Dewan Adat Sigi

Waktu selesai rapat di rumah Ketua Dewan Adat Sigi di Kaleke.

SOSIALISASI

Sosialisasi pendidikan Pemilih.

TOTUA NU ADA

Totua nu Ada. Ane nggaulu Totuamo gala hi nompakenggenisi ngata ...

Silaturrahmi

Silaturrahmi dengan Yang Mulia Sri Paduka Mangku Alam II.

Rabu, 24 November 2021

Dewan Adat Sigi Dikukuhkan, Wabup Minta Nilai Adat Istiadat Dikembangkan



TRIBUNPALU.COM, SIGI - Pengurus Dewan Adat Sigi dikukuhkan di Aula Permandian Air Panas Bora, Desa Bora Kecamatan Sigi Kota, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (24/11/2021).

Sejumlah pejabat di Sigi hadir dalam pengukuhan Dewan Adat antara lain Wakil Bupati Sigi Samuel Yansen Pongi, Ketua DPRD Sigi, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sigi, Polres Sigi, Kesbangpol Sigi, dan Ketua PMI Sigi.

Sementara dari Pemprov Sulteng hadir Perwakilan Gubernur Sulteng, Polda Sulteng, Danrem 132/Tadulako, Disdikbud Sulawesi Tengah, Badan Musyawarah Adat Sulteng, dan DPRD Sulteng.

Wakil Bupati Sigi Samuel Yansen Pongi mengapresiasi dengan pengukuhan Dewan Adat Kabupaten Sigi.

Menurutnya, di Wilayah Mareso Masagena terdapat berbagai suku.

Ia berharap dengan adanya Dewan Adat di Sigi dapat menjadi tali pengikat dan pemersatu antara suku-suku di Sigi.

"Keberadaan Dewan Adat juga harus dapat menjadi tali pengikat dan pemersatu serta dapat memberikan kontribusi berupa pemikiran dan ide-ide, nasehat dalam rangka mendukung proses pembangunan di Kabupaten Sigi," jelas Wabup Sigi, Samuel, Rabu (24/11/2021).

Mantan Kadis Koperasi dan UMKM Sigi itu menuturkan, Amanah yang diemban sebagai pengurus Dewan Adat Kabupaten Sigi mengandung makna dan konsekuensi.

Konsekuensi tentunya harus mampu menunjang adat dan martabat di Wilayah Mareso Masagena.

"Untuk itu pengurus Dewan Adat nantinya bisa proaktif menggali dan menerapkan nilai-nilai adat istiadat yang terdapat pada masyarakat, sehingga kearifan lokal yang akan dilaksanakan di Kabupaten Sigi senantiasa terjaga dan lestari" pungkasnya. (*)



 

 

 

Artikel ini telah tayang di TribunPalu.com dengan judul Dewan Adat Sigi Dikukuhkan, Wabup Minta Nilai Adat Istiadat Dikembangkan, https://palu.tribunnews.com/2021/11/24/dewan-adat-sigi-dikukuhkan-wabup-minta-nilai-adat-istiadat-dikembangkan.

Penulis: Moh Salam | Editor: Haqir Muhakir


Sabtu, 13 November 2021

Cina Kaili: Catatan Awal Tionghoa di Palu

 

FOTO: Peta wilayah Palu tahun 1938. FOTO: KITLV


Eksistensi masyarakat Tionghoa menghadirkan perubahan bidang ekonomi dan sosial di Kota Palu. Kemampuan mereka membangun identitas baru, yang mendefinisikan posisi mereka dalam masyarakat, dan dalam prosesnya terus melakukan transformasi ke dalam keseluruhan struktur sosial yang ada di dalamnya, menjadi salah satu alasan eksistensi mereka hingga hari ini.

Orang Tionghoa di Palu, telah ada sejak pertengahan abad XIX. Mereka masuk melalui Wani, tetapi yang paling umum berasal dari Donggala.[1] Sebagian besar dari mereka juga berasal dari Surabaya, Banjar, Makassar, dan Manado.[2] Pada akhir abad tersebut, orang Tionghoa di Palu mulai mendapat tempat sebagai pedagang.[3] Pada awal abad XX, Palu sebagai sebuah kerajaan, dihuni oleh berbagai suku bangsa. Ada orang Bugis, Mandar, Manado, Minahasa, Melayu, Minang, Banjar, Arab dan Tionghoa. Mereka telah beranak pinak di Palu, telah beberapa generasi, bahkan telah berhasil membangun kehidupan sosial ekonomi yang kuat. Menariknya lagi, secara kultural, sebagian besar dari para pendatang tersebut telah menjadi bagian dari masyarakat Kaili, yang merupakan masyarakat mayoritas di wilayah Palu. Menjadi Kaili adalah salah satu cara mereka untuk dapat hidup damai dan layak di negeri asing seperti Palu.[4]

Menjadi Kaili sendiri, sebagai salah satu cara masyarakat tempatan, salah satunya masyarakat Tionghoa, untuk dapat hidup damai dan layak di wilayah Palu, merupakan bukti upaya mereka membangun identitas baru, yang mendefinisikan posisi mereka dalam masyarakat dan transformasi ke dalam struktur sosial setempat. Upaya membangun identitas baru ini sendiri, salah satunya dilakukan melalui metode perkawinan, di mana para perantau dari Cina yang datang ke Palu, menikahi penduduk setempat, untuk meleburkan diri ke dalam struktur sosial setempat, sehingga dapat memiliki akses untuk hidup damai dan layak, dengan cara berdagang.[5]

Misionaris Katolik yang bertugas di Makassar pada 1939, Jan Van Den Eerenbeemt menyebut, orang Tionghoa menempati tempat penting di antara masyarakat Indonesia. Bukan karena jumlah mereka, tetapi karena partisipasi mereka yang beragam di semua cabang industri, perdagangan dan industri. Mereka membentuk kelas menengah yang kuat dan mengendalikan hampir semua broker, mempraktikkan semua perdagangan, dan memiliki pengaruh besar, karena semangat mereka untuk bekerja, berhemat dan ketangkasan. Mereka disebut sebagai elemen kedamaian, ketertiban dan kemakmuran, di mana-mana di antara penduduk.[6] 

Cara lain masyarakat Tionghoa di Kota Palu untuk membangun identitas baru dalam struktur sosial masyarakat lokal adalah lewat jalur pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah Chung Hwa Xue Xiao[7] yang tidak hanya menerima siswa keturunan Tionghoa, tetapi juga siswa dari masyarakat lokal dan masyarakat tempatan lainnya, yang bermukim di sekitar kawasan tempat tinggal masyarakat Tionghoa di Kota Palu.[8] Kebijakan membuka akses pendidikan seluas-luasnya ini, membuat masyarakat Tionghoa mampu mendefinisikan posisi mereka yang membuat mereka diterima dengan baik oleh masyarakat lokal serta masyarakat tempatan lainnya di Kota Palu.   

Pada awal abad XX, Palu telah menjadi salah satu kota yang sering kali disinggahi oleh kapal-kapal Koninklink Paketpaart Maskapij (KPM). Sejak tahun 1920, Palu menjadi salah satu pusat penampungan kopra di Lembah Palu.[9] Sehingga bersama-sama dengan Donggala, Palu selalu dikunjungi kapal-kapal KPM. Sudah pasti pula, bahwa para pendatang mulai datang berbondong-bondong untuk datang bermukim dan berusaha di daerah ini. Keragaman penduduk makin terasa. Orang Minahasa datang atas keinginan Pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi guru di Palu.[10] Orang Cina dan Arab datang untuk untuk berdagang. Begitu juga dengan orang Melayu dan Banjar. Namun sebagian orang Banjar membuka usaha menjahit pakaian di Bambaru, sekitar pasar dan Ujuna.[11]

Pada tahun 1930, jumlah masyarakat Tionghoa di Onderafdeeling Palu mencapai 433 jiwa, terdiri dari 261 laki-laki dan 172 perempuan. Jumlah ini hanya mencapai 0.62 persen dari total penduduk Onderafdeeling Palu saat itu, yang mencapai 69.610 jiwa. Namun, jika dibandingkan dengan kelompok orang asing lainnya, seperti orang Eropa dan orang Timur Asing (Arab dll) di Onderafdeeling Palu, jumlah masyarakat Tionghoa relatif dominan, yakni mencapai 60.7 persen dari total kelompok orang asing di Onderafdeeling Palu yang mencapai 713 jiwa. Kemudian, jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di Afdeeling Donggala, seperti Donggala, Tolitoli dan Buol, jumlah masyarakat Tionghoa di Onderafdeeling Palu hanya unggul dari Buol (429 jiwa) dan kalah masing-masing dari Donggala (698 jiwa) dan Tolitoli (612 jiwa). Dari total masyarakat Tionghoa di Afdeeling Donggala yang mencapai 2172 jiwa, hanya sekitar 19.93 persen masyarakat Tionghoa yang bermukim di Onderafeeling Palu.[12] Secara umum di Indonesia, jumlah masyarakat Tionghoa pada tahun 1930 hanya mencapai 2.3 persen dari total penduduk.[13] 

Sebagaimana dengan sebutan sebagai Onderafdeeling, maka penduduk yang masuk wilayah itu adalah penduduk tiga landschaap yaitu Palu, Sigi-Dolo, dan Kulawi. Total keseluruhan penduduk wilayah Sigi Dolo adalah 25.237 jiwa, dengan jumlah orang Tionghoa mencapai 63 jiwa. Kemudian untuk wilayah Koelawi (Kulawi) yang terbagi atas District Noord-Koelawi (Kulawi Utara) dan District Zuid Koelawi (Kulawi Selatan), penduduknya berjumlah 11.114 jiwa, dengan jumlah orang Tionghoa mencapai 39 jiwa. Adapun jumlah penduduk Palu pada tahun itu (1930) mencapai 33.259 hanya 47,78 persen dari keseluruhan penduduk Onderafdeeling, dengan jumlah orang Tionghoa mencapai 331 jiwa atau hanya 0.99 persen dari keseluruhan penduduk landschaap Palu.[14]

Wilayah Palu sendiri terbagi atas dua distrik yakni distrik Oost Paloe (Palu Timur) dan Distrik West Paloe (Palu Barat). Distrik Palu Timur terdiri atas Lere, Baroe, Kamodji, Bandjar, Oedjoena, Loloe, Besoese, Talise, Tatoera, Tanamodindi I, Lasoani, Kawatoena, Poboja, Watoesampoe, Boeloeri, Tipo, Silae, Kabonena, Kalora, Tanamodindi II. Distrik Palu Barat terdiri atas Donggala-Ketjil, Balaroa I, Doejoe, Bojaoge, Noenoe, Tawandjoeka, Pengawoe, Tinggede, Binangga, Baliase, Balane, Porame, Padende, Sibedi, Beka, Bomba, Lebanoe, Balaroa II, Pobolobia, Rondingo, Pompanesibadja, Tomodo, Damgaraa, Gimpoebia, Palenteema, Bambakamini, Wawoegaga, Ongoelara, Bambakaino, Malino, Loemboelama, Soi, Domboe, Ongoelero, Wiapore, Mantantimali, Taipangabe, Wajoe, Doda, Daenggoeni, Tondo, Kawole, Kasiromoe.[15]

Wilayah Oedjoena (Ujuna) sendiri yang disebut sebagai wilayah konsentrasi pemukiman masyarakat Tionghoa di Palu, jumlah penduduknya mencapai 828 jiwa, dengan mayoritas penduduk adalah Suku Kaili berdialek Ledo.[16] Jika total 331 jiwa orang Tionghoa di Palu semuanya bermukim di Ujuna, maka dari total 828 jiwa penduduk Ujuna pada 1930, persentase orang Tionghoa yang tinggal di Ujuna mencapai 39.97 persen. Pemerintah Hindia Belanda sendiri melokalisir pemukiman masyarakat tempatan, berdasarkan kelompok etniknya masing-masing. Wilayah Ujuna misalnya, diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman bagi masyarakat Tionghoa, wilayah Bandjar diperuntukkan bagi orang Banjar, wilayah Baroe dan Kamondji yang diperuntukkan bagi orang Arab, wilayah Loloe (Lolu) bagi orang Minahasa dan Eropa, serta wilayah Lere dan Besoesoe (Besusu) dan kawasan pesisir, bagi masyarakat keturunan Bugis, Makassar dan Mandar. Masing-masing kelompok etnik memiliki pemimpin yang disebut sebagai kapitan/kapten.[17]

Upaya Pemerintah Hindia Belanda untuk melokalisir kawasan pemukiman berdasarkan kelompok etnik ini, nyatanya tidak mampu membendung pembauran yang terjadi antar kelompok etnis di Palu, terutama antara masyarakat lokal dan masyarakat tempatan. Niatan untuk menempatkan masyarakat tempatan di kawasan pusat kota, agar tidak berbaur dengan penduduk lokal yang bermukim di pinggiran kota, nyatanya tidak berhasil. Masyarakat lokal Palu yang mayoritas adalah Suku Kaili berdialek Ledo, membaur dengan masyarakat tempatan, termasuk masyarakat Tionghoa.

Pembauran ini dapat dilihat dari kemampuan masyarakat Tionghoa di Kota Palu, untuk menggunakan bahasa daerah setempat, yakni bahasa Kaili dengan cukup fasih, sebagai bahasa sehari-hari. Kemampuan berbaur masyarakat Tionghoa ini, diyakini sebagai salah satu upaya untuk membentuk identitas baru, yang mendefinisikan posisi mereka dalam masyarakat dan transformasi ke dalam struktur sosial setempat, sehingga mereka memiliki akses terhadap keamanan dan pangsa pasar yang lebih luas untuk memasarkan barang dagangannya. Kemudian, kawasan tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari pasar, selain memudahkan mereka untuk berdagang, juga memiliki fungsi lain yakni sebagai sarana pembauran mereka dengan masyarakat lokal dan masyarakat tempatan lainnya.

 

Jan Van Den Eerenbeemt menyebut, sebelum Jepang menjajah Cina pada 1931, hak-hak masyarakat Tionghoa di Hindia sangat terbatas. Mereka harus tinggal di lingkungan mereka sendiri, dengan jalan-jalan dan daerah kumuhnya, toko-toko dan kuil-kuilnya. Keterbatasan ini juga diperparah dengan tidak adanya tindakan yang diambil oleh pemerintah pada pendidikan. untuk pemuda Tionghoa. Namun, ketika Cina dijajah oleh Jepang pada 1931 dan berperan dalam politik dunia, orang Tionghoa di Hindia juga mulai membela hak-hak mereka. Gerbang pembatasan lingkungan dibuka dan pembatasan pergerakan mereka dicabut. Selain itu, sekolah untuk masyarakat Tionghoa juga mulai dibuka.[18]

Orang Tionghoa yang bermukim di Palu, sebagian besar menekuni pekerjaan sebagai pedagang. Salah satunya Ban Soen, yang memiliki pabrik es, juga penggilingan padi dan jagung. Masyarakat Palu disebut memanfaatkan penggilingan ini dengan baik, dengan 10 persen dari hasil penggilingan sebagai upah pengupasan atau penggilingan.[19] Masyarakat Tionghoa di Palu juga memproduksi gerobak yang dihargai 160 gulden.[20] Para pedagang Tionghoa ini sebagian besar memilih berjualan di Pasar Bambaru, yang terletak tidak jauh dari kawasan pemukiman mereka. Mereka menjual berbagai macam komoditas, seperti sarung, minyak tanah, garam[21] hingga kopra.[22] Mereka menyewa toko dari para bangsawan dan pedagang lokal di kompleks pasar tersebut.[23] Para pedagang Tionghoa ini mendapat julukan Toke (Tauke) Cina oleh masyarakat setempat.[24] Selain berdagang, sebagian orang Tionghoa di Palu juga memiliki ketertarikan pada bidang lainnya, misalnya pertambangan. Beberapa orang Tionghoa dan Jepang misalnya, menunjukkan minat pada mika di dekat Towoeloe dan di atas Poboja (Poboya), juga menggali tanah belerang di mata air panas Bora.[25] Masyarakat Tionghoa di Palu juga dikenakan pajak (belasting) oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1934 misalnya, jumlah pajak pemerintah yang dikumpulkan dari masyarakat Tionghoa di Palu mencapai 2953.54 gulden.[26] 

Pergerakan masyarakat Tionghoa di Kota Palu dalam sektor perdagangan, membuat khawatir sejumlah organisasi politik di Kota Palu pada masa itu, salah satunya adalah Sarekat Islam (SI). SI kemudian mencoba merangkul para pedagang yang berasal dari bangsawan lokal, Arab, hingga Melayu, untuk bergabung bersama mereka, dalam upaya menjaga persaingan dengan para pedagang Tionghoa.[27] Namun, pergerakan SI ini sendiri, tidak berdampak pada lahirnya sentimen anti Tionghoa di Palu, karena kemampuan masyarakat Tionghoa di Palu untuk membaur dengan masyarakat lokal dan masyarakat tempatan lainnya di Palu. 

 


Sumber :  CINA KAILI


۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞