KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI DI SULAWESI TENGAH
Oleh: Sukmawati Saleh
ABSTRAK
Kearifan lokal merupakan warisan leluhur turun temurun
mengandung nilai-nilai positif dan nilai-nilai spritual untuk dijadikan pedoman
dalam bersikap dan bertingkahlaku (pattern of action). masyarakat Kaili yang
merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah di Sulawesi Tengah juga
memiliki seperangkat pengetahuan lokal yang merupakan pola dari budaya Kaili
yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari seperti pada pelestarian hutan, perairan danau Lindu,
pantangan atau pemali dalam bertutur atau berucap, dan upacara adat lainnya.
Keselarasan hidup yang terjabarkan dari kearifan lokal masyarakat Kaili apabila
dijaga dan terus dipelihara keberlangsungannya maka akan senantiasa memberikan
keseimbangan ikatan antara manusia dan alam. Demikian juga dengan tabu,
pantangan atau pemali dan sanksi-sanksi terhadap berbagai pelanggaran dari
kearifan lokal yang masih terjaga semuanya berorientasi kepada penjagaan
kelestarian, keselarasan hubungan antara manusia dan alam tempatnya bermukim.
PENDAHULUAN
Secara garis besar bahwa ungkapan pada umumnya menggambarkan latar belakang
kehidupan sosial budaya pada suatu komunitas yang diwariskan secara turun
temurun dalam bentuk pertama “ sisidu “ atau pantun kilat, kedua, “vaino atau
kajori “ bersifat pantun, ketiga “ tindua “ bersifat syair. Makna ungkapan itu berupa nasehat misalnya
untuk berbuat baik, mematuhi norma-norma adat istiadat, nasehat untuk
meninggalkan perbuatan yang tercela, sikap dan perilaku yang bersifat
kewenangan dan tidak bertanggung jawab. Pesan-pesan yang disampaikan itu
diperuntukkan kepada kelompok-kelompok atau unit-unit sosial termasuk generasi muda ( remaja putraputri)
dan anggota masyarakat lainnya. Ungkapan secara lisan itu disampaikan oleh
orang-orang tua yang disebut “to tua ngata”
yaitu tokoh masyarakat yang dituakan dan menguasai adat istiadat. Oleh
karena itu, ungkapan sisidu dalam masyarakat Kaili mengandung makna dan simbol,
berbagai aspek kehidupan sehari-hari, baik individu, keluarga, kelompok maupun
warga komunita lainnya.Ungkapan secara
lisan yang merupakan tradisi lisan dalam antropologi digolongkan kajian “
Etnografi Naratif “ (lihat Denzin, 2009: 615).
Di Sulawesi Tengah pada umumnya, dan masyarakat Kaili khususnya memiliki
kearifan lokal (local wisdom) dalam melestarikan ungkapan-ungkapan, pantangan
atau pemali, dan upacara adat lainnya, sebagian penganutnya masih dijumpai pada
setiap kelompok masyarakat tradisional. Ungkapan-ungkapan berlatar dari bahasa
yang mengandung makna dan interpretatif simbolik yang memungkinkan mereka untuk beraction, berdasarkan interpretasi
mereka terhadap ungkapan-ungkapan tersebut.
Suku Kaili merupakan etnis yang terbesar populasinya dibandingka
sukusuku lainnya, tersebar di beberapa
kabupaten di Sulawesi Tengah, mengenal
lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan seharihari.
Namun, suku Kaili memiliki “lingua pranca” yang dikenal sebagai bahasa “Ledo”.
Kata ledo berarti “tidak”. Bahasa Ledo ini digunakan berkomunikasi dengan
bahasa-bahasa Kaili lainnya, dan masih ditemukan bahasa asli yang belum
dipengaruhi bahasa para pendatang, yaitu di sekitar Raranggonau dan Tompu.
Sementara bahasa Ledo yang dipakai oleh masyarakat Kaili di kota Palu, dan
Biromaru (bahasa Kaili Ado, Kaili Tara, Kaili Ija, Kaili Edo ), Donggala (bahasa Unde dan Doi) dan Parigi dan
sekitarnya (bahasa Kaili Tara dan Rai), sudah terasimilasi dan terkontaminasi
dengan beberapa bahasa pendatang, terutama Bugis dan Melayu. Semua kata dasar
bahasa-bahasa yang disebutkan itu berarti “tidak”
Ungkapan yang dimaksudkan dalam tulisan ini, diucapkan dan disampaikan
dalam upacara-upacara adat, pertama,
upacara perkawinan, diiringi tarian no-Rego, kesenian berpantun remaja
putra-putri, kedua, upacara kematian (no-Vaino, menuturkan kebaikan-kebaikan
orang meninggal), ketiga, upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji yang
diperuntukkan dewa kesuburan), keempat, upacara penyembuhan penyakit
(no-Balia, ritual penyembuhan melalui
orang-orang yang kemasukan roh-roh leluhur yang telah meninggal). Selain itu,
beberapa pantangan, tabu atau larangan, menurut mereka bila dilanggar akan dikenakan sanksi adat
yang merupakan bentuk kearifan di dalam pemeliharaan dan pengelolaan sumber
daya alam, sekaligus menjadi kerangka orientasi nilai-nilai budaya (cultural
values) yang dipatuhi bersama oleh warga masyarakat. Oleh karena itu kearifan
lokal yang merupakan warisan leluhur turun temurun mengandung nilai-nilai
positif dan nilai-nilai spritual untuk dijadikan pedoman dalam bersikap dan
bertingkahlaku (pattern of action). Selain ungkapan yang diuraikan itu,
masyarakat Kaili juga memiliki pengetahuan lokal dalam pelestarian hutan,
perairan danau Lindu, pantangan atau pemali dalam bertutur atau berucap, dan
upacara adat lainnya. Sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini.
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI
Masyarakat Nelayan Pesisir Danau Lindu
Alat penangkapan ikan dengan teknologi sederhana yaitu pukat atau jaring
(Landa=bahasa Kaili) dan pancing (Peka=bahasa Kaili) atau Kipu (perangkap
ikan). Diantara jenis ikan yang dapat ditangkap dan dikonsumSI oleh penduduk
setempat yaitu sumi-sumi, karper, uru (ikan gabus, ikan kosa, ikan pajanggo
(ikan lele), gurami, mujair, belut, ikan tawes. Ikan yang tidak boleh ditangkap
adalah ikan jenis masapi (sugili) diyakini ikan jadi-jadian, dengan panjang
kira-kira 50 cm, besar dan beratnya melebihi sugili biasa.
Untuk menjaga eksistensi danau lindu, diberlakukan pantangan atau tabu
menangkap ikan pada masa atau waktu tertentu yang disebut “ Masa Ombo” kearifan
lokal dalam bentuk pelarangan menangkap
ikan. Ombo terdiri atas: Ombo Ngiki, Ombo Suaka, dan Ombo Pemerintah. Masa Ombo
bertujuan untuk mengatur dan mengontrol populasi ikan agar tetap stabil. Ombo
Ngiki yaitu pantangan menangkap ikan di danau, sedang di darat pantangan
melakukan pesta, kecuali aktivitas biasa tiapa hari, pelarangan ini merupakan
keputusan hasil musyawarah di empat desa yaitu. Desa Puroo, Langko, Tomado dan
Anca. Waktunya sampai tiga bulan, sekaligus untuk mengontrol populasi ikan di
danau. Selain itu, ikan mujair yang kecil tidak boleh ditangkap atau dijual,
kalaupun terjaring harus dilepas kembali ke
danau, karena ikan mujair yang
kecil dapat memakan jentik nyamuk malaria. Ombo Suaka, berlaku selama 40 hari
jika ada salah satu keluarga Madika (bangsawan dan keluarganya) meninggal dunia, hanya dibatasi wilayah
penutupan lokasi penangkapan ikan, sesuai daerah atau tempat tinggal madika
tersebut, termasuk tokoh adat yang dihormati dan dituakan di desanya. Khusus
Ombo pemerintah berlaku pelarangan penangkapan ikan kalau dianggap bahwa
benar-benar dalam kondisi kerusakan yang sangat parah selama dua bulan. Dengan
kata lain, pemerintah dan warga masyarakat setempat berupaya menjaga kerusakan
perairan danau Lindu dalam waktu-waktu tertentu dilakukan pemulihan dan
pemeliharaan.
Kearifan nelayan untuk memberi kesempatan ikan-ikan berkembang biak,
sehingga mereka dituntut untuk menjaga ekosistem danau tersebut, sebagai sebuah
fishing ground (Sani, 2007:106). Dalam hal ini, ombo berfungsi sebagai tindakan
pelarangan menangkap ikan untuk menjaga kepunahan populasi ikan. Kearifan tradisi
tercermin dari perilaku mereka yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap
lingkungan alam yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya
(Nababan, 1995 dan Adimihardja, 1999) karena menurut mereka pengetahuan lokal
merupakan refleksi dari kebudayaan masyarakat setempat, di dalamnya terkandung
tata nilai, etika, norma, aturan dan keterampilan dalam memenuhi tantangan
hidupnya. Dengan kata lain, ombo tidak sekedar berdimensi normatif karena
sanksi-sanksi bagi pelanggarnya, tidak juga berdimensi ekonomi, tetapi danau
diyakini sebauh misteri yang dikuasai oleh mahluk-mahluk supranatural. Oleh
karena itu masyarakat kaili dalam tradisinya setiap melakukan aktivitas
penangkapan ikan selalu disertai atau diawali oleh sebuah ritual.
Sanksi terhadap pelanggaran ombo berupa teguran secara langsung dari pemuka
adat, diyakini bahwa pelanggaran ombo berakibat kena bala seperti, sakit atau
meninggal dunia, khususnya pelanggaran ombo suaka.Sanksi lainnya berupa denda
10 dulam, (piring adat) satu buah kain mbesa (kain adat) satu ekor sapi atau
kerbau. Selain itu, hubungan Topo Lando (nelayan) dengan Danau Lindu, memiliki
alat tangkap yang ramah lingkungan baik yang dikembangkan atau yang diadopsi
dari luar, seperti, landa (pukat/jaring) dengan ukuran 4 (empat) jari,
dimaksudkan untuk menjaga habitat ikan yang ditangkap dengan jaring, ikan yang
terjaring lebih kecil dari ukuran 4 (empat) jari akan dilepaskan kembali ke
danau.
Kearifan Lokal Pelestarian Hutan
Pengetahuan tentang vegetasi yang dapat menjaga kelestarian hutan dan erosi
yang berada di sekitar danau lindu, antara lain: kayu tea, kayu beata, kayu
mona, kayu kapa, kalibau. Jenis kayu yang disebutkan itu berlaku pelarangan
untuk ditebang, hanya yang dibolehkan diambil adalah ranting-ranting yang kering
diperuntukkan kayu bakar. Maksudnya untuk mengantisipasi agar air di danau
tidak melimpah yang dapat menyebabkan tanah menjadi lonsor, tertutup sungai
yang mengalir ke danau atau air danau meluap yang berakibat banjir. Selain itu,
bagi masyarakat Kaili juga berlaku secara adat dalam melestarikan hutan dengan
jenis pohon yang harus dilestarikan seperti, pohon malabano, nokilana,
maravola, malasia, dan tanjaibo. Untuk menjaga mekanisme pelarangan dan
pelestarian hutan, diperlakukan aturan dengan istilah “Ombo” artinya selama
masa ombo diberlakukan secara adat, maka jenis pohon yang ada di hutan tidak boleh ditebang atau diambil
pohonnya, kecuali ranting-ranting yang kering untuk dijadikan kayu bakar,
maksudnya upaya masyarakat untuk tetap melestarikan hutan agar tidak kena
longsor atau bahaya banjir yang bisa merusak lingkungan dan perumahan. Namun,
faktanya illegal loging (pencurian kayu), pembabatan hutan dan pembakaran hutan, terutama masyarakat
nomaden (Kaili Daa) atau petani berpindah-pindah, adalah mereka yang menetap di
daerah pegunungan Nikolalaki, masih sering melakukan aktifitas seperti itu,
cenderung pengrusakan terhadap lingkungan hidup dan berlanjut terus hingga saat
ini.
Kerusakan terhadap ekosistem hutan, pada umumnya masih berlaku di kalangan
komunitas adat terpencil, dengan pola tanam tebang, bakar dan panen. Mereka
pada umumnya masih hidup
berpindah-pindah (nomaden). Dampaknya adalah tidak hanya pada keseimbangan
ekosistem (ecosystem equilibrium)
semata, tetapi juga akan merusak jaringan tatanan sosiokultur masyarakat
lokal (local people) (Hijjang, 2007: 91). Sebagai contoh, banjir bandang pada tahun 1997, bersumber
dari gunung nikolalaki Donggala sebagai akibat
hujan keras dan rusaknya ekosistem yang memakan korban jiwa dan material
lainnya bagi masyarakat kota Palu. Oleh karena itu sistem pengetahuan lokal
sebagai alat bantu pemecahan problem sosiolkultural sebagai bagian dari
kearifan lokal yang terintegrasi dalam lingkungan dan sistem kepercayaan
mereka, sehingga dianggap sangat bermanfaat, khususnya dalam persfektif
pengembangan pelestarian hutan yang berkelanjutan.
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT
KAILI YANG BERHUBUNGAN DENGAN UPACARA ADAT, UNGKAPAN, PEPATAH DAN KEPERCAYAAN
LAINNYA
Komunitas adat Kaili masih menyimpan pesan-pesan atau ungkapan-ungkapan
yang bersumber dari leluhur mereka dalam bentuk ungkapan-ungkapan, berisi
larangan atau pantangan untuk melakukan sesuatu baik komunitas petani menetap
dan tidak menetap, nelayan, maupun masyarakat pesisir. Jika pesan-pesan
tersebut dilanggar, maka akan berakibat kehidupan yang tidak harmonis atau
disharmonisasi antar individu atau
keluarga, lingkungan atau ekosistem dan keseimbangan alam. Pesanpesan yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
Kearifan Lokal Berbuat Baik Yang
Berhubungan Kehidupan Sehari-Hari
“ Ane mamate rai nembali, pakadoli gau nemo mabali” artinya supaya selalu
hidup berbuat baik, jangan dicampur dengan kejahatan, sebab kalau sudah mati
bisa berubah wajah. Maksudnya dari ungkapan ini adalah larangan untuk berbuat
kejahatan selama masih hidup, justru yang dianjurkan selalu berbuat kebaikan
kepada sesama, keluarga, masyarakat dan sesama mahluk lainnya (flora dan
fauna), karena orang mati yang dibawa adalah amal ibadah di dunia. Dilanjutkan
dengan “ Ane raja madago, maria rasi” artinya kalau budi baik banyak untung,
maksudnya yang selalu berbuat baik diyakini akan dapat keuntungan atau rezki
yang besar, walaupu itu tidak ditahu
darimana sumbernya, yaitu “Asala n tau belo kana mabelo” artinya asal orang
baik selalu berbuat baik” maksudnya kalau asalnya atau turunannya berasal dari
keluarga baik, maka tentu akan diwariskan oleh turunannya keluarga yang baik
pula. Dalam kehidupan sehari-hari yang
dicari adalah kebaikan yakni “Belo raelo belo rakava” artinya kebaikan dicari,
maka kebaikan pula yang diperoleh. Ungkapan ini dilanjutkan “ Belo raporia belo
rakava” artinya perbuatan yang baik, akan dibalas dengan yang baik. Ungkapan
ini merupakan nasehat kepada seseorang yang berusaha, jika diawali dengan niat
yang baik, maka tentu hasilnya juga akan baik, atau akan menguntungkan yang
bersangkutan.
Kearifan Lokal Yang Berhubungan Dengan Upacara Adat
“ Anesala ada ndapebuto” artinya jika
salah adat, sakitnya bengkak yang terkutuk, maksudnya orang yang melanggar adat
tidak mematuhi aturan dan norma-norma serta tidak menghargai nilai-nilai yang
berlaku dalam komunitas itu, maka sanksi
yang dijatuhkan oleh to tua ada (orang tua adat), dikutuk sakit dengan
penyakit bengkak seluruh tubuhnya. Sanksi ini juga berlaku bagi anak-anak yang
tidak tahu adat yakni “ Topogero Libu” artinya orang yang selalu mengganggu
pembicaraan orang-orang tua dalam suatu pertemuan, karena itu mereka dicap atau
dilabelkan sebagai “ Tau nasala vati”
artinya orang yang kurang memenuhi tuntutan adat, maksudnya mereka itu adalah
orang-orang yang tidak menghargai adat istiadat yang berlaku dalam kounitas
itu. Oleh karena itu, orang yang seperti ini adalah “Topo mba capa-capa to tua”
yakni orang yang selalu memandang rendah pada oran g tua, tidak beradab atau
tidak berakhlak atau tidak memiliki etika, maka orang seperti ini diyakini
tidak akan berbahagia dalam hidupnya, karena mereka akan ditinggalkan sesamanya
baik keluarga maupun masyarakatnya.
Komunita Kaili memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari yang biasanya kalimat-kalimat yang disampaikan itu dari orang-orang
tua berupa nasehat pesan atau peringatan yang ditujukan kepada
orang-orang yang suka berlagak sombong, seperti orang yang berilmu, padahal
pada dirinya memiliki kekurangan. Typologi orang-orang seperti ini perlu
dihindari dari pergaulan, melalui makna dan pengertian ungkapan-ungkapan yang
diuraikan di bawah ini, sebagai
berikut:
Kearifan lokal yang berisikan ungkapan-ungkapan Pepatah, pantangan atau tabu
Dicontohkan orang yang boros, banyak bicara , sombong dan angkuh.
“ Apa kura kumpaina madotapa rai mo ria” artinya orang yang boros, nanti
kehabisan baru timbul penyesalan. Maksudnya orang yang suka hidup berpoya-poya,
glamour, termasuk boros dalam pengeluaran
dan tidak memiliki manajemen untuk mengatur kebutuhan mereka
sehari-hari, sehingga apapun yang dimilikinya akan habis, dengan kata lain
orang seperti ini diumpamakan orang yang bangkrut, penyesalan pun terjadi
setelah semua sudah habis atau musnah, termasuk harta benda yang dimilikinya,
maka orang seperti ini diumpamakan sebagai “ Mau bulu maduraja” artinya orang
yang boros dengan kekayaannya akhirnya hidupnya menjadi orang yang melarat.
Oleh karena itu, orang tua memberi simbol typologi orang seperti ini adalah “
Da ri dali uve na ongamo” artinya orang yang berlagak sombong, mulut besar,
sedang pengetahuannya sedikit, maka
orang yang seperti ini adalah “Da nanavu da nirumpu ntangga” artinya jatuh
sambil ditimpa anak tangga, maksudnya orang seperti ini akan mendapat musibah
terus menerus. Selanjutnya ungkapan ini
dipertegas lagi yang sifatnya mengejak atau mengolok-olok yakni “ To nitana
sunji kapeona” artinya orang yang menanam cincin emas di kolong rumahnya maksudnya ucapan yang sifatnya mengejek bagi
orang-orang yang berlagak sebagai orang mampu dan bersifat sombong, padahal
tidak memiliki apapun yang bisa diandalkan, seperti pengetahuan, pengalaman dan
harta benda lainnya. Ungkapan ini dilanjutkan yakni “ dopa notodai nokelumo”
artinya belum buang air besar sudah dibasuh atau belum ada hasil, tetapi sudah
disebarluaskan. Maksudnya sikap seseorang yang bermulut besar, terutama bagi
orang-orang yang bekerja belum pasti berhasil, tetapi sudah disebarluaskan atas
pekerjaan itu kepada orang lain, karena kalau tidak berhasil atau gagal, otomatis akan mendatangkan malu kepada yang bersangkutan. Nasehat ini berupa
ajaran moral bahwa suatu usaha yang belum pasti kebenaran dan keberhasilannya
tidak perlu digembor-gemborkan ke mana-mana, padahal usaha itu tidak mempunyai
manfaat bagi orang lain.
Pepatah yang berhubungan dengan orang yg tidak suka bergaul dan tidak tetap pendirian (plin plant).
Komunitas Kaili masih mempercayai
bagi orang-orang yang tidak mudah bergaul atau terisolasi dengan komunitasnya,
tidak menghargai bantuan orang lain dan merasa kuat sendiri, yakni “ Eva to natuvu
mpo vatu” artinya orang yang hidup sebagai batu, maksudnya orang yang keras
kepala seperti batu, merasa kuat dan mampu, padahal disatu sisi memiliki
kelemahan, sehingga orang seperti ini dilabelkan sebagai manusia tidak pandai
bersilaturrahiim. bahkan orang yang seperti ini tidak mau mendengarkan
nasehatnasehat dari keluarga dan warga lainnya, karena “ No talingan vatu no
ntuli ase” artinya bertelinga batu yang tahinya besi, maksudnya bagi
orang-orang yang samasekali tidak mendengar nasehat atau mendengar orang-orang
yang memberikan nasehat atau apa yang disampaikan orang tidak pernah
dilaksanakannya. Orang-orang seperti ini diungkapkan sebagai orang yang
egoisme, hanya mau menang sendiri, dan tidak memiliki pendirian tetap, yakni “
Umba-umba asala meumba” artinya mana-mana saja asal terapung, maksudnya
ditujukan pada orang yang tidak memiliki pendirian tetap, tidak berkepribadian
yang utuh, dan selalu ingin berkuasa,
Orang yang seperti ini harus dihindari dari pergaulan, karena bisa
membahayakan bagi orang lain, sebagai provokator dan dapat menyulut
perselisihan diungkapkan “To ndoe ade” artinya orang yang berlagu panjang, suka
membawa bicara, suka membuat isu yang negatif, sehingga dapat menimbulkan
perselisihan, perkelahian, dan konflik
antar individu, keluarga, dan antar desa.
Ungkapan Orang Yang Diberi Tugas dan Tanggung Jawab
“da ri uluna da nasiromu di layanpa Nopenga-pengamo” artinya dari hulunya
masih bersatu, dihilirnya bercabang-cabang. Maksudnya ungkapan ini merupakan
nasehat bagi orang-orang yang diserahkan tugas dan tanggung jawab untuk tidak
disalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang dipercayakan oleh masyarakat.
Sebaliknya jika bertindak semaugue menurut kemauan sendiri, merupakan pertanda
awal perpecahan yang mengakibatkan kesatuan dan persatuan tak dapat lagi
dipertahankan, karena memunculkan terjadinya disharmonisasi dalam pekawanan
atau persahabatan baik individu, kelompok maupun masyarakat. Makna ungkapan
lebih luas kalau diterjemahkan berupa pesan agar tetap menjaga persatuan dan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ungkapan ini dilanjutkan dengan kalimat “ Nemo aga
montalu mpo iti” artinya jangan seperti itik, tahunya bertelur tetapi tidak mau
mengeram dan menetasnya. Maksudnya ungkapan ini adalah nasehat kepada seseorang
yang tiadak mau bertanggung jawab, berani berbuat berarti berani juga
bertanggung jawab.
Ungkapan Nasehat Bekerja Secara Hati-Hati
“ Dopa nisama jara nagovamo” artinya belum dikekang kudanya sudah berlari,
maksudnya ungkapan bagi seseorang yang bertindak melakukan sesuatu pekerjaan
atau keputusan yang terlalu cepat atau tergesa-gesa, tanpa memikirkan
akibatnya atau tanpa persiapan yang
mengakibatkan perbuatan itu fatalism suatu kerugian yang tidak terhindarkan.
Oleh karena itu, dibutuhkan ke hati-hatian dalam memanajemen sesuatu pekerjaan
agar rasionalitas dalam membuat persiapan-persiapan sebelum bertindak, kecorobohan bekerja, maka setiap saat bahaya
akan mengancam baik pada diri sendiri maupun yang berhubungan langsung dengan pekerjaannya,
terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tugas dan
tanggung jawabnya, sehingga dibutuhkan kewaspadaan, ketenangan dan kesabaran.
Simbol-Simbol Yang Berhubungan dengan Kepercayaan
Membangun rumah baru, terutama rumah panggung yang tiang-tiangnya menggunakan kayu, maka di tengah-tengah
rumah “posi banua” atau “posi karava” biasanya dilengkapi dengan bahan-bahan
yang diikat atau digantung pada tiang tengah rumah berupa: pisang mengkal satu
tandan, nangka besar yang sudah masak, tebu dan air garam satu botol. Maksudnya
agar pemilik rumah tidak akan kekurangan rezki, banyak anak, kehidupannya
berjalan mulus, dan terhindar dari bahaya binatang melata. Selain itu, pada waktu pindah rumah baru, pantang mengeluarkan
barangbarang dari rumah selama tiga hari tiga malam seperti perabot rumah
tangga, menyapu kotoran atau sampah ke luar rumah, maksudnya jangan sampai
rezki itu ke luar semua atau ada diantara anggota keluarga yang ke luar atau
meninggal.
Pantangan atau tabu yang
berhubungan dengan upacara adat dan kehidupan sehari-hari,
Dalam upacara pesta perkawinan samasekali tidak dibenarkan memecahkan
sesuatu selama berlangsungnya prosesing upacara, seperti piring, gelas atau
barang pecah lainnya. Maksudnya menurut kepercayaan mereka kalau ada barang
yang pecah sewaktu berlangsungnya pesta perkawinan, maka usia perkawinan bagi
kedua mempelai tidak lama, artinya memungkinkan terjadi perceraian
keduanya.
Pantangan yang berupa kalimat atau kata-kata yang tidak boleh
diucapkan
yaitu tabu atau “puloru” atau katula yang ditujukan kepada anak-anak
menyebut nama orang tua pada waktu makan, karena makanan yang disantap oleh
yang bersangkutan tidak merasakan nikmat dan kekenyangan, kalau terpaksa harus
menyebut nama orang tua harus didahului dengan kata “kinaa saogu mbosu kumo”
artinya biar makan sebiji atau segenggam nasi sudah merasa kenyang. Demikian
juga menyebut nama raja atau bangsawan, harus terlebih dahulu memegang
ubun-ubun kepala sebagai tanda hormat atau nama raja diganti atau disebut nama
lain.
PENUTUP
Masyarakat Kaili pada umumnya di Sulawesi Tengah, lebih menekankan ke
sakralan yang dimiliki perairan danau Lindu, hutan, pantangan/tabu, ungkapan-ungkapan
dan upacara adat lainnya. Kesakralan terhadap sumber daya alam membentuk sikap
dan perilaku mereka untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan adat.
Menurut mereka jika dilanggar, maka orang yang bersangkutan diyakini bisa kena
“katula” berupa penyakit, cacat, atau meninggal. Karena itu, untuk tetap melestarikan potensi sumber daya
alam seperti, danau Lindu, hutan dan beberapa pantangan atau tabu, maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi
berupa denda, dulam, kain mbesa, dan binatang lainnya (sapi atau kerbau).
Dipertegas dalam adat dengan motto” makono ada, malompe todea” dan “maroso ada,
malino ngapa” artinya jika hukum ditegakkan secara adil, maka rakyat hidup
sejahtera, negeri aman dan damai.
Selain fungsi ekologis, seperti hutan, danau dan jagad raya agar tetap
dilestarikan, juga merupakan sumber kehidupan warga masyarakat
setempat, karena itu, upacaraupacara adat atau ritual lainnya, masih tetap
dipertahankan dan dilakukan di Bantaya
bagi masyarakat Kaili , Lobo bagi masyarakat Kulawi. Sebagai contoh,
upacara Vunja yakni upacara kegembiraan selesai panen, mereka melakukan di
areal dekat hutan, karena di lokasi itu ada bangunan Bantaya atau lobo,
diselingi dengan tarian modero, ungkapan-ungkapan atau peribahasa yang diperuntukkan bagi
remaja putra-putri. Namun, selama tarian modero berlangsung, mereka tetap pada
koridor etika yang berlaku pada komunitas tersebut, karena bila ada yang
melanggar sesuai ketentuan adat, maka sanksi adat tetap
berlaku. Oleh karena itu, adat
istiadat difungsikan tidak terbatas pada pengrusakan hutan, tetapi juga yang
bersentuhan dengan perilaku seharihari, misalnya tidak boleh sombong, angkuh,
hidup boros atau glamour, menyebarkan isu negatif (pitnah), dimaksudkan agar kehidupan
bermasyarakat, baik individu, kelompok, atau suku untuk tetap hidup harmonis
walaupun berbeda agama dan keyakinan masing-masing.
Keselarasan dianggap akan mencegah konflik serta menjamin kerukunan antara
sesama unsur yang menjaga jagad ini (manusia pada umumnya), terhadap sesama
anggota warga masyarakat. Hal ini terjabarkan dalam sistem nilai dan sistem
ritus dan simbol (Daeng, 2000: 15), di mana ikatan sesama manusia, tanah, hasil
bumi dan kekuatan-kekuatan adikodrati dikukuhkan dalam keseimbangan. Demikian
juga dengan tabu, pantangan atau pemali dan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran
tersebut, semuanya berorientasi kepada penjagaan kelestarian, keselarasan
hubungan antara unsur-unsur jagad. Konsisten dan kebersamaan dalam menjaga
ketertiban dan keamanan melalui motto “hintuwu mome panimpu” disimbolkan agar
tetap menjaga keutuhan dan ketenteraman hidup dalam masyarakat, dengan pilar
utama adalah “ pakaroho hintuwu” artinya perkuat persatuan dan kesatuan, dan
“nemo mome kingki, padaa dan kubi “ artinya jangan saling membenci, dan saling
menyakiti antara sesama penghuni jagad.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, Kusnaka, (1999), Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi, Humaniora Utama Press,
Bandung
Daeng J. Hans,
(2000), Manusia Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis, Pustaka
Pelajar, Yokyakarta.
Denzin K. Norman dan Y.S. Lincoln, (2009), Handbook of Qualitative Research, Pustaka Pelajar, Yokyakarta
Hijjang, Pawennari dan Basrah Gising, (2007), Pasang ri kajang: Kearifan Lokal
Dalam Pengelolaan Hutan Kawasan
Adat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba, dalam “Mengungkap Kearifan Lingkungan
Sulawesi Selatan”, oleh Andi M. Akhmar dan Syarifuddin (penyunting), Masagena
Press, Makassar
Nababan, A.
(1995), Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup Indonesia, dalam
“Analisi CSIS”, Nopember-Desember, Tahun XXIV, No. 6: 42-43
Sani M. Yamin,
(2007), Palawang: Kearifan Tradisi Nelayan Nitue Dalam Aktivitas Penangkapan Ikan di Perairan Danau
Marioriawa Kabupaten Soppeng, dalam “ Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi
Selatan, oleh Andi M. Akhmar dan Syarifuddin (penyunting) , Masagena Press,
Makassar
Suradi, dkk,
(1983), Ungkapan Tradisional Daerah Sulawesi Tengah, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek IDKD, Palu