Peta lokasi kerajaan Biromaru (1906)
Kalau dalam Peta Paloe tahun 1906 masih minim deskripsi desa desa sekitar
maka dalam tahun 1916 ini, nampak lebih rame dalam menggambarkan desa desa
sekitar Paloe.
Peta dibuat oleh Alb. C. Kruyt.
Website mompatoleleka karia nu Dewan Adat ri Kabupaten Sigi.
Waktu isterahat
Waktu selesai rapat di rumah Ketua Dewan Adat Sigi di Kaleke.
Sosialisasi pendidikan Pemilih.
Totua nu Ada. Ane nggaulu Totuamo gala hi nompakenggenisi ngata ...
Silaturrahmi dengan Yang Mulia Sri Paduka Mangku Alam II.
Peta lokasi kerajaan Biromaru (1906)
Kalau dalam Peta Paloe tahun 1906 masih minim deskripsi desa desa sekitar
maka dalam tahun 1916 ini, nampak lebih rame dalam menggambarkan desa desa
sekitar Paloe.
Peta dibuat oleh Alb. C. Kruyt.
Tanah Adat, Tanah Ulayat, Hutan Adat, Hutan Negara
1. Tanah Adat
Tanah adat merupakan tanah atau
wilayah teritori tertentu termasuk segala kekayaan alam yang berada di area
tersebut, yang kemudian dinyatakan secara self-claimed, baik yang kemudian
diakui maupun tidak diakui oleh pemerintah.
Hal ini mengartikan bahwa, selama
ada kelompok masyarakat yang mengklaim tanah mereka sebagai milik mereka, di
bawah penguasaan mereka yang diatur oleh norma-norma hukum adat setempat, itu
bisa dikatakan sebagai tanah adat. Dalam praktiknya, masyarakat diizinkan untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut
guna menunjang keberlangsungan hidupnya.
2. Tanah Ulayat
Konsep tanah ulayat berkaitan
erat dengan tanah adat. Ulayat merupakan bagian dari tanah adat yang diakui
secara turun temurun sebagai milik suatu masyarakat adat atau kelompok suku.
Tanah ulayat didefinisikan sebagai kewenangan masyarakat hukum adat untuk
mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam
yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang juga menjadi
sumber kehidupan serta mata pencahariannya.
3. Hutan Adat
Mengutip dari laman Mkri.id, UUD
1945 Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) telah memberikan pengakuan dan
perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak
ulayat suatu masyarakat hukum adat.
Hal ini adalah konsekuensi dari
adanya pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law” yang telah
berlangsung sejak lama dan diteruskan hingga saat ini. Berdasarkan hal ini, MK
akhirnya memutuskan bahwa hutan adat merupakan hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat. Dengan demikian, hutan adat bukanlah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
4. Hutan Negara
Dilansir dari laman Dpr.go.id,
hutan negara merupakan semua hutan yang tumbuh di atas tanah yang bukan tanah
milik. Artinya hutan yang tumbuh atau di tanam di atas tanah yang diberikan
kepada Daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status
sebagai hutan negara.
Tujuan penelitian ini adalah
mengganalisis hubungan antara hukum nasional dan hukum adat atas tanah ulayat.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan
hukum yang digunakan berjenis
konseptual. Sumber hukum yang digunakan adalah sumber hukum primer dan
sumber hukum sekunder. Analisis dan pembahasan yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan kerangka deduktif. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan
antara hukum negara
dengan hukum adat dalam sektor hukum agraria dan
pertanahan, dalam praktiknya ternyata masih banyak yang tidak sesuai dengan
semangat bangsa, serta falsafah hukum pertanahan nasional. Pengaturan penetapan
hak atas tanah yang hanya berupa sertifikat yang diterbitkan oleh BPN belum dapat
menjawab harapan masyarakat
hukum adat, karena
kebijakan tersebut belum mengatur mekanisme perlindungan
terhadap objek hukum pertanahan yang ada di wilayah masyarakat hukum adat.
Untuk lebih jelasnya, silahkan klik : PENGAKUAN HAK MASYARAKAT ADAT ATAS TANAH ULAYAT ; ANALISIS HUBUNGAN ANTARA HUKUM NASIONAL DAN HUKUM ADAT
Sulawesi Tengah, dengan julukan
Negeri Seribu Megalit, menyimpan jejak peradaban pra-aksara yang unik dan
misterius. Batu-batu besar yang tersebar di lembah-lembahnya menjadi saksi bisu
sejarah ribuan tahun yang lalu. Kunjungi dan rasakan sendiri pesona megalitikum
yang menjadikan Sulteng sebagai destinasi wisata budaya yang memikat.
Indonesia kaya dengan segenap peninggalan budaya olah karya penduduknya termasuk pada zaman batu besar atau megalitikum dan kerap disebut pula sebagai era pra-aksara. Era ini ditandai oleh kebiasaan masyarakatnya yang menghasilkan budaya berupa batu berukuran besar sebagai bentuk kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Beberapa hasil budaya megalitikum di antaranya menhir atau batu tegak sebagai wadah pemujaan atau penanda kuburan.
Selanjutnya ada dolmen yaitu meja
batu besar yang ditopang oleh batu-batu lebih kecil sebagai kaki. Ada pula
sarkofagus yaitu wadah dengan penutup yang berfungsi sebagai wadah penyimpan
jasad dan masih ada lagi waruga dengan fungsi serupa sarkofagus. Karya batu
besar era megalitikum lainnya adalah arca batu, punden berundak, dan kubur
batu. Sisa-sisa peninggalan budaya batu besar terserak pada sejumlah kawasan di
Nusantara.
Salah satunya adalah Provinsi
Sulawesi Tengah (Sulteng). Provinsi seluas 61.841 kilometer persegi itu
menyimpan kisah peradaban batu-batu zaman megalitikum sekaligus mengungkap
misteri yang terjadi pada masa sebelum penanggalan masehi diberlakukan.
Tersebutlah nama Albertus Christian Kruyt dan Nicolas Adriani, dua peneliti
berkebangsaan Belanda dan Amerika Serikat (AS), yang mengungkap awal mula
peninggalan megalitik di Sulteng pada tahun 1898 melalui karya ilmiahnya Van
Poso naar Parigi en Lindoe.
Tujuh tahun berselang, giliran
penjelajah alam bersaudara asal Swiss, Paul Benedict Sarasin dan Karl Friedrich
Sarasin menggelar perjalanan ke Sulteng era 1893--1903 dan menuangkan
pengalamannya dalam buku Reisen in Celebes. Sejak itu, semakin tak terbendung
jumlah penjelajah yang tertantang untuk menggelar riset dan penelitian demi
menguak peninggalan batu besar dari era di 3.000 tahun lampau di Sulteng.
Misalnya Harry Cushier Raven dari Amerika Serikat dan peneliti Swedia, Walter
Kaudern.
Raven melalui bukunya The Stone
Images and Vats of Central Sulawesi yang terbit pada 1926 mengatakan bahwa
dirinya pergi ke Sulteng pada 1917 dan tinggal di sana selama setahun guna
meneliti batu-batu besar megalit, utamanya di Lembah Bada dan berlanjut sampai
ke kantong-kantong batu besar di Sulteng seperti Behoa, Napu, dan Tomabulopi.
Dia mampu menggambarkan kondisi megalitik melalui diagram dan foto-foto yang
bagus dan membandingkan hasil jepretan yang didapatnya sebagai bagian dari
bukunya.
Puncaknya adalah ketika arkeolog
terkemuka Indonesia, Dwi Yani Yuniawati Umar atau akrab dipanggil Atik oleh
sejawatnya, pada 2013 berhasil mengidentifikasi 1.466 megalit dari 83 situs,
sebagian besar ditemui pada kawasan biosfer Lore Lindu. Dia juga menemukan
kronologi yang cukup tua dari tulang-tulang yang terkubur di Situs Wineki. Dari
hasil penelitian berdasarkan penanggalan karbon, usia temuan itu sekitar tahun
2531-1416 Sebelum Masehi.
Salah satu ikon megalit terkenal
adalah Palindo atau Watu Palindo di Lembah Bada. Patung setinggi 4,5 meter ini
disebut sebagai representasi dari penduduk mitologis pertama dari desa Sepe
yang bernama Tosaloge. Gambar ikon megalitikum Indonesia tersebut bersama Batu
Gajah dari Sumatra Selatan dan sarkofagus dari Bali pernah dicetak dalam seri
prangko sewaktu Pameran Filateli Internasional di London, Inggris pada 1980.
Antropolog budaya asal Amerika Serikat,
Martin Gray melalui tulisannya soal megalit Pulau Sulawesi di jurnal daring
Sacred Sites mengakui keunikan peninggalan batu besar di Sulteng sebagai salah
satu misteri arkeologi terhebat di dunia. Hal itu dikarenakan masih sulitnya
mengurai muasal batu-batu misterius itu. Apabila menilik peradaban manusia di
Asia Tenggara, Pulau Sulawesi baru didiami pertama kali kemungkinan sekitar
50.000 hingga 30.000 tahun lampau.
Gray yang juga gemar fotografi
mengatakan, terdapat ratusan artefak batu besar di Lembah Napu, Besoa, dan Bada
dalam Taman Nasional Lore Lindu, Sulteng. Bentuknya beraneka rupa, mulai dari
silinder patung atau batu rata dengan tanda cawan. Ukurannya mulai dari 2 kaki
hingga 15 kaki dan tiap patung dibuat tanpa kaki dengan umumnya bentuk kepala
besar dan aneh atau hiasan geometrik yang abstrak.
Ia menyebut batu-batu misterius
itu memiliki kemiripan dengan yang dia temukan pada pusat batu besar purba di
Taman Arkeologi San Augustin, Kolombia. "Kemiripan paling dekat mengenai
teka-teki megalitik yang bisa saya ungkap adalah ukirannya sama seperti di San
Augustin, Kolombia," kata Gray.
Tidak ada penyelidikan mitologi,
antropologi, arkeologi, etnologi yang memberi gambaran mengenai usia, asal usul
atau tujuan dari batu-batu besar itu dibentuk menjadi wadah. Dia mengelompokkan
peninggalan purbakala di Sulteng sebagai yang tertua di dunia bersama di Pulau
Paskah di Chile.
Batu-batu besar itu menyebar di
Desa Watunonju, Bangga, Tulo, dan Pevunu seluruhnya di Kabupaten Sigi.
Bentuknya beraneka rupa seperti lumpang dari batu putih yang mengandung
partikel kristal putih dan tembikar berhias. Kemudian menhir, kubur batu, dan
lumpang berjumlah 312 benda di Lembah Napu dan 824 megalit di Lembah Behoa dan
330 lainnya di Lembah Bada. Sedangkan di Situs Pokekea ada 103 benda megalit
berupa gerabah batu, kalamba dan tutupnya, arca batu, altar, dulang, dan makam
batu.
Oleh sebab itu, Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Sulteng pada 2023 lalu mencanangkan provinsi tersebut
sebagai Negeri Seribu Megalit. Pencanangannya dilakukan oleh Wakil Presiden
Ma'ruf Amin di Palu pada 3 Oktober 2023 lalu. "Gandeng semua pemangku
kepentingan untuk menyiapkan Negeri Seribu Megalit sebagai destinasi wisata
unggulan Sulawesi Tengah sehingga dapat berkontribusi dalam menggerakkan
ekonomi daerah," kata Wapres seperti dikutip dari website www.wapres.go.id.
Mantan Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia itu juga meminta Pemprov Sulteng melakukan promosi termasuk
memanfaatkan media sosial sebagai alat paling tepat mengenalkan Negeri Seribu
Megalit kepada dunia. Wapres Ma'ruf Amin menyebut, media sosial sebagai alat
promosi efektif didukung narasi kuat mengedepankan wisata budaya sejarah
megalitikum sebagai bagian peradaban dunia.
Dalam kesempatan tersebut
Gubernur Sulteng Rusdy Mastura menyebutkan, julukan provinsinya sebagai Negeri
Seribu Megalit diberikan guna mempromosikan kemegahan kawasan cagar budaya
megalitikum di Lembah Napu, Lembah Behoa, dan Lembah Bada yang tersebar di
Kabupaten Poso dan Lembah Lindu di Kabupaten Sigi. Ia berharap, pencanangan
sebagai Negeri Seribu Megalit akan mempercepat penetapan kawasan megalitikum di
Sulteng sebagai Warisan Dunia (World Heritage) oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira
Inda Sari