingat siapa saja keluarga yang akan didatangi, apalagi negaga/netoka dimaksudkan bukan hanya mengundang kepala rumah tangga, atau seorang anggota rumah tangga namun mengundang satu keluarga yang tinggal dalam satu rumah tangga, dan dalam penyampaian kata-kata perempuan lebih dapat mengungkapkan dengan bahasa yang lebih halus.

          Kemudian saat pelaksanaan pesta perkawinan,  pihak keluarga harus mencari dan menentukan seorang perempuan yang dapat menangani konsumsi atau penyajian makanan bagi undangan , yaitu seorang ino nu rampa. Peran ino nu rampa (diartikan ibu rempah, secara umum pemahamannya adalah perempuan yang menjadi pengatur menu, mengatur dan menghitung rempah untuk berbagai jenis makanan yang akan dihidangkan untuk tamu), akan menjadi pertaruhan tuan rumah bagi para undangannya, bila sajian makanan bagus dan mencukupi maka tuan rumah akan dipuji karena telah memilih ino nu rampa yang tepat, namun bila sajian makanan tidak/kurang bagus baik dilihat dari variasi menu, rasa, tampilan, bahkan kurang jumlahnya (undangan masih ada dalam ruang pesta bahkan ada yang baru datang namun makanan sudah berkurang atau habis sama sekali), tuan rumah akan menjadi bahan pembicaraan dengan persepsi yang negatif dari para  undangan, tuan rumah biasanya dikatakan pelit (nasina) berbagi makanan. Kesuksesan sebuah pesta adalah bila keluarga atau undangan yang datang dapat menikmati makanan yang disediakan. Kegagalan pesta adalah bila tuan rumah kehabisan makanan sementara undangan masih datang. Dalam setiap acara pesta dalam masyarakat Kaili, bila menyangkut penyediaan makanan/konsumsi merupakan bagian yang terpenting untuk mengukur keberhasilan acara tersebut, sehingga dapat dikatakan perempuan sebagai tulang punggung utama pengatur konsumsinya sangat dibutuhkan strategi dan keahlian mengatur makanan agar cukup untuk disantap para undangan. Saat ini keberadaan ino rampa di daerah perkotaan makin tergeser perannya dalam acara pesta karena banyak orang memilih memesan makanan pada jasa katering.

          Perempuan yang kemudian dicari dan ditentukan oleh keluarga yang mempunyai hajat poboti, adalah ino boti (ibu pengantin, atau perempuan yang bertugas menghias pengantin). Pengantin diibaratkan sebagai raja dan ratu sehari, dalam seremoni pesta pernikahan, maka tampilan pengantin akan menjadi sorotan undangan, bagaimana makeupnya, baju yang digunakan, hiasan di kamar pengantin dan pelaminan merupakan pusat perhatian. Ino Boti yang banyak dipilih adalah yang pandai menghias pengantin hingga terlihat sangat cantik, memiliki baju pengantin yang bervariasi, biasanya ino boti juga sekalian memiliki hiasan dan alat-alat untuk digunakan mendekorasi pelaminan. Ino boti dalam hal ini yang memiliki kemampuan sumber daya manusia berupa kemampuan pengetahuan dan keterampilan menghias pengantin yang menjadi pilihan orang-orang yang melaksananakan acara pesta perkawinan, makin terampil ino boti makin dicari oleh calon mempelai.

          Malam menjelang pernikahan, di rumah calon mempelai perempuan pada masyarakat yang kuat memegang adat maka akan dilaksanakan acara memakai daun inai (mokolontigi) pada mempelai perempuan. Pada prosesi mokolontigi, untuk memulainya akan dicari perempuan yang sudah sepuh dan dihormati oleh keluarga untuk meletakan daun inai yang sudah ditumbuk halus pada telapak tangan mempelai perempuan, setelah itu akan dilanjutkan oleh keluarga lain yang disepakati oleh keluarga. Biasanya yang meletakkan daun inai jumlahnya ganjil, lima atau tujuh orang .

         Sebelum malam mokolontigi, mempelai perempuan diupayakan tampak lebih segar, harum dan wajahnya berseri-seri. Untuk itu keluarga biasanya melakukan mandi uap (pasoa) bagi mempelai perempuan. Perempuan yang mempersiapkan segala bahan-bahan pasoa di sebut Topopasoa. Mandi uap yang tradisional berupa dipanaskan beberapa batu yang besarnya sekitar tiga genggaman orang dewasa, sementara itu juga dididihkan panci yang berisi air dan berbagai rempah-rempah yang berfungsi menyegarkan dan mengharumkan badan. Panci berisi rempah lalu dimasukkan dalam sarung panjang (sarung yang menutupi seluruh tubuh) yang membuat uap dan aromanya masuk dalam badan orang yang di pasoa, posisi orang di pasoa berdiri sambil memegang sarung. Jika suhu air dalam panci menurun maka akan dimasukkan batu yang telah dipanaskan tadi. Di pedesaan tempat To Kaili yang melakukan pasoa, cara tersebut masih dilakukan. Sementara di perkotaan sudah banyak tersedia tempat mandi uap.

          Setelah serangkaian acara pesta perkawinan di rumah mempelai perempuan terlaksana, terdapat juga acara yang wajib dilakukan, yaitu menemui keluarga mempelai laki-laki, disebut mematua. Pada saat acara kunjungan ke rumah mertua, maka keberadaan ibu pengantin laki-laki atau perempuan lain yang dianggap pantas mewakili, akan memasang ikatan pada tangan pengantin perempuan (ne ingga) sebagai tanda diterima sebagai anak.


Sumber : Jurnal Online Kinesik Vol. 4 No. 1 April 2017

Nosalia Poboti

 

Nosalia berarti pesta, adalah tempat berkumpulnya masyarakat di suatu tempat (biasa di suatu rumah) dimana berlangsung acara yang mengundang keluarga atau handai taulan untuk turut meramaikannya. Kata nosalia digunakan oleh suku Kaili berdialek rai, dengan demikian nosalia poboti berarti pesta perkawinan. Bagi suku Kaili yang berdialek Ledo dan tara, pesta perkawinan disebut nosusa karena dimaknai bahwa menjadi tuan rumah bagi suatu pesta pernikahan merupakan pekerjaan yang merepotkan/ menyusahkan.

         Peran (role) sering dikaji dalam sosiologi, dalam mengamati keberadaan seseorang atau institusi dalam masyarakat . Konsep peran sangat penting untuk dikaji, seperti peran pemimpin dalam lingkup organisasi yang digelutinya, peran nelayan dalam kehidupan sosial ekonomi, peran LSM dalam membantu masyarakat, termasuk peran perempuan dalam masyarakat (termasuk bagaimana masyarakat membentuk peran untuk dilakoni perempuan).

          Peran perempuan dalam pandangan masyarakat cenderung melihat bahwa peran perempuan idealnya berada pada ranah  domestik dan seakan menjadi kemutlakan, yaitu mengurus rumah tangga, mengurus anak dan suami, sehingga ada istilah tugas perempuan adalah seputar 3UR : kasur, dapur, dan sumur. Menjadi kebutuhan zaman bahwa saat ini peran perempuan juga dituntut dapat berkiprah pada bidang publik, kesempatan untuk memasuki arena publik telah diberikan oleh pemerintah.

          Tulisan ini bertujuan mengkaji suatu budaya masyarakat yang meletakkan peran perempuan secara seimbang antara aspek domestik dan publik yaitu pada budaya To Kaili (orang kaili) di Kota Palu. Melalui tulisan ini diharapkan perempuan dapat belajar dan memahami keragaman budaya masyarakat dalam memperlakukan anggota masyarakatnya, antar laki-laki dan perempuan. Dan menjadi pembelajaran untuk memilih peran yang disandang sesuai dengan tujuan hidup. Ketika ada perempuan yang mendapat kesempatan untuk memilih perannya, misalnya lebih terbuka untuk beraktifitas pada peran publik, atau peran sosial, namun memilih untuk mengabdikan diri di ranah domestik, pilihan itu janganlah dianggap kurang bergengsi karena tidak secara langsung menghasilkan keuntungan dari aspek materiil. Hal ini dikarenakan di zaman sekarang walau ruang-ruang publik sudah banyak terbuka untuk dimasuki perempuan, peran perempuan sebagai “Ratu” rumah tangga yang betul-betul murni sebagai ibu rumah tangga adalah suatu yang istimewa dan ada kemungkinan di waktu-waktu akan datang menjadi pekerjaan yang langka , karena untuk menjadi ibu rumah tangga diperlukan kecerdasan emosional tersendiri; mengatasi kejemuan pekerjaan yang sama haridemi hari, mungkin mengabaikan jenjang pendidikan yang telah ditempuh, belum lagi bila tidak bisa menambah pendapatan rumah tangga karena hanya suami sebagai pencari nafkah tunggal.


Sumber : Jurnal Online Kinesik Vol. 4 No. 1 April 2017

Perempuan Kaili

 

Perempuan Kaili

          Tulisan atau catatan khusus tentang perempuan Kaili sangat sulit diketemukan, dibuat atau didokumentasikan. Sumber-sumber yang didapat biasanya diperoleh dari cerita atau tuturan (lolita) dari beberapa orang tua (totua) yang jumlahnya kian sedikit dimakan usia, atau bila diketahui oleh beberapa orang muda, pengetahuan tersebut belum banyak dibuat dalam sebuah tulisan yang bisa menjadi sumber rujukan dalam menganalisis kedudukan dan peran perempuan di tanah Kaili.

          Pada masyarakat Kaili kedudukan dan hak perempuan dalam kehidupan sosialnya dianggap terhormat dan tinggi. Ini sangat terkait dengan mitos to manuru yang menjelaskan tentang asal muasal pemimpin pada suku Kaili. Mitos to manuru adalah kisah tentang penjelmaan manusia dari kayangan yang diyakini oleh masyarakat kaili sebagai cikal bakal pemimpin atau penguasa yang membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Mitos ini menceritakan tentang seorang tomalanggai ( laki-laki sakti yang kemudian menjadi penguasa kelompok ) yang mengawini seorang wanita jelmaan dari dalam bambu kuning keemasan ( Bolo Vatu Bulava ). Dari perkawinanan keduanya lahir para pemimpin yang secara turun-temurun menjadi penguasa pada beberapa kerajaan di suku Kaili.

          Masyarakat Kaili meyakini bahwa kehadiran to manuru sebagai isteri memberi pengaruh besar bagi perubahan sosok tomalanggai dimana kesaktian dan pengaruhnya semakin bertambah disertai sikapnya yang semakin arif dan bijaksana. Faktor inilah yang membentuk karakter anak yang menjadi pengganti dan penerus tomalanggai dan diangkat sebagai raja pertama tetap mewarisi ilmu dan sikap yang dimiliki oleh ayahnya. Peran to manuru sebagai ibu juga memberi andil besar dalam membentuk karakter anaknya dengan memberikan nasihat-nasihat untuk menjalankan pemerintahan yang bijaksana.

          Mitos to manuru juga menjadi dasar bagi masyarakat Kaili dalam mendefenisikan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Salah satu contoh bagaimana kedudukan perempuan turut serta dilibatkan dalam membahas masalah-masalah pemerintahan dan kemasyarakatan adalah dengan keharusan ibunda raja untuk hadir dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam membahas masalah kerajaan dan kemasyarakatan pada lembaga kerajaan. Mitos ini juga menjadi dasar bagi masyarakat Kaili dalam mendefenisiskan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Salah satu contoh bagaimana kedudukan perempuan turut serta dilibatkan dalam membahas masalah-masalah pemerintahan dan kemasyarakatan adalah dengan keharusan ibunda raja untuk hadir dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam membahas masalah kerajaan dan kemasyarakatan pada lembaga kerajaan. Hal ini membuat pada masyarakat Kaili, bangunan keluarga terbentuk dari hubungan kekerabatan yang dibangun berdasarkan prinsip Bilineal. Pada prinsip bilineal terdapat beberapa ketentuan atau aturan tertentu diperhitungkan berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal) dan untuk beberapa ketentuan atau aturan tertentu diperhitungkan berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal) (Nisbah, 2012).

          Kepemimpinan perempuan pada sektor publik pada masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah sesungguhnya merupakan fenomena yang telah ada sejak sistem pemerintahan kerajaan masih berlaku. Secara historis, terdapat beberapa kerajaan yang secara langsung dipimpin oleh perempuan. Kerajaan-kerajaan ini bahkan mengalami momentum kejayaaan selama beberapa periode dalam sejarah Tanah Kaili. Tercatat diantaranya Gonenggati di kerajaan Banawa Donggala, Sairalie (madika kedua) dan Pue Bawa (Madika kelima) dari kerajaan Sigi di Sigi, Vumbulangi dari kerajaan Bangga di Sigi serta beberapa raja-raja perempuan lainnya yang terus menjalin hubungan dengan beberapa kerajaan lainnya melalui proses kawin-mawin (Abdullah, 1975 : 30).

          Perempuan Kaili juga sangat diharapkan agar dapat dekat dengan keluarga. Konsep ni linggu mpo toboyo (melingkar seperti buah labu), bermakna sejauh-jauh perempuan beraktifitas, tetap kembali pada keluarga untuk berbakti, seperti tanaman buah labu yang menjulur jauh batang-batangnya namun tetap terkait dengan akarnya.

 

 

 

 

 Sumber : Jurnal Online Kinesik Vol. 4 No. 1 April 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

/

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞