Dewan Adat Sigi

Waktu selesai rapat di rumah Ketua Dewan Adat Sigi di Kaleke.

SOSIALISASI

Sosialisasi pendidikan Pemilih.

TOTUA NU ADA

Totua nu Ada. Ane nggaulu Totuamo gala hi nompakenggenisi ngata ...

Silaturrahmi

Silaturrahmi dengan Yang Mulia Sri Paduka Mangku Alam II.

Jumat, 31 Januari 2025

Tomanurung di Tanah Luwu dan Tomanuru di Tanah Kaili

 


          Sebahagian orang kadang mengungkapkan bahwa, To Manurung sering diartikan sebagai turunan dari kayangan dan ditakdirkan untuk memerintah manusia dimuka bumi. Tidak sedikit orang mengungkapkan bahwa To Manurung itu bukanlah manusia sejarah, atau hanya merupakan mitos belaka, akan tetapi penulis lontara dan para petutur di zanan luwu purba di Wotu ketika itu masih terletak disekitar ussu dan bilassa lamoa (kebun dewata) mengungkapkan bahwa raja pertama disebut To Manuru , hal ini disebabkan oleh karena tidak diketahui darimana kedatangannya demikian pula menghilangnya. Jadi sebenarnya oleh masyarakatnya dia dianggap sebagai manusia surgawi atau wija polamoa (berbeda dengan tradisi-tradisi jawa) tetapi diakui sebagai orang yang datang dan mempunyai kepintaran dan keahlian. Seorang  To Manurung (orang Asing) kadang diangkat sebagai raja (belum tentu raja pertama) oleh karena beberapa alasan antara lain:

a,    Mungkin sebagai daerah bawahan dari suatu kerajaan yang lebih besar.

b.    Karena kehebatan dari pribadi sang pendatang.

c.    Karena alasan politik untuk mempersatukan wilayah.

          Dapat disimpulkan bahwa nama ToManurung adalah sebenarnya gelaran yang diberikan kemudian oleh turunan dan masyarakatmya pada seorang tokoh sejarah dari suatu kerajaan yang kadangkala di mitoskan sebagai turunan dari kayangan. Pada umumnya orang sulawesi utamanya orang Luwu mempunyai silsilah baik tertulis maupun tidak yang dihapalkan secara turun temurun.Biasanya pada pertemuan-pertemuan keluarga atau antar keluarga, unpamanya dalam peristiwa peminangan atau pesta-pesta, ungkapan silsilah saling dicocokan kembali oleh para pengatur masyarakat atau para ahli silsilah. Dengan cara-cara ini kebenaran silsilah dapat dipertahankan. Disamping itu silsilah-silsilah masih terdapat cerita-cerita rakyat yang disebut Sinrilli atau Tolo. Kedua duanya adalah cerita-cerita kepahlawanan dan peperangan yang pernah terjadi. Sinrilli dan tolo adalah cerita fakta manusiawi yang bebas dari campur tangan tokoh-tokoh kayangan.

 

TEMPAT TO MANURUNG TANAH LUWU

          Dari cerita tentang To Manurung, bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara telah banyak ditulis, baik penulis penulis sejarah dalam negeri naupun luar negeri utama nya Belanda, dan terakhir sastrawan negeri jiran Arenawati yaitu “ Silsilah Kerajaan Bugis dan Melayu” dimana disebutkan, raja raja nusantara dan semenanjung berasal dari Luwu Sulawesi Selatan yaitu keturunan dari La Maddusala (ejaan malayu La Maddusalat) antara lain hampir seluruh kerajaan disemananjung  Malaysia dan Nusantara. Sebagaimana umumnya orang mengeketahui bahwa kedatuan Luwu atau kerajaan Luwu memiliki sejarah yang sangat panjang, luas wilayah, sisten pemerintahan,asal muasal darimana berasal pangkal awalnya sang tokoh (To Manurung) masih terjadi perdebatan panjang dan tidak pernah selesai. Nomenklatur “Luwu” atau Luwuq belum ada kesepakatan, tetapi secara pasti oleh orang Wotu tempat muasal sang tokoh menyebut Luwu sebagai Luwo yang berasal dari kata “LU” yang berarti sangat luas hal ini dapat dibuktikan bahwa luas wilayah Luwu purba memang sangat luas, terdampar hampir seluruh daratan sulawesi. Suatu hal yang sulit terbantahkan dan hampir telah menjadi kesepakatan bahwa To Manurung Tanah Luwu adalah Sawerigading. Orang Luwu percaya ia turun kedunia dianggap membawa rahmat bagi keselamatan kemakmuran dan kesejahteraan. Hanya kadang sangat disayangkan dan sering terjadi silang pendapat utamanya para etnis yang ada di Luwu ada yang terang terangan mengklaim bahwa dirinya atau clennya yang yang pewaris luwu atau wija sawerigading sementara yang lain adalah tidak sehingga kelompoknya yang berhak berbicara tentang Luwu dan kelompok lain tidak utamanya tentang adat istiadat., padahal bila kita mau mengkajinya secara obyektif mereka semua keturunan atau wija asselinna Luwu, tidak ada yang dapat mengklaim kelompoknya yang wija to Luwu asli karena yang membedakannya adalah fase atau waktu saja, hal ini dapat dilihat dari sudut dimana dan kapan Ware (pusat penerintahan kerajaan Luwu berpusat) dalan catatan sejarah dapat memberikan kepada kita gambaran masa dimana Ware Pertama sampai Ware Kelima.,

1.Ware.Pertama.  Dimulai pada akhir abad ke IX dan memasuki abad keX masehi sampai pada abad ke XIII, dikenal sebagai fase Luwu purba berlangsung kurang lebih 300 tahun lamanya. Pusat kerajaan (Ware) masih di sekitar Wotu lama sampai runtuhnya kerajaan luwu pertama, Wotu lama sebagian  pindah Wotu sekarang, sebagian pindah atau hijrah orang  Wotu menyebutmya cerrea (orang bugis menyebutnya cerekang) dan sebagian menetap disekitar lampia. Kota Malili belum dikenal karena nanti disekitar abad ke XIII barulah ada yaitu pada saat datangnya orang bugis diLuwu.Sebagian penduduk masih menetap dan sebagian lagi mengikuti Datu atau Raja Luwu Anakaji.

2.Ware Kedua. Dimulai pada abad ke XIV masehi ware (pusat penerintahan) berada di Mancapai , dekat Lelewaru diselatan Danau Towuti pada masa pemerintahan Raja Anakaji.

3.Ware  Ketiga Dimulai disekitar abad ke XV Masehi. Ware  (pusat kerajaan) berada di Kamanre, ditepi Sungai Noling sekitar 50 km selatan Kota Palopo Rajanya dikenal; sebagai Dewaraja.

4. Ware Keempat Dimulai pada abad ke XVI Masehi pusat kedatuan Luwu (ware) di pindahkan ke Pao, di Pattimang Malangke dan disini peristiwa besar tercatat yaitu masuknya agama Islam di tanah Luwu.

5. Ware Kelima Dimulai ketika memasuki abad ke XVII Malangke menjadi surut sehingga Ware berpindah ke Palopo sampai dengan sekarang.

         Jika kita menyimak catatan perjalanan ware diatas, maka tidak ada satu kelompokpun yang dapat mengklaim dirinya sebagai peduduk asli Luwu dan berhak menyebut alenami tomatase”na Luwu karena semua suku bangsa berdasarkan adat Luwu adalah penduduk asli Luwu dan berkewajiban mematuhi siapapun yang menjadi Datu ri Luwu. Orang Wotu termasuk Pamona,To padoe (mori) dan Tolaki tidak bisa dipungkiri sebagai penduduk luwu purba abad X, tidak bisa juga mengklaim bahwa dialah penduduk asli Luwu. Walaupun diakui bahwa mereka adalah pewaris Macoa.Orang Palopo dan sekitarnya tidak dapat juga mengklaim bahwa hanya merekalah peduduk asli Luwu walaupun mereka memangku jabatan adat pada masa ware terakhir sampai sekarang, disisilain tidak dapat pula dikesampingkan peran pada masa ware kedua,ketiga dan keempat, semua memiliki peran yang sama, hanya waktulah yang membedakannya.semuanya keturunan para tomanurung,…

Oleh Nawawi S. Kilat 

( Penulis adalah wakil Ketua Kerukunan Keluarga Luwu Raya Sulawesi Tengah)


Tomanuru di Tanah Kaili    


Asal  Usul  Nenek Moyang  Etnik  Kaili Melalui  Tradisi  Lisan (Motutura)

       Mengenai  asal  usul  penghuni  pertama  di  Sulawesi Tengah    berdasarkan  hasil  penelusuran    kajian deskriptif  data etnografi dari tradisi lisan (Motutura)  melalui cerita mitos yang berkembang  mengenai  asal  usul  penghuni  pertama  nenek moyang  To  Kaili    ada beberapa  versi cerita  berdasarkan kajian penelusuran  secara  lisan.  Berdasarkan  hasil  wawancara  yang dilakukan dengan  LP,  yang merupakan salah  satu tokoh adat di  Kabupaten  Sigi  menjelasakan dalam  uraian  ucapan  bahasa daerah  yaitu  bahasa  Kaili  dialek    Ledo  Sebagai  berikut  di ceritakan melalui deskripsi sebagai berikut:

Pontoro  totua  ngaulu  hamai  ri  kampu  sanggana      ngata  Tompu Bulili, dala ngatuvua manusia partama ri Tanah Kaili. Manusia  partama  ri  Tana  Kaili  partama-tamana  aga randua (2)  manusia    natuvu  ridunia,  totua  mombine  ante  totua langgai  natuvu,  neumba  dako  ri  kayanga,  ane  panguli ngauluna  Tomanuru  artina  manusia  neumba  dako  ri  langi. Katuvua  manusia partama  di dunia  Tanah  kaili  dako  ri  tesa potutura  to  tua  kami  ngaulu nanggulika kami,  niepu  kami ri tesa  potutura  ntotua  kami    bahwa  manusia  partama  ri Tana Kaili dako ri langi (kayanga) niproses dako ri Tanah Sanggamu  (Tanah  segengam),    ni  artikan  tope  bête    rivolo  nu  avu, manusia randua panggane niuli manusia Tomanuru (manusia kayangan) . Ane pangguli tutura dako nte totua kami sanganu Tomanuru  ane  langgai  niulu  Labuntasi  (nama  laki-laki penghuni  pertama)  ane  mombine  sanggana  njilembu  (nama perempuan penghuni pertama) tesa potutura To kaili (Lakapa, 2018).

Terjemahan.  Mengenai  cerita  mitos  secara  turun-temurun yang diwariskan melalui cerita lisan pada masyarakat Etnik  Kaili  yang  ada  di  Kabupaten  Sigi,  khususnya  dari  Desa Loru  menjelaskan  bahwa  asal  usul  penghuni  pertama penduduk di Sulawesi Tengah berasal dari daerah pegunungan yang disebut Desa Tompu Bulili yang terletak di kecamatan Sigi Biromaru.  Manusia  pertama  yang  mendiami  lembah  Tanah Kaili di  Sulawesi Tengah konon kabarnya dari  cerita orang tua pada  zaman  lampau  menuturkan  bahwa   manusia pertama di Tanah Kaili adalah  manusia  yang  diutus  dari Langit  atau  yang biasa  dikenal  pada  masyarakat  di  Kabupaten  Sigi  disebut Tomanuru  yang    berasal  dari  Tanah  Sanggamu  (Tanah segengam)    yang  disebut  manusia  yang  berasal  dari  bambu kuning  atau  Topebete  ribolo  nuvatu.  Manusia  yang berasal  dari kayangan  tersebut  adalah  sepasang  suami  istri  yang  hidup mendiami  Tanah  Kaili  di  Kabupaten Sigi,  menurut  keterangan dari  tradisi  lisan  yang  diwariskan  dari  cerita-cerita  yang dikatatan Motutura bahwa  labuntasi adalah nama laki-laki dan Njilembuh  adalah  nama  perempuan,  yang  merupakan penghuni  pertama  dari  manusia  pertama  di    kabupaten  Sigi propinsi Sulawesi Tengah.  Cerita  lisan pada masyarakat yanga ada di Desa  Loru dan Pombewe yang terletak di  Kecamatan sigi Biromaru, Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah.

          Nuansa  mitos  melalui  cerita  tradisi  lisan  (Motutura) tentang  asal  usul  nenek  moyang  To  Kaili    yang  ada  di kabupaten  Sigi  Propinsi Sulawesi  Tengah,  berdasarkan  uraian pemaparan  informan  bahwa  manusia  pertama  mendiami wilayah-wilayah yang ada di pegunungan karena pada zaman lampau  wilayah  yang  ada  di  Sulawesi  Tengah  merupakan hamparan  lautan  atau  disebut  daerah  lembah  Palu.  Tradisi lisan budaya tutur (Motutura) pada masyarakat Etnik Kaili yang ada  di  Kabupaten  Sigi  sangat  meyakini  bahwa  mitos-mitos yang berkaitan dengan asal usul nenek moyang To Kaili berasal dari  daerah  pegunungan    yang  mendiami  lereng-lereng gunung di  Desa yang namanya  disebut Ngata Tompu dan Ngata Raranggonau,  sebuah  Desa  tertua  pada  zama  lampau  yang diyakini  sebagai  cikal-  bakal  kehidupan  masyarakat  Etnik  To Kaili.  Tradisi  Lisan  pada  masyarakat  To  Kaili sangat  meyakini sebuah  mitos bahwa  asal usul  nenek  moyang  mereka  berasal dari  keturunan  yang  berasal  dari  langit  (Tomanuru)  yang memiliki  nilai-nilai  kesaktian  dan  sakral  dalam  hal-hal  yang berkaitan dengan nuansa mitos terhadap asal usul masyarakat Etnik Kaili. 

          Kajian  riset  Misnah  (2009)  dalam  tesisnyanya mendeskripsikan  bahwa  cerita  mengenai  asal  usul  nenek moyang  Etnik  Kaili  sangat  kental  dengan  nuansa  tradisi  lisan yang  sangat  identik  dengan  mitos-mitos  yang  berkembang pada  masyarakat  Etnik  Kaili.  Nenek  moyang  To  Kaili merupakan  jelmaan  pemimpin  yang  memiliki  kekuatan-kekuatan  supranatural,  kekuatan-kekuatan  yang  luar  biasa, yang  dinobatkan  sebagai    manusia  pertama  yang  mendiami wilayah Kupaten Sigi  Sulawesi Tengah. Masyarakat Etnik Kaili meyakini  melalui  tradisi  lisan  yang  diucapkan  secara  turun-temurun  bahwa   Tomanuru  merupakan  manusia  dako  ri  langi, Tobarakah (  Tomanuru  merupakan  manusian  jelmaan  dari kayangan) yang disimbolkan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan  yang  mendiami  lereng  pegunungan-pegunungan yang ada di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah(Misnah, 2009).

          Kajian mengenai asal usul penghuni pertama masyarakat yang  ada  di  Sulawesi Tengah juga  di  paparkan  dalam sebuah tulisan (Syamsuri, 2015) .Suku Kaili merupakan  penduduk asli kota  Palu  yang  secara  turun-temurun  mendiami  wilayah  Propinsi    Sulawesi  Tengah,    pada  zaman  sebelum  datangnya penjajahan      Belanda,  Raja  yang  mendiami    masing-masing kekuasaan  yaitu  Banawa,  Palu,  Tavaili, Parigi,  Sigi  dan  Kulavi memiliki  hubungan  kekeluargaan  dengan  tujuan  untuk  menghindari pertempuran dan Pertikaian antar keluarga.

          Kehidupan  masyarakat  Etnik  Kaili  pada  zaman  lampau mendiami daerah pegunungan, hal ini  disebabkan karena pada zaman  lampau  kehidupan  yang  ada di  daratan masih  sebuah hamparan  lautan  yang  sangat  luas  yang  diarunggi  oleh  para pelaut-pelaut  ulung.  Salah  satu  pelaut  ulung  yang  sangat dikenal  oleh  masyarakat  Etnik  To  Kaili  adalah  pelaut  yang benama Sawerigading. Tokoh  legendaris Sawerigading melalui budaya tradisi tutur lisan pada masyarakat di Sulawesi Tengah merupakan  pelaut  handal  yang  mengarunggi  wilaya  lautan Sulawesi  yang  dalam  cerita  kisah  sang  legenda  memiliki nuansa  mitos,  legenda  yang  mengambarkan  bagaimana kehidupan  pada  zaman  lampau  masyarakat  Etnik  Kaili  telah menjalin  hubungan  kekerabatan,  kekeluargaan  terhadap  para tamu  atau  pelaut  yang  singah  di  wilayah  Sulawesi  Tengah pada zaman lampau. Wilayah Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah melalui informasi lisan menjelaskan bahwa masyarakat To Kaili pada  zaman  lampau  mendiami  wilayah-wilayah  pegunungan karena  di  daerah  dataran  merupakan  kehidupan  yang diarunggi oleh pedagang, pelaut  yang  menjalin hubungan  dan kerja  sama  dengan  para  Raja-Raja  yang  mendiami  wilayah Sulawesi Tengah. untuk mengambarkan bagaimana kehidupan manusia  atau  masyarakat  Etnik  To  Kaili  pada  zaman  lampau bisa  kita  saksikan  pada  gambar  bentuk    lautan  yang  ada  di Lembah Sulawesi Tengah pada zaman lampau.

Gambaran  kehidupan  masyarakat  Etnik  To  Kaili  pada zama  lampau  juga  diuarikan  oleh  Pernyataan  TL,  yang merupakan    salah  satu  tokoh  adat  yang  ada  di  Desa  Sidera bahwa: 

Suku Kaili suku paling nadea ri  Tanah Kaili,  tesa  nituturata eo  hitu  merupakan  tesa  mpotutura  asal  usul  topo  nturo  ri Lemba  nu  palu  sekarang.  Tesa  notua  kami  ngaulu  nibolika kami,.  Totua  ngaulu  ri  Tanah  Kaili  nonturo pura  ri  buluna apa ngaulu isi nu ngata hi  tasi bayangi, naria  katuvua ntotua ngaulu tapi natuvu  ri buluna. Tesa ngaulu kututura  kakomiu bahwa  palu  ngatata  tasi bayangi  niuli Tasi  Kaili    ri  Lembah nu Palu. Asal usul kata Kaili dako ri kayu  Kaili, sipa nu kayu kaili ane natuvu  pada  zaman ngaulu uve danaoge, tanah-tana dana  subur  bayangi,  kayu  Kaili    sipa  nu  kayu natuvu  kayu paling nalangga, dako  ri kayu-kayu natuvu si sinjorina. Kayu  Kaili  natuvu    nalangga,  danea  sepi-sepi  nu  kayu  nombaliu kayu  ntanina  (  kayu yang paling tinggi  pohonya). Nuapa manfaat  kayu Kaili  pada  zaman  ngaulu?  Ngaulu  katuvua  ri ambena hamai Tasi vuri bayangi, katuvua naria  agari buluna, kayu  kaili  najadi  tanda   bagi  tona berlayar  dako ri  tasi buri  , ane  tona  morantau  manggita  kayu  nalangga,  na  tuvu,  itu tandana  katuvua  naria  ri  sekitar  nu  kayu,  yaitu  kayu  Kaili (Tagwir labuntina, 2017)

Terjemahan.  Suku  Kaili  yang  mendiami  wilayah Kabupaten  Donggala    Sulawesi  Tengah  yang  saat  ini  telah menjadi  Kabupaten  Sigi,  berdasarkan  tradisi  melalui  cerita  yang diwariskan secara turun temurun, memberikan penjelasan bahwa  penguni  pertama  masyarakat  yang  ada  di  wilayah Sulawesi  Tengah    bahwa  masyarakat  To  Kaili    mendiami  daerah-daerah  pegunungan,  disebabkan  pada  zaman  lampau kehidupan  yang  ada  di  dataran  adalah  lembah  lautan.  Kehidupan  ini  dimanfaatkan  para pelayar-pelayar  ulung  yang mengarungi pelayaran di zaman lampau dikenal dengan istilah Tasi  vuri    (laut hitam).  Pada  zaman lampau ketika  melakukan pelayaran  yang  menjadi  tanda  atau  sebagai  symbol  adanya sebuah kehidupan di daerah pegunungan adalah sebuah pohon yang  disebut  pohon  Kaili.  Sebuah  pohon  yang  menjulang tinggi,  memiliki  serpihan-serpihan  dahan  dan  ranting  yang sangat banyak, pada zaman lampau pohon ini sebagai  symbol adanya  kehidupan  apabilah  akan  menemukan  sebuah  pohon yang menjulang tinggi yang disebut Pohon Kaili.

          Kehidupan  masyarakat  yang  ada  di  Kabupaten  Sigi Sulawesi  Tengah  pada  zaman  lampau  merupakan  kisah mengenai  bagaimana  kehidupan  masyarakat  menjalin  kerja sama,  hubungan  sosial  dan  kekerabatan  telah  tejalin  dengan orang–orang  luar  yang  datang  mengujungi  wilayah  Sulawesi Tengah.  Cerita  lisan  pada  masyarakat  Etnik  Kaili  juga mengambarkan  sebuah  cerita  mengenai  sebuah  pohon  yang sangat  di  kenal  oleh  masyarakat  Etnik  Kaili  pada  zaman Lampau ketika para  pelaut melakukan pelayaran yang dikenal  dengan sebutan pohon Kaili. Menurut Sanati bahwa pohon Kaili sebagai  ciri  khas  penanda  sebuah  kehidupan  pada  masa lampau, dan konon kabarnya  bahwa sebutan bagi Etnik Kaili di simbolkan  dari  sebuah  pohon  Kaili  yang  menjulang  tinggi, sehingga  pohon  Kaili  banyak  sekali  ditemukan  di  daerah-daerah  pegunungan  yanga  da  di  Desa  Loru,  Pombewe,  Desa Bangga  yang  ada  di wilayah  Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Pada zaman lampau kayu ini sangat memberikan manfaat bagi para  pengembara  yang  melintasi  lautan  di  Sulawesi  Tengah, sebagai  pertanda  simbol    bagi  perantau,  ketika  akan  melihat pohon  menjulang  tinggi  (  kayu  Kaili)  sebagai  penunjuk  arah bahwa ada tanda kehidupan yaitu di daerah pegunungan.


 Bersambung ....... Nandate gaga, lee... Bara kava ri simo ruru pantana....

Kamis, 30 Januari 2025

EKSISTENSI HAK TANAH ULAYAT MASYARAKAT ADAT DALAM HUKUM TANAH DI INDONESIA

 

         


          Menurut  keberadaannya  tanah dianggap  sebagai  hak dasar  yang dimiliki  oleh  setiap orang sebab  dalam keberadaannya, hal  tersebut dijamin  dalam UUD  1945. Sebagaimana tercantum pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan kepada negara bahwa segala sesuatu  yang berkaitan  dengan tanah  sebagai bagian  dari  bumi, air  dan  kekayaan alam  yang terkandung  di  dalamnya  yang  ada  di  Indonesia  harus  dan  wajib  untuk  dikelola  dan dimanfaatkan  bagi  sebesar-besarnya  kemakmuran  rakyat  Indonesia.  Penegasan  lebih  lanjut tentang  hal  tersebut  dapat  dilihat  dengan  pengesahan UU  No.  5 Tahun  1960  Tentang Peraturan  

          Dasar Pokok-Pokok  Agraria atau  disingkat dengan  UUPA yang  di  dalamnya memuat  tentang  aturan  mengenai  bentuk-bentuk  tanah  hingga  segala  macam pemanfaatannya bagi masyarakat atau pemerintah. Tidaklah berlebihan jika dinyatakan bahwa tanah  merupakan  salah  satu  sumber  daya  utama  yang  menjadi  kebutuhan  serta kepentingan semua  orang, badan  hukum dan  hingga kepada sektorsektor pembangunan. Kita  ketahui  bersama  bahwa  tanah  sangat  dibutuhkan  karena  dapat  bermanfaat  bagi pembagunan  sarana  dan  prasarana, seperti  di bidang  ekonomi (pemanfaatannya  bisa berupa  kegiatan jual beli dalam  sebuah  pasar atau swayalan dan bertani  di  kebun atau sawah), di bidang  sosial  (pemanfaatannya  berupa  pembangunan  rumah  untuk  tempat  tinggal seseorang  atau pembangunan  taman  sebagai  tempat  berkumpulnya  masyarakat),  dan  masih banyak lagi.  Berdasarkan uraian  di atas sudah  sewajibnya tanah  perlu diatur  melalui berbagai  kebijakan  dan peraturan  perundangan  yang tepat,  konsisten  dan berkeadilan  sehingga  dapat  bermanfaat bagi seluruh masyarakat.

          Kondisi  tersebut pun berlaku  bagi masyarakat  hukum adat,  masyarakat  hukum adat sendiri  diidentifikasikan  sebagai  kelompok  masyarakat  yang  memiliki  keistimewaan tersendiri,  kedalaman  pengetahuan  kehidupan  yang  mengagumkan  serta  sistem  sosial ekonomi yang tangguh. Dalam keberlangsungan hidup masyarakatnya, masyarakat hukum  adat sangat  bertumpu pada  keseimbangan alam  dan sistem  produksi  yang  lebih menekankan pada  ekonomi  subsistem  (berladang,  berburu,  mengumpul,  berkebun  dan  lain- lain)  yang secara  otomatis  membutuhkan  lahan  sebagai  media  utama  dalam  melakukan  aktivitas tersebut. Sebutan bagi lahan yang diperuntukan terkait kegiatan tersebut pada masyarakat hukum  adat  di  Indonesia  dikenal  dengan  istilah  "Tanah  Ulayat"  yang  secara  singkat diartikan sebagai  tanah milik  bersama masyarakat  hukum  adat tersebut  dan di  dalamnya terdapat hak  yan  disebut "Hak  Ulayat" yang berarti kepemilikan  sekelompok masyarakat hukum adat atas sebuah tanah.

           Dikarenakan  banyaknya  pihak  dan  kebutuhan  yang  perlu  dipenuhi  dalam menggunakan  sebuah lahan,  tidak jarang  keberadaan  tanah ulayat  sering  tersingkirkan.  Kita ketahui bahwa perekonomian  negara Indonesia  yang dikelola pemerintah sampai  saat ini mayoritas  berbentuk  pengelolaan  sumber  daya  alam  dalam  skala besar  seperti  dilakukannya  kegiatan  pertambangan,  perkebunan  skala  besar,  logging  dan  lain  sebagainya  sebagai sumber  utama pembangunan  nasional. Namun  karena adanya  ketimpangan penguasaan sumber  daya alam  tersebut yang  kemudian menciptakan  sebuah  konflik, membuat  berbagai pihak seperti pemerintah,  media dan  pihak swasta  mendefisinikan tanah ulayat  yang berlaku  dalam budaya masyarakat hukum adat sebagai terkebelakang, kuno, tidak beradab, primitif dan berbagai macam anggapan negatif lainnya.

          Tentu pernyataan  tersebut bertolak belakang dengan UUD 1945 Pasal  18 B (2)  yang menyatakan  negara  mengakui  dan  menghormati  kesatuan-kesatuan  masyarakat  hukum  adat beserta hak-hak  tradisionalnya sepanjang  masih hidup  dan sesuai  dengan perkembangan masyarakat  dan  prinsip  NKRI  yang  diatur dalam  undang-undang  atau  dapat  dikatakan pengakuan  negara  terhadap  keberadaan  dari  kesatuan  masyarakat  hukum  adat itu  sekaligus pengakuan terhadap  hukum adatnya yang  berlaku di  dalamnya. Ditambah  dengan uraian yang tertulis pada UU  No 5 Tahun  1960 Tentang Peraturan Dasar  PokokPokok Agraria Pasal 3 yang dianggap mengakui adanya keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum  adat yang bersangkutan. Meskipun UUPA mengandung nilai-nilai luhur dalam membela kepentingan rakyat, namun  pada  tahapan  implementasinya  mengalami  banyak  hambatan  dan  benturan dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial. Telah banyak peraturan yang secara hierarkhi ada di bawah undangundang yang telah diterbitkan, namun belum terlihat keberhasilan dari  harapan  tersebut  secara  utuh.  Bahkan  peraturan  pelaksana  tentang  keagrariaan selama ini belum memberikan jaminan kepastian hokum,perlindungan  hukum,  keadilan dan kemakmuran  bagi  masyarakat  setempat  yang  sumber  daya  agraria  dan  sumber  daya alamnya di eksploitasi pihak lain.



Untuk lebih jelasnya, silahkan Klik EKSISTENSI HAK TANAH ULAYAT MASYARAKAT ADAT DALAM HUKUM TANAH DI INDONESIA 


Pengukuhan Majelis Adat Kecamatan Kinovaro

 




KINOVARO – Kamis, 30 Januari 2025, Ketua Dewan Adat Kabupaten Sigi, Bapak Drs. H. Aries Singi, M.Si. mengukuhkan Pengurus Majelis Adat Kecamatan Konovaro, periode 2025-2030, di Kantor Camat Kinovaro. Hadir dalam acara tersebut Bapak Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Setdakab Sigi Moh Riyadh,SE mewakili Bupati sigi, Kapolsek Marawola, Danramil Marawola, Kepala Desa se Kecamatan Kinovaro, dan undangan lainnnya. 



Dalam sambutannya, Camat Kinovaro H. Suardi Amli, S.Pd, MM mengucapkan selamat kepada Pengurus Majelis Adat Kecamatan dalam bekerjasama dengan Pemerintah Kecamatan untuk membangun Kecamatan Konovaro.



Sesuai Surat Keputusan Dewan Adat Kbupaten Sigi, Nomor : 02/DA.KA.KAB.SIGI/I/2025, tanggal 7 Januari 2025, menetapkan Pengurus Majelis Adat Kecamatan Kinovaro, Periode 2025-2030, sebagai berikut :

 

Pelindung/Penasehat :

1. Camat Konovaro

2. KUA Kinovaro

3. Kapolsek Marawola

4. Danramil Marwola.

 

Ketua              : Sumardi, S.Ag

Sekretaris       : Drs. H. Asran, M.Si

Anggota          : 1. Tasman

    2. Maju

    3. Nadju Pengga

    4. Amani

    5. Guli

    6. Usman

    7. Pinus

    8. Riksen

    9. Meli

 


Rabu, 29 Januari 2025

Kisah Singkat Hi. Ahmad Lagong

 

PROFIL HAJI AHMAD LAGONG





Profil Ulama dan Bangsawan 

          Kegemaran dan ketangguhan orang Bugis dalam membuat dan  menakhodai kapal laut telah berdampak banyak dalam sistem sosial  budaya masyarakat nusantara. Toponimi kota-kota pantai di Indonesia,  terukir dalam sanubari bahwa betapa lalu lintas laut sebagai satu-satunya sarana transportasi antar pulau pernah mewarnai dinamika  transformasi sosial. Salah satu transformasi sosial itu adalah  penyebaran agama Islam, yang secara faktual hingga kini secara  mayoritas dianut oleh masyarakat pesisir. 

Lembah Palu, sebagai komunitas masyarakat pantai juga masuk  dalam rangkaian dinamika penyebaran Islam nusantara. Para penganjur  agama Islam yang masuk di Lembah Palu, sejak kedatangan Abdullah  Raqi yang bergelar Datokarama pada awal abad ke-17, yang kemudian  silih berganti kedatangan para ulama hingga masuk abad ke-20,  pelayaran laut menjadi alat transportasi untuk menjalankan misi  dakwah di Tanah Kaili. Tampaknya, perjalanan dakwah adalah misi  elitis yang mampu memanfaatkan sarana canggih di zamannya.  Demikian pula dari segi pendanaan, tentu dengan sokongan keuangan  yang sangat memadai. Sejarah perantauan adalah kilasan riwayat  kekayaan bagi orang-orangyang berprofesi di bidang itu. 

Haji Ahmad Lagong, adalah saudagar elit dari tiga komponen;  kaya, berilmu, dan bangsawan bugis Arung Matowa Wajo. Misi dakwah  terpatri dalam dirinya, sebagai hamba Allah yang telah menerima ajaran  Islam. Dalam kajian ilmu dakwah, ditandai bahwa orang-orang yang  telah menerima Islam, didorong oleh semangat tauhid untuk  menyampaikan ajaran agama Islam kepada sesama manusia. Karena  dengan menyampaikan dakwah diyakini sebagai usaha untuk  menyelamatkan orang lain yang dari siksa api neraka. Setiap umat Islam  memiliki semangat dakwah sehingga, agama Islam segera menyebar di segala penjuru dunia. Namun untuk menjangkau wilayah dakwah,  membutuhkan kemampuan ilmu, logistik dan akuistik. 

Kedatangannya di Lembah Palu pada tahun 1798 Masehi,  menggunakan perahu layar miliknya sendiri dengan membawa anak  buah kapal sebayak lima orang. Yaitu; Lasoso, Labutiti, Latjule, Lakulu,  dan Labandulu. Kapal yang dikendarai mereka bernama Sikko Nyarang  dilengkapi dengan sebuah gong besar yang senantiasa menggaung bila  dipukul ketika menjelang tiba dan sesaat sebelum berangkat ke tempat yang dituju. Kapal itu adalah pemberian dari ayahnya. 

Tiba di Kampung Lere pada dini hari menjelang subuh.  Masyarakat Kampung Lere dibangunkan oleh suara merdu yang  2 nyaring menembus kesepian malam dari suara gong kapal , yang dalam  bahasa Kaili disebut tawa-tawa. Masyarakat Lere pada waktu itu  terbangun dan berlarian menuju pantai melihat kapal dan barang-barang dagangan yang sedang dibongkar untuk selanjutnya dijual  kepada masyarakat Lembah Palu.  

Perjalanan hidup Ahmad Lagong bukan hanya di pesisir pantai  Teluk Palu, tapi juga merambah dataran lembah yaitu bergerak ke arah  selatan tepatnya di Kalukubula. Di desa ini, Ahmad Lagong  mempersunting perempuan dari kalangan bangsawan yaitu Pue  Daliyama. Keturunan mereka di Kalukubula berhasil juga menempati  status sosial di bidang keagamaan, ekonomi, sosial, dan budaya. 

Perpindahan Ahmad Lagong dari Teluk Palu menuju Kalukubula,  merupakan suatu ikhtiar pengembangan akses kehidupan dari kawasan  maritim ke kawasan agraris.

    Bersambung ...... 





Sember : https://tesa-tutura.blogspot.com/2025/01/ahmad-lagong-dalam-kisah.html

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞