Sigi (ANTARA) - Tina Ngata merupakan gelar
bagi seorang perempuan yang ditokohkan masyarakat Ngata Toro di lembah
Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.
Dalam bahasa lokal, Tina artinya
Ibu, sedangkan Ngata artinya adalah Desa. Sebutan ini sendiri bermakna sebagai
Ibu Desa atau Ibu Kampung. Sedangkan Desa tetangga mengenalnya dengan sebutan
mama kampung.
Tina Ngata memiliki pengaruh
besar pada lika-liku orang Toro. Dalam penyelesaian perkara misalnya, Tina
Ngata merupakan penentu jenis givu atau denda adat bagi siapapun yang melanggar
hukum adat.
Jika terjadi perkara semacam
tindak asusila, spontan Tina Ngata akan meresponnya dengan instruksi menggelar
Potangara atau sidang adat guna menyelesaikan masalah itu.
Biasanya, seruan itu akan
langsung diikuti para tetuah dengan pakaian khas adat Toro menapaki satu
persatu anak tangga naik ke dalam Lobo yang merupakan Balai Sidang Adat.
Masing-masing pihak berdasarkan jabatannya langsung duduk bersila membentuk
sebuah lingkaran.
Kemudian turut diikuti oleh to
hala atau pelaku pelanggar adat. Kerap proses Potangara dilakukan secara
terbuka, salah satu tujuannya agar hal serupa tak kembali terulang.
Dalam tatanan hukum adat ngata
toro, yang paling berat adalah hampole, hangu, hangkau yang berarti satu ekor
kerbau, sepuluh lembar dulang (nampan makan adat) dan satu lembar mbesa (kain
adat). Bahkan, hukuman adat bagi pelaku asusila akan ditambah lagi dengan Nora
Eo atau pembersihan kampung, dengan cara menyembelih seekor hewan putih di hulu
mata air atau sungai, dengan menghadap ke hilir.
Sekaligus Nompou Pale atau
mengikat tangan pria, lalu dikembalikan pada keluarganya, serta memberi makan
Totua Adat yang menggelar Potangara.
Lembaga Adat Desa Toro seringkali
menggelar peradilan adat dengan menghadirkan tokoh perempuan yang populer
disebut Tina Ngata sebagai pengambil kebijakan.
Masalah-masalah yang melalui
proses Potangara ada ini bermacam-macam, mulai dari persoalan berat, seperti
perambahan hutan, pembunuhan dan asusila, sampai beberapa masalah semacam pencurian
hingga konflik anak muda.
Perempuan adalah adat
Begitu pentingnya peran Tina
Ngata. Absennya tokoh adat yang satu itu dalam sebuah peradilan adat, akan
mengharuskan proses Potangara (Peradilan Adat) itu ditunda.
Dalam tatanan kelembagaan Adat
Ngata Toro, terdapat tiga fungsi krusial Tina Ngata. Pertama, sebagai Pangalai
Baha (Pengambil Kebijakan) sebelum Nobotuhi (Memutuskan) jenis givu terhadap
sebuah pelanggaran dalam proses potangara.
Kedua, figur lainnya Tina Ngata
menjadi Pobolia Ada (Penyimpan, Penjaga Adat maupun yang Mengeluarkan Adat).
Serta terakhir, Tina Ngata sebagai Potawari Bisa (Pendingin Suasana).
Ketegasan sistem peradilan adat
desa Toro pernah dirasakan Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) 2011 silam.
Pihak BTNLL berkilah dari perjanjian bersama dewan adat ngata Toro. Mereka
membawa masuk dua orang asing ke dalam kawasan hutan adat tanpa sepengetahuan
dewan adat. Dalihnya sebagai rangkaian penelitian.
Hal itu baru diketahui setelah
pihak Balai meminta bantuan, untuk mencari dua orang asing itu karena
dinyatakan hilang. Beruntung, setelah dua minggu dilakukan pencarian oleh 12
orang Tondo Ngata (Polisi Adat Desa), warga asing itu bisa ditemukan dalam
keadaan hidup.
Pada hari yang sama setelah dua
minggu pencarian, para tetuah lembaga adat ngata Toro melangsungkan peradilan
di balai sidang. Hasilnya, lagi-lagi Hampole, Hangu, Hangkau.
Dalam lahan dengan luas belasan
hektare yang diakui sebagai hutan adat itu, ngata Toro memecah menjadi beberapa
kategori, antara lain Wanangkiki (kawasan inti), Wana (kawasan rimba), Oma
(kawasan pemanfaatan).
Kawasan inti dan kawasan rimba
adalah tempat untuk mengambil hasil hutan non kayu berupa, damar dan gaharu.
Sedangkan kawasan pemanfaatan adalah tempat mengambil rotan. Terdapat satu
kawasan yang tidak boleh dilakukan satu kegiatan apa pun di dalamnya. Adalah
Taolo atau kawasan hutan larangan.
Arsip foto : TinaNgata Toro
Rukmini Paata Toheke memakai pakaian lengkap adat Kulawi. ANTARA/Muhammad
Izfaldi
Peran Rukmini
Rukmini Paata Toheke adalah salah
seorang Tina Ngata di Toro, sebuah wilayah lembah di Kecamatan Kulawi,
Kabupaten Sigi, berjarak empat jam dari Kota Palu, ibu Kota Provinsi Sulawesi
Tengah.
Cerita Rukmini menjadi Tina Ngata
dimulai sejak 1994. Rukmini, kepada media ini, berusaha mengenang kembali
bagaimana pemberangusan hak-hak perempuan yang terjadi melalui aturan hukum
adat, meskipun saat Indonesia telah merdeka.
“Sampai sebelum saya bangkit di
tahun 1994 untuk menggali peran Tina Ngata, saya pernah berfikir, kalau
perempuan hanya bisa disalahkan, disuruh-suruh, dan tidak bisa bersuara meski
memiliki pendidikan, maka saya akan keluar dari Toro dan menjadi pebisnis,” kenangnya
kepada ANTARA di Toro.
Sekian lama mencari sejumput demi
sejumput informasi perihal ketokohan Tina Ngata, akhirnya di tahun 2001,
Rukmini berhasil mengembalikan harkat dan martabat perempuan Toro lewat konsep
tina ngata beserta fungsi utamanya, dalam deklarasi yang disepakati bersama
seluruh masyarakat maupun tokoh agama serta lembaga adat ngata Toro.
Deklarasi itu memutuskan
menghilangkan campur tangan pemerintah pusat maupun daerah, dalam kehidupan sosial
orang Toro, melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), karena ditakar
sebagai penggerus ketokohan seorang Tina Ngata.
Berlangsung lekas, struktur
kelembagaan adat desa Toro diubah. Rukmini Paata Toheke sebagai inisiator
deklarasi, duduk sebagai sekretaris dalam kelembagaan adat desa Toro, dengan
status sebagai Tina Ngata. Revitalisasi penyesuaian berbagai jenis sanksi adat
dengan kemajuan zaman, langsung dirancang kemudian diterapkan Rukmini.
Salah satunya, pengangkatan Tina
Ngata yang tidak lagi mengharuskan dari garis keturunan seorang bangsawan atau
raja, melainkan kepercayaan masyarakat desa Toro, yang jadi penentunya hingga
saat ini. Padahal dalam diri Rukmini Paata Toheke, mengalir darah seorang raja
perempuan Kulawi yakni Hangkalea, jauh sebelum masa penjajahan Belanda masuk ke
Indonesia.
“Begitu masuk Belanda, sampai
adanya PKK di masa Orde Baru, itu tidak seenaknya orang mempercayakan suatu
urusan kepada perempuan. Kami saja tidak dihargai, dikatakan apa juga ini
perempuan, dianggap urusannya hanya di dapur. Kalau kasusnya Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), selalu yang disalahkan perempuan, jadi di belakang itu,
isu kesetaraan gender lebih dulu sebenarnya Toro menerapkan sepenuhnya, dengan
fungsi tina ngata,” jelas Rukmini.
Desa Toro yang berada di
Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, saat ini memiliki penduduk tak kurang dari
2.460 jiwa, terbagi dalam beberapa dusun dan memiliki 9 Tina Ngata atas dasar
kepercayaan masyarakat setempat. demikian halnya status Tina Ngata yang
disandang Rukmini.
Memasuki tahun 2003, ngata Toro
menjadi awal dari langkah Rukmini menghidupkan kembali sosok Tina Ngata di
seluruh desa yang ada di Kecamatan Kilawi, dan terus mengikis sedikit demi
sedikit stigma feodal yang seringkali dilabeli pada kelembagaan dan hukum adat.
“Karena kita belajar HAM, kita
belajar agama, semua manusia sama di mata Tuhan dengan hak dan menghargai HAM,
maka semua berhak untuk itu,” cerita Rukmini dari Balai Sidang Adat.
Sehari-hari hidup dengan status
Tina Ngata yang melekat pada dirinya, tak lantas membuat Rukmini mendapat
perlakuan semacam ratu dari masyarakat Toro. Menurutnya, statusnya sekadarnya
saja, seperti memberi waktu baginya untuk menyampaikan petuah hidup dalam
berbagai kesempatan perkumpulan yang ada di desa.
Demikian berpengaruhnya
keberadaan Tina Ngata. Sejak dikembalikan 20 tahun yang lalu ke dalam semua
lini kehidupan orang Toro, belum pernah ada yang berani mengingkarinya.
Hingga kini, perempuan kelahiran
Desa Toro 23 Maret 1971 itu menganggap, tugasnya untuk mengembalikan
nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Kartini melalui figur Tina Ngata, belum
juga selesai. Menyaksikan perputaran waktu yang begitu cepat, mengharuskan
Rukmini dan Tina Ngata lainnya menyiapkan regenerasi remaja perempuan Toro,
untuk melanjutkan apa yang sudah ada saat ini.
Dalam biografi hidupnya, Rukmini
mencatatkan pada tahun 1999, sebagai salah satu inisiator pendiri sekaligus
diangkat menjadi Dewan Nasional di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Kemudian pada tahun 2014, Rukmini ditunjuk sebagai salah satu anggota Forum
Peradilan Adat Sulawesi Tengah sampai saat ini.
Tidak cukup merebut kembali ruang
perempuan dalam Kelembagaan Adat. Perempuan asli Toro, Kecamatan Kulawi, itu
juga mencoba peruntungannya merebut satu kursi perempuan DPR RI di Senayan
dengan daerah pemilih Sulawesi Tengah, pada Pemilihan Legislatif tahun 2019.
Menjadi satu-satunya calon wakil
Rakyat dari Masyarakat Adat, Rukmini menegaskan hal itu merupakan mandat yang
diberi langsung oleh Organisasi yang sudah dibesarkan serta membesarkan namanya
AMAN.
“Dan pencalonan itu dari
organisasi masyarakat Adat. Bukan Partai,” Tegas Rukmini.
Pada saat injury time penutupan
pendaftaran caleg, Rukmini baru dipinang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Padahal, Sulawesi Tengah sendiri sebenarnya bukan lumbung suara PKB.
Puncaknya pada tahun 2019 yang
lalu. Rukmini Paata Toheke diganjar penghargaan ‘Kartini Award’ oleh XL
Indonesia, karena dianggap sebagai salah satu wanita tangguh yang mampu
memperjuangkan hak Perempuan. Serta di tahun itu juga, Ia menerima penghargaan
sebagai pengadil perempuan terbaik dalam tatanan masyarakat Adat seluruh
Indonesia.
Editor: Arief Mujayatno
Sumber : https://www.antaranews.com/berita/2840805/kartini-di-lembah-adat-toro-kabupaten-sigi