Dewan Adat Sigi

Waktu selesai rapat di rumah Ketua Dewan Adat Sigi di Kaleke.

SOSIALISASI

Sosialisasi pendidikan Pemilih.

TOTUA NU ADA

Totua nu Ada. Ane nggaulu Totuamo gala hi nompakenggenisi ngata ...

Silaturrahmi

Silaturrahmi dengan Yang Mulia Sri Paduka Mangku Alam II.

Senin, 15 Mei 2017

Hukum Adat KAILI

 

Hukum AdatKaili

          Manusia dan kebudayaanya merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat, sebab kebudayaan merupakan implementasi dari segenap aktivitas manusia dalam menciptakan sesuatu. Baik itu dalam wujud kebudayaan maupun dalam bentuk tingkahlaku, yang diwarisi secara turun temurun kepada setiap generasinya sebagai suatu tatanan sosial  budaya yang harus ditaati sebagai bagian dari warisan leluhur, sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan, oleh masyarakat pendukungnya. Lewat Media Kaili ini semoga masyarakat luas di Kota Palu bisa  mengambil pembelajaran serta bisa menerapkannya kembali dalam kehidupan sehari-hari kita.

          Inventarisasi dan Kajian Hukum dan Sanksi Adat Suku Kaili di Kota Palu belum banyak dilakukan dan belum terdokumentasikan dengan baik.  Inventarisasi dan Kajian ini  mengungkapkan hukum  berdasarkan sejarah masa silam, sebagian besar masyarakatnya belum mengenal tulisan namun kepatuhan atas hukum yang berlaku sangat dijunjung tinggi demi menjaga ketentraman hidup dan kesejahteraan bersama. Hukum dan Sanksi Adat di tanah Kaili berlaku sebelum adanya agama masuk di lembah Palu dan juga adanya penjajahan bangsa asing. Hal ini merupakan bagian dari proses kebudaayaan yang menjadi anutan masyarakat Kaili, yang memegang teguh adat istiadatnya.

          Hukum dan sanksi Adat aplikasinya berorientasi pada ketetapan Givu bagi masyarakat Kaili yang berdominsili di lembah Palu. Bila ditelusuri dari aspek budaya dan kearifan lokal ternyata hukum dan sanksi adat memiliki nilai-nilai luhur dan tetap dijunjung tinggi serta ditaati. Namun di era modern sekarang ini sebagian besar orang sudah melupakannya dan bahkan dianggap sebagai pamali (pantangan) dalam kesehariannya. Akan tetapi hukum dan sanksi adat masih tetap dipedomani untuk menjaga pengaruh negatif modernisasi dalam merusak tatanan kehidupan.

Untuk menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan PenciptaNya, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan lingkungannya, maka setiap orang di dalam kelompok masyarakat Kaili selalu mengembangkan berbagai macam tata nilai dan etika baik dalam bentuk pergaulan, perilaku, tuturkata dan tindakan senantiasa selalu dalam kesepakatan adat.

Tujuan Diberlakukannya Sanksi Adat

Sanksi adat diberlakukan bagi siapa saja yang melanggar adat termasuk dari golongan bangsawan (madika) sampai masyarakat biasa. Demi menjujunjung  penegakan hukum nilai adat yang dikandung, seluruh warga masyarakat yang berada dalam 5  wilayah keadatan memperoleh hukum atau sanksi yang sama walaupun suku, pangkat, dan golongan berbeda. Dengan menggunakan falsafah: ”dimana bumi dipijak disitu langit didunjunjung”, makna strategisnya kata berpijak adalah mentaati hukum adat yang berlaku pada suatu wilayah. Tujuannya adalah untuk memberikan penanaman nilai budi pekerti, yang gunannya melindungi seluruh warga dari perbuatan sewenang-wenang dan tindakan yang tidak terpuji. Manfaatnya menciptakan perdamaian dan kedamaian menuju suatu kehidupan yang bernilai budaya. Sehingga bila dimaknai secara seksama hukum adat dapat memanusiakan manusia.

 

Ada yang menduga, bahwa penetapan hukum dan Sanksi Adat terkesan berat bahkan tidak manusiawi, padahal  tujuannya semata-mata mengurangi jumlah kejahatan dan pelanggaran yang dipermainkan oleh orang-orang yang merasa dirinya kuat. Makna strategi diberlakukannya  Hukun dan Sanksi Adat Kaili di Kota Palu, memberi kedamaian dan ketentraman masyarakat agar terhindari dari berbagai kesewenang-wenangan, baik berwujud isu-isu konflik maupun tindakan-tindakan menzalimi hak-hak pribadi maupun kelompok dari masyarakat itu sendiri. 

Contoh

“RAPATESI SANJAMBOKO-RALABU RITASI” yang artinya dilenyapkan dari muka bumi dengan cara dibunuh atau ditenggelamkan dalam laut berdua, agar supaya Negeri tetap dalam keadaan aman dan mempunyai kehormatan, karena diatasnya tidak terdapat salah satu kuburan atau pekuburan dari manusia yang berwujud hewan.Keputusan ini diterima baik dan mendapat dukungan sepernuhnya dari seluruh rakyat termasuk kaum keluarga pesakitan kedua belah pihak turut merasa puas”.

Bentuk-bentuk Pelanggaran dan Sanksi Adat

Pada dasarnya suatu suku bangsa, baik suku-suku bangsa yang terpencil hidup di pedalaman, pegunungan, di lembah maupun pesisir pantai meyakini setiap kesalahan dan pelanggaran harus ada ganjaran/hukuman/sanksinya. Oleh karena itu maka suku Kaili Topo Ledo/Rai/Tara/Doi/Unde menetapkan ada mpegivu (sanksi/hukuman) sebagai berikut : Sala Kana (sikap) , Sala Baba/Sala Mpale (perilaku), Sala Mbivi (bicara).

1. Sala Kana (salah sikap)

Vaya sala kana adalah salah satu jenis hukuman yang diberikan/dikenakan kepada seseorang yang melanggar nilai-nilai Adat yang berhubungan dengan perbuatan, tindakan, ucapan dan perilaku dalam kategori nakaputu tambolo dan bangu mate (sanksi berat), berupa:

1. Berzinah (Nosimpogau) atas dasar kehendak bersama dan atau memperkosa adalah adanya        unsur pemaksaan dari pihak laki-laki.

2. Konflik perkelahian dan pembunuhan.

3. Menghina.

Jenis Perbuatan :

A. Vaya Mbaso Nakaputu Tambolo (Hukuman Berat) :

1. Vaya Nosimpogau (Hukuman untuk Berzina) antara bapak dan anak kandung atau ibu dan      anak kandungnya, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup (dibakar atau dikucilkan seumur hidup oleh Masyarakat)

2. Vaya berzina antara kakak dengan adik kandungnya, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

3. Vaya berzina antara mertua dengan menantu dan nenek dengan cucu, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

4. Vaya berzina antara bibi (tante) atau paman saudara kandung dari bapak atau ibu, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

5. Vaya berzina antara ipar dari saudara kandung dengan suami atau istri, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

6. Vaya berzina dengan permaisuri atau putri Raja (Magau/Madika), niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

B. Vaya Mbaso Bangu Mate (Hukuman mati):

1. Nobualo adalah perzinahan seorang perempuan yang mempunyai suami yang sah dengan seorang lelaki lain (atas keinginan/godaan perempuan). Givuna (hukuman) dikenakan pada perempuan berupa (bualo), terdiri dari Nebualosi  Bualo Kana (pelaku diketahui) dan Bualo Lombe (atau nisiri yaitu masih dalam kecurigaan siapa pelakunya). Atau perzinahan seorang laki-laki yang mempunyai isteri yang sah dengan seorang perempuan  mempunyai suami yang sah dikenakan sanksi vayana /Givuna  :

a. Santina Bengga/sampomava bengga dalam bahasa Indonesia dua ekor Kerbau,

b. Sanggayu gandisi (Raposompora Radua) versi ledo dalam bahasa Indonesia kain dari kulit kayu,

c. Samata Guma (rapo sambale tambolona/tambolora Radua) artinya dalam bahasa Indonesia sebilah parang jenis guma untuk menggorok leher pasangan yang melakukan perzinahan,

d. Santonga dula (rapotande balenggana /balengara randua) yang artiya dalam bahasa Indonesia sepasang dulang tempat untuk menyimpan kepala,

e. Santonga tubu mputi (posonggo raana /raara randua) sepasang mangkok putih untuk tempat penyuguhan darah pelaku perzinahan yang disembelih,

f. Sudakana  (dalam bentuk mata uang Riyal dengan jumlah ganjil antara sebelas (11) sampai dengan Sembilan puluh Sembilan (99).

 

g. Pu’u dengan hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah berupa suraya (piring) jika lebih dari 10 mpu’u dilengkapi dengan suraya Mposanga seperti Pinekaso, Tava Kelo dalam pelaksanaan libu dewan adat, jika hal tersebut tidak ada, memungkinkan notovali (Nosambei) dengan piring biasa.

h. Dalam versi Rai pelaku pelanggaran bagi perempuan disebut Nopangadi.

i. Versi unde ditambah dengan 140 suraya tambah 15 ekor Kebe (aqiqa: mengeluarkan 1 ekor kambing) semuanya dibagi 2 laki-laki dan perempuan.      

Givuna (Hukuman) di kenakan pada Laki-laki (nebualosi) :

a. Sampomava Bengga ( satu ekor kerbau), dalam pendekatan Kaili Tara apabila penyebutan hanya kata “Bengga” maka boleh digantikan dengan 5 Ekor Kambi/Tovaou Mporesi (kambing hutan), apabila penyebutan Bengga Navuri Buluna (Kerbau hitam bulunya) adalah dikenakan kerbau sebenarnya.

b. Santonga dula (rapotande balenggana), Versi Kaili Tara dikenakan Dula Lena biasa.

c. Santonga tubu mputi (posonggo raana), versi Kaili Tara dikenakan Tubu Posanga seperti Tubu Mata Bengga  dan boleh berbentuk tubu biasa.

d. Sudakana  (dalam bentuk mata uang Riyal dengan jumlah ganjil antara sebelas (11) sampai dengan Sembilan puluh Sembilan (99). Pada masa kini disesuaikan dengan nilai mata uang   Rupiah.

Catatan : Givu harus dibayar kepada perbendaharaan Negeri (Polisa Nuada:Rai, Sompo Nuada:Ledo) dalam waktu yang ditetapkan oleh pengadilan adat dan apabila Givu tersebut tidak dibayar pada waktunya maka keduanya akan dihukum mati (nilabu) atau Nipanaa (mengingatkan kembali kepada pengadilan adat dengan sanksi Nibeko yaitu dikucilkan dari masyarakat).

(Sumber : Balitbangda Propinsi Sulawesi Tengah)

Sabtu, 13 Mei 2017

Upacara Adat Pernikahan Lembah Kaili Palu

 

Upacara pernikahan adalah upacara adat yang diselenggarakan dalam rangka menyambut peristiwa pernikahan. Pernikahan sebagai peristiwa penting bagi manusia, dirasa perlu disakralkan dan dikenang sehingga perlu ada upacaranya. seperti halnya upacara perkawinan masyarakat Kaili di Palu, bagi masyarakat Sulawesi Tengah secara keseluruhan, selalu ada upacaranya. Misalnya dimulai sejak sebelum kelahiran bayi, yakni upacara masa hamil, kemudian adat dan upacara kelahiran, adat dan upacara sebelum dewasa, adat dan upacara perkawinan dan upacara kematian. Dari sekian banyak upacara tersebut, maka upacara peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dilakukan sangat unik.

Beberapa diantaranya adalah nopasoa(orang yang akan mandi uap), Nokolontigi (malam pacar),Mematua(kunjungan pengantin kepada mertua,dll tetapi pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan nokolotongi, dan adat mematua.sebagai  berikut, tentang upacara perkawinan dan tata cara perkawinan  :

A.     Nokolontigi (malam pacar)

Nokolontigi dilaksanakan pada malam hari dirumah calon pengantin perempuan, yang biasanya dilaksanakan sehari sebelum upacara akad nikah. Tujuan dari upacara adat tersebut antara lain ialah :

1.      Memeberikan kekuatan kepada kedua calon pengantin agar tidak mudah dipengaruhi oleh setan atau roh-roh jahat.

2.      Memberikan makna dan arti simbolik bagi keduanya tentang ancaman bilamana terjadi perceraian.

3.      Agar kedua calon pengantin dapat panjang umur, murah rezeki, hati tenang, pikiran tajam, dan banyak anak.

.

Adapun alat-alat kelengkapan upacara antara lain :

a.       Daun pacar (kolontigi) yang sudah ditumbuk halus yang dapat meberi warna merah pada telapak tangan, kaki, atau kuku calon pengantin.

b.      Sebuah baki dengan beberapa mangkok kecil berisi minyak kelapa, kapur sirih, bedak, dan kain putih untuk membersihkan tangan.

c.       Daun siranindi, atau daun pendingin dan sebuah bantal yang beralaskan daun pisang.

Nilai simbolis dari alat-alat perlengkapan tersebut adalah :

o   Daun pacar adalah lambang darah (pengorbanan bila mana bercerai)

o   Minyak kelapa digosok di kepala, simbol bahwa kepala itu  dipotong bilamana berkhianat.

o   Kapur sirih dan Bedak sebagai lambang batang leher yang akan disembelih.

o   Kain putih adalah lambang dari kain kafan (mayat).

Mengenai jalannya upacara Nokolontigi adalah sebagai berikut :

1.      Minta kesediaan kepada 5 orang, 7 orang atau 9 orang yang dituakan dan hadir pada saat upacara Nokolontigi berlangsung. Biasanya orang tua yang terpilih adalah biasanya orang tua yang memiliki status sosial ditengah masyarakat, orang yang murah rezeki, memiliki anak dan cucu, serta berhasil dalam mebina rumah tangganya. Penetapan 5 orang, 7 orang atau 9 orang terkait dengan tatus sosial calon pengantin.

2.      Oarang tua yang sudah ditetapkan jumlahnya dan mendapat kepercayaan itu meletakkan Kolontigi itu ( daun pacar yang sudah dihaluskan) sambil menggosok ditelapak tangan calon pengantin secara bergilir, sebagai simbol untuk memberi warna merah disekitar ditangan. Orang ketujuh atau kesembilan yang mendapat kesempatan terakhir menutup pemberian Kolontigi dengan cara mengangkat dan memutar-mutar lilin disekitar muka dan kepala calon pengantin dan setelah itu menghambur beras kuning kesekujur tubuh calon pengantin.

3.      Bagi calon pengantin laki-laki yang turut serta dalam acara Nokolontigi di rumah calon pengantin perempuan diteruskan dengan cara Nepadupa artinya suatu penghargaan terhadap calon pengantin laki-laki ditandai dengan pemberian sarung (buya sabe) yang telah dipersiapkan oleh keluarga calon pengantin perempuan  unntuk dipakai pengentin laki-laki pada upacara itu.

4.      Kemudian dilanjutkan dengan makanan jajan teradisional sekedarnya sebagai tanda ucapan syukur atas berlangsungnya upacara tersebut. Akhir dari upacara ini juga memaknai bahwa antara kedua calon pengantin itu telah terikat oleh ikatan batin. Setelah itu calon pengantin laki-laki diantar pulang kerumahnya.

B.       Mematua(Kunjungan pengantin kerumah mertua)

 

Mematua adalah kunjungan pengantin perempuan kerumah mertuanya. Tujuan upacara ini ialah memberi penghargaan dan penghormatan kepada mertuannya. Sebagai pertanda sudah adanya hubungan kekeluargaan dan sebagai balasan anak laki-lakinya yang sudah menjadi keluarga pihak wanita. Dengan cara ini maka secara resmi pengantin melaporkan diri pada pihak keluarga suaminya sudah menjadi anggota dari keluarga dari keluarga pihak suaminya. Juga dengan uapacara ini menghilangkan rasa keengganan, kekakuan pengantin perempuan dalam penyesuaian diri dalam lingkungan keluarga suaminya khususnya hubungan dengan mertuanya.

Upacara mematua ini dilaksanakan dirumah pengantin laki-laki dengan sajian kecil-kecilan, dimana dihadiri oleh seluruh kerabat dekat pihak laki-laki serta tua-tua adat. Biasanya pula sang suami berkewajiban mengantar sang istri mengunjugi rumah sanak keluarganya satu persatu untuk memperkenalkan diri secara lebih dekat.

Waktu pelaksanaan ini biasanya 5 sampai 7 hari sesudah pesta perkawinan, dan kadang-kadang tergantung dari situasi setelah pesta selesai. Dalam mematua ini kedua sang pengantin biasannya bermalam satu mala, kemudian kembali kerumah pengantin perempuan.

Mengenai jalannya upacara adalah sebagai berikut :

a.       Setelah waktu mematua ditentukan dan diberitahukan kepada mertua (orang tua laki-laki), maka pengantin baru diantar oleh orang tua perempuan dan beberapa orang keluarga dekat kerumah mertua laki-laki.

b.      Setibanya anak mantu dirumah, diadakan acara niingga yaitu pemasangan sejenis gelang yang terbuat dari manik-manik (botiga) yang dilakukan oleh orang tua perempuan laki-laki (mertua perempuan) kepada anak mantunya itu. Acara ini memberikan arti simbol bahwa anak mantunya resmi sebagai anggota keluarga pihak suaminya.

c.       Disamping acara niingga tersebut juga oleh mertuanya memberikan kepada anak mantunya sebuah kalung emas dan cincin emas yang langsung dipasangkan sendiri kepada leher dan jari manis anak mantunya itu. Pemberian ini sebagai manifestasi kasih sayang dan kegembiraan menyambut kedatangan anak mantunya yang baru.

d.      Selanjutnya diadakan makan bersama sekedarnya meliputi suasana santai, penuh dengan rasa kekeluargaan yang akrab. Dengan selesainya upacara tersebut maka selesai semua upacara-upacara dalam rangkaian perkawinan itu.

2.      ADAT Kehamilan PADA Suku kaili

Asal-Usul

Kesehatan bayi dalam kandungan harus selalu dijaga. Salah satu cara agar bayi dalam kandungan senantiasa sehat adalah dengan menjaga kesehatan si ibu yang mengandung si bayi. Sebelum dikenal adanya dokter yang mampu memeriksa dan mengobati seorang ibu yang sedang hamil, masyarakat tradisional mempunyai cara khusus untuk mengupayakan kesehatan si ibu yang sedang mengandung. Salah satu suku di Indonesia yang mempunyai cara khusus untuk menyembuhkan seorang ibu hamil  yang sedang sakit adalah Suku Kaili yang berada di Sulawesi Tengah, Indonesia.

1.            Upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama (Nolama Tai)

 

Upacara ini adalah upacara selamatan kandungan pada kehamilan anak yang pertama apabila kandungan berusia 7 bulan. Upacara ini sering dinamakan No jemparaka manu (memisah-misahkan bagian daripada daging ayam) atau biasa disebut mantale (membuat sesajian). Nama-nama itu ditonjolkan sesuai dengan penonjolan dari bagian upacara ini yaitu memenggal bagian daging ayam untuk upacara sebagai sesajian utama dalam upacara Nolama Tai. Upacara ini bagi masyarakat Kaili berbeda kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan kedudukan sosial seseorang atau Vati seseorang dalam masyarakat.

a.       Maksud Penyelengaraan Upacara

Tujuan upacara ini adalah dimaksudkan agar kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan selamat tanpa cacat jasmani dan rohani, serta keselamatan ibu yang akan melahirkan, dan juga agar ibu terhindar dari gangguan-gangguan rate.

Dari mantera-mantera sando (dukun) diketahui bahwa tujuan upacara ini adalah agar anak yang lahir kelak tidak tuli, kudisan, bodoh, nakal, penyakitan, dan sebagainya. Menurut kepercayaan masyarakat Kaili bahwa leluhur mereka yang disebut rate selalu mengganggu dan menjadi sebab berbagai penyakit tersebut di atas, dan bagi bayi dalam kandungan apabila upacara diabaikan.

b.      Waktu Penyelenggaraan Upacara

Upacara ini dilakukan pada siang hari sebelum matahari condong ke barat. Hal ini sebagai suatu simbol bahwa bayi yang akan lahir kelak memiliki sumber kekuatan dan tenaga serta murah rezeki. Usia kandungan yang diupacarakan berkisar antara 7 sampai 9 bulan dan pantang untuk bulan ke 8 karena dianggap bulan yang kurang baik. Penetapan waktu ditetapkan dengan seksama melalu ilmu Kotika dengan cara menghitung hari bulan di langit yang dianggap sebagai hari baik dan disepakati oleh dua belah pihak orang tua suami istri dan sando.

c.       Tempat Penyelenggaraan Upacara

Upacara diselenggarakan di rumah dan tempat-tempat tertentu yang dianggap berkaitan dengan kekuatan magis religius, atau tempat yang dianggap dikuasai oleh kekuatan roh halus dan dihuni oleh rate di dalam dan di luar rumah. Di dalam rumah upacara ini dilaksanakan di beranda depan, yaitu di depan pintu rumah (tambale), sedangkan kalau di luar rumah disiapkan tempat tertentu sebagai tempat sesajian sesuai kondisi lingkungan desa bersangkutan.

d.      Penyelenggaran Teknis Upacara

Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun wanita (sando) yang dapat berkomunikasi dengan mahluk halus dan telah berusia lanjut. Tidak kurang peranannya ialah orang tua kedua belah pihak yang menyediakan korban upacara seperti kambing atau domba bagi keluarga bangsawan dan ayam bagi keluarga biasa.

E.     Jalannya Upacara

Dalam upacara nolama bagi keluarga bangsawan, pertama ialah mengadakan undangan (pegaga), yaitu suatu undangan dengan jalan mengundang langsung dari rumah ke rumah jauh sebelum upacara diadakan. Bila telah tiba hari yang ditentukan, undangan-undangan dijemput kembali (neala) dari rumah ke rumah. Kegiatan ini disebut peonggotaka (suatu penghormatan dari keluarga yang berpesta) kepada orang tua adat.

Pada hari upacara diadakan penyembelihan kambing/domba yang disembelih tersebut dibakar/dipanggang di atas api (nilambu), sehingga seluruh bulu-bulunya habis terbakar. Maksudnya agar kulitnya dapat diproses menjadi bahan makanan. Sebelum dagingnya dipotong-potong hatinya diambil lebih dahulu yang biasa disebut nompesule (mengambil hati) dan langsung ditusuk dan dibakar sebagai bahan sesajian atau nilanjamaka (dijadikan sesajian).

2.  Pengobatan Ibu Hamil

Upacara Novero (upacara pengobatan apabila sang ibu yang hamil kurang sehat)

 

 

Upacara ini dapat juga dilaksanakan bagi ibu yang tidak hamil, namun ada perbedaan-perbedaan yang tidak berarti.

1.      Maksud Penyelenggaraan Upacara

Novero (mengobati penyakit) atau moragi ose (memberi warna warni beras) bertujuan untuk menyembuhkan ibu hamil dari penyakit yang dideritanya karena nilindo nuviata (diganggu mahluk halus).

2.      Waktu Penyelenggaraan Upacara

Upacara ini sering dilaksanakan serentak dengan upacara nolama, yaitu bila ibu hamil kelihatannya kurang sehat. Perbedaannya ialah nolama lebih dekat kepada pemujaan arwah nenek moyang, sedangkan novero lebih berorientasi kepada mahluk-mahluk halus yang dianggap jahat.

3.      Tempat Penyelenggaraan Upacara

Tempat upacara diadakan di luar rumah, di tempat yang dipercayai sebagai tempat hunian mahluk halus, seperti di tepi sungai, tepi pantai, di pohon-polion besar, dan sebagainya. Dan di sini pula dibuat suampela, sebuah tempat penyimpangan sesajian yang dibuat dari kayu bertiang tiga. Pada bagian atas dibuat sebuah anyaman dari ranting kayu atau bambu tempat sesajian itu disimpan, dan kulili (kayu yang dibuat seperti model parang, yang diberi warna belang hitam putih). Ketiganya (suampela, kulili, dan berbagai jenis makanan) merupakan perlengkapan upacara novero tersebut termasuk ose ragi (beras yang telah diberi warna-warni) seperti disebutkan di atas.

4.      Penyelenggara Teknis Upacara

Yang berperan dalam upacara ini ialah seorang dukun wanita sejak awal sampai dengan upacara ini selesai. Pihak-pihak lain yang terlibat terbatas dalam lingkungan keluarga terdekat saja, yang mempersiapkan perlengkapan upacara adat lainnya.

5.      Persiapan dan Perlengkapan Upacara

Perlengkapan-perlengkapan selain yang telah disebutkan di atas ialah membuat pekaolu nuvayo (tempat berlindungnya bayangan), maksudnya tempat roh kita berlindung bila mendapat gangguan mahluk halus. Juga perlengkapan yang disebut toge, yang dibuat semacam janur dari daun kelapa seperti bentuk tombak, kepala kuda yang berkepala dua dan berkepala sebelah dan lain-lain. Pada bagian bawah janur tersebut bersusun 4-5 dan yang terakhir inilah yang disebut pekaolu nuvayo. Perlengkapan lainnya ialah tuvu mbuli seperti yang telah disebutkan terdahulu.

Di dalam rumah disiapkan mbara-mbara (barang perhiasan/pakaian adat) yaitu vuya (sarung), baju, dan bulava (emas). Ketiganya disimpan di atas dula palangga (dulang berkaki).

Selanjutnya diadakan acara noronde (dialog dukun dengan orang-orang yang ada dalam rumah). Dialog tersebut terjadi sebagai berikut:

Dukun : "Nolompemo yanu!!" (Si Anu sudah sembuh). Orang di rumah menjawab : "Yo nalompemo" (Ya sudah), eva apu nitulaka uve (seperti api kena air), eva kuni niboli toila (seperti kunyit diberi kapur). Dukun naik ke rumah sambil berkata kepada ibu hamil: "niratakumo vayo miu, naialaku riviata, rikarampua, rirate njae, rirate vou" (saya sudah menemukan sumber kekuatan hidup yang hilang dari viata (setan/jembalang) dari para dewa dan roh-roh nenek moyang yang telah lama dan baru meninggal).

Acara terahir ialah noave ose niragi, bila ibu telah melahirkan dengan selamat, maka ose niragi (beras 4 warna) yang disebutkan di atas valas suji (semacam rakit kecil). Noave (mengalirkan) barang tersebut mengandung arti nompakatu (mengirimkan sesajian) tersebut kepada pue ntasi (penghuni laut) diiringi pula dengan mantera-mantera yang isinya minta segera ibu hamil yang sakit segera sembuh, dan karena penyakit sudah terbawa ke laut, pergi bersama penyakit.

Dengan selesainya acara ini, selesailah upacara novero tersebut bagi seorang ibu hamil yang kurang sehat.


Sumber : Topopasiromu Tesa

۞ PETA LOKASI Wilayah ۞
۞ MEDIA - SOSIAL ۞