Masyarakat (To) Kaili.
Suku Kaili adalah suku yang
mendiami Lembah Palu, atau bisa disebut juga sebagai suku asli Lembah Palu.
Masyarakat suku ini mendiami sebagian besar wilayah di Sulawesi Tengah meliputi
wilayah Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi , sebagian Kabupaten
Parimo, sebagian Kabupaten Tojo Una-una, dan sebagian Kabupaten Poso. Sejumlah
kecil mendiami kabupaten lainnya seperti Kabupaten Banggai, Bangkep, Buol dan
Kabuaten Toli-toli namun keberadaan mereka diwilayah ini hanyalah
kelompok-kelompok pendatang yang merantau.
Penyebutan "orang Kaili" dalam bahasa Kaili menggunakan prefix
"To" yang berarti “orang” atau “kelompok suku” yaitu To Kaili.
Orang Kaili mengidentifikasikan
diri sebagai To Kaili karna adanya persamaan dalam bahasa dan adat istiadat
leluhur yang satu dan dianggap sebagai sumber asal-usul meraka. Secara
etimologi kata Kaili yang menjadi nama suku orang palu ini berasal dari nama pohon
Kaili, yang umumnya tumbuh dihutan-hutan dikawasan daerah ini. Pohon ini
dulunya banyak tumbuh di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Letaknya menjorok
sekitar 34 kilometer dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Menurut cerita turun temurun (tutura) yang
didapatkan, bahwa dahulu kala di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh
sebatang pohon Kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau
panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju
pelabuhan pada saat itu yang berada di Bangga. Sebagai buktinya, saat ini di
daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai dan
laut. Bahkan di sana ada sebuah lubang besar menyerupai sumur yang airnya
pasang saat air di laut sedang pasang demikian juga ketika air laut surut maka
air di sumur tersebut juga akan surut. Menurut Mashudin Masyhuda, asal usul To
Kaili di lembah Palu berasal dari pegunungan sebelah Timur sebuah tempat yang
bernama Buluvatupalu, disitu banyak terdapat bambu kecil yang tumbuh subur.
Tempat tersebut berada di bukit Paneki, saat ini secara administrasi berada di
Desa pombeve kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi dan sering disebut
Raranggonau. Mereka yang bermukim disinilah yang kemudian membuat pemukiman
baru di sekitar sungai Palu yang tidak jauh dari muara. Mereka juga
diidentifikasi sebagai cikal bakal komunitas kaili sub etnik Ledo. Pemukiman
baru ini yang kemudian menjadi cikal-bakal sebutan nama Kota Palu. Mereka juga
menyebar di beberapa wilayah di Biromaru dan Dolo. Berdasarkan tutura (tradisi lisan), asal-usul
suku Kaili tidak terpisahkan dengan legenda To manuru yang diyakini sebagai
cikal bakal mereka. To Manuru adalah seorang perempuan yang menjelma dari bambu
kuning (bolovatu bulava) yang kemudian melakukan perkawinan dengan seorang
Tomalanggai (kepala suku) yang berasal dari kelompok suku kaili yang pertama
dan ketika itu masih mendiami dataran tinggi. Kelompok suku inilah yang
selanjutnya menjadi cikal bakal berkembangnya kerajaan-kerajaan yang ada di
Lembah Palu.
Berdirinya kerajaan di Sigi-Bora, Palu,
di Tawaeli, dan beberapa kerajaan lainnya juga merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari legenda To Manuru.
Bentuk hunian suku kaili merupakan residensi matrilokal sejak dulu
dikenal dengan tiga pola yaitu perkampungan mengelompok padat, pola
perkampungan menyebar dan pola perkampungan dengan ciri gabungan dari dua
perkampungan di atas yaitu padat dan menyebar. Pola perkampungan mengelompok
padat merupakan pola perkampungan terbesar dibandingkan dua pola perkampungan
lainnya dan disebut dengan Ngapa. Pola permukiman ini merupakan tempat awal
pemukiman suatu kaum yang terpisah-pisah, bahkan relatif terisolasi dari tempat
permukiman kaum lainnya. Peradaban suatu kaum awalnya di mulai dari Ngapa yang
lambat laun bertambuh jumlah warganya dan memekarkan tempat-¬tempat pemukiman
baru. Tempat tempat pemukiman di sekitar Ngapa mengalami perluasan permukiman
kaum seasal (santina) biasanya disebut Boya atau Soki. Boya atau Soki merupakan pola perkampungan
menyebar di berbagai tempat dalam satu ikatan komunitas kecil tertentu seperti
pusat pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lain. Biasanya Boya memiliki
nama tersendiri disesuaikan dengan latar belakang peristiwa sosial atau situasi
lingkungan tertentu seperti nama pohon yang dominan tumbuh atau bersejarah.
Boya ini lama kelamaan akan menjadi padat dan mengalami perkembangan dengan
bertambahnya jumlah penduduk yang umumnya merupakan penduduk yang berasal dari
perkampungan lain. Akibat pertambahan penduduk yang semakin bertambah dan
padat, pola perkampungan tadi kemudian berkembang menjadi Kinta. Kinta adalah
tanah atau wilayah yang menjadi tempat pemukiman yang terbentuk oleh adanya
lapangan pekerjaan tertentu seperti komunitas atau persekutuan tani atau nelayan.
Kinta inilah yang kemudian dalam perkembangannya lebih dikenal sebagai kampung
yang dulunya sering dipergunakan dan pada akhirnya diganti lagi dengan sebutan
Desa. Umumnya letak perkampungan berada pada tempat yang cukup strategis
seperti di tepi sungai, jalan, pantai atau di dataran rendah. Demikian halnya
dengan letak perkampungan mengelompok padat, salah satu cirinya berada di
wilayah yang memiliki sumber mata air (mata uve ) atau sungai (binangga). Batas
antara satu kampung dengan kampung lainnya juga ditandai dengan adanya sungai,
gunung, atau batas-batas kerajaan yang telah ada sebelumnya. Apabila pada suatu
waktu perkembangan Ngapa sudah cukup luas oleh dukungan sejumlah Boya
(kampung), Kinta dan Soki (sudut), maka terbentuklah satu wilayah teritorial
dengan susunan kekuasaan yang ditaati oleh penduduk yang dinamakan dengan
Kagaua (kerajaan). Secara garis besar
keberadaan Suku Kaili memiliki sejumlah sub etnik yang dikelompokkan
berdasarkan pada dialek bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Masyarakat Kaili
merupakan penduduk dengan dialek bahasa berjumlah sebanyak 22 bahasa Masyhuda,
1977 : 18). Dialek bahasa ini juga menjadi penyebutan terhadap sub etnik pada
suku Kaili yang lazim di sebut dengan “To Po” yang berarti “kelompok etnik
kaili berdialek”.
Mengutip Budayawan Sulawesi Tengah,
Sofyan Ing (alm) berpendapat beberapa diantara sub etnik Kaili berdasarkan
dialek bahasa yang terdapat di Lembah Palu yang mana tujuh diantaranya mengisi
wilayah kerapatan adat yang disebut dengan Pitunggota terdiri dari : 1. Sub
etnik Ledo (Topo Ledo) berasal dari pegunungan sebelah timur di atas bukit
Paneki yang disebut Lando Raranggonao. Sekarang ini Topo Ledo bermukim di
bagian Tengah dan bagian Barat Kota kota Palu kearah selatan sampai Kecamatan
Dolo hingga sungai wera. Ke arah bagian Timur, bagian Selatan dan bagian Utara
Kabupaten Sigi.
2. Sub etnik Tara (Topo Tara) awalnya bermukim
di lereng gunung sebelah Timur Kota Palu di bagian utara dari pemukiman Topo
Ledo. Saat ini bermukim di Kecamatan Parigi, Sausu, Sebagiam Kecamatan
Ampibabo, serta beberapa kelurahan di Kecamtan Palu Timur.
3. Sub etnik Rai (Topo Rai) Topo Rai pada
awalnya, bermukim di lereng gunung Pombare Basa atau Parampata, Sekarang
umumnya bermukim mulai dari Kecamatan Banawa, pada sebagian wilayah Timur dan
sebagian wilayah Utara Kota Palu, kearah utara sampai dengan kecamatan
Balaisang. serta pada bagian wilayah pantai Barat Kabupaten Donggala.
4. Sub etnik doi yang bermukim di bagian Utara
Kota Palu dan sebagian wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala.
5. Sub etnik Inja atau ija (Topo Ija) pada
awalnya bermukim di sebelah utara danau lindu di lereng gunung yang disebut
Leu, Siloma, Volau, Uvemalei, dan Sigi Pulu. Sekarang ini Topo Ija bermukim di
Bora, Watunonju, Oloboju dan dataran Palolo serta Sibowi tepatnya pada bagian
Tengah wilayah Kabupaten Sigi.
6. Sub etnik Edo yang bermukim pada bagian
wilayah Selatan kabupaten Sigi.
7. Sub etnik Ado (Topo Ado) awalnya bermukim
di lereng pegunungan sebelah timur tenggara, namun saat ini bermukim di sebelah
selatan wilayah Kota Palu kearah selatan berbatas dengan Kuala Saluki dan Kuala
Tiva batas wilayah Desa Bangga tepaatnya bagian Selatan wilayah Kabupaten Sigi.
8. Sub etnik Tea yang bermukim pada bagian
Timur Kabupaten Sigi.
9. Sub etnik Tado yang bermukim pada bagian
Timur Kabupaten Sigi.
10. Sub etnik Unde (Topo Unde) yang awalnya
bermukim di lereng gunung Kangihui dan gunung Kayunaya. Sekarang ini umumnya
bermukim di kecamatan Banawa, dan Banawa Selatan tepatnya pada sebagian wilayah
Timur, sebagian wilayah Tengah dan sebagian wilayah Selatan Kabupaten Donggala.
11. Sub etnik Da’a (Topo Da’a) yang kita kenal
dengan To Lare, berdiam di sebelah barat Kota Palu dan Kecamatan Marawola,
Sebagian wilayah Selatan kabupaten Donggala yang telah tergabung dalam wilayah
Kecamatan Pinembani dan Pakava.
Dalam kalangan sub etnik tersebut,
terdapat penggolongan yang lebih kecil lagi, dengan ciri ciri khusus, yang
kelihatannya lebih dekat kepada kelompok kekerabatan, yang menunjukkan sifat
satuan sosiologisnya. Dari keseluruhan penduduk yang bermukim dilembah Palu,
masyarakat Kaili sub etnik Ledo merupakan kelompok etnik yang dominan
dibandingkan dengan sub etnik lainnya. Hal ini disebabkan karena sub etnik Ledo
tersebar disebagian besar wilayah yang ada di lembah Palu dan dominan berada di
kota palu.
Palu, 30 agustus 2019
Nisbah